Tiga Puluh Delapan
"I don't even know you. You're just someone new I don't want to talk to." — The Vaccines, Wolf Pack
BACK to school.
Bukannya semangat karena akan duduk di kelas dan suasana baru, tapi aku malah cemberut. Aku bisa memberikan seribu alasan kenapa aku nggak semangat masuk sekolah hari ini, tapi hanya tiga alasan paling utama saja yang akan kuberitahukan pada kalian.
Pertama, karena ketika menjejakkan kaki di sekolah, aku menyadari bahwa Farhan sudah nggak ada di sini lagi, bahwa aku nggak akan bisa mampir ke kelasnya sebentar sebelum masuk ke kelasku sendiri. Nggak ada lagi momen yang bisa kubangun bersama Farhan di sekolah ini. Yang tersisa sekarang hanyalah kenangan tentang Farhan yang terasa nyata setiap kali aku memandang ke beberapa tempat yang pernah menjadi saksi bisu kebersamaan kami dulu.
Kedua, karena Dea dengan sialnya diterima di sekolah ini. Aku menggerutu kesal mendengar kabar darinya bahwa ketika membaca pengumuman hasil penerimaan siswa baru namanya muncul di SMA 10, tempatku bersekolah. Dea semangat sekali karena bisa satu sekolah denganku, tapi aku nggak bisa sesemangat dia karena nggak bisa kubayangkan akan jadi seperti apa hari-hariku di sekolah kalau ada Dea. Bisa saja nanti ketika aku membuat kesalahan kecil di sekolah yang berniat aku tutupi dari orangtuaku, Dea malah membongkarnya. Bisa saja nanti ketika diam-diam aku kabur dari kelas dan makan di kantin, kemudian Dea memergokiku, lalu dia memberitahukan itu ke Mama. Pokoknya segala kemungkinan terburuk tentang Dea yang akan mengadukan semua perbuatan burukku di sekolah berhasil membuatku malas untuk berangkat sekolah.
Terakhir, alasan yang ketiga, karena tahun ini aku ditunjuk lagi untuk jadi panitia MOS! Aku sudah menolak penunjukan yang seenak jidat Ketua OSIS-nya itu, tetapi penolakanku nggak ada gunanya begitu guru yang memegang jabatan Kepala Bidang Kesiswaan turun tangan dan memaksaku untuk ikut berpartisipasi sebagai panitia MOS. Aku menggerutu jengkel dan berkata dengan kesal bahwa aku mau jadi panitia MOS asalkan Bimo juga harus mau, karena aku nggak mau jadi panitia MOS sendirian tanpa sahabatku. Lalu mereka memaksa Bimo juga, dan akhirnya kami terjebak lagi dalam tiga hari MOS paling membosankan.
Jadi panitia MOS ini mengingatkanku pada tahun lalu ketika pertama kali aku bertemu Lendra di hari pertama MOS. Ini membuatku meringis karena kangen, dan juga khawatir aku bakal naksir calon siswa baru tahun ini. Tapi aku sudah sepakat pada diri sendiri bahwa aku nggak boleh terpengaruh oleh siswa baru yang wajahnya ganteng dan imut, karena aku harus ingat dengan Farhan. Aku sudah punya Farhan, jadi nggak boleh naksir dengan orang lain.
"Kak, nanti kalau kakak kelas yang nge-MOS aku orangnya galak, tolong Kakak bilangin ke dia ya, jangan galak-galak ke aku," kata Dea setelah dia turun dari motorku. Ini salah satu alasan lain kenapa aku nggak suka Dea satu sekolah denganku: dia harus berangkat sekolah bareng aku. Memang nggak terlalu masalah, sih. Tapi tetap saja aku nggak bisa sebebas dulu. Satu lagi kebebasan yang direnggut paksa dariku setelah Farhan.
"Aku nggak janji," kataku, melepas helm dan meletakkannya di spion. "Namanya juga MOS. Kalau kakak kelasnya galak, artinya bukan galak, tapi tegas."
Dea cemberut karena aku nggak mengindahkan permintaannya. "Tapi nanti siang Kakak temenin aku makan siang, ya?"
"Males ah. Kamu kan udah gede, makan siang aja sendiri."
Dea makin cemberut. "Ih, masa gitu sih? Padahal ada temen aku yang mau ketemu sama Kakak."
