Flavie menarik nafasnya dalam-dalam. Ia sedikit ragu untuk mengajukan rancangan novelnya pada sahabat sekaligus editornya. Langkahnya pelan memasuki sebuah cafe yang berseberangan dengan gedung perusahaan yang terkenal di mana-mana. Tak heran jika ia menjumpai orang-orang berdasi berlalu lalang di sepanjang jalan bahkan di cafe itu. Ada yang tengah menikmati lunchbreak atau bahkan sengaja mengerjakan pekerjaannya di sana. Ada juga yang sedang melakukan meeting di private room atau bahkan di ruangan regular itu. Flavie mengedarkan tatapannya, mencari seseorang.
"Vie!"
Sebuah suara membuat Flavie menoleh. Ia kemudian menghampiri meja itu, beberapa meter dari rombongan berdasi yang sepertinya sedang meeting.
"Sheva? Maaf, membuatmu lama menunggu," sapa Flavie.
"Tidak masalah untuk penulis kesayanganku. Ayo, aku ingin lihat separuh idemu untuk novel terbarumu."
Flavie mengeluarkan se-bendel berkas dari dalam tasnya. Ia kemudian memanggil pelayan, memesan segelas minuman dingin. Sidney musim panas baru di mulai. Ia memerlukan penyegar untuk tenggorokannya. Sementara Sheva mulai meneliti tulisan-tulisan Flavie.
"Vie, bisa tidak kamu mengambil tema lebih berat sedikit? Cerita tentang CEO yang tiba-tiba jatuh cinta pada gadis biasa itu terlalu mainstream. Apalagi perjodohan," ucap Sheva mengomentari bagian awal tulisannya.
"Tapi itu bukannya sedang tren ya? Awalnya aku pikir sih iya. Tapi kemudian aku berpikir apa salahnya? Kita bisa membumbuinya dengan konflik-konflik lain, mungkin?"
Sheva menopang dagu dengan tangan kirinya. Tangan kanannya mengambil gelas. Ia mulai menyesap minuman dinginnya. Sementara otaknya terus bekerja.
"Kamu pasti bisa mengangkat tema sedikit lebih berat, Vie. Aku percaya. Mungkin kamu perlu sedikit riset ya ala kadarnya saja. Tidak melulu yang berhubungan dengan seks. Romance ringan tapi berbobot kurasa itu lebih menarik daripada melulu tentang kehidupan bebas. Bisa dipahami?"
Flavie terdiam. Ia mengamati wajah Sheva, gadis asia berusia 25 tahun itu. Entah apa yang sedang editor cerdas itu pikirkan. Flavie hanya menantinya membuka suara.
"Romance memang banyak disukai. Tapi kamu harus pandai mengolahnya. Romance-thriler sudah banyak. Pure romance dari kehidupan bebas sampai rumah tangga itu juga sudah bejibun. Kamu harus bisa mengambil celah, Vie," jelasnya.
Mengambil celah? Otak Flavie berputar segera tanpa diperintah. Lalu apa yang harus ia tulis? Setidaknya yang sedikit berbeda dengan penulis-penulis lain tapi masih bisa diterima pembaca? Flavie mengangkat tangannya sebelah untuk menopang dagunya. Ia masih mengamati Sheva yang masih membolak-balik hasil karyanya. Tak lama ia mendengar helaan nafas dari Sheva.
"Hm, aku tunggu karya kamu yang berbeda, Vie. Kamu pasti bisa. Kamu bisa mulai dari melihat hal-hal aneh di sekitarmu. Maksudku yang tidak biasa. Kamu harus bisa menghasilkan karya yang berkualitas bukan sekedar mengikuti tren pasaran," jelas Sheva lagi sambil menyerahkan kembali tulisannya.
Flavie mengangguk mengerti. Sementara otaknya masih terus berputar mencari apa yang Sheva inginkan. Ia bahkan masih termangu ketika Sheva berpamitan pergi. Ia memejamkan matanya. Apa? Apa yang harus ia tulis? Flavie meraih gelasnya, meminumnya perlahan. Sesaat matanya terpaku melihat seorang pria berjalan tegap keluar dari private room dengan balutan jas melekat pas di tubuh seksi nya. Ia berjalan di depan diikuti beberapa pria dan seorang wanita yang ia yakin mereka adalah bawahan pria itu. Tubuhnya kaku dalam duduknya. Bagaimana bisa ia terbius oleh sosok itu. Semakin kaku saat mata pria itu bertemu menatapnya. Seulas senyuman tipis tercipta di sana. Apa? Yang benar saja dia tersenyum padaku? tanya Flavie dalam hati.
"Bertemu kembali, Nona Flavie," ucapnya dengan suara rendahnya.
"Ehm, ya, Tuan Levine," balas Flavie serak.
Ia memandangi Levine yang hendak duduk di hadapannya. Pria itu nampak merapikan jasnya ketika sudah duduk. Matanya menatap Flavie seakan menggoda dalam sikap dinginnya. Tidak, ia hanya bersikap formal. Sementara orang-orang tadi yang bersamanya terlihat sedang menyeberang jalan membawa beberapa map dan peralatan kantor lainnya.
Beberapa kali Flavie menarik nafasnya dalam-dalam. Ia mencoba menghindari tatapan memabukkan pria di hadapannya. Flavie melihat pria itu menggumamkan kata terima kasih dengan ramah saat seorang pelayan mengantar minumannya. Jarang sekali ia menemukan pria seperti itu.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya.
