Tiga Puluh Sembilan

"They're so pretty, it hurts. I'm not talking 'bout boys. I'm talking 'bout girls." — Girl In Red, Girls


HARI pertama MOS selesai tepat pukul setengah dua siang. Siswa baru langsung buru-buru pergi setelah ketua kelas yang dipilih melalui sistem pemilu kelas membubarkan teman-temannya. Cuma Dea dan Dayena yang masih tinggal di kelas, tampak sedang membicarakan sesuatu sambil tertawa kecil ketika mereka sesekali melirik ke arahku. Aku pura-pura nggak peduli dan membereskan ranselku.

"Kak Dino," Dea bergerak mendekatiku. Dayena senantiasa mengekor di belakangnya. "Hari ini motor Kak Dino aku yang bawa, ya? Aku mau nganterin Dayena pulang."

Aku mengerutkan kening. Bimo dan Leo yang juga masih ada di kelas, ikut mengerutkan kening. Yuna dan Puput nggak peduli, tampak asik dengan urusan mereka masing-masing. "Terus aku pulangnya gimana?" tanyaku.

Dea nyengir. "Kak Dino minta jemput Kak Farhan tersayang aja," jawabnya.

Aku melotot ke dia, supaya jaga mulut karena di kelas ini masih ada Puput dan juga Yuna. Kalau Bimo dan Leo sih nggak masalah, karena mereka sudah tahu aku gay.

Dea sepertinya mengerti sinyalku. Dia mengucap, "Ups, keceplosan," tanpa suara.

Dea harus menunggu sampai Yuna dan Puput selesai membereskan barang-barang mereka dan keluar dari kelas. Setelah cuma tinggal kami berlima, Dea nggak langsung melanjutkan, tapi menatap curiga ke Leo.

Aku melihat maksud dari tatapannya itu. "Nggak apa-apa," kataku. "Dia tahu aku pacaran sama Farhan."

"Kak Leo juga tahu?" Dayena langsung membelalak. "Jangan-jangan Kak Leo juga—"

"Jangan sembarangan kalau ngomong!" bentakku, sebelum dia menyelesaikan ucapannya. "Nggak semua orang bisa kamu kira gay!" Nada suaraku meninggi, kesal dengan Dayena yang curious-nya nyaris kelewatan.

"Maaf," Dayena menundukkan kepalanya.

"Nah," Dea mengabaikan temannya. "Kak Dino minta jemput aja sama Kak Farhan. Gapapa, kan? Aku kan nggak mungkin ngebiarin Dayena pulang sendirian. Dia nggak enak badan katanya."

Aku menggeram. "Terus apa hubungannya denganku? Itu kan motor aku, masa aku yang harus dikorbanin? Harusnya kamu dong yang pulang naik angkot, dan biar aku yang nganterin si Dayena!"

Dea langsung kebingungan. Tapi bukan Dea namanya kalau nggak punya cadangan alasan. "Ih Kakak ini aneh, sih. Aku kan nggak punya pacar yang bisa jemput aku. Masa aku pulang naik angkot? Nanti Mama marah loh kalau tahu aku pulang naik angkot dan bukan pulang sama kamu."

Aku menggeram lagi. Itu kan salah dia! Ngapain juga dia pakai acara nganterin Dayena segala? Aku langsung menyimpulkan ini pasti akal bulus mereka untuk mengelabuiku, supaya aku minta jemput Farhan, dan keinginan Dayena untuk bertemu Farhan terwujud.

"Udah nggak apa-apa, Din. Biar lo pulang bareng Farhan aja. Tadi si Farhan WA gue, katanya dia mau latihan futsal di sini—sekalian mau ketemu lo," kata Leo.

"KYAAAAAAH!!!"

Aku, Bimo, dan juga Leo hampir saja melompat kaget mendengar teriakan Dayena yang tiba-tiba menggelegar seperti suara maut yang datang dari neraka. Teriakannya mengerikan, lebih seperti teriakan seorang gadis yang diperkosa ketimbang teriakan gemas.

Dea cuma geleng-geleng kepala, nggak terpengaruh dengan teriakan temannya. Mungkin dia sudah terbiasa dengan teriakan yang tiba-tiba itu.

"Ya ampun, Dea! Kita harus lihat Kak Farhan main futsal. Aduh, gue mau pingsan ... gue butuh kipas, kipas, kipas," Dayena sibuk mengipasi mukanya yang merah seperti kepiting rebus menggunakan telapak tangannya.

Bimo meringis ketakutan, sementara Leo memandang geli sekaligus kaget ke Dayena. Dilihat dari ekspresinya, sepertinya Leo juga baru kali ini bertemu spesies Fujoshi ini. Kemudian hape Leo bunyi, dan dia segera membukanya. Aku masih memperhatikannya melihat-lihat layar hape ketika dia berkata, "Farhan udah di depan."

Aku membuka hape, dan benar saja, ada pesan WhatsApp dari Farhan. Hapeku memang sengaja aku silent karena nggak mau diganggu ketika sedang berada di kelas. Isi pesan Farhan kurang lebih sama dengan yang dikirimnya ke Leo, memberitahu bahwa dia sudah di depan.

"Kalau gitu kita langsung temuin Farhan aja," kataku, memasukkan hape ke kantong. Muka Dayena sudah sangat merah ketika aku berkata, "Mau ketemu Farhan, kan? Ayo ikut ke lapangan, biar dikenalin sekalian."

Dayena nggak menjawab tawaranku, karena sedetik kemudian dia roboh ke lantai. Pingsan.

♡︎♡︎♡︎

DAYENA terpaksa dibawa pulang karena semua usaha untuk membuatnya sadar nggak ada yang berhasil. Satu kali Dayena sempat mengigau, menggumam sesuatu yang terdengar seperti kata-kata yaoi, seme, kissu kissu, yang aku nggak ngerti apa maksudnya. Dea bilang mungkin si Dayena kesurupan, tapi anggota PMR yang menanganinya saat itu mengatakan bahwa Dayena murni pingsan karena kelelahan dan kurang makan. Aku mengingat apa yang dia makan di kantin tadi siang dan bersyukur dalam hati karena hal itu.

Dayena pulang dijemput oleh ayahnya yang langsung datang begitu Dea mengabarkan kondisi putrinya. Ayah Dayena menggotong putrinya seorang diri. Ketika kami hendak membantunya, dia menolak. Katanya, "Nggak usah, Dik. Saya bisa sendiri, kok. Makasih ya udah bantuin Dayena. Terima kasih kasih juga Dea udah ngasih tahu Om."

Dea mengangguk. "Sama-sama, Om."

Ayahnya menggotong Dayena masuk ke mobil, lalu mereka pergi.

Aku, Bimo, Dea, Leo, dan juga Farhan—yang sudah gabung bersama kami—masih berdiri di tempat parkir, memandangi mobil itu perlahan-lahan menghilang dari pandangan.

"Berarti motor Kak Dino aku yang bawa pulang," kata Dea, setelah mobil itu sudah nggak kelihatan.

"Terus aku pulangnya gimana?" Aku masih saja bertanya walaupun sudah tahu jawabannya.