Aku mengerutkan kening. "Siapa?"
"Ada deh. Rahasia. Kalau mau tahu, nanti siang temenin aku makan di kantin. Ajak Kak Bimo juga nggak apa-apa."
Aku nggak penasaran, kok. Aku malah nggak peduli dengan temannya itu. Tapi aku tetap mengangguk mengiyakan permintaannya, karena nggak ada salahnya juga menemani adik semata wayangku makan siang di kantin pada hari pertamanya di sekolah.
"Kalau gitu kamu langsung gabung aja sama teman kamu," kataku, memerintah. "Upacara penerimaan murid baru dimulai jam setengah delapan." Kulihat arloji, dan sekarang sudah hampir saatnya upacara dimulai. "Nah ini udah hampir setengah delapan. Aku harus pergi duluan, De," pamitku.
Dea mengangguk pelan dan melambaikan tangan ketika aku berlari meninggalkannya.
Bimo dan panitia MOS lain—yang sebagian besar nggak aku kenali—sudah berkumpul di ruang OSIS. Ternyata aku telat. Saat aku datang, mereka sudah siap pergi berbaris ke lapangan untuk upacara. Ketika mereka semua keluar dari ruang OSIS dan melewatiku begitu saja yang masih ngos-ngosan di ambang pintu, aku bisa melihat Lova ada di antara mereka. Kalian tentu masih ingat Lova, kan? Cewek berengsek yang pernah jadi pacarnya Lendra dan Riko—dia memutuskan hubungannya dengan mereka karena lebih memilih cowok yang lebih ganteng dan kaya daripada mereka. Perempuan itu tersenyum padaku, tapi aku nggak membalas senyumnya. Ternyata tahun ini dia jadi panitia MOS lagi, dan aku penasaran kira-kira tahun ini siswa baru mana yang akan dia mangsa selanjutnya?
"Lo telat, Din," kata Bimo di sebelahku. Dia tipe sahabat yang setia kawan, yang rela nungguin temannya yang lagi ngos-ngosan, sambil meanyodorkan sebotol air putih. Aku menerima botolnya dan meminumnya sampai habis setengah. "Jangan dihabisin geh, Bego! Gue juga mau minum!" Dia menempeleng kepalaku, dan aku menghentikan minumku. Dia mengambil botol dari tanganku, lalu menaruhnya di dalam tas. "Kita kebagian kelas X IPA 2 tahun ini."
Tahun kemarin kami dapat kelas X-3—kelas yang jadi saksi pertemuan pertamaku dengan Lendra. Aku mengangguk oke sambil bersyukur karena nggak dapat kelas yang sama seperti tahun kemarin. Kalau tahun ini kami dapat kelas X-3 lagi, aku nggak yakin bakal bisa menahan pikiranku tentang Lendra dan segala kenangan manis bersamanya. Karena terkadang ketika aku mengunjungi suatu tempat yang dulu pernah aku kunjungi bersama Lendra, kenangan tentangnya akan langsung membanjir seperti tsunami di dalam otakku.
"Yuk, kita harus ke lapangan," ajak Bimo, menggamit lenganku.
Di sepanjang jalan menuju ke lapangan aku bertanya, "Siapa yang bakal sekelas dengan kita tahun ini?" Tahun lalu kami sekelas dengan Lova, Kak Panji, dan Kak Tria. Karena tahun ini Kak Tria dan Kak Panji sudah lulus, jadi aku ingin tahu siapa tiga orang lain yang akan mengurus kelas X IPA 2 bersama kami.
"Yuna—anak kelas XI IPA 1 yang dulu pernah sekelas sama Lendra." Bimo agak-agak sedih ketika dia menyebut nama Lendra. Ternyata kami memang nggak bisa pulih secepat itu dari kematiannya. "Terus ada Puput, anak kelas XI juga. Yang satunya lagi si Leo."
"Siapa dia? Kelas berapa?"
"Leo Alvaro—yang satu tim futsal bareng pacar lo," jawab Bimo. "Masa lo nggak kenal?"
