Lima Puluh Tiga

"What if I was made for you, and you were made for me." — Kane Brown feat. Lauren Alaina, What Ifs


PERNAH dulu waktu SMP ketika Ujian Nasional aku merasa sangat gugup dan khawatir karena masa depanku akan ditentukan oleh jawaban-jawabanku pada selembar kertas ujian yang tipis. Sekarang, aku merasakan kegugupan dan kekhawatiran yang sama seperti itu ketika akan menghadapi orangtuaku. Apa pun jawaban mereka, itulah yang akan menentukan masa depanku.

Hari Minggu Papa nggak kerja, dan biasanya dia bakal langsung ke toko setelah sarapan. Tapi Minggu itu dia nggak berangkat ke toko dan menonton tivi di ruang keluarga.

Mama biasanya pergi nagih kreditan setiap Minggu pagi, dan dia memang melakukan itu. Aku nggak menemukannya di mana pun; hanya ada Papa yang sedang memandangi tivi sedirian. Aku mendekatinya. Papa mendongak untuk melihat ke arahku, tapi segera mengalihkan lagi pandangannya ke tivi. Papa memang nggak mau memandangku lama-lama setelah dia tahu orientasi seksualku ...

"Pa, nanti siang ada yang mau aku omongin ke Mama sama Papa," kataku penuh tekad.

"Mau ngomongin apa?" Papa bahkan nggak menggerakkan kepalanya sedikit pun ke arahku, seolah-olah dia sudah muak melihat wajahku yang mirip dengan wajahnya ini.

"Sesuatu yang penting, Pa," balasku.

"Apa? Tentang hubungan kamu sama cowok yang itu?" Suara Papa mengeras. Jarinya menekan remote dengan kasar, kuperhatikan otot-otot wajahnya menegang. Dia marah.

Aku nggak menjawab pertanyaannya karena saat itu aku terpana melihat papaku sangat galak, macho, tegas, tampan, dan berwibawa ketika ekspresinya sedang marah. Ya ampun, kenapa malah sempat-sempatnya memuji Papa di situasi kayak gini?

"Kalau itu yang mau kamu bahas, Papa nggak ada waktu," katanya kemudian setelah meletakkan kembali remote ke sebelahnya. "Sekarang, pergilah. Papa lagi nggak mau diganggu."

Jadi aku naik ke kamar dengan sedih dan kesal. Kulampiaskan kekesalanku pada pintu kamar yang aku tutup dengan cara dibanting. Nggak peduli kalau Papa tambah marah mendengar bantingan pintu kamarku, saat ini aku siap menghadapi kemarahannya dan nggak akan tinggal diam seperti malam itu ketika dia meninju Farhan dan menunjuk-nunjuk dadanya. Kenangan itu membuatku jadi lebih kesal dan kali ini kekesalanku kulampiaskan pada guling yang aku tonjok-tonjok dengan sepuas hati.

Puas memukuli guling, kuraih hape dan menelepon ke nomor Farhan. Pacarku itu langsung mengangkat panggilan pada dering pertama. Aku yakin Farhan juga pasti sama tegangnya denganku.

"Gimana?" tanyanya langsung, sepertinya lupa untuk mengucapkan "Halo" terlebih dulu.

"Papa nggak mau diganggu," jawabku. "Dia marah. Dia tahu aku mau ngomongin tentang hubungan kita."

Farhan membuang napas. "Mama gimana?"

"Mama lagi nagih kreditan." Aku melirik ke jam dinding, masih pukul sepuluh. "Jam satu mungkin dia udah di rumah. Aku bakal langsung ngajak dia ngobrol begitu udah di rumah."

"Bagus. Kabarin terus, ya. Aku bakal langsung otw setelah kamu ngabarin."

"Ya. Love you, Farhan."

"Love you too, Dino."

Tebakanku benar. Pukul satu siang Mama sudah ada di rumah. Aku turun dari kamar dengan harapan mengajak Mama ngobrol akan lebih mudah dibanding mengajak Papa. Begitu melihat Mama masuk ke ruang keluarga membawa plastik besar berisi barang-barang dagangannya, aku buru-buru mendekati dan membantunya membawakan plastik besar itu. Mama nggak heran ataupun curiga dengan perbuatanku. Dia malah tersenyum lembut sambil menatapku penuh kasih sayang.

