Bab 4

Levine menoleh ke arah pintu. Nafasnya seakan terhenti sesaat. Ia menghentikan kegiatannya mengepak beberapa setel bajunya. Ia mundur beberapa langkah ketika seseorang itu mendekatinya tanpa bicara. Matanya bergerak liar penuh gelisah dan ketakutan. Levine segera paham. Ia mengembalikan beberapa baju yang sudah tertata rapi di koper ke dalam lemarinya. Ia menyingkirkan kopernya, tersenyum kemudian duduk di tepi ranjang. Sementara seseorang itu masih berdiri mematung menatapnya tajam.

"Tidak. Aku tidak akan pergi meninggalkanmu. Tidak, aku masih dan akan tetap di sini bersamamu, Kak," ucap Levine pelan, menatap luruh mata Kakaknya.

Levine menghela nafasnya. Ia menggaruk kepalanya. Tidak ada harapan untuk menyiapkan segala perlengkapannya untuk keberangkatan besok pagi ketika melihat Esen kini meringkuk di salah satu sisi ranjangnya.

"Goshhh! Kau menghancurkan hidupnya, Kak Ara," geram Levine tertahan. Ia memejamkan matanya kuat.

Tangannya berkacak pinggang, frustasi. Ia hanya diam membuang nafasnya kasar. Matanya menatap luruh tubuh itu. Tak lama Kyle masuk ke kamarnya dengan tatapan penuh tanya. Levine mengendikkan bahunya, tak tau harus berbuat apa.

"Aku akan menyiapkannya untuk Kak Vine. Temani saja Kak Esen. Besok kau tinggal berangkat. Hanya perlu sedikit kerja sama dengan Paman Surya," bisik Kyle berbuah senyuman kelegaan dari Levine.

"Thanks," bisik Levine.

"Tidurlah. Bersikap biasa saja agar Kak Esen tidak curiga," pesan Kyle.

Levine menganggukkan kepalanya. Ia menatap luruh tubuh itu kemudian berbaring di samping Esen. Tapi matanya enggan untuk terpejam. Ia memiringkan badannya, menumpukan kepalanya dengan salah satu sikunya. Matanya menelusuri setiap lekuk wajah kakaknya yang terlelap tenang. Ia tersenyum samar.

Bahkan kau masih nampak tampan. Tidak berkurang sekiditpun dalam keadaan terburukmu seperti ini, Kak, gumam Levine dalam hati.

Ia bergerak mengecup pelipis Esen kemudian berbaring telentang. Matanya menatap langit-langit kamarnya.

"Kuharap kau akan baik-baik saja ketika kutinggal nanti. Aku berjanji akan segera pulang, tidak akan telat. Aku menyayangi keluarga kita sebagaimana kau sangat menyayangiku, Kak. Berjanjilah jika semuanya akan baik-baik saja," bisik Levine sambil melirik kakaknya. Ia mengembuskan nafasnya. Kedua tangannya terlipat ke belakang, menjadikannya sebagai tumpuan kepalanya.

"Vine?" Terdengar suara cemas seorang wanita mengetuk pintu kamarnya. Levine terbangun, membukakan pintunya.

"Kakakmu...,"

"Ada bersama Vine, Mom," jawab Levine pelan, tersenyum menenangkan. Wanita itu menghela nafasnya lega.

"Mom pikir dia pergi," bisik Anna cemas. Ia bahkan tanpa sadar menitikkan air matanya.

"Tidak. Dia bersama Vine. Ia menjaga Vine untuk tidak pergi besok. Dia tau kalau Vine akan pergi, Mom. Dan ia tidak ingin hal itu."

"Dia takut kau meninggalkannya," bisik Anna sendu.

"Ya. Vine mengerti."

"Kau berangkatlah. Mom pasti akan menjaganya," ucap Anna, menepuk-nepuk lembut punggung Levine. "Sekarang tidurlah. Sleep tight, Kiddo."

"Love you more, My Mum," ucap Levine mengecup pipi Anna cukup lama. Ia kemudian menunduk, menerima kecupan di ujung hidungnya.

