Bab 5

Seorang pria membuat langkah Flavie terhenti hanya untuk menatapnya, mencari tau apa yang sedang dilakukannya. Karena sedari tadi Flavie melintas hingga kembali lagi selang hampir 3 jam, pria itu masih duduk dengan tatapan kosong di bangku taman. Beruntung pohon mapple menaungi bangku taman itu sehingga tidak kepanasan.

"Tapi wajahnya familier," desis Flavie mendekat. Ia tidak tau kenapa hatinya menyuruh untuk menghampiri pria itu. Padahal mengenalnya pun tidak.

"Permisi, maaf. Boleh aku duduk di sini?" tanya Flavie sopan.

Pria itu tidak meresponnya. Bergerak pun tidak. Flavie mendudukkan pantatnya dengan hati-hati. Sudut matanya mengamati pria itu dari ujung rambut hingga kakinya. He's so damn HOT! Batinnya berteriak sambil melompat-lompat. Tak lama pria itu menoleh, mungkin merasa sedang diperhatikan. Flavie tercengang, bukan karena terpana wajahnya yang sangat tampan tapi.. Matanya dingin, tajam seakan siap membunuh dengan sadis.

Ingin sekali ia berlari menjauh dari pria itu. Tapi pantat dan kakinya seperti di lem di bangku besi berwarna tembaga itu. Pria itu menatapnya semakin dalam, membuat tubuhnya seakan menciut. Flavie menarik nafasnya, berusaha mengontrol dirinya yang panik.

"Why?" lirihnya terdengar pilu.

Why? Flavie mengernyit bingung. Tapi reaksi tubuhnya malah gelagapan, tak tau harus bagaimana. Pria itu kembali menatap lurus ke depan.

"Finally they're gone. They leave me. One by one. Why?" lirihnya pelan.

Apa mungkin pria ini sedang mengajaknya bicara? Flavie terdiam beberapa saat sampai kemudian pria itu kembali bergumam lirih.

"Tuhan mengambil mereka satu per satu. Sampai akhirnya mereka semua akan meninggalkanku.Kenapa? Apa Tuhan mengutukku?"

Astaga!! Seketika nafasnya tersengal. Hatinya terenyuh ikut merasakan apa yang pria itu sedang ungkapkan. Ia hanya memandangi pria itu dengan luruh. Kalau saja ia mengenal, pasti ia sudah memeluknya, menghiburnya atau malah menguatkannya.

"Tuhan tidak sejahat itu," ucap Flavie ragu, apakah pria itu mau mendengarnya atau tidak.

"Tapi kenyataannya begitu. Mereka meninggalkanku. Mereka...,"

Pria itu terdiam, memejamkan matanya. Tangannya kemudian meremas kuat kepalanya yang mulai berdenyut. Ia mengerang tertahan. Melihat hal itu, Flavie kembali panik. Apa yang terjadi dengan pria ini? Flavie menggerakkan kepalanya berusaha mencari orang yang bisa membantunya. Sial!! Rutuknya dalam hati ketika ia tidak menemukan siapapun padahal biasanya menjelang makan siang, taman ini akan ramai oleh beberapa karyawan atau segerombol mahasiswa bahkan orang-orang umum untuk menghilangkan penat. Flavie kembali menatap pria itu. Bulir-bulir keringat dingin mulai menetes.

Oh, Goshh! What should i do? Jeritnya dalam hati, panik. Ia mengangkat tangannya kemudian meletakkannya kembali.

"Hey, are you okay?" tanya Flavie. Dan sumpah, ini pertanyaan tak berbobot ketika ia mendapati seseorang tengah mengerang kesakitan. Flavie kembali menyumpahi dirinya.

"So, can you tell me? What? What should i do? I mean.., everything that i... Oh, God!!"

Pria itu tidak menyahutnya. Jelas saja! Flavie merutuki kebodohannya. Ia tak pernah bermimpi menjumpai seorang pria aneh seperti sekarang ini.

"Okay, mungkin ini bisa sedikit membantumu," gumam Flavie menyerah.

Ia menyentuhkan tangan lembutnya di kepala pria itu, memijit lembut diselingi dengan usapan. Satu tangannya lagi menggenggam jemari pria yang ia gunakan untuk meremas rambutnya.

"Semuanya akan baik-baik saja. Percaya padaku, semuanya akan baik-baik saja," bisik Flavie.

What the hell? Apa yang ia lakukan sekarang malah terlihat seperti ia memeluk seseorang dan sialnya ia tidak mengenal pria itu. Bagaimana kalau pria itu hanya modus? Flavie bergidik ngeri. Bukannya berhenti, Flavie malah semakin sering membisikkan mantra itu, semuanya akan baik-baik saja. Demi Tuhan!!

"Apa yang..,"

Flavie menjengit saat mendengar suara langkah kaki berhenti di hadapannya. Ia menegakkan wajahnya. Mendapati seorang wanita menatapnya dengan mata terpicing, Flavie hanya bisa berdiam kaku.

"Pacarmu?" tanyanya dengan tatapan menilai.

"Oh, Sheva. Bukan, mungkin kau bisa membantu. Maksudku begini..,"

Flavie menceritakan sebab awal ia bersama pria yang masih mengerang ini. Sedikit kikuk, ia melepaskan diri dari pria itu. Sementara Sheva mendengarkannya lengkap dengan tatapan menyipit seakan kurang percaya dengan apa yang Flavie ceritakan.

"Begitu? Apa kamu benar tidak mengenalnya?"

"Ehem," sahut Flavie mengangguk, "Kamu bisa bertanya langsung dengannya." Flavie terdiam menggigit bibir bawahnya.

Sheva mengambil duduk di antara Flavie dan pria itu. Bagaimanapun Flavie masih cukup polos di mata Sheva. Bagaimana kalau pria ini hanya memanfaatkan Flavie?