Nggak butuh waktu lama, aku langsung ingat. Baru seminggu yang lalu aku mendengar Farhan menyebut-nyebut soal Leo—teman satu tim futsalnya yang akan menjagaku di sekolah, supaya nggak ada yang nakalin aku (emang dasar lebay pacarku itu!). "Oh iya ya, gue inget," kataku. Dan di sini aku bertanya-tanya, apakah Leo sengaja ditempatkan di kelas yang sama denganku atas permintaan Farhan supaya dia bisa mengawasiku, atau memang hanya kebetulan semata?
Kami sampai di lapangan, dan upacara ternyata sudah berlangsung seperempat jalan. Ketua OSIS dan Bapak Kepala Bidang Kesiswaan memelototi aku dan Bimo begitu kami masuk ke barisan panitia. Aku berdiri di tengah-tengah antara Bimo dan seorang cowok tinggi berkulit agak kecokelatan dengan alis mata yang sangat lebat dan hitam pekat. Cowok ini tersenyum ketika aku menoleh ke arahnya, dan aku membalas senyumnya. Nggak ada yang menarik dari senyumannya, kecuali ketika dia memamerkan giginya, senyum itu jadi kelihatan lebih manis. Rambutnya dipotong dengan gaya undercut, dan ada jambang yang tumbuh memanjang sampai ke garis bawah tulang rahangnya yang tajam. Hidungnya bangir, ada kumis tipis di bawah hidungnya. Bulu matanya sangat lebat, dan kedipannya terkesan sangat indah. Ganteng.
"Telat?" bisiknya setelah senyumnya menghilang.
"Iya nih," aku balas berbisik sambil mengangguk. Aku nggak gugup kok diajak ngobrol cowok ganteng ini, B aja gitu. "Sampe dipelototin sama Bapak Tua itu tuh!"
Dia tertawa kecil, sangat kecil sampai hampir nggak kedengaran. "Makanya lain kali harus dateng lebih pagi, Din." Saat dia memanggilku "Din", aku langsung heran. Cowok ini mengenaliku. Tapi aku nggak kenal dengannya. "Emangnya Farhan nggak bangunin lo?" Nah, dia kenal Farhan juga.
"Kok lo kenal Farhan?" tanyaku, agak keras sampai suaraku sama kerasnya seperti suara Ketua OSIS yang saat itu sedang gilirannya memberi sambutan.
Dan karena mulut besarku itulah yang membuat kami akhirnya ditegur.
"Kak Dino dan Kak Leo tolong berhenti sebentar ya ngobrolnya, karena di sini saya juga lagi berbicara." Ini Ketua OSIS yang menegur kami.
Aku langsung menundukkan kepala, sementara si Leo di sebelahku nyengir-nyengir nggak jelas. "Jadi lo udah tahu nama gue, kan?"
Aku mengangguk dan nggak mau mengangkat mukaku lagi. Aku malu. Bukan cuma karena diketawain calon siswa baru, tapi juga karena Leo, teman satu tim futsalnya Farhan ternyata berdiri di sebelahku dan aku nggak mengenalinya. Aku memang kayak pernah melihat dia sesekali di lapangan futsal ketika aku menemani Farhan latihan, tapi nggak pernah benar-benar memperhatikan wajahnya cukup lama untuk bisa mengingatnya.
Dan sialan, Farhan! Kenapa kamu nggak pernah mengatakan bahwa temanmu yang akan menjagaku ternyata wajahnya sangat tampan? Aku suka ngelihatin muka Leo yang bersih tanpa jerawat itu. Walaupun kulitnya nggak seputih kulitku, tapi justru itulah yang paling menarik darinya. Kulit cokelat terbakar mataharinya memberi kesan yang lebih macho dan gagah. Apalagi ketika diam-diam aku meliriknya lewat ekor mataku, dia sedang berdiri tegap dengan dada dibungsungkan, kepala menatap lurus ke depan. Keningnya berkilauan karena keringat, dan air keringat itu mengalir turun melewati jambangnya. Dia mengelap keringat itu, dan ketika tangannya terangkat, otot-otot di balik seragam OSIS-nya tercetak dengan sangat indah, membuatku menelan ludah mengagumi betapa macho-nya dia. Lakik banget, ya ampun! Aku menggigit bibir karena gemas. Kalau ngelihat cowok keringetan kayak gitu, aku bawaannya pengen ngelapin aja. Tapi segera kugelengkan kepala dengan keras, harus sadar bahwa Leo ini adalah sahabat Farhan.