"Kan ada Kak Far—"

"Aku nggak bawa motor," potong Farhan cepat sebelum Dea menyelesaikan kata-katanya. Kami semua memandangnya. "Aku berangkat sekolah bareng tetanggaku. Tadi aku minta anterin ke sini sama dia."

"Yaaah," Dea tampak kecewa. "Jadi Kak Farhan mau pulang bareng Kak Dino, dong? Terus aku pulang bareng siapa?"

"Oh kamu mau pulang bareng Dino?" Farhan tersenyum. "Ya nggak apa-apa, aku bisa pulang bareng Leo."

Aku cemberut karena Farhan nggak pulang bersamaku. Farhan tersenyum melihat bibirku yang melengkung ke bawah. Leo berusaha mengalihkan muka melihat aku dan Farhan saling mengirimkan kode lewat mimik wajah.

"Nggak usah," Bimo tiba-tiba menyambar. "Biar Dea pulang bareng gue aja. Lo bisa tetap pulang bareng Dino." Bimo mengangguk ke Farhan, lalu tersenyum pengertian padaku. Aku membalas senyumnya karena dia memang paling bisa mengerti apa yang aku mau.

Akhirnya, Dea menyetujui. Karena Bimo nggak suka main futsal, dan Dea juga nggak mau ngelihatin Farhan dan Leo main futsal, akhirnya mereka berdua pulang. Kami ditinggalkan bertiga. Farhan dan Leo ngobrol-ngobrol singkat, lalu Leo pamit duluan ke lapangan futsal, dan kami ditinggalkan berduaan.

"Menurut kamu, ada nggak tempat yang lebih baik selain di sini untuk kita ngobrol berdua?" Farhan bertanya.

Aku tersenyum. "Mau ke perpustakaan?"

"Memangnya masih buka? Yang ada kita malah diusir."

"Iya, sih. Mau di kelas? Atau di WC? Tapi jorok sih kalo di WC."

"Atau mau di ruang ganti futsal?" tanyanya, nyengir.

"Sembarangan! Rame orang di sana!"

"Terus di mana, dong?" Farhan merangkulku. "Aku kangen pingin peluk kamu."

Pipiku panas. "Jangan sekarang, Farhan. Kamu kan harus main futsal."

Farhan mencubit pipiku gemas, kemudian mengecupnya. Aku senyum lebih lebar mendapat kecupan Farhan di pipi. "Oke," katanya. Pipinya juga merah. "Aku main futsal dulu. Habis itu, kita puas-puasin waktu kita."

Kami segera bergabung ke lapangan futsal, tempat di mana semua teman-teman Farhan sudah berkumpul dan melakukan pemanasan di sana. Kami memisahkan diri. Aku duduk di bangku luar lapangan, menyaksikan, sementara Farhan masuk ke ruang ganti untuk menukar seragam OSIS-nya dengan jersey futsal. Nggak lama kemudian dia masuk ke lapangan dan ikut melakukan pemanasan bersama teman-temannya.

Selagi memandangi Farhan pemanasan, aku dikagetkan dengan kehadiran Chika yang tahu-tahu sudah duduk di sampingku. Chika tersenyum manis memandangku, yang segera aku balas dengan senyuman juga. Chika ini sahabatnya Farhan, satu-satunya teman perempuan Farhan yang tahu tentang hubungan kami. Beberapa bulan lalu, di tempat yang sama seperti sekarang ini, Chika pernah mengatakan bahwa dia mendukung hubungan kami, tapi nggak bisa selamanya melindungi kami. Sekarang aku bertanya-tanya dalam hati, memangnya hubungan kami harus dilindungi dari siapa?

"Gimana hari pertama MOS?" tanya Chika, basa-basi.

Aku tersenyum. "Membosankan kayak biasa. Ditambah karena nggak ada Farhan di sekolah ini, jadi lebih membosankan lagi."

Chika tertawa sambil memandangi pacarku yang sedang melakukan stretching. "Pasti nggak enak ya pisah sekolah dari pacar?"

Aku mengangguk sangat keras. "Rasanya kayak nggak semangat lagi untuk berangkat sekolah."

"Lo tahu nggak kemarin Farhan bilang apa ke gue?"

"Apa?"

"Dia bilang, 'Chika, tolong ya jagain Dino, jangan sampe ada orang lain yang naksir dengan Dino. Kalau lo ngelihat Dino digodain orang lain, tolong cegah. Kalau lo ngelihat ada orang ngusilin Dino, tolong diberhentiin. Gue nggak mau Dino gue kenapa-kenapa.'"

Aku tersenyum haru. Sementara Chika tertawa kecil. "Cinta Farhan ke lo nggak bisa diragukan lagi, Din," katanya.

Aku menghapus air mata yang menggenang di pelupuk mata. Farhan nggak pernah takut aku ngegodain orang lain, tapi malah dia pikir aku yang bakal digodain orang lain. Ini menyatakan secara nggak langsung bahwa Farhan percaya padaku. Dia nggak pernah meragukanku. Chika benar, kepercayaan dan juga cinta Farhan untukku nggak bisa diragukan lagi.

"Ada alasan kenapa Farhan bilang kayak gitu ke gue," kata Chika.

"Kenapa?" tanyaku.

"Lo lihat temannya yang itu," Chika mengedikkan dagu ke arah Leo yang jadi penjagagawang tim Farhan.

Aku mengangguk mengiyakan. "Dia panitia MOS yang satu kelas dengan gue."

"Namanya Leo, kan? Dia pernah naksir sama lo, dan Farhan tahu itu."

Kekagetanku tersalurkan lewat pekikan, "Nggak mungkin!"

Aku menggeleng keras- keras, menolak kenyataan bahwa Leo ternyata gay. Nggak ada satu pun gelagat yang menunjukkan bahwa dia gay. Maksudku, lihat kulitnya yang cokelat terbakar matahari itu. Lihat tatapan tegasnya yang selalu mengarah ke dada cewek-cewek montok di kelas X IPA 2. Lihat cara dia berjalan, cara dia bicara, cara dia mengusap keringat di keningnya, semuanya terkesan sangat straight.

"Itulah kenyataannya," kata Chika.

"Gue nggak tahu dia suka sama gue. Gue bahkan nggak tahu dia pernah ada. Baru hari ini gue kenal sama dia."

Chika tersenyum. "Farhan bilang, dia jenis orang yang lebih suka mengagumi secara diam-diam ketimbang menonjolkan diri. Mungkin itu alasan kenapa lo nggak pernah menyadari dia. Tapi, Farhan bilang dia beneran naksir sama lo. Farhan yang tahu hal itu tanpa basa-basi langsung menyatakan cintanya ke lo, karena dia takut lo keburu diambil sama dia."

Pikiranku langsung melesat ke ingatan ketika Farhan menyatakan cintanya padaku siang itu. Aku ingat dia mengatakan bahwa dia sudah nggak bisa menahan dirinya lagi untuk memilikiku, karena dia takut didahului orang lain.

"Farhan bilang si Leo yang bakal jagain gue di sekolah ini," kataku. "Kalau misalnya Leo memang suka dengan gue, harusnya Farhan takut, dong? Karena siapa tahu dia bakal ngerebut gue dari dia, kan?" Aku tahu ucapanku ini terlalu percaya diri, tapi aku nggak bisa menahannya lagi.

