Bab 9
Taman kota? Kening Flavie mengkerut begitu mobil yang ia tumpangi menepi di taman kota yang didominasi oleh pohon mapple. Seorang pria tua yang kata Levine bernama Paman Surya keluar membukakan pintu. Masih belum mengerti kenapa pria itu membawanya kemari. Flavie terbengong menatap keluar sana. Sinar-sinar jingga khas senja mewarnai taman kota, menambah keindahan.
"Apa kau akan menghabiskan waktumu untuk melamun di sini?" Sebuah suara membuatnya tergagap. Ia mendapati kerutan tak suka dan alis terangkat dari pria itu.
Flavie meringis singkat. Entah sejak kapan pria itu sudah keluar dari mobil. Ia pun beringsut keluar. Tangannya meraih tas ranselnya yang cukup berat.
"Tinggal saja di dalam. Aku tidak akan menyukai kalau kau melanjutkan pekerjaanmu di sini. Nanti saja lain kali kalau kau memang mau melanjutkan di sini."
"Oh?"
"Iya. Ayolah."
Flavie mengangguk. OK. Ia tau benar bagaimana Levine meski ia baru tiga minggu mengenal Levine. Pria dengan segala keanehannya yang membuatnya kecanduan ingin selalu berdekatan dengannya. Padahal pria itu sangat asing tapi hatinya merasa sudah mengenal lama. Flavie mengulum senyumnya tanpa sadar. Tapi kemudian genggaman hangat di tangannya membuatnya tersadar.
Ia mendapati pria itu berdecak. Untuk kesekian kalinya ia tertunduk malu, kedapatan melamun di hadapan pria itu. Ia kemudian melangkah mengikuti langkah lebar pria itu. Apakah setiap pria memiliki langkah yang lebar? Flavie bersungut dalam hati. Ia agak kesulitan menyamai langkah Levine.
"Makanya, lain kali jangan memikirkan hal yang lain saat bersamaku. Apalagi kalau kau berani memikirkan pria lain, aku -akan -membuatmu menyesal," bisiknya rendah, membuat Flavie bergidik. Dia --pria yang menyeramkan. Bukan! mengintimidasi-nya.
"Engh.."
Pria itu tertawa kecil. Tangannya bergerak mengacak rambut Flavie dengan sedikit gemas.
"Aku becanda! Tidak perlu takut seperti itu. Tapi --" Ia menggantungkan kalimatnya. Matanya melirik jenaka.
"Apa?" Flavie sedikit mengangkat wajahnya hingga matanya bertemu dengan manic mata coklat keemasan itu.
"Aku tidak keberatan jika nanti itu kulakukan padamu. Benar-benar akan kulakukan jika kau mengulanginya lagi."
"Kenapa?" tanya Flavie tanpa sadar.
"Gadis nakal!"
"Hey!" Flavie mendelik tidak terima.
Langkahnya terhenti seketika saat pria itu membawanya mendekati sebuah bangku besi berwarna tembaga di bawah pohon mapple. Tanpa sadar ia menggigit bibirnya. Perasaannya seperti terseret pada beberapa minggu lalu saat pertama kali ia mendapatkan ide untuk cerita barunya. Perasaan sesak dan kasihan pada sosok pria. Bagaimana kabar pria itu? Apa dia sudah baikan? Ouh, entah kenapa Tuhan seakan melenyapkan pria itu tiba-tiba. Ia bahkan sudah mencari ke pelosok-pelosok kota demi untuk bertemu dengannya.
"Apa yang sedang kau pikirkan, Nona Flavie?"
Suara rendah pria itu menbuatnya terperanjat. Terlebih saat mendapati wajah pria itu sangat dekat dengannya. Ia bahkan bisa merasakan terpaan hangat nafas Levine yang mengeluarkan aroma mint.
"Tidak," jawab Flavie pelan seiring tubuhnya yang tiba-tiba melemas saat tangan kokoh itu menarik pinggangnya.
"Kamu tidak bisa membohongiku, Nona," ucapnya dengan tatapan memperingatkan.
Tatapannya sungguh membuat Flavie seakan menciut seketika. Dia --lebih menakutkan dari seorang Hulk.
"Aku--"
Pria itu mengangkat alisnya sebelah. Wajahnya mengatakan ia tidak main-main sekarang.
