BAB 16

Lewat jam sepuluh malam, Flavie baru tiba di apartemennya. Tentu saja diantar oleh Levine. Dia tidak sanggup menyembuyikan senyum bahagianya. Satu bab telah dia selesaikan berkat diskusi dengan Levine. Pria itu sangat membantu. Dan satu hal yang baru dia sadari kalau sudah cukup lama menghabiskan waktu dengan pria itu dan dia tidak merasa bosan sedikitpun. Malah yang terjadi dia merasa sangat antusias jika berbincang dengannya.

"Flavie Morisson!"

Mendengar suara lembut menyebut nama panjangnya, dia tahu kalau dia sudah membuat wanita itu menunggu lama. Flavie meringis singkat dan dibalas dengan dengusan singkat pula.

"Dari mana?"

Flavie menyunggingkan senyum misteriusnya. Dia melangkah begitu saja melewati wanita itu dan membiarkan wanita itu mengikutinya.

"Aku punya berita baik," ucap Flavie akhirnya seraya meletakkan tas ranselnya di sofa tunggal.

Wanita itu menoleh cepat. Dia langsung mendekat dengan wajah penasarannya.

"Tapi mana jatah sandwichku?" tembak Flavie.

Seketika wanita itu memberengut. Dia memutar mulutnya, menghampiri dapur dengan setengah hati. Sedang Flavie terkikik geli. Biasanya wanita ini yang menguasainya tapi tidak untuk sekarang.

"Berita baik apa?" tanya Sheva sambil meratakan isian sandwich di atas roti.

"Satu bab sudah selesai. Ini mengenai kilas balik Mister Grey. Dia banyak membantuku dalam penulisan novel ini. Hampir satu bab dia mendikteku dan ya... mengkoreksi."

"Seriously?" Sheva melebarkan matanya.

Flavie mengangguk, "Ya. Dan dia bercerita seolah itu adalah pengalaman pribadinya. Ini... awesome." Dia menyambar sandwich dari tangan Sheva dan menggigitnya lebar-lebar.

Dia mulai bercerita di antara kunyahannya, apa yang dia lakukan seharian bersama seorang pria tampan tersebut. Matanya seolah berdansa betapa dia sangat mengagumi pria tersebut. Dan Sheva mendengarkannya dengan begitu antusias. Dalam hati dia bersyukur karena gadis kecil tersebut mendapatkan sosok yang membuatnya merasakan indahnya jatuh cinta. Dia tahu bahkan hafal jika gadis berambut pirang ini sedang jatuh cinta. Hanya saja dia tidak ingin memperjelas karena dia tahu, Flavie pasti akan dengan cepat mengingkarinya.

"Kalau begitu siap aku edit besok pagi?"

Flavie menggerak-gerakkan bola matanya, menahan senyum membuncahnya sebelum akhirnya dia mengangguk-angguk sambil tertawa.

"Siap. Siapa takut! Aku jamin kau akan langsung tersentuh dan tidak berani menaruh banyak coretan di sana."

Sheva berdecak, mencibir. "Berani sekali. Percaya dirimu naik seratus persen setelah bertemu dengannya."

"Oh? Itu harus. Karyaku kali ini tidak akan mengecewakan."

Sheva terkikik. Si keras kepala ini tidak akan menyerah apapun yang terjadi. Dia sangat hafal. Kecil, mungil dan keras kepala sudah menjadi ciri khas Flavie.

"Okay. Enough. Sekalipun aku menentang itu tidak akan ada artinya bagi gadis keras kepala sepertimu. Aku percaya mengingat kamu tipe orang pekerja keras."

"Omong-omong, sepertinya sudah terjadi sesuatu denganmu. Apa itu?" Flavie menatap Sheva menyelidik.

Dia berdecak di antara gelengan kepalanya. Masalahnya dia sangat hafal dengan gadis berusia seperempat abad itu. Ada rona merah di pipi gadis itu dan itu sangat jelas terlihat.