Sesuai perintah Mama, kuletakkan plastik besar itu ke dalam kamarnya. Setelah itu, kudekati dia yang duduk di depan tivi, persis di tempat Papa duduk tadi pagi.

"Kamu nggak keluar?" tanya Mama, menatapku.

Aku menggeleng. "Nggak, Ma."

Hening.

"Ma?" panggilku.

"Ya?"

"Ada sesuatu yang mau aku omongin sama Mama."

"Apa itu, Dino?"

"Sesuatu yang penting. Dino udah ngajak Papa, tapi Papa lagi nggak mau diganggu. Siang ini Mama ada waktu buat ngobrol sama Dino?"

Mama tersenyum, tulus, khas seorang Ibu. "Ya ada dong. Buat kamu, mana mungkin Mama nggak ada waktu." Mama menepuk-nepuk sofa. "Sini, duduk. Apa yang mau kamu omongin sama Mama?"

"Kita ngobrol di ruang tamu aja, Ma," ajakku.

Mama mengerutkan kening, tapi mengangguk. "Oke. Yuk."

Selagi jalan ke ruang tamu, kukeluarkan hape dan langsung kirim WhatsApp ke Farhan:

Otw skrg, aku sama Mama udh di ruang tamu.

Aku nggak menunggu balasan Farhan karena aku tahu pacarku itu pasti sudah siap dengan apa yang harus dilakukannya.

Di ruang tamu aku langsung teringat dengan tangisan Mama malam itu ketika mereka mengetahui hubungan kami. Saat ini kami bahkan duduk di tempat yang sama persis seperti malam itu: aku di sofa sebelah kiri, Mama di hadapanku. Bedanya, wajah Mama yang sekarang cantik, tersenyum, ceria. Dan tiba-tiba, aku mendapat serangan rasa bersalah karena sebentar lagi wajah ceria Mama akan berubah jadi sedih dan menyakitkan.

"Jadi, apa yang mau kamu omongin?" tanya Mama lembut.

Aku menoleh ke pintu depan yang dibuka lebar-lebar sehingga bisa kulihat pagar rumahku yang tinggi. Langit agak mendung siang itu dan aku setengah berharap semoga Farhan sudah sampai di sini sebelum hujan turun. Aku mencemaskan Farhan. Di mana dia? Aku butuh dia untuk menghadapi Mama.

"Dino?" Mama memanggilku.

Aku menoleh kepadanya, jantungku berdebar. Aku nggak bisa melakukan ini, ya Tuhan. Akan melihat wajah Mama yang terluka dan sedih karena aku ... rasanya sungguh nggak tertahankan. Aku nggak pernah punya keinginan untuk membuat Mama sedih, tapi aku harus melakukan ini. Dalam hati, kuucapkan mantra penguat tekad supaya tujuanku untuk dapat restu dari Mama bisa berjalan dengan lancar.

"Ma, Dino mau ngomongin soal Farhan ..."

Nyaris saat itu juga kudengar suara motor Ninja Farhan masuk ke garasi rumah. Buru-buru aku berdiri dari kursi, kemudian menghampirinya. Farhan sedang melepas helm ketika aku menarik tangannya, kemudian membawanya masuk ke ruang tamu.

Mama menatap Farhan kaget, lalu dia menyipit galak dan mendengus marah. Jelas, Mama membenci Farhan. Tapi, apakah Mama juga membenciku?

"Apa-apaan ini Dino? Mama sama Papa melarang kamu untuk nggak usah lagi temenan sama dia!" Mama bicara dengan rahang terkatup menahan amarah.

Farhan duduk di sebelahku, diam, tenang, tapi aku tahu jantungnya juga pasti berdebar-debar. Kuraih telapak tangan Farhan, kugenggam erat-erat jemarinya yang halus dan lembut. Farhan tersenyum padaku, menguatkan. Dan senyumnya itu memberiku suntikan semangat baru, dorongan untuk menguatkan tekad yang tadi hampir goyah.