Chika geleng-geleng kepala. "Kalau lo nggak dengar, tadi gue bilang dia pernah suka sama lo. Pernah, Din. Bukan masih. Farhan bilang si Leo langsung mundur waktu dia tahu lo udah jadi milik Farhan. Dan alasan kenapa Farhan nyuruh Leo jagain lo karena Farhan percaya sama sahabatnya, dan dia juga percaya sama lo. Farhan bilang, lo dan Leo adalah dua orang yang paling dia percayai dalam hidupnya. Tapi, yah, Farhan juga bilang, nggak ada salahnya jaga-jaga, kan? Karena yang namanya rasa suka sebenarnya nggak pernah benar-benar bisa hilang dari hati."

Ada satu kejanggalan yang aku tangkap dari seluruh obrolan ini. Satu ucapan yang diulang-ulang, tapi menegaskan apa maksudnya. Dan ucapan itu adalah: Farhan bilang, Farhan bilang, Farhan bilang. Chika tahu semua yang dibilang Farhan kepadanya, berarti Farhan mengatakan semuanya pada Chika, tapi nggak mengatakannya padaku. Janggal sekali, kan? Sebenarnya siapa yang pacarnya Farhan? Aku, atau Chika? Kenapa Farhan malah menceritakan semuanya ke Chika, dan bukan kepadaku? Kenapa aku harus mengetahui semua ini dari mulut Chika dan bukan dari penjelasan Farhan sendiri? Ini membuatku agak jengkel, tapi belum boleh marah padanya. Aku harus mendengar alasannya dulu.

"Kok lo bisa tahu semuanya? Emang Farhan selalu ceritain semuanya ke lo, ya?" tanyaku hati-hati, berusaha untuk nggak terdengar terlalu curiga. Aku nggak mau Chika berpikiran aku mencurigai dia sedang berusaha mendekati pacarku.

"Nggak semua, sih. Lebih seringnya sih Farhan cerita tentang lo dan segala rasa cintanya untuk lo. Tapi ada beberapa hal juga yang dia ceritain ke gue, kayak yang soal Leo ini."

"Persahabatan lo dengan Farhan pasti sangat akrab, ya," kataku, masih berusaha supaya terdengar normal tanpa maksud mencurigai.

Chika tersenyum. "Jelas iya, Din. Gue sama dia bersahabat udah sejak lahir."

Oh! "Seriusan?" tanyaku, agak kaget karena ini berita baru buatku.

Chika mengangguk sambil tersenyum. "Sejak kecil, gue dan Farhan udah jadi sahabat. Waktu TK, gue satu sekolah sama dia dan satu kelas. Waktu SD, selama enam tahun juga gue satu kelas sama dia. Waktu SMP apalagi, gue sama dia kayak nggak terpisahkan, sampe-sampe banyak yang ngira gue dan dia pacaran." Chika tertawa, dan aku ikut tertawa bersamanya demi kesopanan. "Cuma pas SMA ini aja gue dan dia nggak satu sekolah—kecuali tahun kemarin."

Aku baru tahu ternyata 'persahabatan' mereka sudah seerat itu. Dan ketika menatap ke dalam mata Chika, aku melihat ada ketulusan dan kasih sayang seorang sahabat yang benar-benar nggak bisa diragukan lagi. Kalau aku baru mengenal Chika hari ini, mungkin aku akan mengira dia mencintai pacarku. Tapi karena aku sudah mengenalnya cukup lama, dan walaupun kami jarang menghabiskan waktu bersama, tapi aku sudah cukup yakin bahwa perasaan yang Chika berikan ke Farhan adalah murni persahabatan. Nggak ada cinta yang menggebu-gebu di dalam matanya ketika dia menceritakan tentang hubungan mereka. Kalau memang ada, aku pasti sudah mengetahuinya.

"Gue baru tahu ternyata kalian bersahabat seerat itu," ucapku akhirnya, yang membuat Chika langsung mengerutkan kening.

"Memang Farhan nggak pernah cerita tentang gue ke lo?" tanyanya.

Aku menggeleng sambil berusaha mengingat-ingat. Setahuku, Farhan cuma pernah sekali cerita tentang Chika, dan itu pun sudah lama sekali—kalau nggak salah di pos ronda di tengah hutan saat kegiatan Kemah Bersama berlangsung. Nggak banyak yang diceritakannya kecuali bahwa Chika adalah sahabat yang sudah dia anggap seperti adik kandungnya sendiri. Dan sekarang aku percaya dengan omongannya itu, karena selama ini aku selalu meragukannya.

"Dasar Farhan! Dia emang selalu begitu, tuh. Kalau udah sama pacar, pasti lupa segala-galanya. Dia bahkan melupakan gue!" umpatnya, kesal. "Lihat aja ya, entar kalau udah pulang, bakal gue omelin dia di depan mamanya biar dia kena marah karena ngelupain gue."

Ini berita baru lagi buatku. "Lo kenal sama mamanya Farhan?" tanyaku. Aku saja yang pacarnya nggak kenal dengan mamanya.

"Ya kenal lah, Din," jawabnya. "Mama Farhan itu udah gue anggep kayak Mama gue sendiri. Farhan juga begitu ke Mama gue. Gue sama Farhan itu udah kayak saudara kandung, tahu! Rumah dia udah gue anggep kayak rumah gue sendiri. Mau masuk ke rumahnya ya tinggal masuk aja, nggak perlu ketuk-ketuk pintu segala. Kecuali kalo ke kamarnya, gue nggak berani masuk ke kamarnya yang berantakan naudzubillah." Dia merinding geli sambil tertawa setelah mengucapkannya. Lagi-lagi aku tertawa bersamanya demi kesopanan.

Setelah kami berhenti tertawa, aku bertanya, "Jadi lo sering ke rumah Farhan, ya?" Mau nggak mau aku mulai iri pada Chika karena dia sudah pernah main ke rumah Farhan dan kenal sama mamanya, sementara aku yang pacarnya malah belum pernah ketemu mamanya sama sekali.

Chika mengerutkan kening lebih dalam mendengar pertanyaanku. "Ya jelas gue sering ke rumahnya. Rumah dia dan rumah gue kan sebelahan."

"Seriusan?" Aku kaget, sumpah. Semua yang kami bicarakan di sini benar-benar berita baru buatku.

"Duarius!" Dia mengangguk mantap, lalu menatapku lekat-lekat. "Memang Farhan nggak pernah cerita tentang kehidupannya, ya?"

Aku menggeleng, malu. Sejauh yang kuingat, aku memang nggak pernah tahu tentang kehidupan Farhan. Aku cuma tahu garis besarnya saja, tapi ternyata itu saja nggak cukup. Kupikir aku sudah memahami Farhan sebaik aku memahami diriku sendiri, tetapi aku salah. Tiba-tiba aku merenungkan ini, dan sedih juga kenapa aku nggak pernah menanyakan tentang kehidupannya? Dan kenapa juga Farhan nggak pernah menceritakannya padaku? Apakah dia belum percaya padaku, atau kenapa? Ini membuatku bingung dan penasaran.

