Bab 6

Begitu ia menginjakkan kakinya di apartemennya, Flavie langsung membuka laptopnya. Tangannya menge-klik aplikasi word dan membuka lembar kerja baru. Ia membuat sebuah catatan kecil oh, bukan --cerita singkat tentang pria yang ia temui tadi siang.

"Ehem, pertama aku memberinya nama apa ya?" gumam Flavie sambil memikirkan sebuah nama.

Jemarinya mulai mengetikkan nama pertama yang terlintas. Mister Grey dan... Miss.., Flavie menopang dagunya. Apa ya? Ia menggerak-gerakkan bola matanya. Ujung jemarinya mengetuk-ngetuk meja belajarnya. Sesosok wanita asia terbayang di wajahnya. Matanya berbinar seketika begitu mendapatkan sosok itu. Jemarinya mengetik sebuah kata untuk mencari nama khas Asia.

"Ehem.. Mister Grey dan yaa... aku rasa Jingga nama yang bagus. Jingga... warna khas sunset. Na ah, cocok. Hmmm..., lalu judulnya? Sunset untuk Mister Grey. Ahaa? Perfect. Dimulai!" gumamnya girang.

Ia menegakkan punggungnya. Tangannya kembali menari di atas keyboard, merangkai kata dengan cepat. Kata-katanya mengalir lancar bahkan sangat.

Silvara Jingga!!!

Aku mendengar seseorang menyebut nama lengkapku. Matanya mendelik kesal lengkap dengan raut wajah garangnya. Wanita ini mengamuk karena kali ini aku memperburuk naskah novel yang seharusnya kuedit untuk menjadi baik. Bukan malah seperti sekarang. Masih dengan raut kesalnya dia mulai mengocehiku. Oh, astaga! Dia membawa-bawa umur dan status single-ku. Kalau bukan sahabatku, sudah pasti mulut dan wajahnya berantakan habis kucakar-cakar.

"Kau sudah menghancurkan naskahku!" jeritnya untuk yang kesekian kalinya.

Hey! Aku mendengarnya. Aku belum tuli, Meyrnes! Namanya Meyrnes. Gadis berambut blonde sedikit membuatku repot itu meraung-raung tidak terima. Tapi kali ini ia tidak menghinaku lagi. Apa yang mau dihina? Semua yang ia katakan juga ada padanya. Gadis yang berusia 23 tahun, dua tahun di bawahku ini juga masih single.

"Maafkan aku, Mey."

"Laki-laki itu lagi?" tebaknya dengan mata menyipit, siap menginterogasiku dengan sinis.

Aku mengangkat bahu.

"Sudah tau namanya?"

Aku menggeleng. Meringis tipis. Dia selalu tepat menebak. Aku sedikit terganggu dengan laki-laki yang kutemui di bawah pohon mapple. Tampan, dingin dan sumpah, itu tidak keren. Dia seperti orang yang hmm.. depresi. Ya, depresi.

Flavie menghela nafasnya. Ia membayangkan bagaimana wajah mengenaskan pria yang ia jumpai tadi siang. Jemarinya tertahan di udara. Ia batal mengetik ketika dering ponsel menyalak nyaring. Tangannya meraih ponsel yang berada di dekat laptopnya. Keningnya terlipat. Levine? Oh, my!! Dewi batinnya bangun dengan sigap kemudian melompat-lompat bahagia. Dia menelponku!! teriaknya girang. Jari telunjuknya segera menggeser tombol hijau di layar ponselnya.

"Hey, Vine.." sapanya gugup.

"Nona Flavie, apa kabarmu hari ini?" sapanya dengan nada menggoda seperti biasa.

Seharusnya Flavie marah karena terang-terangan pria ini mencoba menggodanya. Tapi reaksi tubuhnya sungguh memalukan. Bagaimana bisa tubuhnya meleleh hanya dengan mendengar suara sexy pria ini? Oh, astaga!

"Baik. Sangat baik. Bagaimana denganmu?"

"Hm. Cukup baik. Aku baru saja selesai meeting sejak pukul enam pagi tadi. Cukup melelahkan tapi.. Hm, apa kau mau menemani aku lunchbreak?"