Upacara berlangsung lumayan singkat hari itu, karena aku sebenarnya nggak terlalu memperhatikan upacaranya, tapi malah lebih tertarik curi-curi pandang ke Leo. Badan dia tinggi banget, bahkan aku pun kalah tinggi. Dan aku mengira-ngira, apakah dia juga lebih tinggi dari Farhan? Dengan tinggi badannya itu, aku heran kenapa dia nggak ikut gabung ke ekskul basket saja dan malah pilih futsal?
Upacara dibubarkan oleh pemimpin upacara, dan seperti tahun kemarin, instruksinya adalah kami langsung menggiring anak-anak baru yang sudah terpilih masuk ke kelas X IPA 2 bersama kami.
Kelas X IPA 2 terletak di bagian tengah area sekolah, di lantai dua gedung B. Bimo harus kembali ke ruang OSIS untuk mengambil tasnya, sementara aku bersama Leo dan dua cewek anak kelas XI itu langsung mengarahkan anak-anak baru ke kelas mereka. Di antara dua puluh lima siswa yang kami giring itu ada satu wajah yang aku kenali. Dea. Dia nyengir sambil menaik-naikkan alisnya bangga karena ternyata akulah si Kakak Kelas yang nge-MOS dia. Sementara dia melakukan itu, aku cuma bisa membuang napas pasrah.
Sudah berada di dalam kelas, kami para panitia langsung saling tunjuk untuk memberikan sambutan pertama kali ke anak-anak baru itu. Aku menunjuk Leo, Leo menunjuk Yuna, Yuna menunjuk Puput, dan Puput malah menunjukku. Nggak ada satu pun dari kami yang mau memberi sambutan pertama kali, sampai akhirnya Bimo masuk ke kelas dan kami berempat langsung menunjuk ke arahnya. Dia menggeleng kuat-kuat, tapi dia kalah jumlah sehingga akhirnya dia mengalah dan langsung memberi sambutan pertama.
Kalau boleh jujur, Bimo fasih sekali ketika memberi sambutan dan memperkenalkan kami berlima ke anak-anak baru. Aku sebenarnya sudah tahu Bimo punya bakat jadi seorang pembicara, tapi dia terlalu malas melatih bakatnya itu. Dia pasti bagus kalau jadi MC atau penyiar radio.
Setelah selesai memperkenalkan kami dan juga kegiatan- kegiatan yang akan kami lakukan selama tiga hari ke depan, Bimo langsung mempersilakan anak-anak baru itu untuk memperkenalkan diri. Dan tebak siapa yang langsung dengan cepat mengacungkan tangan ketika Bimo menanyakan kepada mereka siapa yang mau pertama kali maju memperkenalkan diri? Dea.
Adikku itu maju ke kelas sambil senyum-senyum percaya diri, dan Bimo justru membalasnya dengan senyuman sok keren. Aku memutar bola mata melihat dua orang itu.
"Hai," kata Dea, menyapaku dan teman-teman panitiaku, lalu menyapa teman-teman barunya juga. "Nama gue Dea. Lengkapnya Dea Rizky Oktavia. Gue alumni SMP 16. Hobi gue jalan-jalan. Alasan gue milih sekolah ini karena gue pingin bisa satu sekolah bareng kakak gue." Dea nyengir kepadaku, membuat semua orang di dalam kelas menoleh ke arahku. Aku cuma mengangguk. "Itu Kak Dino adalah kakak gue. Kakak kandung. Kakak gue satu- satunya yang paling gue sayangi dan cintai dengan setulus hati."
Anak-anak cowok tertawa, sementara yang cewek-cewek tersipu malu saat melihatku. Aku menggaruk-garuk kepala untuk menutupi kegugupanku karena dilihatin oleh semua pasang mata di kelas ini, kecuali Bimo. Bimo jelas sudah tahu tentang fakta ini, jadi dia nggak terlalu peduli. Dia malah lagi asik tebar pesona sambil nyengir sangat lebar kepada anak- anak baru.
Dea selesai dengan perkenalannya, dan ketika Bimo menanyakan siapa lagi yang mau mengajukan diri, seorang cewek yang duduk di sebelah Dea langsung mengacungkan tangan. Bimo menyuruh cewek itu maju, dan dengan membusungkan dadanya yang sudah berbuah, cewek itu maju ke kelas dengan kepercayaan diri yang sama besarnya dengan adikku tadi.
