Bab 14

Flavie mengernyit ketika Levine menghampiri rak buku yang seluruhnya berisi tentang psycology. Dia bahkan mengambil beberapa buku yang tebalnya sampai 5 inch dan meletakkannya di hadapan Flavie. Pria itu hanya mengulum senyum ketika Flavie memberinya tatapan penuh tanya.

"Untuk apa?" tanya Flavie akhirnya ketika Levine mengambil salah satu buku dan membukanya.

"Bantu kamu lanjutin novel."

"Tapi aku tidak membutuhkan ini. Kalaupun aku membutuhkan buku itu tentu saja tentang kepenulisan bukan limu berat semacam ini." Flavie menggelengkan kepalanya berkali-kali. Dia bingung dengan apa yang ada di benak Levine saat ini. Dia terlalu pintar atau Flavie sendiri yang bodoh. Sejak kapan pula masalah kepenulisan berganti di buku psycology. Flavie mengembuskan napasnya perlahan. Ia lebih memilih berhadapan dengan laptopnya dari pada melihat buku-buku tebal itu.

Jemarinya mulai merangkaikan kata-kata yang terlintas di otaknya. Ide kali ini begitu lancar mengalir sampai dia menghasilkan hampir 600 kata dalam sekali ketik. Dia mentargetkan per-babnya memakan 2.500 kata. Tidak terlalu panjang dan tidak terlalu singkat.

"Kau mau tahu kenapa aku mengambil buku-buku ini?" tanya Levine membuat Flavie mengangkat wajahnya dari layar laptopnya.

"Hm? Fine, kenapa?" tanya Flavie pelan.

"Kalau aku menceritakan ini, apa kau bisa berjanji?"

"Janji?" Flavie mengerutkan keningnya.

"I wanna tell you something. But you first promise me."

"Promise?"

"Be mine."

Flavie membelalakkan matanya. Be mine? Apa maksudnya? Sejurus dia menatap Levine, mencari maksud yang tersembunyi dari pria yang kini menjadi favoritnya sejak pertama dia melihat pria ini. Yang dilihat hanya menaikkan alisnya sebelah sambil tersenyum rahasia.

"Be mine?" gumam Flavie bernada tanya.

"Ya. Kenapa?"

"In a relationship?"

"Tentu saja. Ada yang salah?" Levine terlihat menahan senyum gelinya.

Flavie mengatupkan mulutnya. Sementara pikirannya mulai bekerja menganalisa apa yang Levine maksudkan, untuk serius atau sekedar have fun. Lalu sejauh mana dia mengenal pria ini begitupun sebaliknya.

"Ck! Lamanya mengenal tidak menjamin seseorang itu baik untuk kita atau tidak. Banyak kasus dimana seseorang baru bertemu dan mereka langsung menikah."

"Ya. Kau benar. Tapi dalam kasus ini...,"

"Karena kamu menarik. Kurasa itu cukup untukmu." Levine memotong kalimat Flavie.

Flavie mendesah singkat. Selama ini dia banyak merangkai kata untuk novel-novelnya. Tapi sekarang dia tidak memiliki satu kata pun untuk menyanggah apa yang Levine katakan. Di luar logikanya, mulutnya malah meluncurkan kata OK! dengan lirih.

Terlihat Levine menaikkan alisnya sebelah. Tak lama kemudian senyum memabukkan khas dirinya mengembang sempuran. Flavie menelan ludahnya dalam diam sambil membatin bagaimana bisa dia mampu mengingkari sepotong hatinya yang sudah dicuri oleh pria itu sejak dia melihatnya.

"Jadi?" Flavie menatap Levine. Kali ini dengan tatapan seriusnya.

"Wow, seperti yang kukenal. Kau selalu tidak sabaran, Nona," ejek Levine membuat Flavie mendengus sebal.

"Seperti yang kukenal, Tuan Levine. Kau sangat menyebalkan," balas Flavue dengan sinisnya.

