Bab 1
Levine kembali pada sikapnya. Acuh, fokus pada buku bacaannya yang lumayan tebal. Tapi bukan berarti ia tidak menyadari setiap gerakan gadis berambut pirang di hadapannya. Beberapa kali ia mendegar helaan nafas panjang dari gadis itu. Tidak hanya itu. Ia juga mendengar suara halus dari jemarinya saat menekan tombol-tombol pada keyboard laptopnya yang selalu di akhiri dengan helaan nafas putus asa.
Levine menggelengkan kepalanya. Ia menutup bukunya lalu menatap gadis itu lekat-lekat. Jelas terlihat gadis itu sedang mengalami kesulitan.
"Kenapa?" tanya Levine akhirnya dengan suara lirih agar tidak mengganggu pengunjung lainnya.
Nampak gadis itu terkejut. Levine menaikkan alisnya sebelah saat gadis itu menegakkan wajahnya penuh tanya. Keadaan terbalik bukan? Seharus Levine yang memasang tampang penuh tanya, kenapa dia?
"Aku?" tanyanya sambil menunjuk pada dirinya sendiri.
Levine tertawa kecil. "Memangnya ada yang lain?"
Gadis itu membulatkan mulutnya kemudian menunduk gugup. Levine berdecak, memangnya dirinya begitu menyeramkan apa sampai gadis itu takut menatapnya?
"Tidak. Aku.., aku hanya kehilangan fokusku," jawabnya lirih.
"Aku mengganggumu, heh?"
"Tidak. Bukan -bukan itu. Hanya saja...,"
Gadis itu tidak melanjutkan kalimatnya. Ia hanya meringis singkat kemudian kembali menundukkan kepalanya. Tak lama kembali terdengar suara halus efek dari ia memencet tombol-tombol keyboard.
Levine menggeleng pelan. Ia kembali melanjutkan bacaannya. Beberapa kali ia mengerutkan keningnya, mencoba memahami kata per kata dari bacaan berat itu. Ia menghela nafasnya pelan. Kepalanya dirasa mulai pening akibat bekerja seharian ditambah bacaan berat itu. Ia menegakkan wajahnya. Nafasnya tertahan ketika untuk kesekian kalinya ia mendapati gadis di hadapannya menatapnya dengan tatapan memuja. Levine mendengus samar. Ia menutup bukunya. Kedua tangannya bertumpu di atas meja. Salah satu ujung jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja.
"Sepertinya memang aku menganggu konsentrasimu," tembak Levine membuat gadis itu terkejut. Ada rona merah di sana dan ia menyembunyikannya dengan cepat. Gadis itu terlihat gugup.
"Oh, eh. Sebenarnya tidak begitu. Aku...,"
"Okay, maafkan aku sebelumnya. Aku akan pergi dari sini, kau bisa melanjutkan pekerjaanmu. Sekali lagi maaf,..."
"Flavie, Flavie Morisson," ucapnya menyebutkan nama lengkapnya.
"Ya, Flavie Morisson," sahut Levine tersenyum sopan. Ia beranjak bangun meraih ponsel dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Ia meninggalkan bukunya begitu saja.
"Tunggu!!"
Levine menghentikan langkahnya demi mendengar suara yang menahannya. Tak lama ia mendengar suara langkah kaki mendekat.
"Kau belum menyebutkan namamu tadi," ucapnya pelan.
Oh, my! Levine membalikkan badannya. Tersenyum singkat.
"Namaku tidak penting, Nona Flavie."
"Kau tidak berniat melanjutkan bacaanmu?"
Levine menggelengkan kepalanya. Ia mengangkat tangannya setinggi dada, melirik jam yang melingkar di sana. Sudah cukup sore.
"Maaf, aku harus kembali.Mungkin lain kali aku bisa melanjutkan bacaanku. Buku itu akan selalu ada di sana bukan?"