Di depan kelas, cewek itu tersenyum kepadaku, yang langsung aku balas dengan senyuman terbaikku. Cewek itu mengacungkan jempolnya ke Dea, yang langsung dibalas dengan acungan jempol juga oleh adikku. Mereka pasti saling mengenal, karena mereka tampak sangat akrab. Mungkin cewek ini teman SMP-nya.
"Hai, nama gue Dayena," katanya memulai.
"Hai, Dayena." Bimo menyahut dari meja panitia, yang membuat Dayena berhenti sebentar dan memandang geli arahnya. Bimo malah tetap memasang senyum sok gantengnya ketika Dayena jelas-jelas menunjukkan ekspresi nggak suka padanya.
Dayena mengabaikan Bimo. "Gue alumni SMP 16, sama kayak Dea yang tadi itu," Dayena mengedipkan sebelah matanya ke Dea, yang dibalas dengan anggukan sok penting oleh adikku. "Dan alasan gue milih sekolah ini karena gue kepingin bisa satu sekolah dengan kakaknya Dea yang ganteng dan imut itu."
Aduh, dia bilang apa?
Semua mata langsung menatap ke arahku lagi. Dayena juga menatapku dengan senyum lebar memenuhi wajahnya. Matanya nggak bisa diartikan berkedip heboh, tapi tetap saja kelihatannya seperti dia sedang main mata denganku. Aku menggaruk kepala lagi, berusaha mencegah pipiku supaya nggak panas karena malu dilihatin orang sekelas. Sialan, kenapa temannya Dea itu nggak punya malu, sih? Menyatakan perasaannya langsung di depan semua orang?—well, maksudku semua orang yang ada di kelas ini. Aaaaargh, cewek zaman sekarang makin berani aja.
Setelah selesai, Dayena disuruh duduk. Bimo bertanya lagi ke siswa baru siapa yang mau maju memperkenalkan diri, tapi ternyata nggak ada yang mau. Jadi akhirnya Bimo menggunakan sistem tunjuk, dan seluruh anak baru di kelas itu pun maju satu per satu memperkenalkan diri.
Setelah semua selesai perkenalan, aku langsung menyimpulkan—berdasarkan hasil pengamatanku—bahwa sebagian besar anak baru yang cowoknya ganteng-ganteng. Ada cowok pemalu yang sangat gugup sampai bicaranya tergagap-gagap. Ada cowok pemberani yang bicara dengan lancar sambil matanya menatap tegas ke semua pasang mata yang ada di kelas. Ada cowok imut yang ketika dia bicara bibirnya yang segar dan merah muda alami bergerak dengan seksi, membuat cewek-cewek di kelas itu gemas melihat bibirnya. Bahkan Puput, yang duduk di sebelahku sampai meremas tangannya sendiri saking geregetannya dengan anak itu. Ada lagi cowok superganteng yang ketika dia baru bangkit dari kursi saja sudah langsung membuat cewek-cewek di kelas nggak berkedip memandangnya. Untungnya, aku sudah memantapkan dalam hati bahwa aku nggak boleh tergoda oleh mereka. Jadi ketika cewek-cewek luluh oleh pesona cowok tampan itu, aku justru merasa biasa-biasa saja dan nggak terlalu terpengaruh.
Yang cewek-ceweknya juga cantik-cantik, tapi aku kan nggak suka cewek, jadi menurutku mereka nggak terlalu spektakuler di mataku.
"Nah," kata Bimo setelah semuanya selesai perkenalan. "Kita udah selesai melakukan sesi perkenalan. Sekarang karena sudah hampir jam setengah 10, jadi ini waktunya istirahat pertama kita. Buat yang mau makan, kencing, atau pingin kenalan lebih dekat dengan teman-teman baru kalian, silakan. Tapi ingat, ya: kembali lagi jam sepuluh tepat, nggak pake telat. Ngerti?"
"Ngerti, Kak!" jawab anak-anak sekelas, serempak. Aku dan Leo hampir saja bertepuk tangan karena kekompakan mereka menjawab perintah Bimo.
Setelah Bimo membubarkan, anak-anak baru itu langsung berhamburan keluar kelas. Yang tinggal di kelas cuma ada beberapa orang. Kebanyakan perempuan. Dan di antara mereka, ada Dea dan temannya, Dayena, datang mendekati meja kami.