"Aku cinta mati sama Farhan, Ma."

Mama membelalak lebar, melotot. "Gila kamu, Dino!"

"Dino waras, Ma. Dino sadar."

"Nggak! Ini salah, Dino! Nggak seharusnya kamu pacaran sama cowok!"

"DINO NGGAK SUKA SAMA PEREMPUAN!" teriakku akhirnya.

Bagai tersambar petir, ekspresi Mama berubah jadi kaget bukan main, dan dia membungkam mulutnya jadi satu garis tipis yang bergetar ketika aku mengamatinya. Mama terduduk lemas di kursinya, punggungnya bersandar pada sandaran kursi dan kemudian sebutir air mata mengaliri pipinya. Mama menangis. Lagi. Karena aku. Dia mengusap air matanya dengan sikap tenang yang terlihat jelas dipaksakan, lalu menatapku.

Tekadku sudah bulat. Aku mencintai Farhan, dan aku juga mencintai Mama. Aku nggak mau dua orang yang kucintai bermusuhan dan membenci.

"Dino gay, Ma," kataku. "Dan ini bukan gara-gara Farhan. Ini murni dari dalam diri Dino sendiri. Sejak SD, Dino udah mulai suka sama cowok. Cuma baru kali ini aja Dino berani jujur ke diri Dino sendiri bahwa jadi homo bukanlah kesalahan."

Mama menggeleng, seperti berusaha menolak kenyataan.

"Dino nggak mau Mama terus-terusan menyalahkan Farhan untuk orientasi seksual Dino, karena sesungguhnya ini bukan salah Farhan. Farhan nggak pernah salah, Ma. Dia justru orang paling benar yang pernah mencintai Dino." Aku tersenyum ke Farhan sambil mengeratkan genggamanku di jari-jarinya.

Aku menoleh ke Mama. Beliau sedang menarik tisue di meja untuk menahan air mata dan hingus yang mengalir keluar dari mata dan hidungnya. Muka Mama merah. Isakannya pelan, tapi terdengar menyakitkan. Hatiku teriris melihatnya menangis seperti itu. Tapi aku juga nggak bisa melakukan apa pun untuk menenangkannya.

"Ma ..." aku memulai, menarik napas sejenak sebelum melanjutkan, "Dino bahagia bersama Farhan."

Tangan Mama yang sedang mengelap pipinya seketika berhenti dan dia menatapku dengan mata membelalak, kaget. Ini dia, kataku dalam hati.

"Dino bahagia bersama Farhan, Ma." Tekad membulatkan niat—atau justru sebaliknya? Entahlah. Yang jelas, ketika mulai mengatakannya, kutemukan sebuah tekad yang benar-benar nggak bisa diganggu gugat lagi. "Farhanlah kebahagiaan Dino. Dan Dino nggak yakin bakal bisa menemukan kebahagiaan bersama orang lain selain Farhan."

Mama kembali menangis. Sekarang aku ragu, itu tangis karena sedih dan kecewa, atau tangisan haru?

Akhirnya, sampailah aku pada saatnya melempar ultimatum untuk Mama. "Selama ini Mama selalu bilang bahwa yang terpenting untuk Mama adalah kebahagiaan Dino. Dan sekarang, inilah kebahagiaan Dino, Ma. Apakah Mama tega merenggut kebahagiaan ini dari Dino?"

Mama masih menangis, diam, tapi aku yakin dia pasti mendengar setiap kata yang keluar dari mulutku.

"Selama ini Dino selalu bahagia bersama Farhan, Ma. Nggak pernah sedikit pun Dino merasa sedih setiap kali bersama Farhan. Mama bisa lihat sendiri gimana sikap Dino semenjak mengenal Farhan. Dino jadi lebih nafsu makan, Dino lebih sering tersenyum, Dino jadi lebih semangat untuk menjalani hari-hari Dino." Lalu aku mendapat ide untuk menambahkan, "Dan coba Mama lihat gimana sikap Dino akhir-akhir ini setelah Mama melarang Dino untuk dekat-dekat sama Farhan. Dino lebih sering murung, Dino nggak semangat untuk melakukan apa-apa, Dino jadi kayak orang yang kehilangan orientasi."