***

"Hati-hati. Mom pasti merindukanmu. Jangan khawatirkan kakakmu," ucap wanita itu mengulum ujung hidung Levine dan mengecup wajah Levine berkali-kali.

Levine mengangguk. Ia segera masuk ke mobil bersama Paman Surya yang mengantarnya. Ia harus cepat berangkat sebelum Kakaknya terbangun dan menahan keberangkatannya. Di mobil, Levine menahan senyum gelinya. Ia mengeluarkan ponselnya. Mengingat Flavie, gadis yang mencuri perhatiannya sejak pertama bertemu, membuat Levine geleng kepala tak habis pikir. Ia bahkan nekat menyuruh seseorang untuk menggali informasi dari penulis romance itu. Termasuk menemui Sheva, sang editor yang ternyata bekerja untuk sebuah penerbit, salah satu hasil merger dari perusahaan yang Kyle tangani. Dunia begitu sempit! Tangannya kini iseng mengetikkan beberapa rangkaian kata.

Mr. Levine JR. : Morning, Nona Flavie. Bagaimana novel? Sayang ya, aku harus menunggu beberapa pekan untuk bertemu denganmu lagi. Masih berminatkan bertemu denganku? Tenang saja, aku tidak akan mengganggumu, aku hanya senang menatap wajah pusingmu. Itu sangat lucu. :P

Ia terkekeh sendiri menatap kembali pesan yang baru saja ia kirim. Gadis itu pasti sedang melotot, memasang tampang jijik sambil menggerutu sebal. Sangat menggemaskan. Bahkan hanya dengan membayangkannya. Tak lama ia terkikik geli membaca balasan dari Flavie.

Ms. FlavieMoriss: Morning, Tuan Levine menyebalkan! Apa kau tidak memiliki jam? Ini masih pagi buta. Dan apa? Wajah pusingku sangat lucu? Kuharap Tuhan mengampunimu pagi ini. >:O

Ms. FlavieMoriss: Tunggu! Apa maksudmu? Memangnya kau mau kemana? Oh, Tuhan, maaf. Aku baru bangun tidur dan aku tidak membaca pesanmu sepenuhnya.

Levine menggeleng pelan. Sangat lucu bukan gadis ini? Ia bahkan hampir tidak bisa menahan senyumnya daritadi. Ia berbatuk kecil ketika Paman Surya sedikit menoleh begitu mendengar tawa kecil Levine.

Mr. Levine JR: Oh, okay! Tidak ada. Aku hanya sedang jalan-jalan ke Aussie bangian tenggara. Kenapa? Kau tertarik untuk ikut?

Levine meletakkan ponselnya. Ia kini mengganti dengan tablet-nya. Jemarinya bergerak menyentuh icon-icon yang semuanya berkaitan dengan bisnisnya. Ia mulai membuka dan meneliti perkembangan bisnisnya lalu mengecek e-mail dari asistennya. Beberapa file yang sudah beres harus ia perlihatkan kepada ayahnya untuk kembali di check agar tidak ada kesalahan sekecil apapun.

Bip! Bip!

Levine meraih kembali ponselnya, membaca pesan balasan dari Flavie.

Ms. FlavieMoriss: Tidak! Aku hanya bertanya, jangan salah sangka. Untuk apa aku ikut denganmu. Aku banyak pekerjaan. Aku tidak memiliki banyak waktu.

Mr. Levine JR: Oh, begitu? Ada baiknya mulai sekarang aku memanggilmu Nona Sok Sibuk. Memangnya apa yang kau lakukan? Mencari inspirasi, eh? Aku beri tau, jangan terlalu banyak berimajinasi. Nanti kau lama-lama terobsesi dengan pangeran khayalanmu. Itu tidak lucu sama sekali.

"Sudah sampai, Tuan Levine," ucap Paman Surya memberi tau.

Levine mendelik sambil memasukkan tablet dan ponselnya ke dalam tas kecil. Ia kemudian ke luar, berdiam diri sejenak. Tangannya meninju ringan lengan Paman Surya ketika pria 50an tahun itu berdiri di sampingnya.

