Bab 7

Levine melonggarkan dasinya lalu melepas dua kancing teratas kemejanya. Ia duduk menyandarkan tubuh lelahnya di sofa. Hampir tengah malam begini dan ia baru saja selesai dari meeting sialan itu. Levine mengembuskan nafasnya. Ia menggeleng perlahan. Kesibukannya membuatnya melupakan keluarganya untuk seharian. Ia meraih ponselnya.

"Selamat pagi, Kesayangan." Suara lembut itu menyapanya, membuat lelah yang mendera luntur seketika. Suara bidadari yang selalu ia rindukan.

"Selamat malam, Lovely Mommy," balas Levine sambil terkikik. Tak lama ia mendengar tawa kecil dari wanita itu. Lembut dan menenangkan.

"Oh--masih malam ya di sana? Di sini sudah pagi, sayangku. Vine--"

"Iya, Mom? Mom baik-baik saja? Dad jadi pulang kan?"

"Ya. Mom baik-baik saja, Vine. Dad sampai di rumah kemarin sore. Bagaimana denganmu? Apa kau sudah makan?"

Levine meringis. Ia melupakan makan malamnya setelah ia tadi afterlunch dengan beberapa potong roti dan secangkir coklat hangat.

"Tidak, Mom. Mom --apa Kak Esen..,"

Terdengar helaan nafas beratnya. Levine menegakkan tubuhnya. Pikirannya langsung ke arah yang tidak-tidak.

"Mom?"

"Ya, dia tadi sedikit marah. Kau meninggalkannya. Dia berpikir kamu tidak akan pernah kembali lagi. Ia tadi pergi mencarimu tanpa sepengetahuan kami semua. Mom sempat panik dibuatnya. Tapi untung saja, ada dua gadis yang menolongnya."

"Menolong?"

"Ya. Kami menemukannya di taman kota. Pikiran-pikiran buruknya kembali menyiksanya. Dia terserang kesakitan dan beruntung dua gadis itu ada menolongnya."

Levine memejamkan matanya. Jika saja ini bukan urusan bisnisnya ia pasti akan dengan sukarela membawa semua keluarganya untuk ikut berkeliling dunia. Apa yang harus ia lakukan untuk mengembalikan kakaknya? Sebenarnya sangat lucu, kenapa Kakaknya begitu lemah hanya karena ditinggal oleh kakek dan Ara. Tapi sekali lagi dia berbeda dengan yang lainnya. Ia kesulitan untuk mengontrol emosi jiwanya. Apalagi jika hal-hal buruk kembali menimpanya.

"Di taman kota?" tanya Levine mengulangi.

"Iya. Di taman kota. Tapi syukurlah, ia baik-baik saja sekarang."

Taman kota? Levine terdiam seketika. Ia mengingat bagaimana tadi pagi ia menelpon Flavie, kemudian gadis itu dengan semangat menceritakan ide cerita barunya berdasarkan pengalaman pribadi yang baru saja dialaminya. Tentang taman kota dan pria depresi. Sunsen untuk Mister Grey.

"Mom!"

"Astaga, Vine. Kenapa berteriak?"

"Maaf. Mom, apa kau masih mengingat bagaimana ciri-ciri wanita itu?"

"Memangnya kenapa?"

"Ah, tidak. Aku hanya penasaran saja. Jaman sekarang jarang sekali ada wanita yang sukarela menolong orang."

"Ya, kau benar. Dia cantik, rambutnya hitam kecoklatan. Mom berpikir dia orang asia. Dan satu lagi lebih muda. Dia mungkin orang asli sini. Karena berambut pirang. Mom lupa menanyakan nama mereka."

Jelas. Berambut pirang. Astaga, itu Flavie. Flavie menjadikan kakaknya sebagai objek dalam cerita barunya. Rasanya --entah kenapa Levine merasa ini sangat menarik. Senyum tipisnya mengembang.

"Mom,"

"Ya?"

"Mom, Vine istirahat dulu ya?"

"Oh, Maaf. Mom terlalu asyik bercerita sampai lupa kalau kesayangan mom belum istirahat. Okay, goodnight, Kiddo."

"Love you more, Mommy."

Levine memutuskan sambungan telfonnya kemudian mengetikkan beberapa baris pesan untuk Flavie.

Mr. Levine JR: Selamat pagi, Nona Flavie. Oya, mengenai novel barumu, kurasa itu sangat menarik. Aku bersedia membantumu kalau kau mau. Aku mengetahui sesuatu mengenai pria depresi. Kalau kau mau, tunggu empat hari lagi. Kita akan membicarakan ini.

***

Flavie meletakkan cangkir yang berisi caramel coffee di samping laptopnya. Masih terlihat kepulan asap dari cangkir itu. Ia menyobek kecil roti panggangnya lalu menjejalkan ke dalam mulut kecilnya sambil melangkah, mengambil ponselnya di atas lemari pendingin.

Keningnya berkerut beberapa saat. Kemudian senyumnya mengembang tanpa bisa ia tahan. Ada musim semi di hatinya. Jemarinya dengan cepat mengetikkan kalimat balasan untuk pesan dari pria tampan yang sudah mencuri hati dan pikirannya.

Ms FlavieMoriss: Selamat pagi atau malam ya? Whatever, Tuan Levine. Mengenai novelku, aku sangat berterima kasih jika kau bersedia meluangkan waktumu untuk membantuku. Pasti --akan sangat menyenangkan. Aku akan menunggu hari itu. See you.. Aku tak sabar untuk menerima bantuanmu.