Air mata Mama sudah berhenti mengalir, tangisannya menyebabkan matanya merah dan agak membengkak.

"Dino nggak sanggup kalau harus hidup tanpa Farhan," kataku seraya menggenggam jemari Farhan lebih erat. Farhan balas menggenggamku, lalu tersenyum menguatkan.

Akhirnya aku diam. Aku sudah mengatakan semua yang ingin kukatakan, dan sekarang giliran Mama mengatakan sesuatu.

Aku menunggu. Setengah menit. Satu menit. Dua menit. Tiga menit. Lima menit kemudian keheningan berubah mencekam. Langit di luar cuma mendung, tapi nggak meneteskan sedikit pun air hujan. Bahkan suara guntur pun nggak kedengaran. Satu-satunya yang memecah keheningan adalah suara isak tangis Mama yang berusaha dia redam sekuat tenaga walaupun hasilnya adalah sia-sia.

"Ma, Dino udah ngomong semua yang pingin Dino omongin. Sekarang semua keputusan terserah Mama. Kalau Mama mau ngusir Dino dari rumah, silakan. Kalau Mama mau membenci Dino seumur hidup Mama, silakan. Dino terima apa pun keputusan Mama."

Benarkah? tanyaku dalam hati. Benarkah aku bakal siap menerima apa pun keputusan Mama? Bagaimana kalau aku beneran diusir dari rumah? Aku mau tinggal di mana? Oke, Farhan mungkin mau menampungku tinggal di rumahnya, tapi bukan berarti aku bisa tinggal selamanya di sana. Ya Tuhan, tiba-tiba aku takut bakal diusir dari rumah. Dalam hati, aku berdoa semoga keputusan Mama adalah keputusan yang terbaik untukku.

Aku masih menunggu Mama membuka mulut untuk mendengar keputusannya. Tapi mulutnya nggak kunjung mengeluarkan sepatah kata pun. Entah Mama terlalu shock atau terlalu benci sampai-sampai mengatakan sesuatu pun dia nggak sudi.

Farhan menatapku, lembut. Mulutnya bergerak tanpa suara mengucapkan, "Aku cinta kamu."

Aku mengangguk dan membalas ucapannya dengan "Aku juga cinta kamu" tanpa suara.

Akhirnya, Mama bersuara. "Ini semua omong kosong," katanya sambil berdiri. Matanya bengkak, merah, dan kecewa. Tapi ada sorot lain yang muncul selain kekecewaan di dalam sana. Aku nggak tahu sorot apa itu karena sedetik kemudian Mama pergi dari hadapan kami, masuk ke kamarnya.

Aku dan Farhan ditinggalkan berdua di ruang tamu. Tangan kami masih menggenggam. Mata kami bertemu, bertatapan.

"Jadi, sekarang apa?" tanyanya.

Aku mengangkat bahu. "Aku nggak tahu, Farhan. Mama bahkan nggak ngomong apa- apa."

"Tapi kamu udah tahu jawabannya," Farhan menatapku lekat-lekat. "Kamu tahu apa yang ada di mata Mama. Kamu tahu jawabannya bahkan sebelum dia ngomong apa-apa. Bahkan, sebelum rencana ini pun kamu udah tahu jawabannya."

Aku mengangguk karena aku memang tahu. "Mama selalu mengutamakan kebahagiaanku di atas kebahagiaannya sendiri—persis kayak yang kamu lakukan ke aku. Dan aku yakin, untuk yang satu ini pun Mama pasti bakal lebih mengutamakan kebahagiaanku."

"Berarti kita nggak perlu khawatir, kan? Mama pasti merestui hubungan kita."

"Aku nggak mau terlalu yakin, Farhan. Paling nggak, aku harus mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Kalau akhirnya dugaanku salah dan Mama mengusirku dari rumah, aku boleh kan nginap di rumah kamu sementara?"