Pukul enam pagi? Itu.. astaga, itu pagi buta namanya. Hanya orang sinting yang melakukan meeting saat pagi buta. Bahkan sampai sekarang? Flavie bergidik ngeri. Demi apa? Ia melirik jam beker-nya yang menunjukkan pukul tujuh malam. Apa dia tidak salah menganggap jam segitu itu lunchbreak? Kening Flavie terlipat.

"Kuharap kau tidak lupa, Nona. Aku sedang berada di belahan dunia bagian barat. Europe. Tepatnya di Stockhlome. Hm? Ingat?"

Flavie mengatupkan mulutnya. Bagaimana bisa pria itu menyangkal pikirannya begitu saja? Tepat dan benar, seperti jawaban ujian.

"Oh, em.. Ya, aku lupa. Maaf. Memang jam berapa di sana? Kebetulan di sini jam tujuh malam?" ucap Flavie kemudian menggigit bibir dalamnya. Ia beranjak menuju ke ranjangkan setelah ia menekan tombol save untuk lembar kerja yang baru saja ia kerjakan.

Pria itu terkekeh.

"Hm, masih cukup pagi. Di sini pukul sepuluh lewat sedikit. Apa yang sedang kau lakukan sekarang? Biar kutebak. Pasti..., kau sedang sebal memperbaiki naskahmu yang baru dicoret-coret sama editormu itu kan?"

"Bukan! Itu lebih buruk. Tapi cukup baik juga sih. Sheva menyuruhku untuk mengganti total dalam artian menyuruhku membuat cerita baru."

"Oya? Lalu kamu bilang apa?"

"Aku sudah menemukannya. Memang sempat kesal dengan wanita itu. Memangnya menulis itu gampang?"

"Tunggu. Kau sudah menemukannya?"

"Hehem. Ide cerita maksudku. Kali ini berbeda."

"Oya? Tentang apa?" tanya Levine kemudian terdengar percakapan seseorang seperti menyebutkan pesanan dan Levine menjawabnya dengan Ya. Mungkin itu waitress yang melayaninya. Flavie mendiamkannya sejenak sebelum ia menjawab pertanyaan Levine.

"Hey, kau masih di sana, Nona?" tanya Levine.

"Ya. Masih. Ini tentang pertemuan seorang gadis dengan pria depresi."

"What?" pekik Levine. Ia tersedak begitu mendengar jawaban Flavie.

"Ya. Itu..,"

"Pria depresi?" tanya Levine mengulang.

"Iya. Memangnya kenapa? Itu kan sebuah karakter yang sangat jarang digunakan oleh penulis. Apalagi sekarang banyak penulis yang sedang tren membuat cerita seorang CEO dan semacamnya. Lengkap dengan gadis polos dan wanita jalangnya. Atau seorang pria yang maniak seks kemudian berhenti karena seorang wanita...,"

"Yeah. I know. Tapi.., coba kau pikirkan lagi. Pria depresi. Itu kau butuh riset secara khusus jika kau benar-benar menginginkan hasil yang terbaik."

"Hm. Sure. Aku mengambil cerita ini karena aku baru saja bertemu dengan seorang pria itu.. depresi."

"Dan kau juga harus membaca buku-buku tentang kejiwaan. Semacam psycologi."

"Yeah. I know. Itu bukan hal yang sulit. Aku bisa mendapatkannya di perpustakaan nasional."

"Kau benar. Mungkin nanti kita bisa pergi ke sana bersama. Kalau kau mau."

Tentu saja aku mau!!! Seseorang dalam diri Flavie terbangun seketika meneriakkan kalimat itu. Wajahnya memanas. Ah! Lagi-lagi Levine membuatnya blushing. Pufft! Pengaruh Levine besar sekali.

"Bagaimana?" tanya Levine memastikan.

"Emmh, ya. Tidak. Em, maksudku aku tidak keberatan. Memangnya apa yang akan kau cari di sana?"

"Okay, kita akan ke sana sepulangku dari jalan-jalan. Aku ada perlu sedikit. Juga tentang kejiwaan. Sekaligus menemani wanita cantik agar tidak diganggu pria iseng." Levine terkekeh. Dia menggodanya lagi.

Tentang kejiwaan? Mata Flavie membulat seketika. Apa pria itu mengidap gangguan jiwa? Ringan? Akut?