"Gue cuma tahu sedikit tentang kehidupan Farhan," gumamku akhirnya, lebih seperti kepada diriku sendiri daripada ke Chika.

"Well, mungkin lo belum mengenal Farhan sebaik yang lo kira," komentar sahabatnya pacarku itu.

Aku menyetujuinya. Aku memang nggak mengenal Farhan sebaik dia mengenal aku. Farhan sudah masuk ke dalam lingkup keluarga kecilku, sarapan bersama keluargaku, tidur di rumahku, mengenal papaku, mengakrabi mamaku, menarik perhatian adikku. Sementara dia sudah berbaur dan diterima dengan baik oleh keluargaku, aku di sini masih belum mengenal dan dikenal oleh keluarganya. Apakah Farhan pernah menceritakan tentangku ke orangtuanya? Apakah orangtuanya pernah punya keinginan agar bisa bertemu denganku? Oh, aku diliputi rasa penasaran.

"Kayaknya hari ini mungkin gue bakal ketemu orangtuanya," kataku sambil memandangi Farhan yang lagi asik menguasai bola futsal di kakinya.

"Ide bagus," Chika menyambut dengan baik. "Nanti gue bakal mampir ke rumah Farhan kalo lo ada di sana."

Aku mengangguk menyetujui, karena aku nggak yakin bakal berani menghadapi keluarga Farhan seorang diri. Aku butuh Chika untuk membantuku beradaptasi.

Obrolan kami berakhir sampai di situ, karena setelahnya Chika pamit pulang. Dia bilang aku harus mengabarinya kalau hari ini aku memang benar akan ke rumah Farhan, dan aku mengangguk mengiyakan setelah sebelumnya kami bertukar nomor WA. Aku tersenyum sambil menyalaminya, dan kemudian dia pergi dari hadapanku.

Mataku kembali fokus ke Farhan yang masih asik main futsal di lapangan. Kakinya lincah ketika menggiring bola ke gawang lawannya, dan penjaga gawang lawan terlihat sudah siap menghadapi tendangan Farhan yang memang terkenal karena ketepatan bidikannya. Kali ini, aku melihat Farhan membidik sisi sebelah kiri gawang, yang membuat si penjaga gawang siap mempertahankan posisi sebelah sana. Tapi, ketika Farhan melakukan shooting, tendangannya bukan mengarah ke kiri, melainkan ke arah kanan. Penjaga gawang terlambat sedetik menyadari hal ini, dan dia sudah keburu menjatuhkan diri ke bagian kiri gawang ketika bola yang ditendang Farhan melesat kencang ke arah kanan, dan berhasil menjebol gawang.

Aku tersenyum menyaksikan selebrasi kemenangan yang dilakukan Farhan bersama teman-temannya. Farhan mengangkat tangan ke udara sambil lari memutar di sekitar lapangan. Kebahagiaanku terasa lengkap hanya dengan melihat Farhan bahagia seperti itu. Dia berangkulan bersama teman-temannya, meneriakkan yel-yel buatan mereka sendiri, kemudian mereka jatuh ke tanah bersama-sama. Mereka tertawa, berteriak kesakitan karena tertindih, lalu menjerit-jerit nggak terima saat orang-orang dari tim lawan ikut menjatuhkan diri ke atas tubuh mereka, menindih mereka, membuat mereka tertawa makin keras. Aku juga ikut tertawa dari tempatku menonton perbuatan mereka itu. Karena rasanya menyenangkan melihat pergaulan anak cowok yang nggak diwarnai kemunafikan.

Setelah selesai bertindih-tindihan, mereka bangkit dan membubarkan diri masing- masing. Sebagian besar dari mereka masuk ke ruang ganti, tetapi ada juga yang memutuskan langsung pulang.

Aku melihat Farhan sedang bicara dengan Leo dan aku mengerutkan kening dalam-dalam saat Farhan menunjuk ke arahku, lalu Leo tertawa mendengar apa yang dikatakan Farhan setelah dia menunjukku. Pasti lagi ngomongin aku. Nggak lama setelah itu mereka berpisah. Leo pulang, sedangkan Farhan mendekatiku.

"Tadi kamu ngomongin aku?" tanyaku, ketika dia sudah duduk di sebelahku.

Dia mengambil minum dari ranselnya. "Aku cuma bilang ke dia bahwa mungkin setiap hari aku bakal ada di depan gerbang sekolah ini untuk bisa ngelihat kamu, karena aku nggak tahan kalau sehari nggak lihat kamu."

Aku tersenyum, geli. Pantas saja Leo tertawa. "Oke, apa pun yang pingin kamu lakuin, lakuin aja." Lalu aku menatapnya serius. "Farhan, aku pingin main ke rumah kamu."

"Oh ya boleh. Kan kamu mau anterin aku pulang, jadi sekalian mampir aja."

Aku mengangguk, lalu tiba-tiba Farhan mengecup pipiku, yang membuatku langsung panas sebadan-badan. Aku mau protes untuk perbuatannya ini, tapi nggak ada kata yang bisa keluar dari mulutku. Rasanya ... kalau sudah dicium Farhan, entah itu di pipi, di kening, atau di bibir, aku nggak bisa lagi memprotesnya.

♡︎♡︎♡︎

RUMAH orangtua Farhan adalah bangunan satu lantai yang berdiri di atas tanah seluas kurang lebih setengah kilometer. Rumah itu sendiri memakan hanya setengah lebih sedikit bagian luas tanahnya, sementara sisanya diisi oleh pekarangan yang luas dan berumput hijau lembut. Ada ayunan kecil di pekarangan, beberapa pot berisi tanaman-tanaman hias—ada pot yang digantung, ada yang diletakkan di tanah, ada yang disusun menggunakan lemari besi. Gerbangnya bercat merah tua, dan ada jalan setapak yang nggak ditutupi rumput memanjang sampai ke bagian teras rumahnya. Garasi terpisah dari pekarangan, letaknya tepat di samping bangunan rumah.

Setelah memarkir motor di garasi, Farhan segera membawaku masuk ke dalam rumah lewat pintu pemisah antara garasi dan ruang belakang rumahnya. Begitu masuk ke dalam, aku disambut dengan nuansa warna biru muda yang lembut—dan jauh lebih lembut lagi ketika masuk lebih ke dalam. Farhan menyuruhku duduk di ruang tamu, sementara dia akan memanggil mamanya yang katanya sering pergi ke rumah Chika kalau sore-sore begini.

"Kamu mau minum apa?" tanya Farhan sebelum dia pergi memanggil mamanya.

"Nggak usah deh, entar aja."

"Ada Buavita, mau?" tawarnya.

Nggak enak kalau aku menolaknya. "Boleh, deh."

