2
Tinggal bersama Pak Ibra, membuat semua berbeda. Aku bisa makan enak, tidurku juga lebih nyenyak. Di sini semua aturan terasa lebih longgar. Tidak ada teriakan dan juga pukulan. Aku bisa mandi pakai sabun sampai bersih. Keramas tiap kali mandi karena kebutuhan harian selalu terpenuhi. Bajuku juga dicuci menggunakan deterjen. Akhirnya aku tahu, Pak Ibra memiliki bergepok-gepok uang di balik bantalnya. Uang yang digunakan untuk membayar ini dan itu. Meski tetap tidak tahu apa pekerjaannya hingga memiliki uang sebanyak itu. Perlahan aku mulai mengenal dunia mereka. Dengan sabar beliau mengajari Bahasa Inggris. Aku juga bisa melihat mereka rata-rata punya ponsel. Di sini kami sering menonton film saat malam hari. Buatku benar-benar tidak membosankan. Aku juga jadi tahu apa yang terjadi di luar sana. Perlahan aku mulai mengerti percakapan mereka. Mendengar diskusi panjang yang pada awalnya tidak kumengerti.
Dalam sel ini, selain Pak Ibra yang sampai sekarang tidak kuketahui asal usulnya. Ada yang pengacara, polisi, dan juga pengusaha. Beberapa kali juga salah seorang dari mereka menyelinap keluar sel pada malam hari. Seorang sipir biasanya akan datang kemudian membuka pintu dengan suara lebih pelan dari biasa. Kembali lagi sekitar pukul empat pagi. Tahu sendirilah untuk apa. Layanan sewa kamar untuk melepaskan hasrat juga tersedia di sini. Yang penting cuma satu, punya uang!
Pak Ibra adalah yang terlihat paling tenang diantara mereka semua. Ia tidak pernah keluar malam. Emosinya sangat terjaga. Demikian juga tutur katanya. Tidak pernah berbicara jika tidak perlu, terutama pada orang yang tidak dikenal dengan baik. Sikapnya terlihat sopan. Matanya hanya menatap penceramah yang berbicara di depan jika ada ibadah. Setelah itu kembali ke sel. Aku akan selalu mengikuti langkahnya. Ia juga tidak pernah melewatkan senam pagi.
Tahun berganti, tapi penghuni ruangan kami belum berganti. Sepertinya hukuman kami yang paling lama. Hingga pada suatu malam, Pak Ibra bertanya padaku saat yang lain sudah tidur. Kami sama-sama tidak bisa tidur.
"Hukumanmu berapa tahun lagi?"
"Tujuh Pak."
"Apa yang akan kamu lakukan kalau keluar?"
"Mengunjungi makam ibu dan adik saya."
Dia mengangguk pelan.
"Apa yang kamu dapatkan selama berada di sini?"
Aku diam sebentar seolah berpikir tentang masa delapan tahun yang sudah berlalu. Berapa usiaku sekarang? Bagaimana dengan teman-teman di masa lalu? Apa kabar tetangga yang dulu kerap berkunjung kemari?
"Luth?"
Aku menoleh. Namun, tak ada kata yang bisa keluar dari mulutku.
"Katakanlah."
"Tidak tahu."
"Bagaimana dengan kebencianmu?"
"Saya masih mengingat wajah orang yang datang pagi itu ke rumah dengan memberi uang lima puluh juta. Saya ingin bertemu dengannya kemudian membakarnya dengan uang sebanyak itu." Rahangku mengeras ketika mengatakan apa yang ada dalam pikiran selama ini.
"Bagaimana dengan ayahmu, kamu tidak pernah bercerita tentangnya."
"Tidak ada yang harus diceritakan. Dia yang membuat ibu saya bunuh diri dan adik saya dibunuh setelah diperkosa. Dia tidak pernah layak untuk disebut sebagai ayah."
"Kamu mau melakukan sesuatu padanya?"
"Saya hanya ingin melihatnya menderita. Sama seperti yang kami rasakan dulu."
"Apa kamu mau bekerja pada saya setelah keluar dari sini?"
Kutatap wajah pucatnya. Serasa tak percaya mendengar kalimat barusan. "Kerja apa?"
"Saya akan melatih kamu sejak sekarang. Ini akan menjadi rahasia kita berdua. Orang hanya tahu kalau saya membutuhkan bantuan. Imbalannya adalah kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan selama ini. Saya akan mengurus kebebasan bersyaratmu setelah selesai belajar. Apa kamu mau berjanji?"
Kutatap wajah Pak Ibra, ada kesungguhan di sana. Aku mengangguk tanda setuju. Tidak masalah apa pun pekerjaan itu nantinya. Yang penting keluar dari sini ada sebuah harapan yang bisa kugenggam.