Levine melirik gadis itu. Ada sedikit kekecewaan di sana, seakan sedang berteriak -tapi tidak akan ada aku lagi di sana-. Gadis itu terlihat sedang menggigit bibir dalamnya. Sorot matanya meredup. Levine menggaruk kepalanya, bingung. Apa yang bisa ia lakukan?
"Begitu? Ya sudah, sampai jumpa nanti," ucapnya dengan senyum terpaksa.
"Oh, ya. Sampai jumpa nanti, Nona Flavie."
Levine membalikkan badannya beranjak meninggalkan Flavie. Ya, Flavie. Akhirnya ia memutuskan untuk mengucapkan nama itu. Langkahnya kembali terhenti padahal tidak ada yang menahannya lagi. Ia kembali menghampiri Flavie yang masih berdiri di tempat menatap kepergiannya.
Levine mendekatkan wajahnya, nyaris bersentuhan. Ia bahkan mampu menghirup harumnya jasmine yang melekat pada diri Flavie. Gadis itu membelalakkan matanya, sangat terkejut dengan apa yang Levine lakukan padanya.
"Levine," bisik Levine singkat kemudian kembali melangkah, meninggalkan Flavie dalam diamnya. Gadis itu bahkan belum mendapatkan kembali kendalinya ketika Levine menoleh sekilas di depan pintu perpustakaan nasional itu.
***
Levine melajukan mobilnya dengan senyum geli yang tak surut dari bibirnya sejak ia meninggalkan perpustakaan nasional itu. Beberapa kali ia menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan gadis itu.
Flavie.., namanya saja sudah menggambarkan kelucuannya, kekeh Levine dalam hati.
"Kak Vine!"
Levine menoleh. Tangannya menutup pintu mobil yang sudah terparkir sempurna di halaman. Ia berdiri menanti pemilik suara itu. Tak lama kemudian, ia merentangkan tangannya, merangkul bahu adik tersayangnya.
"Kemana mobilmu?" tanya Levine ketika menyadari adiknya jalan kaki.
"Masuk bengkel. Aku naik bus umum," jawabnya.
Levine membulatkan mulutnya. "Kenapa tidak bilang?"
"Kyle pikir Kak Vine sedang sibuk. Lagi apa salahnya aku naik bus. Aman kan?"
"Aku tadi dari perpustakaan nasional. Tidak terlalu sibuk, Kyle."
Adik laki-lakinya kini berhenti tiba-tiba. Ia mengernyit heran. Untuk apa Levine pergi ke sana? Bukankah kuliahnya sudah selesai tiga tahun lalu?
"Memangnya apa salahnya? Aku hanya mencari tau sesuatu. Siapa tau itu bisa membantu Kak Esen kembali," ucap Levine seakan mengerti arti tatapan Kyle.
Kyle menggelengkan kepalanya. Mengingat tentang kakak pertamanya membuatnya seakan tertimpa beban berat. Sesak. Sesaat kemudian ia menarik paksa sebuah senyuman ketika Levine menepuk-nepuk lembut punggungnya.
"Kak Esen akan baik-baik saja. Mom selalu bersamanya, menghiburnya," ucap Levine menenangkan.
"Lho? Kalian pulang bareng?"
Keduanya serentak menoleh pada suara lembut yang menyambutnya. Wanita cantik itu merekahkan senyumnya menyambut kedua anaknya dengan merentangkan tangannya lebar-lebar. Levine dan Kyle pun bergegas menghampirinya, memeluknya serta memberikan kecupan sayang di pipi wanita itu.
"Sore, Mom. Aku tidak terlambat pulang kan?" tanya Levine sambil mengerling.
"Sore. Tidak, Sayang. Ayo, lekas bersihkan badanmu. Kyle, kamu juga," perintah wanita itu tapi tetap bernada lembut.
"Yes, Mom. Oya, bagaimana Kak Esen hari ini?" tanya Kyle sebelum beranjak.