"Kak Dino," kata Dea sambil senyum-senyum. Dia menggandeng tangan Dayena. "Ayo kita makan siang bareng."
"Ini masih jam berapa?" Aku melihat ke arloji. "Jam sepuluh kurang dua puluh delapan menit. Makan siang harusnya antara jam dua belas dan jam satu siang. Kalau jam segini aku masih kenyang."
"Tapi aku laper, Kak!" Dea cemberut.
"Tadi pagi kamu udah makan banyak di rumah." Aku malas meladeninya, jadi aku pura-pura sibuk berkutat dengan buku absen.
"Kak, please, ayolah, Kakak kan tadi janji mau nemenin aku makan siang." Dea masih memohon.
Dan karena nggak tahan dengan ocehannya, aku berniat menyetujui ajakannya ketika Bimo tiba-tiba menyambar, "Lo ini gimana sih, Din! Adik semata wayang lo pingin makan siang, bukannya ditemenin malah dicuekin kayak gitu! Jahat banget lo sama adik kandung sendiri!"
Dea menatap Bimo penuh harap, dan Bimo menanggapi tatapan itu dengan anggukan penuh pemahaman.
Aku cuma mengembuskan napas pasrah dan membiarkan diriku ikut ke kantin bersama Dea, Dayena, dan Bimo. Aku sudah ajak Leo, tapi dia menolak karena ada janji mau ketemu teman-temannya. Aku mengangguk oke untuk alasannya. Puput dan Yuna sudah menghilang entah ke mana.
Di kantin, kami duduk di warung favorit aku dan Bimo. Dea memesan semangkok bakso, sementara Dayena cuma pesan salad buah doang. Katanya dia lagi diet. Dan saat memandangi tubuhnya, aku mengernyit heran karena Dayena ini badannya kurus kerempeng kayak triplek. Apa lagi yang mau dia kurusin?
"Kak, ini Dayena, yang aku yakin udah Kakak kenal tadi di dalam kelas," Dea mengenalkan Dayena, sementara yang dikenalkan cuma tersenyum malu-malu. "Dia ini yang tadi pagi aku bilang mau aku kenalin ke Kakak."
"Ooh," aku angguk-angguk sambil berusaha tersenyum ke Dayena yang duduk sehadapan denganku.
"Dayena ini ada yang mau dia omongin sama Kakak. Sesuatu yang sangat penting, dan dia kepingin tahu ceritanya." Dea tiba-tiba berkata serius.
Aku dan Bimo yang duduk sebelahan, bertukar pandang. Bimo mengangkat bahu nggak peduli, dan kembali sibuk dengan hapenya. Aku mengerutkan kening ke Dea. "Sesuatu apa?"
Dea menyikut si Dayena. "Langsung ngomong aja, Yen, nggak apa-apa. Asal jangan keras- keras, ya. Nanti Kak Dino-nya malu."
Aku mengerutkan kening lebih dalam. Apa sih yang sebegitu pentingnya sampai bisa buat aku malu segala? Belum sempat pertanyaanku terjawab, pesanan kami datang. Tiga mangkok bakso untukku, Bimo, dan Dea, dan satu mangkok kecil salad buah untuk Dayena. Pertanyaanku masih belum terjawab setelah si pengantar pesanan pergi, karena Dea lagi sibuk-sibuknya meracik kuah bakso dengan mencampur sambal, saus, dan kecap.
"Ew, Dea," Dayena merengut jijik, "kamu kebiasaan banget sih makan bakso pakek saus sama kecap. Aku kan udah pernah bilangin ke kamu, saus dan kecap itu nggak jelas asal-usulnya. Entah itu produk asli keluaran pabrik atau cuma buatan tangan rumahan yang nggak ada nomor izin dinas kesehatannya."
Dea mengangkat bahu nggak peduli sambil tetap memukul-mukuli pantat botol saus supaya bumbu merah itu keluar. Dayena merengut makin jijik, aku sama Bimo tertawa kecil melihat tingkah mereka.
"Jadi," kata Dea setelah selesai meracik kuah dan mencicipinya, "kita lanjutin yang tadi." Dea menyikut Dayena yang kayaknya nggak ingat dia ingin membicarakan sesuatu yang serius denganku.