"Aku pikir kau sedang jatuh cinta. Anyway...," Flavie menyipitkan matanya, "Apa dia orangnya?"

Dengan cepat Sheva menoleh padanya. Matanya terbuka lebar.

"Dia siapa?" tanyanya cepat.

Flavie memutar bola matanya. Gadis itu sedang berusaha berpura-pura tidak mengerti siapa yang Flavie maksudkan.

"Dia."

"Iya, siapa?" tanya Sheva.

"Pria yang kau temui di taman," tembak Flavie langsung.

Terdengar batuk kecil dari gadis itu sebelum gadis itu menggelengkan kepalanya dengan cepat, menampik tuduhan Flavie. Flavie membuang napasnya singkat.

"Tidak. We're nothing. We just friend."

"Yea, friend. Youre right. Tapi semakin dekat," ucap Flavie. Dia sengaja memanasi Sheva dengan ledekan-ledekannya.

Terdengar hentakan kaki dari gadis berumur seperempat abad itu. Dia mengambil mangkuk yang berisi isian sandwich dan memasukkannya ke dalam lemari pendingin.

"Just friend, Fla," dengusnya tidak terima.

Flavie menganggukkan kepalanya. Tapi kerlingan matanya tak berhenti menggoda Sheva, membuat wanita itu semakin mirip dengan cacing kepanasan.

"Ayolah, Fla." Dia mengangkat kedua tangannya.

"Ya, teman. Teman hidup."

"Flavie! Akan kupastikan novelmu gagal terbit musim mendatang!" ancam Sheva dengan lengkingannya.

Flavie tertawa keras, masih dengan sisa kunyahan di mulutnya. Dia segera melesat meninggalkan Sheva yang meradang karena ledekannya.

"Akan kupastikan kau tidak melakukan itu. Aku punya Levine sekarang dan apapun bisa dia lakukan." Flavie mengedipkan matanya. Dan dia kembali terkikik saat Sheva menggeram di tempatnya berdiri.

Dari sudut matanya dia melihat Sheva mengangguk-anggukkan kepalanya. Tangannya berkacak pinggang.

"Baiklah. Levine. Akan kupastikan dia setuju denganku kali ini," balas Sheva.

Flavie menggerak-gerakkan bola matanya. Dia kemudian berbalik menghampiri Sheva kembali. Mendekatkan wajahnya hingga berjarak beberapa centi darinya, membuat wanita itu bergidik ngeri. Dan Flavie memberinya sebuah seringaian kecil.

"Dan aku akan menculik pangeranmu itu, mencuci pikirannya dengan... biar kupikirkan dulu. Mungkin cerita tentang pria keturunan Pakistan yang...,"

Kalimat Flavie terhenti ketika Sheva mengerang kesal. Dia menatapi wanita itu.

"Okay. Kau menang kali ini. Huhft," dengus Sheva sambil melangkah lunglai meninggalkan gadis kecil yang entah kenapa malam ini begitu menyebalkan. Karena biasanya dia yang selalu memenangkan setiap perdebatan sengit.

"Hh, kau mulai pintar sekarang. Anyway, apa ini ada hubungannya dengan pangeran kerjaaan bisnis itu?" gumam Sheva tanpa menghentikan langkahnya. Karena dia tahu, si mungil pasti mengekori langkahnya.

Tak lama terdengar suara seperti orang tersedak. Dia sengaja melirik sedikit ke belakang. Ada Flavie yang sibuk membersihkan mulutnya sambil mengatur pernapasannya. Sementara wajahnya merah padam.

"So? Kau harus lebih banyak lagi bergaul dengan pangeranmu agar tertular semua kecerdasannya. Kau sekarang... masih tertular sedikit," Sheva menjentikkan ujung kukunya, "Segini. Seujung kuku. Ya, baru segitu."

"Akan kulakukan," balas Flavie memberengut.