"Bukan aku, Nona. Aku sehat jasmani dan rohani. Tapi tidak dengan hatiku."

"Hah?"

"Ya. Kau selalu membuatku seperti terkena serangan jantung." Kali ini Levine tertawa. Dia menggoda Flavie habis-habisan membuat gadis itu menggeram tertahan di antara blushingnya.

"Vine!!"

"Okay, serius. Ehm, ngomong-ngomong bagaimana ceritamu? Mungkin aku bisa mendengarnya."

Ceritaku? Kening Flavie berkerut. Cerita apa?

"Maksudku story barumu, Nona."

"Oh, ya. Akan aku bacakan kalau kau mau. Atau mungkin kau bisa membantuku menyumbang ide."

"Bisa saja. Coba ceritakan padaku."

Flavie beranjak dari ranjangnya menuju ke meja belajar. Ia kembali membuka laptopnya, mencari file yang tadi ia simpan.

"Baru sedikit sih. Judulnya Sunset untuk Mister Grey. Aku mengambil nama tokoh Mister Grey dan Silvara Jingga."

"Itu terkesan seperti Mister Grey si pria Hot yang sadis itu," komentar Levine.

"Hm. Tentu saja bukan. Yang aku maksudkan adalah Grey, abu-abu. Itu kental sekali dengan warna mendung. Kelabu. Banyak mengandung kesedihan. Lalu Silvara Jingga itu bermakna..."

"Jingga yang berkilauan," tebak Levine.

"Kau benar kali ini."

"Kenapa Jingga?"

"Kupikir Jingga adalah warna khas sunset."

"Kenapa harus sunset?"

Flavie memutar bola matanya. Pria ini selain hobi menggodanya juga hobi membuatnya kesal dengan komentar-komentar kritisnya dan juga rasa keingintahuannya.

"Kenapa aku harus menjelaskan?" balas Flavie berdecak.

"Tentu saja. Ketika kau membuat sebuah cerita itu seperti kau membuat kerangka untuk kau presentasikan di depan banyak orang. Kau harus tau bagaimana detailnya sebuah cerita yang kau buat. Kau harus memahaminya bukan sekedar membuat. Itu hasilnya akan berbeda. Seakan cerita yang kau buat itu memiliki jiwa."

Cerdas! Flavie tersenyum kagum dengan pemikiran pria ini yang seakan tiada batas. Apa pria ini jenius? Luar biasa sekali. Ia baru sekali ini mengenal jenis pria sejenius itu.

"Apa kau paham yang aku maksudkan, Nona?"

"Hm, ya. Jadi begini..," Flavie terdiam sesaat. Ia mencoba memahami sebuah judul yang ia buat. Baru kali ini ia berpikir keras demi sebuah cerita.

"Kenapa harus sunset? Jadi seperti ini. Di dalam sunset itu mencakup segalanya. Hitam, abu-abu, jingga, warna glow seperti perak dan keemasan itu berbaur menciptakan suatu keindahan. Dimana jingga mendominasinya."

"Jadi di sini peran jingga lebih besar?"

"Iya. Apa itu salah?"

"Tidak. Jingga ya? Pada akhirnya Jingga yang membuat Mister Grey bahagia?"

"Tepat. Aku penganut aliran happy ending. Meski aku tau tidak semua yang kita harapkan selalu berakhir manis. Tapi ayolah, kita harus memahami. Di balik sad ending pasti menyimpan sesuatu makna yang berharga. Nilai positif. Itu bagian dari kebahagiaan bukan?"

"Ya, kau benar. Kau sangat cerdas rupanya. Aku tidak sabar ingin berjumpa denganmu."

"Untuk?" Flavie menyipitkan matanya. Berjaga-jaga jika Levine akan kembali menggodanya.

"Melihat tampang lucu dan imutmu," kikik Levine.

Tuh kan? Flavie memutar bola matanya. Tapi reaksi dalam dirinya lagi-lagi membuatnya kesal. Tubuhnya menghangat. Ada bahagia yang terselip di dalamnya. Semuanya karena Levine. Bukan! Godaan setan tampan Levine.

***

TBC..,

gimana? Ga jelas ya? datarr gitu aja..

okee maafkan aku.. stop aja kali yaa

02 Okt 2015
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #chicklit