Farhan melesat cepat ke dapur, sementara aku sibuk melihat foto-foto yang menempel di dinding ruang tamu. Ada satu foto yang menarik perhatianku: foto Farhan bersama kedua orangtuanya yang dibingkai sangat besar menempel di dinding sebelah kiri dari pintu masuk. Dalam foto itu, Farhan dan kedua orangtuanya memakai pakaian berwarna sama, dengan motif berbeda-beda sesuai gender. Wajah mereka tampak mirip satu sama lain. Aku sudah pernah melihat ayahnya Farhan dulu ketika beliau menjemput Farhan di lokasi perkemahan, jadi sekarang aku nggak kaget lagi melihat ketampanannya yang terasa alami walaupun usianya sepertinya sudah menginjak ke kepala 4. Tapi begitu melihat mamanya Farhan, aku agak kaget karena sama seperti papanya, mamanya juga masih kelihatan cantik walau usianya juga mungkin sudah menginjak awal empat puluh tahunan. Senyum manis merekah di pipinya yang putih dan mulus, dan matanya yang sangat mirip sekali dengan mata Farhan menyorotkan kelembutan dan juga keanggunan seorang wanita. Aku tersenyum, dalam hati berkata, Pantes Farhan sempurna, lha wong orangtuanya juga sempurna.

Segelas Buavita jambu tersuguh di hadapanku saat Farhan kembali dari dapur. Dia menyuruhku meminumnya, sementara dia langsung melesat cepat keluar rumah lewat pintu belakang. Konon katanya Farhan sekeluarga lebih suka lewat pintu belakang kalau main ke rumah Chika.

Aku menunggu dalam keheningan, melihat-lihat foto yang terpajang di lemari kaca di sudut ruangan. Kebanyakan foto yang ada di lemari kaca itu adalah foto-foto Farhan dari dia kecil sampai remaja sekarang. Ada satu foto Farhan ketika dia masih kecil, kira-kira berumur 4 tahun, dengan pipi montok kemerahan dan mata yang teduh penuh kepolosan, menatap ke kamera sambil tersenyum riang gembira. Aku ikut tersenyum melihat si Farhan Kecil. Kalau Farhan Besar yang sekarang ini sempurna, maka Farhan Kecil yang ada di foto itu jauh lebih sempurna lagi. Lucu. Menggemaskan. Dan rasanya aku kepingin mencubit pipi montok si Farhan Kecil.

Suara mobil terdengar masuk ke garasi, lalu suara pintu mobil ditutup, kemudian suara langkah sepatu mengetuk lantai.

"Assalamualaikum, Papa pulang."

Tiba-tiba aku gugup. Aku duduk kaku di kursi tempat dudukku, menunggu dengan jantung berdebar-debar saat suara langkah sepatu papanya Farhan bergerak mendekat ke arahku. Aku nggak tahu kata-kata perkenalan apa yang harus aku ucapkan ke papanya Farhan. Kalau aku salah memilih kata-kataku, bisa-bisa papanya Farhan malah nggak suka denganku dan menilai perilakuku buruk.

Saat suara langkah sepatu itu sampai di dekatku, keteganganku sudah hampir membuat saraf-sarafku putus. Aku menelan ludah banyak-banyak saat papanya Farhan bicara padaku untuk pertama kalinya.

"Temennya Farhan?" tanyanya sambil tersenyum.

Aku mengangguk kikuk, nyengir. "Iya, Om. Hehe." Aduh, kenapa harus pake embel-embel hehe segala, sih? Dino bodoh! Itu nggak sopan!

"Farhan-nya ada?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk. "Lagi manggil mamanya di rumah Chika, Om. Saya disuruh nunggu di sini."

"Oh," papanya angguk-angguk.

Dan, kesalahan pertama yang aku buat adalah nggak langsung mencium tangannya! Justru, malah papanya Farhan yang menyodorkan tangannya kepadaku sambil tersenyum dan mengatakan, "Nama kamu Dino, kan?"

Aku mengangguk mengiyakan, dan menjabat tangannya. Saking gugupnya, aku bahkan nggak sempat memikirkan kenapa papanya Farhan tahu namaku?

"Saya pernah ketemu kamu di perkemahan, ingat?" katanya. "Farhan cerita banyak tentang kamu."

Aku tersenyum membayangkan namaku disebut-sebut di antara obrolan Farhan bersama keluarganya. Kira-kira, apa ya yang diceritakan Farhan tentang aku ke kedua orangtuanya? Satu hal yang pasti, Farhan nggak mungkin menceritakan aku sebagai cowok yang ditaksirnya.

"Salam kenal, Om," akhirnya aku bersuara setelah beberapa saat merenungi kesalahan pertamaku yang nggak menyalaminya terlebih dulu. Lalu, walaupun sudah terlambat karena sudah menjabat tangannya agak lama, aku mencium punggung tangannya. Kupikir papanya Farhan akan mengerutkan kening karena aku baru mencium tangannya belakangan, tapi beliau malah tersenyum lembut, sama lembut dengan senyuman anaknya.

"Ya udah tungguin Farhan sebentar, ya, Om mau mandi dan ganti baju dulu."

Aku mengangguk kaku sambil berusaha menjaga senyumku supaya nggak luntur. Papanya Farhan memutar tubuh, bersiap melangkah pergi meninggalkanku sendirian
lagi di ruang tamu. Aku baru saja mau mengembuskan napas lega karena sudah bebas darinya ketika tiba-tiba dia berbalik dan berkata, "Dino pulangnya malem, kan?"

Aku mengangguk. "I-iya, Om."

"Bagus. Biar ikut makan malem aja di sini bareng kami."

Anggukan kaku lagi, dan setelah itu dia pergi.

Embusan napas lega saja nggak cukup bagiku yang akan berhadapan dengan orangtuanya Farhan nanti saat makan malam. Kegugupan merayap di punggungku, pikiran-pikiran menakutkan berkelebat dalam kepalaku. Bagaimana kalau aku nggak berhasil menyenangkan hati orangtuanya Farhan? Bagaimana kalau papanya Farhan menganggapku anak yang nggak sopan karena nggak langsung mencium tangannya saat dia berada di hadapanku? Aaaargh.

Lepas dari papanya, aku harus berhadapan dengan mamanya. Beliau datang dengan digandeng oleh Farhan yang tersenyum bangga saat mengenalkannya kepadaku. "Ma, ini Dino. Dan Dino, ini Mama."

Aku segera berdiri. Karena nggak mau mengulangi kesalahan yang sama, langsung kuambil tangan mamanya Farhan, lalu menciumnya. "Nama saya Dino, Tante."

Mamanya Farhan tersenyum sangat manis, matanya menatapku sangat lembut. Aura keibuan terpancar sangat kuat pada sosoknya. Rambutnya hitam panjang tergerai rapi sampai ke batas tulang belikat, wajahnya yang tirus sangat cantik dan kulit-kulitnya masih kelihatan kencang—belum terlihat tanda-tanda penuaan sama sekali—yang membuatnya terlihat lebih anggun dan cocok sekali dengan pembawaannya yang kalem.

"Senang berkenalan denganmu, Dino," kata mamanya. "Akhirnya Tante bisa ketemu kamu juga. Farhan sering membicarakan kamu. Dan ternyata dia nggak bohong waktu bilang kamu ganteng dan imut."

Aw, aku malu. Nggak anaknya, nggak papanya, nggak mamanya, semuanya paling bisa membuatku tersipu malu seperti anak gadis yang dipuji karena kecantikannya.