"Apapun itu, sebaiknya kau melupakannya sejenak ketika bersamaku," ucapnya melembut namun tetap menyimpan nada memperingatkan.
"Okay," desis Flavie hampir tak terdengar. Ia merasa tenggorokannya kering seketika.
Pria itu kembali membawanya lebih dekat pada bangku itu. Kemudian mendudukkan Flavie bersamaan dengan dirinya.
"Kenapa?"
Flavie tersentak. Pria itu ternyata masih memperhatikannya. Sekarang ia tidak tau lagi harus bagaimana. Pria ini benar-benar menjadi sangat aneh.
"Kamu aneh dan --menakutkan," desis Flavie jujur.
Pria itu mengangkat alisnya kemudian tertawa keras.
"Aneh ya? Hm? Kamu --tidak akan bisa mengenalku dengan baik. Sama seperti yang lain."
"Oya? Kamu salah meremehkanku."
"Oya? Berarti kau harus membuktikan, Nona."
Flavie mendengus. Pria ini berganti menantangnya.
"Oh? Okay, kau pikir aku takut?"
"Good. Oya, apa yang kau pikirkan sejak tadi?" tanya Levine menatap Flavie penasaran.
"Tidak ada. Hanya aku pernah bertemu dengan pria depresi itu di sini. Di bangku ini." Flavie tersenyum tipis setelah ia mengembuskan nafasnya pelan.
Tapi ia tidak menyadari perubahan raut wajah pria itu. Meredup dan sedikit mengeras. Ia bahkan memejamkan matanya beberapa saat.
"Vine," panggil Flavie pelan sambil memejamkan matanya, menikmati semilir angin senja.
Yang dipanggil menoleh, sebelah tangannya ia letakkan di sandaran kursi bersi bercat tembaga itu. Ia nampak menaikkan alisnya sebelah.
"Apa?" jawabnya terdengar sangat lembut. Entah hanya perasaan Flavie atau memang Levine benar-benar menjawabnya dengan nada lembutnya.
"Emh...,"
"Apa?" tanyanya lagi bernada mendesak ketika Flavie nampak ragu untuk mengatakannya.
"Seandainya, ini seandainya ya? Hanya seandainya. Ingat Se...,"
"Seandainya. Aku mengerti. Jadi, katakan!" potong Levine tidak sabar.
Flavie menghela nafasnya pelan.
"Seandainya salah satu dari saudaramu entah itu kakakmu atau adikmu mengalami hal seperti pria yang ada di dalam cerita baruku, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Flavie pelan diakhiri dengan senyuman canggungnya. Ia takut pria itu tersinggung dan marah kepadanya. Jadi, ia memutuskan untuk menundukkan kepalanya sambil menunggu jawabannya.
Flavie tidak menyadari perubahan raut wajah pria di sampingnya. Meredup dan mengeras. Ia bahkan memejamkan matanya untuk beberapa saat di antara rahangnya yang mengetat.
Ini bukan seandainya. Tapi memang benar adanya. Dan rasanya seperti kamu baru saja membunuh seseorang. Hidupmu akan selalu diselimuti ketakutan dan merasa bersalah karena kamu tidak bisa melakukan apapun untuk menyembuhkannya, batin Levine menggeram tertahan.
"Vine," panggil Flavie pelan ketika Levine tak kunjung memberikan jawabannya.
"Hm?"
"Berikan aku jawabanmu," pinta Flavie setengah merajuk.
"Untuk?" Levine menyipitkan matanya.
"Untuk --emh, aku perlu..,"
"Melanjutkan novelmu?" potong Levine dijawab dengan anggukan kepala dari Flavie.
Ia meringis ketika mendengar Levine mendengus singkat. Jelas sekali pria itu tidak menyukai pertanyaan Flavie.
"Maaf," ucap Flavie hampir tak terdengar.
Levine tersenyum simpul. Ia mendesah singkat. Tangannya kini bergerak mengacak ringan rambut Flavie, mengantarkan getar-getar hangat yang tiba-tiba menyelimuti hati Flavie.
"Bukan masalah. Tapi tidak sekarang, Vie. Bukankah aku sudah berjanji untuk membantumu menggarap cerita itu? Tapi untuk sekarang --" Levine menggeleng pelan. Ia menatap lekat-lekat mata biru Flavie. "--kurasa kamu masih ingat. Aku ingin menghabiskan sore ini dengan jalan-jalan denganmu, bukan melanjutkan ceritamu, mengerti?"