"Ya. Tapi semua orang tahu, aku sangat sayang untuk tidak dirindukan."

Flavie memutar bola matanya jengah. Pria ini selalu memiliki kalimat untuk membalas apapun yang dia lontarkan. Dia sempat berpikir setinggi apa kecerdasan pria ini.

"Okay, jadi mulai sekarang kita in a relationship?" Levine menaikkan alisnya bermakna tanya.

"Seperti yang kau inginkan, Tuan."

"Good. Mungkin caraku tidak romantis. Karena saat pembagian kami tidak mendapatkan jatah sisi yang satu itu. Semuanya sudah ditelan ayahku. Dia pria tertampan yang sangat romantis pada ibuku," celoteh Levine mengundang tawa geli dari Flavie.

"Kau ini. Ada-ada saja."

Levine mengedikkan bahunya. "Memang begitu adanya. Okay, jadi kau masih berminat dengan bantuanku?"

"Kalau kau tidak keberatan." Flavie masih mengembangkan senyumnya. Dia menyahuti kalimat Levine dengan mengangkat bahu tanpa menyurutkan senyumannya.

"Tentu saja tidak."

Flavie menatap Levine yang sedang menghela napasnya. Dia menanti bantuan apa yang akan Levine berikan padanya.

"Aku akan memulainya dengan sebuah kisah. Ini nyata, Flavie. Kemudian nanti kau harus mencari penyelesaianmu sendiri lewat buku-buku yang kuambil ini." Levine menunjuk pada tumpukan buku psycology yang sangat tebal.

Flavie menelan ludahnya susah payah begitu matanya tertumpu pada tumpukan buku yang ditunjuk Levine. Rasanya dia ingin menyerah. Kenapa hanya untuk sebuah karya saja dia harus berjibaku, bekerja sangat keras seperti ini?

"Kau menginginkan sebuah karya yang antimainstream, bukan?"

Kepala Flavie mengangguk. Sedang otaknya mungkin sudah pingsan membayangkan betapa beratnya karya yang akan dia buat kali ini.

"Ya," jawab Flavie parau.

"Jadi kamu harus berusaha keras dulu. Jangan menyerah. Kau pasti bisa menghasilkan karya fantastis."

"Mungkin," jawab Flavie sedikit ragu.

"Harus yakin. Kau akan mengangkat tema yang cukup jarang diminati. Depresi. Mungkin orang mengatakan ini biasa. Tapi apa jadinya jika depresi ini mengganggu kesehatan jiwanya? Bukan gila yang kumaksud. Tapi ...ini sangat kompleks. Orang mungkin hanya akan meremehkannya. Tapi mereka tidak tahu sebesar apa penderitaan yang dia tanggung."

"Lalu?"

"Apa kau sudah paham yang kumaksudkan?"

"Belum. Cerita awalmu cukup berat. Otakku belum bisa menanggapnya dengan baik." Flavie memperlihatkan tatapan sesalnya. Dia melihat senyuman tipis dari pria itu. Entah benar atau memang hanya perasaannya saja, Flavie melihat perubahan di sorot mata pria itu. Mata coklat yang tadi berbinar-binar usai memintanya untuk jadi kekasihnya, kini berubah menjadi sendu. Seakan dia paham apa yang akan dia ceritakan.

"Kau mungkin pernah membaca kisah atau sekedar mendengar tentang bipolar. Itu termasuk gangguan jiwa yang berawal dari depresi atau penumpukan stress. Atau gangguan-gangguan jiwa lainnya. Tapi dalam kisah yang akan kubagi, aku tidak tahu apa itu namanya. Tapi menurut pandanganku ini berbeda. Di luar konteks yang kusebutkan tadi."

"Okay. Tapi ini masih tentang depresi?"

"Sebut saja begitu. Depresi di sini lebih karena berasal dari kenangan."