Flavie tertawa kecil bahagia. Ia berjingkat menuju ke meja dapur, kembali menghadap laptopnya. Ia kembali mengenakan kacamata bingkai hitamnya untuk melindungi matanya dari paparan cahaya monitor laptop. Jemarinya dengan lancar mengetikkan kata-kata menakjubkan untuk sebuah kisah Mister Grey dan Silvara Jingga.

"Flaaaa!"

Flavie memutar bola matanya. Kata-kata di otaknya buyar seketika begitu mendengar teriakan disertai gedoran pintu seperti penagih utang saja. Ia menggeram sedikit kesal sambil melangkah membukakan pintu.

"Berhenti memanggilku fla! Aku bukan saus yang siap disiram di atas puding!!"

Terdengar tawa renyah khas Sheva sambil terus menggoda Flavie dengan gedoran pintu.

"Morning," sapanya meringis lebar saat Flavie membukakan pintu.

Flavie mengerucutkan bibirnya. "Password rumahku belum ganti dan kurasa kamu belum pikun benar!"

"Sengaja," sahutnya enteng sambil melangkah masuk, menyisakan Flavie yang membulatkan matanya.

"Shevaaa! Itu milikku!" teriak Flavia tak rela saat Sheva menggigit roti panggang yang baru sedikit disobek oleh Flavie.

Gadis itu meringis tanpa dosa lalu menyesap coklat hangat yang juga milik Flavie. Flavie menautkan alisnya. Sheva kembali membuatnya kesal pagi-pagi.

"Oya, bagaimana? Novel yang kemarin sukses kucoret-coret sudah kamu perbaiki?" tanya Sheva sambil duduk di depan laptop Flavie yang sedang menampilkan lembar kerjanya.

Flavie mendengus. Ia melangkah mendekat, menarik satu kursi ke sisi Sheva.

"Menurutmu? Kamu sudah sukses menghilangkan seluruh moodku pada cerita itu. Dan aku sudah membuangnya di tempat sampah," sahutnya cemberut.

Dilihatnya Sheva terkikik geli. Matanya kemudian membaca barisan kata yang terpampang di sana. Keningnya berkerut. Flavie membungkam mulutnya, menanti cemas tanggapan dari gadis di sampingnya. Ia melihat jari Sheva mengetuk-ngetuk permukaan meja. Satu tangannya menopang dagunya. Gerakan matanya terlihat lincah menelanjangi setiap kata yang Flavie ketikkan di sana.

"Umh..," gumam Sheva memainkan bibirnya, mengerucut, miring kesamping dan menggembungkan pipinya. Lalu ia menoleh, membuat Flavie semakin tegang.

"Not bad. Kau mengambil tema yang cukup berat. Terlebih kamu menceritakan tentang aku dan si--- Err... aku lupa siapa nama pria itu. Tapi --"

Flavie menggigit bibir dalamnya. Tatapannya jatuh ke lantai. Bahunya sedikit merosot. Ia takut Sheva tidak menyukai kalau dirinya menjadi objek ceritanya.

Tak lama kemudian terdengar tawa kecil dari Sheva. "Aku memang tertarik padanya. Entah kenapa aku--" Sheva mengangkat bahunya. Wajahnya sedikit merona. "--tidak tahu. Err! Jangan berani sekali-kali kamu tertawa atau bahkan menahan tawa! Aku tahu ini norak dan --memalukan."

Flavie mengatupkan mulutnya, menahan tawa gelinya sekuat tenaga. Kemudian ia menggeleng kecil, berbatuk kecil berusaha menghilangkan hasratnya untuk tertawa.

"Ehm! Okay. Aku --mengerti. Kamu -jatuh -cinta. Ya, akhirnya seorang Kinara Silvara merasakan namanya jatuh cinta. Bagaimana? Indahkah?"

Flavie semakin terkikik saat Sheva memberinya tatapan sebalnya diantara wajah memerahnya.

"Jangan menggodaku atau aku mogok menjadi editormu!"

Flavie semakin tergelak tawanya.

"Hey! Aku baru ingat sesuatu," celetuk Sheva, menghentikan tawa Flavie.

"Apa?" tanya Flavie menatap gadis itu penasaran. Sementara yang ditatap hanya tersenyum misterius.

"Selamat pagi, Nona Flavie...,"

Flavie mendelik seketika. Ia tahu siapa yang Sheva bicarakan. Terlebih saat Sheva meraih ponselnya disertai senyum jahilnya.

"Shut up!!" pekik Flavie berusaha merebut ponselnya dari tangan Sheva. Tapi gadis itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Tawa kemenangannya berderai.

"Bagaimana kabarmu? Ciaaa.. kau berhutang banyak cerita padaku. By the way, siapa pria tampan yang sudah berhasil membuat wajahmu semerah tomat itu?" goda Sheva.

"Tidak ada!!" Flavie merengut sebal. Bibirnya mengerucut, alisnya bertautan.

"Oya? Apa dia orang yang sama dengan yang kau temui di perpustakaan nasional? Dan.. tunggu!"

Flavie mengerang. Ia melihat Sheva memiringkan kepalanya seperti sedang mencoba mengingat sesuatu. Sesaat kemudian ia memekik kecil.

"Seseorang pernah mendatangiku untuk meminta nomor ponselmu. Katanya teman lamamu. Seorang pria berambut coklat keemasan emh.. cukup tampan tapi badannya terlalu kurus. Apa dia orangnya?!"

Bukan!!

"Aku tidak memiliki teman pria apalagi teman lama seperti itu! Itu terlalu -nerd."

"Tapi benar. Aku lupa siapa namanya."

Flavie menggeleng. Sementara pikirannya sibuk memikirkan siapa pria yang memiliki ciri-ciri tersebut. Siapa ya?

***

TBC

09 Okt 2015

S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #chicklit