"Tapi kan aku..,"
"Tidak melanjutkan cerita? Tapi yang kamu lakukan sekarang adalah mengumpulkan bahan untuk ceritamu, Nona Flavie."
Flavie menundukkan kepalanya lagi. Ia seperti anak kecil yang sedang dimarahi oleh ayahnya karena sebuah kesalahan. Wajahnya ditekuk dalam.
"Lupakan. Okay? Minum ini," ucap Levine menyodorkan minuman coklat kemasan pada Flavie.
"Thanks."
"Apapun itu. Oups, Sebentar ada telfon," gumam Levine sambil mengeluarkan ponselnya dari saku celananya. Ia langsung beranjak menjauh tanpa meminta ijin pada Flavie.
Tak lama kemudian ia kembali. Tapi raut wajahnya nampak berubah. Gelap dan penuh kecemasan. Flavie menatap pria itu lengkap dengan kerutan di dahinya.
"Aku sangat menyesal untuk hari ini. Maafkan aku, aku baru saja mendapat telfon. Aku --harus pulang."
"Apa ada masalah dengan pekerjaanmu?" tanya Flavie pelan.
Pria itu menggeleng pelan. "Bukan. Tapi ini lebih penting dari sekedar pekerjaan. Ada sedikit masalah di rumah."
"Oh? Kalau begitu pulanglah segera."
"Maafkan aku untuk hari ini, Nona Flavie. Atau kau mau ikut denganku?"
"Ikut?"
Flavie meringis canggung saat pria itu menganggukkan kepalanya. Perlahan ia menggelengkan kepalanya.
"Kenapa?" tanya Levine.
Kenapa? Memangnya aku apanya? Baru juga kenal masa aku berani menerima ajakannya main ke rumah. Kalau pacar sih bukan masalah, batin Flavie menggerutu.
"Tidak! Aku --akan melanjutkan novelku di sini. Kurasa suasananya sangat mendukung," ujar Flavie mengarang alasan.
"Begitu?"
"Hm.. kenapa?"
"Tidak. Kuharap lain kali kita akan bisa menghabiskan waktu bersama. Benar kamu akan di sini sendiri? Atau aku suruh Paman Surya menemaninu?"
"Tidak perlu. Aku bisa sendiri. Kau pulanglah," tolak Flavie dengan senyum tulusnya.
"Okay. Aku akan mengabarimu begitu urusanku selesai."
"Tidak perlu, Tuan Levine."
"Itu perlu, Nona Flavie. Okay. Kalau ada apa-apa hubungi aku."
Flavie mengangguk malas. Pria ini benar-benar sangat cerewet.
"Terima kasih, Flavie," ucapnya mengembangkan senyum menawannya.
Ah!! Sepertinya aku harus mengucapkan terima kasih kepada seorang wanita yang sudah melahirkan pria setampan dia. Secantik apakah wanita itu? gumam Flavie dalam hati sambil menatap punggung pria yang semakin menjauh dari hadapannya kemudian terhalang oleh mobil yang baru saja pria itu masuki. Ia bahkan masih menatap kagum, terpesona meskipun mobil itu sudah menghilang dari pandangannya. Tanpa sadar ia menghela nafasnya pelan tanpa menyurutkan senyum manisnya.
Mungkin aku gila. Tapi --Tuhan, bolehkah aku memilikinya? Mencintainya dan menjadikan dia satu-satunya pria yang kucintai selama hidupku? gumam Flavie dalam hati.
Sedetik kemudian ia tertawa lirih, menertawakan dirinya sendiri. Tangannya mencari ransel yang berisi seperangkat alat kerjanya. Tapi kemudian ia mengumpat lirih.
"Sial!! Bagaimana aku bisa melanjutkan ceritaku? Tas-ku di mobil sana. Argh!!"
Flavie mengerang. Ia juga tidak tau bagaimana ia harus pulang. Yang ada padanya hanya sebatang ponsel. Semua barangnya tertinggal di sana. Demi apa?!! Flavie menghempaskan tubuh lemasnya lebih dalam pada bangku besi berwarna tembaga itu.
***
Tbc
saya ga yakin dg part ini.. heheh tapi ya udahlah liat ke depannya dulu..
17 Okt 2015
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top