Flavie tergagap. Ia menegakkan wajahnya, tersenyum tipis sedikit kaku.
"Aku..., tadi bertemu dengan temanku. Dia yang membantuku meng-edit novelku."
Ia melihat pria itu membelalakkan matanya. Kemudian matanya menatapnya tak percaya.
"Editor? Maksudku, temanmu editor? Dan --kamu seorang penulis? Novel," tanyanya tak percaya.
Flavie mengangguk dengan meringis memamerkan deretan gigi putihnya. Ia tak tau harus menjawab apa karena jujur saja kehadiran pria itu memporak-porandakan detak jantungnya. Ia grogi setengah mati. Belum lagi setelah ia tau pria ini bukan kelasnya.
"Woa, kedengarannya keren sekali. Biasanya kau menulis apa?"
"Romance. Itu genre favoritku."
"Kenapa bisa begitu? Oya, tidak keberatan kan kalau aku mampir di mejamu? Maaf baru meminta ijin," ucap Levine diakhiri dengan kekehan.
Mau tak mau, Flavie pun ikut terkekeh. Tangannya kemudian mengambil gelasnya. Ia meminum minumannya, masih sisa setengah dari gelas itu.
"Entah. Suka saja dengan kisah berbau romance. Itu menggambarkan sebuah siklus kehidupan. Hidup itu tidak pernah terlepas dari romance bukan?"
Levine mengulum senyumnya. "Kau benar. Tapi tidak melulu sebuah kehidupan berakhir bahagia."
"Kamu juga tidak salah. Tapi akhir dari segalanya adalah kematian, bukan? Intinya dibalik kesedihan pasti ada kebahagiaan yang tidak kita sadari. Begitupun sebaliknya. Dan hal itu akan terus terjadi sampai kita berjumpa dengan kematian."
Pria di hadapannya mengangguk-angguk. Tangannya mengusap dagunya kemudian tak lama tercipta senyum kagum di bibir merah itu.
"Kamu termasuk penulis yang cerdas. Mengambil tema yang realistis dan kamu mampu untuk menjabarkannya. Tidak hanya sekedar menulis," ucap Levine berdecak kagum.
Flavie hanya meringis. Jika saja kamu tau bahwa otakku hampir lebur karena memikirkan ide cerita yang tidak biasa, keluh Flavie dalam hati.
"Terus, apa kamu suka mungkin merasa buntu untuk melanjutkan tulisanmu?"
"Tentu saja. Semua penulis pasti pernah mengalaminya," jawab Flavie. Ia terdiam sejenak, seakan ragu untuk mengatakan bahwa hal itu yang ia alami sekarang.
"Begitu? Biasanya kalau begitu apa yang akan kamu lakukan?"
Flavie melebarkan matanya. Ia tertawa melihat ekspresi serius pria berdasi di hadapannya.
"Kamu tidak bekerja untuk pers kan? Bukan termasuk sesi wawancara kan?" tanya Flavie dengan menggerak-gerakkan bola matanya.
Levine terkekeh. Ia menggelengkan kepalanya. Suara kekehannya saja terdengar empuk, membuat hatinya berdesir-desir. Oh, my! Tuhan tidak salah mempertemukannya kembali.
"Tidak. Tidak. Tentu saja bukan. Aku hanya penasaran saja. Mungkin lain waktu aku bisa mengarang novel sepertimu," kelakarnya.
"Aku lebih sering melakukan riset tak sengaja. Melihat hal apa yang terjadi di sekelilingku. Dari situ aku akan mendapatkan ideku kembali."
"Begitu? Flavie, maaf. Sepertinya aku harus pergi sekarang. Selamat berkarya ya, semoga kau mendapatkan idemu kembali," ucap Levine menyunggingkan senyum tulusnya.
Flavie ternganga. Ia mendongakkan kepalanya menatap tubuh menjulang itu merapikan bajunya kemudian meraih ponsel dan tabletnya. Sungguh sangat sempurna. Tanpa sadar Flavie meneguk ludahnya beberapa kali. Wajahnya memerah tersipu malu, bagaimana bisa pria itu tau kalau ia sedang kesulitan mendapatkan ide baru untuk ceritanya. Tapi kemudian pria itu membungkuk hingga wajahnya sejajar, berjarak satu jengkal dari wajahnya. Harum! Itu yang Flavie rasakan dari pria itu.
"Wajahmu mengatakan semuanya, Nona Flavie. Selamat bekerja," bisik Levine menggoda.
"Hah?" Flavie terhenyak. "Levine..,"
"Semoga kita bertemu lagi. Itupun kalau kau tidak keberatan. Dan oya, kalau kita bertemu lagi, kuharap kamu sudah tidak ada masalah lagi dengan novelmu. Wajahmu terlalu polos sehingga tidak bisa menyembunyikan masalahmu."
Flavie terbengong. Tanpa sadar ia menyentuh sendiri wajahnya. Ia juga tidak menyadari Levine tersenyum menahan geli.
"Apa?" tanya Flavie bingung ketika sadar dengan tatapan geli pria itu.
"Tidak," jawabnya kemudian menegakkan kembali tubuhnya.
Flavie menatap bodoh pria yang kini tertawa kecil sambil meninggalkannya. Ia bahkan tak menyadari kala Levine membayar semua pesanannya, meninggalkan uang di atas tray bill sesuai dengan angka yang tertera di sana.
***
Tbc
14 Sept. 2015
S andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top