"Ajak Dino ke kamar kamu, gih," kata mamanya ke Farhan. "Nanti habis Maghrib kita makan malem bareng." Mamanya kembali menoleh ke aku. "Dino ikut makan malem di sini, ya?"

Aku mengangguk. "Iya, Tante."

Tersenyum lembut sekali lagi, lalu setelah itu mamanya pergi, meninggalkanku dan Farhan berduaan di ruang tamu. Aku masih nggak bisa menghilangkan senyum di wajahku ketika memikirkan aku yang sering dibicarakan oleh Farhan kepada orangtuanya. Aku nggak pernah nyangja ternyata Farhan sampai segitunya ke aku. Pantas saja waktu di perkemahan dulu papanya Farhan melambaikan tangan padaku.

"Ngelamunin apa, sih?" tanya pacarku yang ganteng itu, yang tahu-tahu sudah merangkulku, lengannya melingkari leherku, dagunya di bahuku, matanya menatap ke dalam mataku. "Aku ngelihat kebahagiaan di mata kamu." Dia nyengir, lalu mencium pipiku.

Aku was-was, juga panas. "Jangan di sini," bisikku, pelan, khawatir. "Nanti orangtua kamu bisa tahu."

"Nggak akan," katanya. "Mama dan Papa kalo udah di kamar nggak bakalan keluar sampai makan malam." Dia menciumi pipiku berkali-kali, membuatku tertawa kecil karena terlalu bahagia mendapat banyak kecupannya yang hangat. "Aku beneran kangen pingin cium kamu."

Kunaikkan kedua alisku. "Oh, yeah? Kenapa nggak langsung ajak aku ke kamar, dan kamu bebas ciumin aku sepuasnya di sana."

Farhan tersenyum, lalu menggandeng tanganku dan membawaku masuk ke kamarnya yang terletak di ruang tengah. Kamar orangtuanya berada jauh di belakang dekat ruang makan, jadi kami nggak perlu khawatir mereka akan mendengar desahan kami. "Asal mendesahnya jangan sampai teriak-teriak kayak pemain bokep, orangtuaku pasti nggak akan curiga," jelasnya ketika kami sudah berada di dalam kamar, dan dia mengunci pintu rapat-rapat.

Aku duduk di ujung kasur empuknya, memandangi kamar Farhan yang didonaminasi warna biru-kuning-merah terang dengan sedikit sentuhan warna putih di beberapa bagian. Di dinding kepala kasur ada poster besar bergambar kesebelasan tim Real Madrid yang memakai jersey musim tahun ini. Di salah satu sisi dinding yang kosong tanpa digantungi apa pun, gambar logo Real Madrid F.C. dilukis dengan sangat indah oleh tangan-tangan yang pastinya terbaik karena bisa menciptakan grafiti logo sebagus dan sedetail itu. Aku ingat Farhan pernah mengatakan ke Papa bahwa dia adalah fans Real Madrid sejati—apa nama sebutannya? Madridista sejati, kalau nggak salah. Secara garis besar, kamarnya dipenuhi dengan nuansa Real Madrid. Bahkan seprai kasurnya pun bergambar Real Madrid. Benar-benar kamar cowok sejati. Ada gitar di pojokan, ada komik-komik cowok di meja belajar. Dan, oh, bahkan ada pakaian kotor bertebaran di lantai. Ew. Celana dalam Farhan tergeletak tak berdaya di bawah kasur.

Selagi Farhan melepas kemeja sekolahnya, aku melihat bingkai-bingkai yang ditata rapi di atas meja yang ada di sebelah kasur. Salah satu bingkai berisikan foto Farhan bersama tim futsal memakai jersey hijau terang. Di bingkai lain, foto Farhan bersama timnya memakai jersey biru muda. Total keseluruhan ada enam bingkai berisi foto Farhan bersama tim futsalnya, dan kesemuanya memakai jersey yang berbeda warna dan desain. Dari keenam foto itu, kuperhatikan hanya ada tiga wajah yang selalu muncul di setiap foto. Wajah Farhan, wajah Leo, dan—

Tunggu dulu.

Kuamati wajah yang satunya lagi dengan saksama. Kudekatkan salah satu foto ke wajahku, supaya bisa melihat lebih jelas. Dalam foto, di sebelah Leo berdiri seorang cowok putih, tinggi, ganteng, dengan senyum manis lebar membelah dua wajahnya, menatap ke kamera. Sambil mengamati, otakku berusaha mencari sosok itu di dalam memori ingatanku. Aku yakin pernah melihatnya, dan bahkan mengenalnya. Wajahnya nggak asing. Tatapan matanya pernah kulihat. Tapi, di mana?

Lalu, sekonyong-konyong ingatan itu muncul begitu saja. Egy. Cowok yang ada di foto itu wajahnya mirip sekali dengan wajah Egy. Dan kemudian, sosok Sebastian muncul dalam ingatanku.

Ingatan tentang Sebastian sebagian besar terjadi di rumah Egy ketika aku, Bimo, dan juga Lendra (saat dia masih hidup) sering main ke rumah Egy. Di sana, kami biasanya bertemu Sebastian yang sehabis main futsal lengkap dengan jersey-nya yang basah kuyup karena keringat. Sebastian hanya akan tersenyum setiap kali dia melihat kami di rumahnya, tetapi selebihnya nggak ada lagi. Aku jarang bicara dengannya, dan nggak pernah tahu apa-apa tentangnya kecuali fakta bahwa dia adalah adik bungsu Egy yang berumur dua tahun lebih muda dariku.

Dan itulah dia. Sebastian. Adik bungsunya Egy yang paling dia sayangi, karena Sebastian adalah satu-satunya adik lelaki yang dia punya, dan dia berharap banyak kepadanya. Aku nggak tahu ternyata Farhan kenal dengan Sebastian sampai bisa berada di enam tim yang berbeda dengannya.

"Farhan, yang ini namanya Sebastian, kan?" tanyaku.

Farhan yang sudah telanjang dada duduk di sebelahku. Dia melihat wajah Sebastian yang kutunjuk dalam foto. "Iya. Tapi kami lebih sering manggil dia Bastian, sih. Kenapa emang? Dia itu gebetannya Leo."

Fakta bahwa ternyata Bastian adalah gebetannya Leo benar-benar membuatku terkejut dan nyaris nggak percaya. Bastian terlalu straight untuk jadi gay. Setiap kali bertemu dengannya di rumah Egy, aku selalu mengamati tingkah lakunya untuk mencari tanda-tanda yang menunjukkan apakah dia berpotensi jadi seorang gay atau nggak. Dan memang nggak ada. Nggak pernah ada tanda-tanda apapun dalam tingkah lakunya yang menunjukkan bahwa dia gay! Bastian terlalu lakik untuk bisa disangka gay oleh kami. Ya Tuhan, kenapa gay zaman sekarang semakin pandai saja menutupi identitas mereka?

"Ini nggak mungkin," aku berbisik sambil menggeleng.

"Nggak mungkin apanya? Gebetan sama Leo?" Farhan menebak. "Si Bastian udah lama naksir sama Leo, tapi baru akhir-akhir ini aja Leo-nya ngerespons."