Farhan tersenyum. "Jangankan sementara, tinggal selamanya juga pasti aku izinin."

Aku balas tersenyum. "Sekarang kita berdoa aja supaya dugaanku nggak salah."

"Ya. Kita berdoa yang terbaik untuk kita semua."

♡︎♡︎♡︎

MALAM harinya, aku lagi rebahan di kasur sambil video call bareng Farhan. Walaupun tadi siang kami habis ketemu, tapi rasanya tetap saja ada yang kurang. Rasanya kami seperti ingin selalu bersama, setiap hari, setiap saat. Ini memang kedengaran lebay dan menjijikkan, tapi apa yang kami rasakan memang seperti itulah adanya.

Tadi sore Papa pulang dari toko dengan raut wajah super jutek yang nggak bersahabat. Awalnya aku pingin deketin Papa, mengajaknya ngobrol soal apa yang tadi siang aku obrolin bareng Mama, tapi nggak jadi karena melihat ekspresinya yang nggak bersahabat itu. Akhirnya kuputuskan biarlah Papa aku urus nanti, yang penting sekarang Mama sudah tahu kebenarannya.

Sebenarnya aku khawatir Mama bakal menceritakan obrolan kami tadi siang kepada Papa, dan mungkin saja Papa akan memengaruhi Mama dengan ucapan: "Jangan restui mereka. Jangan percaya sama mereka. Mereka itu homo, nggak bener. Mereka sakit. Mereka nggak boleh tinggal di rumah ini." Aku merinding membayangkannya, dan saat itu juga kubuang jauh-jauh pemikiran seperti itu.

Kemudian pintu kamarku ada yang mengetuk, dan jantungku langsung berdebar hebat. Kusiapkan diri untuk menerima kemungkinan terburuk kalau-kalau yang mengetuk pintu adalah Mama atau Papa, dan mereka berniat menyeretku keluar dari rumah. Ternyata yang ada di balik pintu adalah Dea. Adik semata wayangku itu tersenyum lembut sambil melangkah masuk ke kamar, dan jantungku yang tadi berdebar heboh seketika langsung tenang.

Dea mengamati ekspresiku dengan saksama ketika dia duduk di pinggiran kasur. "Kamu ketakutan," ucapnya.

Aku mengangguk. "Tadi siang aku dan Farhan ngobrol sama Mama. Kami bilang ke Mama bahwa kami nggak menyesal, kami nggak merasa bersalah karena saling mencintai. Intinya, aku menentang larangan Mama yang menyuruhku jauh-jauh dari Farhan."

"Dan respons Mama gimana?"

Kuangkat bahu. "Aku nggak tahu. Mama nggak ngasih keputusan apa-apa tadi siang. Dia cuma ninggalin obrolan gitu aja, masuk ke kamarnya. Makanya aku ketakutan, tadi kupikir itu Mama yang ngetuk pintu karena mau ngusir aku dari rumah."

"Mama nggak mungkin ngusir Kak Dino," kata Dea, mengambil guling dan mendekapnya. "Kalau emang Mama setega itu, dia pasti udah melakukannya dari tadi."

Dea ada benarnya juga. Tapi itu masih nggak mengurangi kekhawatiranku. Saat ini pun aku masih berharap semoga Mama nggak muncul dari balik pintu kamar dan menendangku keluar dari rumah. Kugelengkan kepala kuat-kuat untuk mengusir perasaan takut itu. Aku nggak boleh takut. Aku harus terima apa pun keputusan Mama.

Kuubah topik pembicaraan. Mumpung Dea ada di sini, aku ingin menanyakan beberapa hal padanya. "Kamu gimana sama Bimo?"

Dea tersenyum lebar. Tiap kali kusebut nama Bimo, senyum lebar itu selalu muncul di wajahnya. "Kami baik-baik aja," jawabnya. "Malam Minggu besok Kak Bimo ngajak aku nonton."

Kuangkat alisku. "Ngapain nonton malem-malem?"

"Ya kan malam mingguan, Kak. Kalau nontonnya siang bukan malam mingguan namanya."