"Oh ya jadi gini, Kak," Dayena memulai, menghentikan makan saladnya. Wajahnya maju beberapa senti, menatapku lembut. "Aku kepingin tahu apa Kak Dino beneran gay?"
Aku dan Bimo yang mendengar pertanyaannya langsung terbatuk-batuk bersamaan. Refleks kami buru-buru menyedot minuman kami dengan kalap. Aku bahkan meminum minumanku sampai habis. Tadi aku lagi enak nguyup kuah bakso ketika pertanyaan nggak pantas itu terlontar keluar dari mulut Dayena. Kuah pedas itu salah masuk ke tenggorokanku.
"Nggak usah sembarangan kalau ngomong!" bentakku, masih batuk-batuk. Hidungku rasanya panas.
Dayena cemberut, tapi nggak berhenti. "Seriusan dong, Kak Dino. Kakak beneran gay?"
Kalau dia bukan sahabat baik adikku, kuah bakso ini pasti sudah aku siram ke mukanya. Aku cuma menggeleng untuk pertanyaannya.
"Kak Dino beneran gay, kok," kata Dea, menatapku. Aku memelototinya, tapi dia nggak peduli. "Dia cuma pura-pura normal aja."
"Tuh kan, Kak," kata Dayena setelah mendapat dukungan dari Dea, "adik Kakak sendiri yang bilang Kakak gay."
Aku melotot lebih ganas ke Dea yang cuma mengangkat bahu nggak peduli, seolah-olah bukan masalah besar kalau si Dayena ini tahu aku gay. Ini gila, benar-benar gila! Adik kandungku sendiri yang membeberkan orientasi seksualku ke orang lain yang nggak aku kenal. Rasanya, kalau aku nggak bakal dimarahi Mama setelah menampar mulut Dea, ingin sekali aku melakukannya. Dia harus dikasih pelajaran untuk menjaga mulutnya.
"Nggak usah melotot galak gitu juga kali, Kak," kata Dea, tenang. "Jangan khawatir, Dayena ini aman, kok. Dia nggak akan bilang ke siapa-siapa."
"Tapi kamu nggak seharusnya ngasih tahu ke orang lain tentang orientasi seksualku!" Aku membentaknya dalam intonasi yang rendah, tapi tetap berusaha terdengar galak. Aku harus menjaga suaraku supaya murid-murid lain yang duduk di samping kanan kiri, depan belakang kami nggak kepo.
Bimo yang duduk di sebelahku mengangguk-angguk menyetujui, tapi nggak mengatakan apa pun.
"Dayena ini bukan orang lain, Kak. Dia sahabat yang udah aku anggep kayak saudaraku sendiri. Sama aja kayak Kak Dino yang nganggep Kak Bimo saudara sendiri." Dea masih membela diri.
Aku dan Bimo saling pandang. "Tapi ini kan beda! Bimo sahabatku, jadi dia nggak masalah tahu orientasi seksualku. Tapi dia—" aku menunjuk Dayena pakai garpu, membuatnya tampak ketakutan karena seolah-olah aku ingin mencongkel matanya, "dia ini sahabat kamu, dan itu masalah besar kalau dia sampai tahu orientasi seksualku."
Dea putar bola mata, jengkel. "Jangan berlebihan, deh. Dayena ini Fujoshi."
Aku dan Bimo tukar pandang lagi. "Fujoshi?" tanya kami, nyaris bersamaan.
Dea memutar mata lagi, lalu membuang napas nggak peduli. "Tanya aja langsung ke orangnya," katanya.
Mataku dan Bimo langsung mengarah ke Dayena, yang senyum-senyum sendiri dengan gemas. "Aku fujoshi, Kak. Dan fujoshi itu adalah cewek-cewek yang suka ngelihatin dua orang cowok pacaran, pelukan, ciuman, tidur bareng, mandi bareng, makan bareng, jalan bareng, naik motor bareng, berangkat sekolah bare—"
"Kamu sakit, ya?" potong Bimo, memandangi Dayena geli.