Aku menggeleng lagi. Berita ini terlalu mengejutkan buatku. Kenyataan bahwa adik lelakinya gay bisa jadi senjata makan tuan untuk Egy. "Nggak mungkin, Farhan. Bastian nggak mungkin gay."

Farhan menangkap nada nggak percaya dalam suaraku. "Kenapa, Dino? Kamu kenal sama dia?"

Aku mengangguk, menatap ke dalam matanya. "Bastian ini adik kandungnya Egy."

Sesaat, keterkejutan itu menguasai wajah Farhan. Dia menatapku ngeri, lalu menggeleng juga. "Jangan bercanda."

"Aku nggak bercanda," kataku, menaruh bingkai foto itu kembali ke tempatnya. "Bastian beneran adiknya Egy. Kamu kenal dia di mana?"

"Di tempat aku biasa main futsal. Itu foto-foto aku sama tim futsalku setiap kali ikut turnamen. Aku, Leo, dan Bastian selalu jadi satu tim karena bisa dibilang kami yang paling bisa diandalkan." Farhan menjelaskan, dan aku mengangguk mendengar penjelasannya. "Aku nggak pernah tahu Bastian adiknya Egy."

"Aku juga baru tahu ternyata Bastian satu tim futsal bareng kamu."

"Dia dua tahun lebih muda dari kita, kan?" tanya Farhan. "Dia sekarang kelas 10."

Aku mengangguk. "Farhan, kalau Egy sampai tahu bahwa adik kandungnya adalah gay—"

"Itu bisa jadi senjata makan tuan untuknya," Farhan menyelesaikan kalimatku.

Aku setuju dengannya. Egy yang homophobia dan membenci hubungan kami. Egy yang memandang kami jijik setiap kali dia melihat wajah kami. Egy yang bahkan menganggap bicara dengan kaum gay adalah dosa terbesar. Egy yang itu, sahabatku, ternyata mempunyai adik lelaki gay. Adik lelaki yang paling dia sayang. Adik lelaki yang paling dia andalkan. Siapa yang pernah menyangka bahwa ternyata adik lelakinya justru adalah sumber rasa takutnya?

Aku nggak bisa membayangkan bagaimana kalau Egy tahu? Apakah dia akan membencinya juga? Apakah dia akan menatapnya jijik? Apakah ketakutannya terhadap kaum gay akan mengalahkan rasa sayang kepada adiknya? Oh, Egy. Betapa Tuhan sangat adil terhadap hidup yang kita jalani ini.

Aku nggak mau bilang ini karma, karena ini memang bukan karma. Bastian gay, dan itu bukan karena kesalahan Egy. Aku yakin Tuhan nggak pernah mengutuk Bastian jadi gay hanya semata-mata karena kesalahan Egy yang sangat membenci kaum gay. Bastian gay karena dia memang ... gay. Dan bahkan Egy, kakaknya yang homophobia pun tentu nggak akan bisa mencegahnya jadi gay. Itu mengalir di dalam diri Bastian. Sama seperti aku, Farhan, dan juga Leo. Walupun Leo dan Bastian nggak sedikit pun kelihatan aura gay-nya, tapi mereka tetap saja gay. Selamanya mereka akan selalu jadi gay.

Tanpa sadar karena terlalu banyak mikir, tahu-tahu Farhan sudah melepas kancing kemeja OSIS-ku hingga terbuka. Farhan menanggalkan kemeja dari tubuhku sehingga aku telanjang dada. Kami berdua sudah telanjang dada. "Kita pikirin lagi nanti masalah Bastian dan hubungan sedarahnya dengan Egy," katanya, sangat lembut sampai hampir terdengar seperti mendesah. "Sekarang aku cuma pingin mikirin kamu, Dino. Aku cuma kepingin merasakan manisnya bibir kamu yang selalu tersenyum untukku." Ini adalah kata-kata pancingan Farhan untuk membangkitkan gairahku.

Dan aku akhirnya terpancing. "Kamu memang nggak pernah gagal memancing nafsuku, Farhan."

Tali pinggangku sudah terlepas, dan kancing celanaku sudah terbuka. Farhan menurunkan ritsleting, kemudian jari-jarinya masuk ke celana dalamku. Aku mendesah kecil, membuat Farhan tersenyum, lalu berbisik sambil mendesah, "Aku suka setiap kali mendengarmu mendesah." Bibirnya lalu melumat bibirku, dan kemudian kami bertindihan di kasur.

Sore itu, kasur Farhan menjadi saksi bisu ganasnya nafsu yang menguasai kami, membakar kami, meluluhlantakkan kami. Kasur Farhan sudah mengenali kami. Dinding kamar Farhan sudah mendengar desahan kami. Kamar Farhan sudah jadi bagian dari kisah cinta kami.

♡︎♡︎♡︎

KAMI keluar kamar sekitar pukul setengah tujuh lewat sepuluh menit. Mama dan papanya Farhan sudah berada di ruang makan, duduk di meja makan yang di atasnya tersaji berbagai jenis masakan tumis dan gorengan, juga ada sayur dan buah-buahan. Oh, dan bahkan ada dua gelas susu yang sudah disiapkan untuk kami.

Farhan menarik kursi untukku duduk di sebelahnya. Aku duduk berseberangan dengan mamanya Farhan yang tersenyum sambil menawariku makan sebanyak-banyaknya, nggak usah malu, anggap aja ini rumah sendiri. Aku membalas senyumnya, dan menggumamkan syukur dalam hati karena bisa diterima dengan baik oleh keluarganya Farhan.

"Jadi Dino hobinya apa?" tanya mamanya Farhan, membuka obrolan.

"Main bakset, Tante," jawabku, tersenyum. "Dan baca novel, sesekali."

"Dino juga suka baca novel?" tanya mamanya nggak percaya, seolah-olah anak muda cowok seperti aku nggak mungkin doyan baca novel.

"Ya, Tante."

"Tante juga suka baca." Dia memasukkan daging ayam ke mulut, mengunyahnya, lalu setelah menelannya, kembali bertanya, "Kamu baca Supernova, nggak?"

"Karya Dee?" Aku membelalakkan mata. "Ya jelas, Tante, itu novel yang paling Dino suka, loh!"

"Tante juga." Senyum mamanya lebih lebar lagi, matanya ikut tersenyum dan bersinar cerah. "Tante mulai baca itu waktu Farhan masih berumur dua tahun."

Aku menyetujui. "Katanya sih buku terakhirnya bakal rilis tahun depan, Tante."

"Inteligensi Embun Pagi judulnya," kata mamanya, tersenyum. "Dan Dee bakalan ngadain PO untuk buku yang bisa ditanda tanganin." Lalu mamanya menatapku lekat-lekat. "Kita harus beli, Dino. Kita harus ikut PO. Biar nanti Tante yang pesenin, oke?"

Aku mengangguk kelewat senang, dan tersenyum kelewat bahagia. Ternyata mudah ya mengambil hati calon mertua yang satu selera dengan kita? "Oke, Tante, pokoknya kita harus dapetin tanda tangan Dee Lestari!"

Kami berdua tertawa.