"Kalian ngapain aja di dalam bioskop?" tanyaku, curiga.

"Nonton, lah," jawab Dea santai. "Memangnya ngapain lagi?"

"Nggak pegangan tangan, kan?"

Dea tertawa kecil. "Menurut Kakak gimana? Kami pegangan tangan atau nggak?"

"Kalian nggak ciuman, kan?"

Tawa Dea berhenti, dan dia menatapku serius, bahkan terkesan marah. "Kamu masih nggak percaya sama Kak Bimo."

Kuembuskan napas, pasrah. Akhirnya memang harus kukatakan juga semuanya. "Aku khawatir, De. Aku kayak nggak rela kalau Bimo harus ngerusak kamu sebelum waktunya."

"Aku nggak dirusak!" Dea menekankan kalimatnya dengan tegas. "Aku dijaga dengan baik sama Kak Bimo. Untuk kecurigaan Kakak, kami memang pegangan tangan di bioskop, tapi nggak ciuman. Ya kali ciuman di tempat umum, kan nggak mungkin. Lagian, film yang mau kami tonton itu film kartun, bukan film orang dewasa."

"Maaf. Aku cuma ..." Tiba-tiba kata-kataku tercekat di tenggorokan.

"Cuma apa?" tanya adikku.

Kutatap matanya dalam-dalam. "Aku cuma nggak mau kita berdua mengecewakan Mama sama Papa."

Dea balas menatapku. Dia diam selama beberapa saat, sepertinya sedang mencerna baik-baik perkataanku.

Lalu setelahnya, Dea berucap, "Oh."

"Mama sama Papa jelas udah kecewa sama aku. Dan jangan sampai mereka juga kecewa sama kamu."

Kupikir Dea bakal marah, atau membentakku karena ucapanku seolah-olah memberi kesan bahwa dia gadis murahan. Tapi Dea cuma tersenyum lembut, lalu dia mengambil tanganku, dan menggenggamnya seolah-olah sedang membuat sumpah. "Aku janji nggak bakal mengecewakan Mama ataupun Papa. Aku nggak bakal rusak sebelum waktunya, kok. Aku bakal jaga diri. Aku bakal bikin Mama sama Papa bangga. Aku bakal bikin Kakak bangga. Aku nggak semurahan itu, kok. Lagian, Kak Bimo juga cowok baik-baik, jadi nggak mungkin dia bakal ngerusak aku."

Aku tersenyum. Aku tahu, aku yakin, dan aku percaya Bimo adalah cowok baik-baik, jadi dia nggak mungkin merusak adik semata wayangku ini. "Aku sayang kamu, De. Aku cuma nggak mau kamu kenapa-kena—"

Belum juga kuselesaikan ucapanku ketika Dea menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Dia memelukku. Lalu kubalas pelukannya, dan detik ini juga rasanya aku ingin menangis. Kalau diusir dari rumah, aku pasti bakal kangen banget sama Dea.

"Kalau aku diusir dari rumah—"

"Ssstt," Dea membungkam mulutku dengan jari telunjuknya. "Nggak akan ada yang diusir dari rumah."

"Tapi gimana kalau Mama sama Papa tega ngusir aku?"

"Aku juga bakal ikut pergi sama kamu," kata Dea.

"Jangan aneh-aneh, De. Kamu udah janji nggak akan mengecewakan Mama sama Papa."

"Kak, kalau Kakak pergi, keluarga ini nggak akan pernah bisa utuh lagi. Dan aku nggak mau jadi bagian dari keluarga yang nggak utuh ini."

Ucapannya menimbulkan suatu penghargaan baru dalam hatiku. Kupikir Dea cuma anak ingusan berusia 16 tahun yang nggak ngerti apa-apa tentang keluarga, cinta, dan segalanya. Tapi sekali lagi ternyata aku salah. Aku selalu salah.

"Oh iya," kata Dea nggak lama kemudian, "kamu dapat salam dari Team FarDin."