Flavie mengerutkan keningnya. Matanya menatap Levine lebih serius lagi. Dia juga mulai menfokuskan pikirannya pada topik yang Levine bicarakan. Terkesan sangat menarik baginya.

"Kenangan tidak selamanya berbicara tentang hal indah atau manis kan?"

Flavie mengangguk tanpa protes. Kali ini dia sangat setuju. Terkadang seseorang menyimpan kesakitannya dalam satu ruang memory yang disebut kenangan. Sebagian mungkin bertujuan untuk bahan balas dendam. Sebagian lagi mungkin untuk pengingat setiap dia akan melangkah. Atau bisa saja tujuan lain di luar nalar orang biasa.

"Ya. Kau benar. Tidak semua kenangan berbentuk hal indah."

"Dan semua orang pernah mengalami hal terburuk dalam hidupnya. Benar demikian?" Levine menaikkan alisnya.

"Kau benar lagi. Karena tidak selamanya orang tersenyum."

"Nah, untuk beberapa orang mungkin akan menyimpan kenangan buruk itu. Ada yang hanya sekedar untuk dikenang. Ada yang mungkin untuk balas dendam nantinya. Dan satu hal yang jarang sekali terpikirkan oleh kita pada umumnya."

"Apa itu?"

"Mereka menyimpannya menjadi sebuah ketakutan yang membuatnya menderita sepanjang waktunya. Ketakutan-ketakutan itu yang mendorong depresi itu muncul. Orang awam menyebutnya trauma. Tapi ini bukan gila."

"Hm. Tentu saja bukan. Okay, awal pembahasan yang sangat menarik. Lalu apa yang terjadi selanjutnya?"

"Beberapa orang mungkin akan melakukan semacam treatment atau pemulihan. Mereka akan mendatangi para psikiater, berganti-ganti sampai mereka menemukan yang cocok. Tapi ada juga yang menolak dan lebih memilih untuk membiarkannya."

"Alasannya?"

Levine terlihat mengulum senyumnya. Dia kini melipat tangannya di meja. Permulaan saja dia merasa sesak itu datang. Apalagi jika nanti dia memulai kisahnya? Levine menarik napasnya dalam-dalam.

"Karena dia lebih memilih menghadapinya sendirian. Salah satu dari mereka mungkin berpikir, dia tidak ingin orang iba padanya. Atau orang meremehkannya, mencemooh dirinya. Jadi, dia berpikir dia akan baik-baik saja dengan caranya."

"Bagaimana bisa?" tanya Flavie tak habis pikir.

"Ini yang akan menjadi poin utamamu nanti. Bagaimana kau mengolah masalah dengan peran keluarga. Selama ini banyak penulis menceritakan bagaimana arogannya orang kaya. Dan kau harus mengubah mindset itu. Tidak semua orang kaya atau pejabat penting itu arogan. Kau harus membuat sebuah kisah tentang keluarga yang hangat di sini."

"Caranya? Tapi, Vine. Kebanyakan orang kaya itu sibuk dengan dunianya sendiri. Jangankan teman-teman. Anggota keluarga saja mungkin mereka melupakan itu karena kesibukan mereka."

"Bukankah sudah kubilang, tidak semua orang kaya itu seegois itu?"

"Orang kaya, kehangatan keluarga. Oh, itu perfect sekali, Tuan. Dan itu impossible adanya."

"Ada. Itu tidak akan menjadi perfect tanpa sejarah yang ada."

"Oh, kau benar. Ini cerita yang sangat kompleks. Aku tidak tahu, apa aku bisa atau tidak membuat cerita sekompleks ini."

Levine tertawa kecil melihat wajah frustrasi dari Flavie.

"Bahkan ini baru permulaan saja," desah Flavie lirih.

***

Tbc..

fiyuuhh akhirnya bisa dilanjutin. maaf terlalu lama.

28 Des 2015
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #chicklit