Bab 10
"Mom! Bagaimana?" tanya Levine begitu masuk ke dalam rumah. Raut wajahnya tak bisa menutupi rasa khawatirnya.
Wanita yang sedang menuang air panas ke dalam cangkir putih segera mengangkat wajahnya, sedikit terkejut. Kepalanya tergeleng pelan.
"Kenapa?" tanya Levine semakin panik.
Duak!!
Levine memejamkan matanya. Bibirnya terkatup rapat seketika menahan nyeri di tulang keringnya yang tak sengaja membentur kaki kursi. Ia melihat wanita itu menaikkan alisnya sebelah kemudian mengembuskan nafasnya. Matanya kini menatap Levine luruh.
"Sudah berapa kali Mom bilang, jangan buat dirimu panik karena kamu hanya akan mencelakakan dirimu sendiri. Seperti yang baru saja terjadi," ujar Anna memperingatkan.
Levine meringis lebar.
"Bukan masalah, Mom. Ini hanya masalah kecil."
"Kecil tapi akan menjadi besar. Bagaimana jika itu terjadi saat kamu bertemu dengan para kolegamu? Mungkin kamu hanya akan jadi bahan tertawaan, Sayangku. Kontrol dirimu sebaik mungkin, please," ucap Anna dengan tatapan teduhnya.
"Aku mengerti, Mommy. Bagaimana keadaan Kak Esen?" tanya Levine tak sabar.
"Ada di kamar. Maaf, tadi mom hanya --exited. Tiba-tiba kakakmu menatap Mom and you know what? matanya hidup, sayang. He said --I love you so deep, Mommy," jelas Anna dengan mata berkaca-kaca. Wanita itu langsung memeluk Levine menumpahkan tangis harunya.
Apa? Levine terbengong beberapa saat. Sampai kemudian ia membalas pelukan Anna lebih erat lagi.
"Are you seriouse, Mom?" desis Levine di antara pelukan Anna.
Levine merasakan kepala wanita itu mengangguk berkali-kali.
"Vine pikir kakak menghilang lagi," ucap Levine lirih.
Anna melepas pelukannya. Wanita itu menundukkan kepalanya. Dari sudut bulu matanya Levine bisa melihat senyum wanita itu menghilang perlahan. Raut wajahnya kembali meredup.
"Mom?" Levine mengernyitkan dahinya.
"Tapi tidak sampai 10 menit ia terlelap, Sayang. Ketika bangun dia kembali kosong," tutur wanita itu terdengar perih.
"Tapi ini...,"
"Dia tertidur hanya setengah jam, Sayang. Tapi sudahlah. Tidak apa-apa. Setidaknya masih ada harapan dia akan kembali. Sana ke kamar, temani kakakmu," ucap Anna diakhiri dengan senyum lembutnya.
Bahkan Mommy tidak pernah mengeluh lelah karena menjaganya. Apa aku bisa mendapatkan wanita sepertimu? gumam Levine dalam hati sambil melangkah menaiki tangga. Tapi saat sampai di pertengahan anak tangga, Paman Surya menghentikan langkahnya. Pria tua itu nampak membawa ransel berwarna hitam.
"Ada apa, Paman?" tanya Levine.
"Milik temanmu, Nak."
"Flavie?" Kening Levine mengkerut. Ia terlihat seperti sedang mengingat sesuatu.
"Oh, ya! Maaf. Terima kasih, Paman," ucap Levine sambil menerima ransel hitam itu. Ia kemudian melangkah kembali menuju ke kamarnya.
Ia meletakkan ransel itu di meja belajarnya. Dengan iseng ia mengeluarkan laptop Flavie, mengetikkan sederet password yang ia ketahui langsung dari Flavie tadi siang. Senyum gelinya tercipta saat ia membuka galeri yang menyimpan bejibun foto milik Flavie.
Tangannya menarik lepas ikatan dasinya dan beberapa kancing teratas kemejanya sambil mengamati foto-foto molik Flavie. Cantik! Levine menaikkan alisnya sebelah.
