BAB 17

"Dari mana saja, Buddy? Kakakmu seharian mengamuk ketika tidak mendapatimu lama di rumah."

Sebuah suara menyapa Levine ketika dia menginjakkan kakinya di ruang tengah. Ayahnya menurunkan kacamatanya. Tangannya bergerak menutup layar laptop. Sedang Levine terdiam, mengusap tengkuknya. Ada sedikit rasa bersalah ketika dia melupakan keluarganya seharian ini. Terutama kakaknya. Dia paham bagaimana kakaknya termakan oleh trauma-trauma yang sulit hilang. Trauma akan kehilangan.

"Aku akan menemuinya sekarang. Aku tadi ada keperluan, Dad. Dan aku lupa mengabari ke rumah."

"Besok pagi saja. Lebih baik besok siang kamu sempatkan untuk makan siang. Tadi Mom mengantar check up kakakmu. Katanya ada perkembangan. Ini berita bagus. Dokter menyarankan untuk sering diajak keluar. Kalau kamu ada waktu luangkan sebentar."

Apa? Levine melompat duduk di samping ayahnya. Sedang ayahnya hanya menaikkan alisnya sebelah. Dia membiarkan Levine menatapnya penuh tanya.

"Apa Mom tidak mengabarimu tentang kabar bahagia ini?"

Levine menggelengkan kepalanya.

"Beritahu aku," pinta Levine.

Ayahnya mengembuskan napasnya. Dia tidak segera menjelaskan detailnya. Tangannya malah kembali membuka laptopnya, mengerjakan pekerjaan kantor yang kalau satu-satunya wanita di rumah ini tahu, maka akan hancur dilempar dalam sekejab. Karena bagi wanita penguasa rumah ini, rumah adalah tempat untuk berpulang bukan tempat berpindahnya kantor.

"Dad?"

"Hm?"

"Astaga. Beritahu aku, C'mon."

"Katakan dulu gadis mana yang membuat salah satu anak nakal Dad melupakan ibunya seharian ini?"

Levine menutup mulutnya. Dia melihat lirikan serius dari ayahnya. Bagaimana ayahnya bisa tahu kalau seharian ini dia jalan bersama seorang gadis?

"Tidak ada," sahut Levine cepat, menutupi kegugupannya.

"Oya?"

Levine mengusap wajahnya ketika ayahnya mengerlingkan matanya. Bukan kerlingan menggoda tapi lebih pada isyarat, mau mencoba berbohong? Dia tahu, dia tidak akan pernah bisa berbohong terutama pada anggota rumah ini. Entah kenapa mereka memiliki feeling yang cukup kuat. Atau mungkin karena kedekatan dan kehangatan yang kedua orangtua nya ciptakan?

"Dad,"

"Dari mana dia berasal?" tanya ayahnya. Ayahnya kini menatapnya lurus.

Dia tahu, ini akan menjadi hal panjang. Apalagi ayahnya selalu menginginkan anak-anaknya mendapatkan pendamping seorang pribumi. Tapi ini bahkan di negara yang sebagian besar penduduknya berkulit putih.

"Dad, dia hanya teman dekat," sanggah Levine sedikit berdebar. Ada sedikit sesal saat dia tak ubahnya menjadi seorang pengecut di depan ayahnya. Seorang pria yang tidak berani mengakui seorang wanita sebagai pacar di hadapan ayahnya.

"Teman dekat? Oya? Kemari," ayahnya membenahi posisi duduknya, "Dari sini Dad bisa lihat kegugupanmu. Kamu berbohong. Kamu tidak mengakui dia dan secara tidak langsung kamu sudah menyakitinya. Kamu sudah dewasa, Vine. Jangan berani muncul di hadapannya kalau kamu hanya datang untuk menyakitinya."

"Aku tahu," jawab Levine pelan.

"Jadi, katakan dari mana dia berasal."

"Aku tidak tahu."

Ayahnya menyipitkan matanya sebelah. Sedang Levine menghela napasnya gusar.