"Becanda, Nak. Janji, tidak akan memanggilmu dengan sebutan Tuan lagi. Tapi itu kalau tidak ada orang dan di rumah," kekeh Paman Surya.

"Mengerti, Paman. Paman, titip Kak Esen ya. Sesekali bawa dia jalan-jalan. Mungkin keliling taman. Aku yakin Kak Esen juga bosan di rumah terus." Levine tersenyum getir mengingat kakaknya.

"Tuan, helipad sudah siap," ujar seorang membungkuk hormat.

Levine mengangguk. Ia segera melangkah memasuki gedung megah berlogo R itu, menuju ke atas di mana helipad miliknya terparkir. Helipad yang akan membawanya tour bisnis ke eropa. Ia menghela nafasnya, sedikit ragu meninggalkan keluarganya untuk jangka waktu yang lumayan lama.

Tidak. Mom pasti akan bisa menjaga Kak Esen. Aku akan mengerjakan pekerjaanku secepat mungkin agar tidak lama meninggalkannya, ucap Levine dalam hati bernada janji.

***

"Dia pergi. Dia meninggalkanku. Mereka pergi meninggalkanku. Dan lainnya akan melakukan hal yang sama. Mereka hanya kasihan padaku! Mereka pergi...," desisnya pilu. Matanya menyalang penuh ketakutan. Tubuhnya gemetar hebat. Semantara keringat dingin sudah membasahi tubuhnya.

Pria itu mendekap erat tubuhnya sendiri sambil berdesis. Ia duduk bertekuk lutut di ujung kepala ranjang. Kamarnya gelap tidak ada seorangpun. Ia terus mendesis ketakutan ketika menyadari tak ada Levine di sisinya.

"Mereka pergi. Kakek pergi. Ara pergi. Vine.. Vine akhirnya meninggalkanku. Nanti yang lain pun akam demikian. Tidak! Mereka tidak boleh pergi!!"

Ia mengerang kesakitan. Kedua tangannya kini meremas kuat kepalanya yang seakan mau pecah. Kilasan-kilasan buruk kembali bangun menghantuinya. Seketika udara menjadi pengap dan kamar itu menjadi sangat dingin. Dalam sekejab tubuhnya menggigil hebat.

***

Anna segera mematikan kompornya ketika mendengar suara erangan. Di otaknya langsung muncul nama Esen. Ia segera berlari menuju ke kamar Levine. Sangat terkejut begitu mendapati Esen menggigil ketakutan disertai erangan-erangan kecil dari mulutnya. Anna tau, anak itu pasti sedang kesakitan.

"Esen, ini Mom," ucap Anna serak, mendekati tubuh itu dan memdekapnya erat.

"Mom?!"

"Ya. Ini Mom. Tenanglah. Ada Mom di sini," ucap Anna menenangkan. Ia mengecupi wajah Esen yang begitu dingin.

"Mereka pergi. Vine pergi...,"

"Tidak. Vine akan kembali. Percayalah. Vine akan kembali. Ada Mom di sini. Tidak akan ada yang mengambil mereka darimu."

"Mom,,"

Anna masih memeluk tubuh itu. Ia membiarkan Esen menyembunyikan wajahnya di antara ceruk lehernya, memeluknya sangat kuat sampai Anna meringis sedikit sakit.

"Cintai aku. Jangan kasihani aku," gumam Esen.

"Mommy love you so much, Sunshine. Youre my everything," bisik Anna tepat di telinga Esen kemudian kembali mengecupinya hingga Esen kembali tenang dalam pelukannya. Untuk beberapa saat lamanya, tubuh sedingin es itu kini mulai menghangat dalam pelukan Anna.

Kau terlalu takut akan sebuah kehillangan, Sayangku. Ara, Kakek pergi karena sebuah takdir, bisik Anna dalam hati. Ia terus mengusap dan menyisiri rambut coklat Esen dengan jemarinya. Tatapannya luruh menyimpan kesedihan.

***

Tbc

19 Sept 2015

S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #chicklit