Papanya Farhan memandangiku dan istrinya sambil tersenyum dan geleng-geleng kepala. "Akhirnya Mama nemuin orang yang seleranya sama, ya?"

Dan Farhan, yang saat ini bisa dibilang suamiku, juga tersenyum sambil menepuk-nepuk bahuku. "Nggak nyangka ternyata Mama bisa cepat akrab sama Dino."

Aku dan mamanya Farhan cuma tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ini benar-benar membahagiakan! Aku dan mamanya Farhan seolah-olah dua wanita cantik yang sedang asik membicarakan buku Supernova-nya Dee Lestari sambil ditemani secangkir susu panas, dan suami-suami kami berada di sebelah kami, ikut menemani. Hihi, ternyata makan malam bersama keluarga Farhan nggak semengerikan yang aku kira. Apalagi, kedua orangtuanya benar-benar sangat baik kepadaku, dan nggak ada cela sedikit pun dari sikap yang mereka tunjukkan kepaku.

Mamanya nggak pernah berhenti tersenyum ketika mataku dan matanya bertemu pandang. Beliau malah menyuruhku untuk nambah lagi, makan yang banyak, biar gemuk, biar makin ganteng dan sehat. Papanya Farhan juga selalu tersenyum ketika dia mengajakku ngobrol seputar kehidupanku. Secara garis besar, pertanyaan papanya Farhan nyaris sama dengan pertanyaan yang pernah dilontarkan papaku dulu ketika Farhan sarapan bersama keluargaku. Dan sepertinya memang sudah jadi tugas seorang ayah kali ya untuk menginterogasi teman anak kesayangannya?

"Jadi Dino satu sekolah dengan Retno juga ya?" tanya papanya Farhan, mengganti topik secara tiba-tiba.

Aku mengangguk. "Satu kelas malah, Om."

"Retno anaknya Tanu?" tanya mamanya, yang sudah selesai dengan makanannya. Piringnya kosong. Dia mengambil tisue, mengelap mulutnya dengan benda itu setelah selesai minum. "Jadi Dino satu kelas dengan Retno?' Pertanyaan sama, yang segera aku jawab dengan anggukan. "Oh iya pantesan, waktu itu Retno pernah cerita ke Tante katanya dia sekelas sama Dino. Dan katanya juga, pacarnya Retno yang sekarang temenan sama kamu. Bener, nggak?" Mamanya Farhan menatapku.

Aku dan Farhan tukar pandang sebentar mendengar pertanyaan mamanya.

"Pacarnya Retno?" tanya Farhan. "Siapa?"

Mamanya angkat bahu. "Siapa gitu namanya, lupa. Dua hari yang lalu waktu Mama main ke rumah Tante Nela, Retno cerita begitu, katanya pacarnya temenan sama Dino juga."

Siapa, ya? Farhan mengangkat bahu saat aku melemparkan tatapan penuh tanya kepadanya. Dan ketika Farhan melemparkan tatapan yang sama, aku cuma menggeleng. Aku sudah jarang ketemu dan ngobrol dengan Retno di sekolah. Singatku terakhir kali aku ngobrol dengannya adalah ketika Farhan meninggalkanku karena aku mengabaikannya. Hari itu bertepatan dengan meninggalnya Lendra.

Sekarang ketika aku mengorek kembali obrolan kami waktu itu, aku ingat yang diucapkan Retno, "Aku lagi deket sama seseorang. Seseorang yang spesial. Dia sempurna untukku. Tapi ... aku ragu karena aku kayaknya bukan perempuan yang cocok untuk dia." Nah, kira-kira, dari pernyataannya ini, siapa orang spesial yang sangat sempurna untuknya itu yang merupakan temanku?

"Coba Mama inget-inget sebentar," kata mamanya Farhan sebelum aku mulai mengurutkan daftar nama teman-temanku yang mungkin jadi pacarnya Retno saat ini. "Kalo nggak salah namanya Niko—eh, bukan. Niko atau Riko, ya? Riko deh kayaknya," kata mamanya Farhan setelah hampir setengah menit dia memejamkan mata mencari nama. "Ya. Riko. Mama yakin namanya Riko." Beliau menatapku. "Dino punya teman yang namanya Riko?"

Aku dan Farhan mengangguk. Kami bertatapan lagi. Muka Farhan langsung berubah kesal ketika mamanya menyebut nama Riko. Mungkin Farhan masih marah karena kejadian di kamarku waktu itu ketika dia memergoki Riko memeluk dan berusaha menciumku.

Dan ternyata, bukan itu alasannya.

Setelah makan malam selesai Farhan membawaku ke kamarnya, mengunci pintu, lalu kami tidur sambil pelukan di kasur. Kepalaku kuletakkan di dada kirinya, sementara jemarinya menyisir rambutku. Saat itulah Farhan bicara dan mengungkapkan alasan sebenarnya marah mendengar Riko pacaran dengan sepupunya.

"Aku nggak suka sama cowok-cowok gay yang pacaran dengan perempuan," katanya.

Aku diam agak lama. "Tapi Riko awalnya bukan gay. Dia jadi gay cuma untuk ... aku. Katanya, dia nggak pernah punya rasa yang spesial untuk laki-laki lain kecuali aku. Dia bukan gay, Farhan. Sama kayak kamu yang dulunya bukan—"

"Dulu, iya. Sekarang? Jelas aku gay." Farhan memotong kata-kataku. "Pokoknya aku nggak suka Retno pacaran sama Riko. Bukan karena masalah waktu itu aku mergokin Riki peluk dan ciumin kamu, tapi karena aku nggak mau Retno terluka karena mencintai orang yang salah. Coba kamu bayangin gimana kalau suatu hari nanti Riko tiba-tiba jatuh cinta sama cowok lain? Gimana kalau suatu hari nanti Riko ninggalin Retno demi cowok yang dia cintai? Itu bisa jadi bencana buat Retno, Din. Jadi seorang perempuan yang ditinggalin lelaki cuma demi lelaki lain? Aku nggak bisa bayangin gimana rasa sakitnya."

Mungkin dua kali lipat lebih menyakitkan daripada ditinggalin demi perempuan lain, kataku dalam hati, sepakat bahwa Farhan benar. Apa yang mencegah Riko untuk nggak menyukai lelaki lain hanya karena dia sudah pacaran dengan perempuan? Nggak ada. Kalau dia saja bisa dengan mudahnya berpaling dari Lova dan menyatakan cinta ke aku, apa yang mencegahnya untuk nggak melakukan itu ke cowok lain?

Aku berniat untuk memberitahu Farhan bahwa bisa jadi Riko seorang bisex, tapi ketika kulihat muka Farhan merengut marah jadinya kuurungkan niat itu. Aku memeluk Farhan, mengecup rahangnya sehingga raut wajahnya kembali ceria. Dia balas mencium keningku.

Mungkin Riko memang bisex yang suka sama cowok tapi masih doyan cewek juga. Atau mungkin dia memang berengsek, pacaran sama Retno cuma untuk menutupi kehomoannya saja. Pokoknya, apa pun motif Riko memacari Retno, aku cuma berharap semoga yang terbaik untuk mereka berdua.

Bandar Lampung, 09 Desember 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top