Aku akan membuatmu terjebak dalam hidupku, Flavie. Dalam. Sampai kamu tidak akan bisa terbangun untuk menjauh dari hidupku, ucap Levine dalam hati. Tangannya meraih ponselnya, menghubungi gadis itu.
"Aku tidak bisa pulang!!" teriak gadis itu membuat Levine tertawa keras.
"Vine!!"
"Maaf. Tapi barangmu aman bersamaku. Aku akan segera menyuruh Paman Surya kembali untuk mengantarmu pulang..,"
"Its okay. Tidak perlu. Ada Sheva. Dan aku sedang bersamanya."
"Yakin?"
"Hm..,"
"Maafkan aku. Besok pagi aku akan mengantar barangmu. Tapi nanti kau kirimkan alamatmu ya?"
"Okay."
Levine meletakkan kembali ponselnya. Ia beranjak meninggalkan laptopnya menuju ke pintu yang menghubungkan dengan kamar kakaknya. Pria itu terlihat sedang duduk menghadap jendela dengan tatapan kosongnya.
Levine menghela nafasnya beratnya. Ia melangkah perlahan, menarik kursi kecil dan duduk di samping pria itu.
"Apa kabarmu hari ini, Kak?" tanya Levine lirih. Ia tersenyum kecut. Mana mungkin dia akan menjawabnya?
"Aku lupa, aku belum mandi," celetuk Levine sambil meringis. Ia mengangkat ketiaknya dan menciumnya. Tidak bau sebenarnya tapi ia berharap keributan kecilnya akan menarik perhatian pria itu. Tapi yah --kembali, Levine menjadi heboh sendiri.
Ia beranjak dari duduknya, memeluk singkat kakaknya dan mengecup pipi itu. Kemudian ia kembali ke kamarnya, menuju ke kamar mandi.
Harus bagaimana biar kamu kembali, Kak? Ini sudah tahun ketiga. Apa kau akan melanjutkannya sampai tahun ke-empat? gumam Levine perih, membiarkan dirinya membeku di bawah guyuran shower itu.
***
Satu jam berlalu..
Levine keluar dari kamar mandi dengan T-shirt hitam dan boxernya. Tangannya mengeringkan rambutnya dengan handuk kecilnya. Namun seketika ia mematung saat melihat kakaknya duduk terdiam memandangi laptop di meja belajar Levine.
"Kak?"
Ia melangkah mendekat, mengamati apa yang dilakukan kakaknya terhadap laptop milik Flavie. Jangan sampai ia menghilangkan data-data penting gadis itu. Flavie pasti akan langsung mencakarnya.
Yang terlihat di matanya membuat Levine menelan ludahnya susah payah. Pria itu sedang fokus mengamati setiap foto Flavie yang tadi Levine buka. Levine melihat setiap gerakan mimik muka kakaknya. Kadang dahinya mengkerut, terkadang alisnya naik sebelah lalu sudut bibirnya terangkat geli. Dan terkadang lagi ia melihat senyum menawan itu tercipta di sana.
"Namanya Flavie, Kak," ucap Levine berusaha membangun sebuah komunikasi yang normal.
Pria itu menoleh. Matanya menatap lurus Levine, membuat Levine sedikit mengkerut.
"Fla-vie?" ucapnya pelan bernada tanya.
Senyum Levine mengembang. Ia mengangguk lalu mendekati kakaknya.
"Iya. Flavie. Cantik tidak?"
"Jadi bukan Ara?"
Levine mengatupkan rahangnya. Ia menggeleng singkat. Ara lagi. Sekalinya berbicara ia mengatakan nama itu.
"Bukan. Dia lebih cantik dari Ara-mu," cetus Levine dengan sengaja.
Pria itu tidak menyahut. Ia kembali menatap Laptop itu. Jemarinya menekan tombol Up. Meneliti foto itu satu per satu.
"Cantik," gumamnya lirih.
"Apa kau ingin bertemu dengan temanku itu?" tanya Levine.
Ia menggeleng. "Ini?"
Levine menatap foto yang ditunjuk kakaknya. Seorang wanita asia dengan sedikit keturunan. Memang cantik.
"Itu sahabat temanku," jelas Levine.