"Baik. Kakakmu sedang istirahat. Dia mau berbicara hari ini," jawab wanita itu dengan senyum bahagianya.
Baik Levine maupun Kyle mengangguk paham. Keduanya langsung meninggalkan wanita itu menuju ke kamarnya masing-masing.
***
Levine merebahkan dirinya di tengah ranjangnya. Kedua tangannya terlipat menjadi tumpuan kepalanya. Matanya menatap langit-langit kamarnya. Sesaat ia mengerutkan wajahnya ketika bayangan gadis tadi sore terlintas di kepalanya. Flavie, batinnya menggumamkan nama itu.
"Astaga!!" gumam Levine terbangun dari lamunannya.
Ia mengusap wajahnya dan mengembuskan nafasnya beberapa kali. Kemudian ia bangun, memutuskan untuk menuju ke kamar Esen.
Lampu redupnya menerangi kamar berukuran luas itu. Ia membuka perlahan pintu bercat putih bersih kemudian melangkah masuk. Matanya mencari sosok yang mendiami kamar itu.
"Kak? Ini aku, Vine," ucap Levine sambil mencari-cari keberadaan kakaknya.
Tidak ada jawaban. Levine terus melangkah, mencari ke setiap sudut. Tak berapa lama ia bernafas lega ketika mendapati kakaknya sedang duduk di balkon dengan kamera di tangannya. Tapi tetap, tatapannya kosong.
"Kak," panggil Levine pelan, duduk di samping Esen.
"Kau sedang apa?" tanya Levine menyentuh bahu Esen pelan.
Yang ditanya tidak merespon. Levine menghela nafasnya. Matanya sudah berembun. Tubuh pria yang menjadi semangatnya, sekarang tak ubahnya mayat hidup. Jiwanya menghilang sejak tiga tahun lalu. Levine merangkul pundak itu, menyandarkan kepalanya di bahu kakaknya, menyalurkan segenap kerinduannya. Ia berharap Kakaknya kembali dengan segera.
"Apa kabarmu hari ini? Semoga lebih baik dari kemarin. Aku merindukanmu, Kak. Merindukan saat kita berebut ciuman dan pelukan dari Mom atau Dad. Aku merindukan saat kau tiba-tiba memarahiku karena pulang terlambat tanpa kabar. Rindu saat kau mengajakku jalan-jalan tanpa ada rencana dan akhirnya aku menyuruh asistenku untuk me-reschedule semuanya hari itu juga. Aku rindu semuanya tentang kamu." Levine menarik nafasnya sejenak. Ia tersenyum getir mengingat apa yang pernah mereka lalui bersama. Semuanya menyenangkan. "Apa kau tidak lelah setiap hari seperti ini?"
Levine bergerak menatap kakaknya. Pria itu tidak merespon. Hanya mengerjabkan matanya beberapa kali lalu kembali terdiam. Levine mendesah. Akhirnya ia lebih memilih diam, menghirup aroma tubuh kakaknya. Masih menyisakan keharuman yang tidak bisa ia temukan dimanapun selain pada tubuh kakaknya. Harum dan menenangkan. Khas seperti orang-orang yang menaunginya di keluarga ini.
"Selamat malam, Kak Esen. Semoga ini menjadi malam yang hangat bagimu. Kami mencintaimu selalu," bisik Levine diakhiri dengan kecupan di pipi kakaknya. Ada crystal bening yang lolos dari sudut matanya. Ia memeluknya beberapa saat kemudian melepaskannya ketika sebuah tangan menyentuh kepalanya. Levine menangkap gerakan singkat tangan kakaknya barusan. Meskipun singkat tapi ia cukup merasa senang. Kakaknya bisa meresponnya.
"Aku janji, aku akan membuatmu kembali, Kak," bisiknya lagi sebelum akhirnya ia benar-benar meninggalkan kakaknya, membiarkannya menikmati sendiri dunianya.
***
Tbc..
13 Sept. 2015
S andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top