Bab 20
From: Sylvara_Sheva
To : Levine_JRussel
Subject: Just asking
Aku tidak tahu ada masalah apa dengan gadismu, Flavie. Tapi dia membicarakan tentang pembatalan atas jadwal terbit novelnya. Dia menarik kembali novelnya. Bisa kau membantuku untuk meyakinkan dia agar tidak menarik novelnya?
Kening Levine mengkerut begitu membaca email dari editor yang merangkap menjadi sahabat kekasihnya itu. Sebenarnya dia sendiri sedang menutupi kegelisahannya sejak gadis itu meninggalkannya tadi siang dengan sikap yang tak terduga. Hingga malam ini, dia sudah puluhan kali mencoba menghubungi gadis berambut pirang itu. Tapi yang terjadi sang operator yang menjawab telponnya.
"Sudah ada kabar dari kekasihmu itu?"
Levine menoleh ke arah sumber suara. Dia melihat ibunya sedang menutup pintu kamarnya lalu melangkah mendekat. Dia hanya tersenyum tipis. Ibunya pasti sudah memprediksi apa jawabannya. Dan entah kenapa prediksi wanita itu selalu tepat.
Levine diam saat ibunya menepuk-nepuk bahunya. Dia kembali merasa kecil di dalam sentuhan wanita itu. Tidak lama dia mendapatkan pelukan dari wanita itu beserta kecupan di puncak kepalanya.
"Kak Esen sudah tidur?" tanyanya mencoba mengalihkan perhatian ibunya.
"Belum. Dia sedang sibuk bicara dengan ayahmu di kamarnya."
Dia mengangkat wajahnya demi menatap ibunya yang duduk di tangan kursi.
"Dad pulang?"
"Tidak. Hanya v-call. Itu bagus untuk perkembangannya. Kupikir kau sedang mencoba mengalihkan perhatian ibumu, Dude?" Wanita itu menyipitkan matanya.
Levine tertawa kecil. Dia menyandarkan kepalanya di dada ibunya. Matanya terpejam sejenak meresapi gerakan lembut di kepalanya dari tangan wanita itu.
"Tidak, Mom. Aku hanya mengkhawatirkan keadaannya. Aku bahagia kalau Kakak baik-baik saja. Dan kuharap dia cepat kembali. Sudah terlalu lama dia meninggalkan apa yang dulu menjadi dunianya."
"Dia pasti akan kembali. Kau hanya perlu percaya padanya."
"Ya, aku pikir begitu."
"Kau sudah bicara dengan gadismu?"
Levine menghela napasnya ketika pertanyaan itu diulang kembali. Dia terdiam, enggan untuk menjawab pertanyaan itu.
"Mom tahu. Tidak mudah bagi seseorang untuk menerima kekurangan orang lain. Kau juga harus menyadari itu. Kau mungkin berpikir keluargamu adalah yang paling sempurna. Tapi, Sunshine, itu tidak berlaku di mata semua orang.
Ada banyak hal yang bisa mereka curi dari apa yang kita sembunyikan. Tapi, sebaiknya kau bicarakan dengan gadismu itu. Mungkin dia bisa memahami nanti. Ayahmu sudah pernah mengingatkanmu. Kau mungkin akan mempertahankan gadismu, sekalipun dia tidak mau memahami kekurangan keluargamu. Tapi ingat, lihat kakakmu, saat dia nanti meninggalkanmu, keluargamu adalah tempatmu pulang."
Dia tertegun dengan ucapan panjang ibunya. Memang ayahnya pernah meengingatkan untuk berhati-hati menjatuhkan pilihan.
Ibumu bersusah payah membangun keluarga ini. Dengan segenap perasaan dan kasih sayangnya. Dia kenalkan itu pada ayahmu ini. Dia mengorbankan segenap waktunya untuk menebus kebodohan ayahmu dengan membesarkan kakakmu sendirian.
Ketika kau lebih memilih gadis yang tidak mau memandang keluargamu, terutama kakakmu yang membutuhkan perhatian lebih, sama saja kau menghancurkan susah payah ibumu selama ini. Kau melukainya. Yang harus kau pahami, tidak banyak wanita yang mau dengan sukarela memberikan segenap waktunya untuk keluarganya. Tidak peduli musim apa yang tengah berlangsung. Trend apa yang sedang marak. Atau merek apa yang sedang diskon. Tidak banyak, Nak.