"Tapi kamu harus ingat satu hal, jika kamu sudah bekerja tidak ada jalan untuk berhenti."
"Tidak apa-apa Pak. Saya bersedia." jawabku tegas. Pekerjaan apa pun itu, asal bisa membuatku bertahan hidup.
***
Aku belajar banyak dari Pak Ibra. Pada awalnya dilakukan saat kami berolahraga. Hanya tentang mengatur nafas. Tapi ternyata sangat sulit sekali. Pada malam tertentu aku diajar bermeditasi. Katanya bagus untuk melatih pikiran dan tingkat kepekaanku. Bagiku seperti menonton film kung fu pada jaman dulu. Sampai pada suatu pagi, saat perayaan tujuh belas Agustus. Ketika diadakan beberapa lomba termasuk panco, Pak Ibra yang selalu terlihat tenang dan sudah tua itu, menang! Padahal lawannya semua bertubuh kekar dan dan masih muda. Ia bisa mengunci lawannya dengan cepat. Aku benar-benar tak percaya. Selesai bertanding, kami duduk di sebuah sudut.
"Rasa marah dan nafsu adalah hal yang paling penting dikendalikan. Karena keduanya bisa menjerumuskanmu. Orang yang tidak bisa mengendalikan nafsu amarah akan tenggelam. Tidak peduli seberapa besar kecerdasaan dan kesempatannya untuk menang."
"Otakmu cerdas, kamu pintar, rangka tulangmu juga sangat bagus bahkan boleh dikatakan sempurna. Kamu juga bukan orang yang pantang menyerah dan bisa hidup dalam segala situasi." ujarnya saat menatap tubuhku yang tidak mengenakan kaos.
"Kenapa memangnya Pak?"
"Jarang ada orang yang memiliki kombinasi sempurna sepertimu. Apalagi bola mata yang selalu terlihat penuh kesedihan. Tidak ada yang tahu apa yang sedang kamu pikirkan. Itu bisa mengelabui siapa pun. Kamu bisa menjadi orang yang hebat kelak."
"Saya tidak pernah merasa akan menjadi orang hebat."
"Takdir yang akan membawamu sampai ke sana. Tugasmu sekarang hanyalah belajar. Luth, garis tangan seseorang tidak pernah bisa berbohong. Semesta akan membantu mencapai tujuanmu. Hanya satu syaratnya, yakni peka. Peka pada suara hatimu, pada sekelilingmu. Peka pada perubahan yang ada dan juga harus tahu sedang bersama siapa."
Aku menggeleng. "Saya tidak paham Pak."
"Manusia harus menyadari keberadaan serta tugasnya. Itu yang terpenting. Auramu membuat orang segan untuk melawanmu. Tinggal belajar bagaimana cara agar kamu tetap memilikinya dan tidak sombong karena keberadaannya. Itu yang harus kamu jaga."
"Baik Pak." jawabku meski tidak paham apa yang sebenarnya diucapkannya.
"Bahasa Inggrismu semakin bagus. Saya akan mengajari bahasa lain. Tapi tetaplah melatih ototmu dengan berolahraga. Agar kekuatan fisik dan pikiranmu seimbang."
"Baik Pak."
***
Sejak saat itu, Pak Ibra semakin sering memberi tontonan tentang banyak hal yang tidak pernah kuketahui. Misal, cara naik pesawat. Mulai masuk ke bandara sampai berada di dalam pesawat. Cara berjalan, dan juga menatap seseorang. Cara check in di hotel termasuk bagian mana saja dalam ruangan yang harus kuperiksa sebelum tidur. Lama-kelamaan aku merasa kami semakin mirip. Bagaimana caraku melangkah, bertutur kata dan juga menyantap makanan. Ia bahkan mengajariku cara makan yang benar, seperti orang-orang kaya dalam film. Entah apa yang sudah merasuki pikiranku sehingga bisa menyerap kata-katanya dengan mudah.
Sekarang, ada orang suruhan Pak Ibra yang juga rutin mengunjungiku. Dia membawakan buku dan juga makanan layaknya para pengunjung lain. Kebanyakan buku filsafat yang awalnya membuat kepalaku pusing saat membacanya. Hingga kemudian aku diajari ilmu pernafasan dan bagaimana mengatur pikiran. Hampir tiga tahun bersamanya membuatku merasa semua yang kujalani lebih mudah. Tahun ke-sepuluh akhirnya aku menghirup udara bebas. Pak Ibra mengantar sampai pintu sel. Kami sudah bicara tentang banyak hal sebelum aku keluar. Mengenai apa yang harus kulakukan jika bertemu dengan seseorang seperti aku.