Dayena menggeleng. "Ini bukan penyakit, Kakak. Ini—apa ya namanya? Aku juga nggak tahu. Pokoknya aku suka banget ngelihatin cowok sama cowok pegangan tangan. Itu ... menggemaskan!" Dayena memasang ekspresi gemas di wajahnya. Lalu dia memandangku. "Nah, waktu Dea cerita ke aku bahwa kakaknya seorang gay, aku langsung terobsesi pingin ketemu sama Kak Dino. Selama ini aku udah sering main ke rumah Dea, berharap bisa ketemu Kak Dino, tapi Kak Dino-nya nggak pernah ada di rumah."
Aku menelan ludah. Gila, dunia makin unik saja, ya? Setelah minggu kemarin bertemu cewek sejenis Mitha yang gatel dan agresif, sekarang aku bertemu cewek yang berasal dari jenis yang unik dan nggak pernah aku tahu ada sebelumnya: Fujoshi. Aku menahan tawa dalam hati. Cewek zaman sekarang benar-benar sudah gila.
"Kak Dino kenapa senyum-senyum?" tanya Dea. Tanpa menunggu jawabanku, dia langsung bicara ke Dayena, "Kak Dino ini punya pacar. Namanya Kak Farhan—yang waktu itu pernah aku ceritain ke kamu. Kak Farhan itu ganteng banget, mirip Al Ghazali. Sayangnya dia udah pindah sekolah sih, jadinya kita nggak ketemu deh sama dia. Nanti kalau Kak Farhan main ke rumah, aku fotoin deh ya biar kamu bisa lihat."
"Wah, beneran?" Si Dayena berbinar-binar. "Aduh, gue jadi makin geregetan." Tubuh Dayena bergetar. Kemudian, seperti ikan yang megap-megap di daratan, dia berkata dengan heboh, "Kipas, aduh gue butuh kipas. Dea tolong kipasin gue, gue mau mimisan." Karena nggak ada yang bisa dijadikan kipas, akhirnya dia memakai tangannya sendiri untuk mengipasi wajahnya yang memang memerah. Aku khawatir dia beneran bakal mimisan.
"Jangan panik," kata Dea, tenang, sementara sahabat di sebelahnya sudah kayak orang mau mati. "Dia memang suka lebay kalau bahas-bahas tentang gay. Aku bahkan pernah lihat dia guling-gulingan di tanah waktu ada pasangan gay pegangan tangan."
Aku dan Bimo tukar pandang lagi untuk kesekian kalinya. Ini benar-benar unik dan baru buat kami. Terutama buat Bimo. Dia sudah mengenal berbagai macam jenis cewek, tapi baru jenis satu ini yang aku yakin belum pernah dia temui. Aku juga begitu, sih. Walaupun nggak punya banyak pengalaman dengan cewek, tapi melihat Dayena dan segala 'keanehannya' membuatku bingung dan kaget juga.
"Aku harus ketemu dengan Kak Farhan. Kak Dino, kapan-kapan mau kan ketemuan denganku di luar? Ajak Kak Farhan juga. Kita ngopi di mana gitu sambil ngobrol. Mau ya, Kak? Aku kepingin banget tahu tentang kisah cinta kalian!" Dayena memohon padaku sambil matanya berbinar-binar penuh harap. "Gosh, gue yakin nanti pasti pingsan pas ngelihat Kak Farhan dan Kak Dino berduaan. Kyaaaaaah!!!" Tanpa ada yang bisa mencegah, si Dayena ini teriak-teriak nggak jelas, membuat semua murid yang lagi asik makan dan ngobrol di sekitar kami langsung menolehkan kepala ke meja kami.
Alhasil, aku dan Bimo cuma bisa menekuk muka karena malu.
"Kak, please please please mau, ya? Aku kepingin banget ngelihat gay couple yang bener- bener real! Please please pleaseeeeee." Dayena memohon-mohon, bahkan sampai hampir menangis.
"Oke oke," kataku angkat tangan, menyerah. "Atur aja kapan mau ketemunya, asalkan please, nggak usah teriak heboh kayak gitu lagi. Malu dilihatin orang!"
Dayena tersenyum puas, lalu dia tos dengan Dea tanda keberhasilan. Sial! Teriakannya tadi itu pasti cuma siasat supaya aku menuruti keinginannya.
Dengan adanya Dayena si Fujoshi aneh di sekolahku, berarti bertambah satu lagi alasan kenapa aku malas berangkat ke sekolah.
Bandar Lampung, 8 Desember 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top