Logika, Vine. Mainkan logika! Benaknya berteriak demikian. Dia kembali menghela napasnya. Ayahnya benar, tidak banyak wanita yang sehebat ibunya. Menghadapi ketidakstabilan kakaknya juga dua anak lainnya. Bagaimana membagi kasih sayang agar tidak ada yang saling iri. Bagaimana mengenalkan kepada dia dan adiknya mengenai saling menyayangi. Tidak mudah.
Orang bisa dengan mudahnya berkata, bawa saja ke psikiater. Tapi beberapa buku kejiwaan yang dia baca sebagian besar mengatakan, penyembuh yang paling baik adalah kasih sayang keluarga. Bahkan orang stroke pun dianjurkan untuk diberikan perhatian lebih. Apa yang mereka butuh? Hanya perhatian dan kasih sayang. Bukan dokter dan obat kemudian didiamkan begitu saja. Atau malah dibentak karena merepotkan, membuat malu keluarga. Dia tahu sekarang.
"Aku akan menemuinya besok, Mom."
"Itu bagus. Bicarakan padanya. Tapi, kalau dia tidak bisa menerima, jangan kau paksakan. Lebih baik kau mundur. Mundur bukan berarti kau pecundang. Tapi dalam hal ini kau yang harus lebih memahami. Dia membutuhkan pria yang lebih baik menurutnya. Kau paham?"
Levine mengangguk kecil. Tapi separuh dari dirinya sedikit meragukan jika gadis itu mau bicara padanya.
"Apa ini karena aku?"
Levine menegang dalam duduknya. Tanpa perlu menoleh pun dia sudah tahu siapa yang menanyakan hal sensitif itu. Terdengar langkah mendekat dengan tatapan sendu. Itu membuatnya meringis nyeri.
"Hey, apa yang kau bicarakan, Kak?" Dia menarik seulas senyuman tipis seraya membenarkan posisi duduknya.
Dilihatnya pria itu hanya menghela napas lalu mengusap tengkuknya sambil menuju ke tepi ranjang. Levine merasakan remasan di bahunya dari tangan ibunya. Seperti sebuah kode untuk tidak menyinggung masalah kekasihnya itu.
"Tidak ada. Hanya iseng bertanya. Dad akan pulang minggu depan." Dia tersenyum tipis.
"Oh? Wow, itu kabar bahagia. Aku akan mengosongkan jadwal. Kupikir kita perlu refreshing sebentar. Bukan sudah lama kita tidak bepergian?" Levine mengedipkan matanya.
"Aku yang akan menjadi fotografer kalian." Dia menjawab dengan begitu antusias, seolah melupakan apa yang menyebabkan tatapannya berubah menjadi sendu beberapa saat lalu.
Sebuah pengalihan topik yang bagus, benak Levine berkata demikian seiring rongga dada yang melega. Hampir saja dia merutuki mulutnya sendiri yang gampang kelepasan.
"Kita bicarakan lagi besok. Mom pikir dia akan bermalam di kamarmu. Ingat, jangan kau menyinggung masalah ini. Paham?"
Levine menanggapi bisikan ibunya dengan kedipan matanya. Tangannya kini memeluk ibunya yang tengah memberinya kecupan di keningnya.
"Sleep tight, Buddy," bisik ibunya.
"I love you, Mom," balasnya seraya mengusap punggung ibunya.
Matanya kini mengikuti langkah ibunya yang sedang mendekati kakaknya, memberikan sebuah kecupan yang sama. Satu hal yang tidak pernah berubah sejak dulu, dia dan dua saudara laki-lakinya nyatanya selalu menjadi anak-anak kecil bagi ibunya.
Levine tersenyum tipis sebelum menghela napasnya. Tangannya kemudian menutup laptopnya dan mengambil ponselnya. Dia baru ingin mematikan ponselnya ketika sebuah pesan muncul di sana, yang seketika membuat dirinya menegang kaku.
Apa kau punya waktu besok? Ada yang ingin kubicarakan denganmu.
FlavieMorisson.
***
TBC
Kamis 02 Maret 2017
S andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top