Orang suruhannya menjemput dan membawaku ke sebuah rumah kecil di luar kota. Di sini hanya aku sendiri. Namun, terasa ada yang aneh di rumah ini. Sepertinya lantai di bawahku tidak padat. Padahal terbuat dari batu marmer. Malam pertama tinggal di sana aku tidak bisa tidur. Suasana sangat sepi dan gelap. Tidak ada penerangan sama sekali di rumah ini. Aku yang sudah sepuluh tahun berada dalam penjara ternyata tidak bisa melepaskan diri dari sesuatu yang sudah melekat. Entah kenapa meski pelan aku merasa mendengar beberapa langkah mendekati rumah. Ada gemerisik yang berbeda di semak sekitar. Beruntung seluruh bangunan ini gelap.
Pelan aku turun dari tempat tidur, lalu naik ke atas lemari dan memasuki bagian atas, melalui lubang plafon. Hampir satu jam aku berada di sana, diam tak bergerak. Bahkan nafasku pun tidak terdengar. Ilmu dari Pak Ibra benar-benar bisa kugunakan meski karena terjepit. Tidak ada celah untuk melihat ke bawah. Sehingga aku tidak tahu apa yang terjadi. Hingga kemudian terdengar sebuah teriakan.
"Jangan bergerak, tempat ini sudah kami kepung!"
Aku kaget, tidak menyangka akan mendapat sambutan seperti ini. Apa Pak Ibra mengirimku kemari hanya untuk mati? Tanpa makanan, lampu dan orang yang kukenal. Kalau seperti ini lebih baik berada dalam penjara, sumpahku! Aku merayap menggunakan tangan agar tidak menimbulkan suara menuju sudut dengan hati-hati. Cahaya dari luar sangat terang. Sempat kuintip dari lubang kecil ternyata tempat ini sudah dikepung oleh polisi. Gila! Apakah ini adalah sambutan yang diberikan oleh orang-orang Pak Ibra? Sementara aku tidak tahu apa pun tentang mereka! Terdengar bunyi tembakan. Aku semakin takut. Kalau hanya untuk mati konyol maka dikeluarkan dari penjara, sudah pasti ini bukan tujuanku.
Cukup lama sampai terdengar suara pintu depan dan belakang di dobrak bersamaan. Ada suara berteriak,
"Jangan bergerak!"
Namun, aku tetap diam. Kutahan embusan nafas. Rasanya bahkan hampir mau muntah. Beberapa orang sepertinya sudah berada tepat di bawahku. Mereka menyenter ke seluruh bagian. seseorang naik melalui dinding seperti yang kulakukan tadi. Nafasku benar-benar seolah berhenti. Bagaimana ceritanya baru sehari keluar dari penjara lalu masuk lagi? Entah keberuntungan apa, ia tak sampai menyorotkan senter ke arahku. Mungkin karena sudah lelah.
Saat matahari mulai bersinar, kendaraan polisi bergerak meninggalkan rumah. Aku masih bertahan di atas. Menjelang siang perutku lapar dan aku benar-benar haus. Pelan aku mengintip ke bawah, tidak ada seorang pun. Perlahan aku turun. Seluruh ruangan terlihat berantakan. Kuusahakan tidak menarik perhatian siapa pun dengan menghindari jendela. Begitu keluar kamar, aku menemukan dua orang yang selama ini mengunjungi di penjara.
Tanpa suara seorang dari mereka memintaku untuk mengikuti. Kami kembali ke kamar. Dengan sebuah remote lemari bergeser, salah seorang membuka sebuah lantai marmer. Kami masuk kemudian berjalan melewati sebuah lorong panjang dan pengap Hingga akhirnya ia menaiki tangga membuka penutup dan kini kami tiba di sebuah rumah sederhana lain. Sudah ada beberapa orang yang menunggu. Kami naik mobil, yang setelah berapa lama aku tahu kendaraan memasuki kota Jakarta. Kuembuskan nafas lega. Orang yang membawaku tadi tersenyum santai.
"Bagaimana semalam?"
"Aku terkejut."
"Anggap saja itu ucapan selamat datang. Kamu akan tinggal di Jakarta untuk mengikuti latihan selanjutnya."
"Apa yang akan menjadi pekerjaanku?"
"Apa yang sudah dikatakan Pak Ibra?"
"Tidak ada."
"Bulan depan kamu harus menemani seseorang melakukan transaksi pembelian senjata di perbatasan Kamboja. Bersiaplah untuk itu." Perintahnya dengan wajah kaku.
Apakah ini bayaran atas kenyamananku di penjara beberapa tahun terakhir?
***
Happy reading
Maaf untuk typo
14723
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top