"Aku bisa jamin dia pria baik-baik."

Shevaa menanggapinya dengan tatapan menilai. Flavie tau benar. Wanita mandiri ini selalu berhati-hati dengan orang asing. Tapi sedetik kemudian ia melihat Sheva meletakkan tangannya di bahu pria itu. Raut wajahnya berubah menjadi penuh perhatian. Ini, diluar dugaan. Dan Flavie lebih memilih diam memperhatikan interaksi itu. Beberapa kali ia mengerjabkan matanya, mencoba untuk menghilangkan apa yang dia lihat tapi -ini tidak berhasil. Apa itu? Sekarang Sheva membiarkan pria itu bertumpu padanya.

"Apa kau sudah lebih baik?" tanya Sheva mengusap lengan pria itu.

Flavie membulatkan matanya. Pertanyaan macam apa itu? Flavie bersidekap, masih mengamati bagaimana Sheva mengajak pria itu untuk berkomunikasi dengan menanyakan siapa namanya. Hey, itu seperti sedang menginterogasi narapidana. Bisakah Sheva bertanya dengan lebih lembut lagi? Flavie memelototi Sheva agar segera merubah nada bicaranya.

"Psh!"

Ia berdecak saat Sheva tak kunjung menyadari kodenya. Sheva masih saja tidak merubah nada bicaranya.

"Psh!"

"Apa?" tanya Sheva berbisik lengkap dengan tatapan kesalnya.

"Nada bicaramu," balas Flavie tidak merasa takut atau bersalah. Memang Sheva yang salah kan?

"Astaga! Tidak penting!"

"Lembut sedikit!"

Ia membalas geraman dari Sheva dengan melebarkan matanya. Tapi tak urung sekarang Sheva, wanita mandiri itu sedang seperti ibu yang menenangkan anaknya. Itu sangat menakjubkan ketika melihat Sheva beberapa kali mengecupi kening pria itu yang kini sudah tenang di dalam dekapannya. Wajahnya terlihat polos di antara lekuk leher Sheva. Tunggu! Ini berlebihan bukan? Flavie menyipitkan matanya. Rupanya Sheva melupakan segalanya.

"Kau sudah pantas menjadi ibu, Sheva," ledek Flavie sambil terkikik.

"Psh!"

"Oh, okay! Aku tidak akan mengganggu."

Sekali lagi Sheva memberinya tatapan kesal. Kemudian ia terlihat berbisik dengan pria itu.

"What's your name?"

"Esen!!!" Suara melengking terdengar mengagetkan keduanya. Terlihat seorang wanita paruh baya -tapi ini luar biasa cantik- turun dari mobil berlari menghampiri Flavie dan Sheva.

Flavie mengernyit. Siapa?

"Maafkan anak saya," ucap wanita itu tiba-tiba pada Sheva.

"Anakmu?" tanya Sheva menyipit.

Wanita itu mengangguk. Ia menjulurkan tangannya menyentuh lengan pria itu.

"Sunshine, kau berjanji tidak akan meninggalkan Mom tapi sekarang kau membuat Mom kelimpungan mencarimu."

Suara wanita ini sungguh sangat lembut meskipun bernada sedikit marah. Mungkin ia sedikit berpura-pura marah. Jelas sekali terlihat gesture-nya sangat menyayangi pria ini. Flavie mengamati setiap gerak wanita itu. Entah bagaimana prosesnya pria itu kini sudah berpindah ke pelukan wanita tadi.

"Mereka meninggalkanku."

"Tidak. Vine hanya pergi beberapa hari. Sebentar lagi dia pulang. Ada mom di sini. Mereka tidak akan lagi meninggalkanmu," ucap wanita itu menenangkan. Tangannya mengusap-usap kepala yang bersandar di dadanya. Sungguh sangat sabar wanita ini.

Sedikitpun Flavie tidak melewatkan gerakan wanita itu dari matanya. Begitupun dengan Sheva.

"Aku mengucapkan terimakasih sudah menemani anak saya. Aku Anna."

"Sheva."

"Aku Flavie."

Wanita itu tersenyum. Senyum bidadari! "Anakku sedikit mengalami trauma. Psikisnya buruk beberapa waktu ini setelah kakeknya meninggal. Dan juga tunangannya."

"Tunangan?" Baik Flavie maupun Sheva membeo.

"Iya. Ia terkena peluru nyasar seorang oknum saat terjadi kisruh pemilihan kepala distrik."

"Bagaimana bisa?" tanya Flavie penasaran.

"Iya. Saat itu seperti biasa gadis itu melewati depan gedung pemerintahan untuk mencari shelter bus terdekat. Kebetulan anak saya tidak bisa menjemputnya karen sedang berada di Austria..."

"Menyedihkan sekali," gumam Flavie.

"Begitulah. Cerita singkatnya. Dia belum bisa merelakan kepergian orang-orang tersayangnya," ucap wanita itu.

Flavie terdiam. Ia hanya mengangguk kala wanita itu berpamitan padanya. Hanya Sheva yang turut mengantar sampai di mobil. Pikiran Flavie sekarang sibuk menari-nari. Sampai kemudian senyum lebarnya tercipta. Ia menjentikkan jarinya ke udara.

"Bisakah aku menjadikan ini sebuah cerita? Pasti bisa. Aku hanya butuh beberapa penggal kisahnya. Dan..., hmm. Bisa! Pasti bisa!!" gumam Flavie. Ia berjingkat pulang sambil bersenandung.

***

Tbc

ga jelas aslii sumpah.. aku tidak mengharap tanggapan baik dari yg baca.. karena ini benar-benar tidak menarik.. ga seruuu

27 Sept 2015
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #chicklit