"Dad, ayolah. Bisakah Dad mengganti topik?"

"Temui Kakakmu. Seharusnya kamu berpikir. Apa yang kita lalui bukanlah hal yang mudah, Vine. Kamu laki-laki. Kamu yang memegang kendali atas nama baik keluarga ini. Pikirkan itu dulu. Gadismu, kalau memang dia mencintaimu, maka dia harus melihat apa ketidakberdayaanmu. Kakakmu adalah kelemahanmu. Kamu harus pikirkan itu."

Levine terdiam. Dia seperti ditampar oleh kenyataan. Saat dia berpikir dia jatuh cinta, sebuah kenyataan menariknya mundur. Ketakutan kakaknya, kondisi kakaknya yang menurut orang sakit jiwa adalah masalahnya. Apa akan ada seseorang yang menerima keadaan keluarganya? Mengerti bukan mengasihani. Memahami bukan memandang aneh? Apa akan ada?

Dia melupakan itu. Sekalipun dia sedikit yakin bahwa Flavie bukan orang yang seperti itu tapi kemungkinan besar gadis itu akan bereaksi sama seperti pada umumnya. Itu bukan hal yang aneh. wajar bahkan sangat.

"Apa yang menjadi beban ibumu? Adalah ketika orang yang terlanjur kamu cintai tidak mau mengenal keluargamu. Dad tidak menginginkan itu. Bertahun-tahun ibumu mengajarkan apa itu cinta. Ibu menerima kakakmu yang bukan darah dagingnya dengan segenap cintanya. Kamu harus memikirkan itu. Jangan sampai meruntuhkan apa yang ibumu bangun selama ini.

Terlihat sepele tapi ini sangat sulit, Vine. Ayahmu bahkan belajar darinya. Apa di sini kamu bisa mengerti?"

Levine terbungkam. Otaknya berputar keras mencoba mencerna apa yang ayahnya katakan. Kasih sayang, cinta dan kehangatan. Dia merasakannya selama ini. Meski dia agak terganggu ketika ada orang yang menertawakannya, mengatainya kolot atau bahkan anak manja. Tapi mereka tidak bisa membayar harga mahal yang dia dapat dari keluarganya.

"Aku tahu. Dad tahu aku sangat berhati-hati masalah wanita. Tapi sepertinya dia tidak begitu."

"Yeah. Pertahankan saja argumenmu, Dude. Kalau nanti kau mendapatkan kebenarannya, Dad ucapkan selamat padamu."

Levine menyipitkan matanya. Dia menangkap ada nada meremehkan dari ayahnya. Dan entah kenapa hatinya membenci itu. Kali ini dia berseberangan dengan spekulasi ayahnya.

Sedang ayahnya tertawa kecil dengan gelengan kepalanya. Tangannya kembali bergerak cepat di atas keyboard laptop. Dia seolah tidak peduli dengan decakan kesal dari anak keduanya.

"Dad,"

"Masuklah. Ganti bajumu dan lekas temui kakakmu. Dia terlalu lelah mencemaskanmu hari ini."

Levine mengembuskan napasnya. Dia tahu, kalimat ayahnya mengisyaratkan bahwa pembicaraan ini selesai. Dan seperti biasanya, seorang Jason Russel akan memberikan teka-teki dan membiarkan anaknya mencari jawabannya sendiri. Kali ini mengenai wanita. Dan itu Flavie!

Levine tersenyum masam. Entah kenapa keyakinannya tiba-tiba menciut dan goyah. Dia menggeleng kecil kemudian melangkah meninggalkan ayahnya. Dia tidak menyadari bahwa ayahnya mengintipnya dari sudut bulu matanya, mengembuskan napasnya pelan.

Kau tidak akan pernah bisa berpikir jika ayahmu tidak melakukan ini, Dude. Karena perkara wanita bukan sekedar kau tertarik dengannya. Ini akan menjadi panjang. Di mana kau akan bertanggungjawab atas dirinya. Lalu kesempurnaan hidupmu bergantung padanya. Dari tangannya dan hatinya, kau akan mendapatkan segalanya. Kebahagiaan dan anak-anak lucu yang menghormatimu. Ini bukanlah hal yang mudah. Cinta saja tidak cukup jika kau ingin tahu.