Dia sudah akan memburu Sheva kalau saja bel pintu tidak menahan langkahnya. Dan Sheva juga menghentikan langkahnya. Matanya bertemu saling bertatapan bermakna tanya. Apalagi saat bel itu semakin intens berbunyi seperti orang tersebut tidak memiliki kesabaran lagi untuk menunggu.

"Your boy," celetuk Flavie menebak orang tersebut sambil mengarahkan matanya pada pintu.

"Yours," sahut Sheva tidak mau kalah.

Flavie terkikik, membuat Sheva mengernyit bingung. "Akhirnya kau mengakui kalau pria aneh itu pacarmu."

Dia semakin tergelak saat Sheva membulatkan matanya dan sedikit menggeram kesal. Sedang wajahnya mulai terasa panas. Flavie bergegas meninggalkan wanita itu menuju ke pintu. Di pikirannya sudah ada keisengan lagi untuk membuat Sheva kembali marah. Dia akan meledek habis-habisan wanita yang menurutnya baru saja mendapatkan tambatan hatinya. Ya, pria aneh itu. Dia begitu yakin kalau orang yang memencet bel pintu dengan brutal itu pria tersebut.

Dia meraih gagang pintu dengan menahan senyum gelinya. Sedang beberapa meter di belakangnya, Sheva sudah bersiap ingin membalas ledekan Flavie. Sudah lama dia tidak saling mengejek seperti saat ini.

"Selamat... ma..lam." Sapaannya berubah dari nada begitu ramah kemudian memelan drastis. Dia seperti kehilangan suaranya begitu melihat sosok yang berdiri di ambang pintu. Kedatangan tak terduga dari seseorang yang sama sekali tidak pernah terlintas di benaknya.

"Selamat malam, Nona. Apa yang sedang kau kerjakan, tamumu menunggumu daritadi?" Dia berkata dengan nada datar tanpa menghilangkan sisi kewibawaannya sekaligus sedikit arogan untuk malam ini. Dia melangkah melewati Flavie seperti dia adalah tuannya.

Flavie mengerjabkan matanya. Ini tidak lucu, gumamnya dalam hati. Sedang sudut matanya menangkap gelagat Sheva yang tersenyum menyeringai. Wanita itu akan meledeknya habis-habisan setelah tamu pria ini pulang. Otaknya sudah menebak demikian.

"Kenapa kau ke sini?" tanya Flavie mengernyit sambil mengekori langkah pria tersebut.

Dilihatnya pria itu mengedikkan bahunya lalu duduk di sofa sebelum Flavie mempersilahkan untuk duduk. Flavie mengatupkan mulutnya. Pasalnya, setahu dia pria ini sudah pulang begitu Flavie memasuki gerbang apartemennya.

"Memangnya ada larangan menyambangi kekasihnya sendiri?" sahut pria tersebut acuh tanpa mengurangi volume suaranya. Dan itu sukses membuat Flavie merasakan panas di sekitar wajahnya. Pria itu mengatakan dengan sangat jelas tanpa malu atau risih karena ada Sheva. Dia malah tersenyum menyapa wanita itu.

"Tapi...," Flavie mendekati pria itu kemudian berbisik, "Setahuku kau sudah pulang. Dan please, pulang sekarang atau aku akan habis diledek sama temanku."

Pria itu menaikkan alisnya sebelah lalu mendekatkan wajahnya hingga wajahnya berjarak beberapa centi di depan wajah Flavie. Keadaan itu membuat Flavie merasakan sensasi panas dingin yang tiba-tiba melanda dirinya.

Cup!

"Okay, see you tomorrow," bisik pria tersebut setelah mengecup sudut bibir Flavie. Dia kemudian melangkah pergi dengan sudut bibir berkedut menahan geli. Hingga begitu sampai di luar, dia tertawa keras ketika mendengar lengkingan kesal dari Flavie.

"Levine!!!"

***

Tbc

Maaf lama nggak update. Jujur, aku kehilangan feel untuk melanjutkan cerita ini T_T

Anybody can help me?

07 Mei 2016
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #chicklit