"Ini milikku," gumamnya kemudian membawa laptop itu ke dalam kamarnya.
"Kak!!" panggil Levine bingung.
"Aku akan menemukannya," gumamnya. Dan Levine masih mendengarnya.
Ini apa? Levine membanting tubuhnya ke ranjang. Ia menatap langit-langit kamarnya. Ia tak tau harus berbuat apa mengenai keadaan kakaknya yang tiba-tiba aneh seperti ini.
Sheva. Apa dia bisa mengembalikan kakakku? Aku --harus menghubungi Flavie, batin Levine.
"Ya, Vine?" sapa suara lembut di seberang.
"Vie, aku mau bertanya," ucap Levine gugup.
"Apa?"
"Emh.. sebelumnya maaf. Sejauh mana kamu mengenal Sheva?"
"Sheva?"
"Iya."
"Memangnya kenapa?"
"Tidak. Hanya ingin tau. C'mon, Vie. Ini penting."
"Oh, begitu? Aku kenal dia. Tapi tidak seluruhnya. Kami sama-sama hidup sendiri di sini."
"Begitu? Namanya?"
"Kinara Silvara."
"Indonesia?" gumam Levine.
"Apa?" tanya Flavie terdengar bingung.
"Indonesia. Okay. Aku akan mencarinya sendiri."
"Vine?! Hey..,"
"Terimakasih, Nona Flavie. Selamat beristirahat."
Kinara Silvara. Levine kembali menggumamkan nama itu sambil meletakkan ponselnya. Namanya terdengar tidak asing di telinganya. Wajahnya? Juga tidak asing. Tapi ia merasa belum pernah bertemu dengan wanita itu. Dimana?
"Kak..," Sebuah suara memanggilnya sambil mendekat.
"Apa?" tanya Levine melirik Kyle.
"Ada rekan kerja Dad besok datang ke kantor. Dad meminta Kak Vine untuk menghandle-nya. Dad bilang ini masalah rancangan untuk hotel terbarunya."
Levine menaikkan alisnya. "Kan kamu yang menghandle masalah konstruksi itu."
"Iya. Tapi kata Dad ini belum levelku. Ayolah, Kak."
"Okay. Siapa?"
"Mister O'brien. Ia langsung dari Indonesia ke kantor kakak."
Levine mengangguk. Mister O'brien? Siapa yang tidak kenal dengan pengusaha hotel kelas atas itu? Hotel berlambang JP yang tersebar di berbagai belahan dunia. Pria itu berusia 3 tahun di bawah ayahnya. It's mean, seumuran dengan ibunya. Levine pernah bertemu dengannya beberapa tahun silam saat Levine masih sekolah di junior high school. Dan pria itu membawa putri kecilnya. Tapi sayang, ia lupa siapa nama gadis cantik itu.
"Tidak ada masalah kan?" tanya Kyle memastikan.
"Tidak ada," sahut Levine tergagap.
"Kak..,"
"Apa lagi?" tanya Levine memicingkan matanya.
"Menurutmu cinta itu apa?" tanya Kyle tiba-tiba.
"Hey! Bekerja dulu yang benar, baru kau mengurusi hal merepotkan itu."
"Kalau aku sudah menemukannya?"
"Astaga, Kyle!.."
"Seperti mommy. Namanya Nathania."
"Kyle?!!"
"Tenang saja baru berteman!!" seru Kyle sambil menghilang dari kamar Levine sebelum kakaknya berteriak memarahinya dan Anna akan keluar kemudian meng-interogasinya lebih lanjut lagi. Tapi Kyle sempat mendengar seruan Levine.
"Ke-Kyle! Aku belum selesai bicara!"
Kyle terkikik mengacuhkan seruan kakaknya.
"Ada apa lagi, Kyle? Kau senang sekali menggoda kakakmu," tegur Anna menatap putra bungsunya.
Kyle menggeleng, menyembunyikan senyum gelinya dari wanita itu kemudian mengecup pipi wanita itu seperti biasa.
***
Tbc..
berantakan udahhh...
so sorry..
happy reading ya.. happy ga ya? engga deh kayaknya malah makin bingung
24 Okt 2015
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top