***

Sekali lagi Levine mengambil napas dalam-dalam. Bagaimanapun perdebatan kecil tadi dengan ayahnya membuatnya tersentil. Otaknya jadi tidak lepas memikirkannya.

Aku tidak pernah berpikir kalau ini akan menjadi sulit, decaknya dalam hati. Dia melangkah gusar. Tangannya meletakkan ponselnya di nakas. Bersebelahan dengan kamera kebanggan kakaknya. Dia melupakan niatnya untuk mengirimi pesan pada Flavie.

Matanya kini tertuju pada sosok yang berbaring meringkuk, bergerak gelisah dalam tidurnya. Dia kemudian memutuskan untuk berbaring di sisinya.

"Aku pulang, Kak. Maaf, hari ini aku sedikit melupakan rumah. Aku ingin bicara banyak padamu. Tapi...," Levine menggerakkan kepalanya, menatap punggung kakaknya, "Kau sudah tertidur. Besok saja. Selamat malam."

Dia tersenyum tipis ketika gerakan gusar kakaknya dalam tidurnya berhenti. Mungkin dalam tidurnya, kakaknya masih bisa mengenali aroma tubuhnya.

"Besok aku ada meeting. Aku tidak tahu sampai jam berapa. Tapi akan kuusahakan untuk makan siang denganmu. Kau datanglah bersama Mom. Okay?" gumam Levine.

Dia terkekeh. Bagimana mungkin kakaknya akan menjawabnya.

"Anak nakal. Dari mana saja?"

"Mom?" Levine terbangun dari tidurannya ketika mendengar suara ibunya, satu-satunya wanita yang berkuasa di rumah ini. Dia melihat ibunya melangkah setelah menutup pelan pintu kamarnya.

"Tadi ayahmu bilang kau sudah pulang," ucap ibunya seraya menyodorkan secangkir coklat panas untuknya. Minuman favorit keluarga yang rasanya tidak akan pernah dia singkirkan.

"Ya. Aku baru pulang, Mom. Thanks," sahutnya seraya menerima cangkir tersebut kemudian menyesapnya.

"Dia mencarimu. Menunggumu seharian sampai Kyle tertidur saat menemaninya."

Dia mengernyit saat rasa sesak itu menyergapnya.

"Aku...,"

"Mom tahu kemana kau pergi. Teman wanitamu... kau tahu apa yang Mom maksudkan. Jangan terlalu mengharapkannya, Vine."

"Tapi...," Lidahnya terasa kelu. Ibunya juga meragukan wanita yang membuatnya tertarik.

"Tapi bukan berarti Mom tidak menyukainya. Hanya saja, kau perlu berhati-hati. Kau sudah dewasa dan bukan waktunya kau bersenang-senang dengan teman wanitamu. Mulailah berpikir untuk jangka panjang."

"Aku tahu. Dad sudah mengingatkanku."

"Bagus. Mom hanya tidak ingin kau menyesal dengan keputusanmu."

"Tenang saja, Mom. Oya, besok aku ada meeting. Tapi akan kuusahakan makan siang dengan kakak untuk menebus hari ini. Bisakah Mom membawanya besok?"

"Dengan senang hati. Sekarang, kau beristirahatlah. Selamat malam, Boy."

"Love you, Mom," bisik Levine ketika ibunya mengecup lama keningnya lalu berganti mengulum hidungnya.

Matanya memandangi wanita yang selalu terlihat seksi di matanya sekalipun usianya tidak muda lagi. Apa aku akan sepertimu, Kak, terserang syndrome mother complex? Sedang Mom memang begitu sempurna dan aku menginginkan hal yang sama sepertimu, Kak.

***

Tbc

25 Agustus 2016
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #chicklit