Team FarDin. Aku langsung ingat pada segerombolan cewek-cewek Fujoshi yang heboh dan keponya setengah mampus itu. Aku tersenyum mengingat mereka semua. Walaupun sudah lupa siapa-siapa saja nama mereka, tetapi wajah-wajah mereka masih terpatri dengan jelas dalam ingatanku.

"Aku kangen sama mereka," kataku ke Dea. "Pasti Dayena yang bilang itu ke kamu, kan?"

Dea mengangguk. "Dia bilang Team FarDin bakal selalu mendukung kalian. Bahkan kalau Kak Dino dan Kak Farhan mau, mereka bisa kok bantu ngomong ke Mama supaya kalian dikasih restu."

Aku tersenyum lebar, lalu menggelengkan kepala. "Mereka memang baik, tapi itu nggak perlu. Biar urusan Mama kami aja yang mengatur." Kutatap Dea serius, lalu kukatakan: "Jadi itu alasan kamu merestui hubunganku dan Farhan?"

Dea kebingungan. "Maksudnya?"

"Waktu itu kamu kayak nggak setuju sama hubungan kami. Ingat nggak waktu aku pulang dari Pulau Kelagian, kamu langsung ngajak aku ngobrol dan kamu bilang bahwa kamu pinginnya aku pacaran sama perempuan, bukan sama Farhan? Tapi sekarang kamu mendukung banget supaya aku jangan putus dari Farhan."

Dea mencerna sejenak ucapanku sebelum akhirnya tersenyum dan mengucapkan, "Yah, itu kan kemarin-kemarin. Sekarang aku percaya bahwa Kak Farhan beneran sayang sama kamu."

Kupandangi dia, nggak mengerti.

Dea menjelaskan, "Jadi kemarin-kemarin aku ngomong begitu karena aku belum yakin Kak Farhan bakal serius sama Kak Dino. Karena sejauh yang aku tahu dari penuturan Dayena, yang namanya hubungan gay itu biasanya nggak pernah bisa bertahan lama. Kata Dayena, rata-rata gay Indonesia cuma nyari seks doang, bukan cari cinta. Makanya aku takut Kak Farhan juga kayak gitu. Tapi, ternyata aku salah. Kak Farhan ternyata serius sama kamu."

"Sejak kapan kamu mulai sadar bahwa Farhan serius sama aku?"

"Sejak Kak Lendra meninggal." Ada jeda selama hampir empat puluh lima detik setelah Dea mengucapkannya. "Kak Dino sedih banget waktu Kak Lendra meninggal, dan kupikir Kak Dino bakal nekat melakukan hal yang nggak-nggak, misalnya menyakiti diri sendiri gitu. Dan malam itu waktu Kak Dino pulang setelah menerima kabar kematian Kak Lendra, aku lihat Kak Farhan datang ke rumah cuma buat nemenin kamu."

Ketika Dea mengucapkannya, aku teringat hari itu ketika aku sangat hancur menerima kabar kematian Lendra hingga kubanting semua barang-barang untuk mengurangi rasa sakit dan kehilangan karenanya. Kemudian Farhan datang saat itu juga, menenangkanku, menemaniku, mencegahku melakukan hal-hal yang nggak diinginkan.

"Kemudian waktu kita melayat, Kak Farhan bahkan nggak mau jauh-jauh dari Kak Dino. Dia selalu ada di sana, megangin bahu Kak Dino, ngajak Kak Dino ngobrol, pokoknya dia melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang pacar. Dan itu cukup bagiku untuk tahu dan sadar bahwa Kak Farhan memang beneran serius sama kamu. Dia bukan cuma sekadar pingin seks, tapi dia pingin mencintai dan dicintai kamu."

Aku nggak tahu harus ngomong apa, jadi aku diam.

Setelah nggak mendapat respons dariku, Dea berkata, "Pokoknya sekarang aku udah yakin banget Kak Farhan itu beneran sayang sama Kak Dino. Dan nggak ada sedikit pun keraguan untuk itu." Dea menatapku. "Bahkan Dayena dan teman-temannya pun bilang Kak Dino dan Kak Farhan berhasil membuat mereka kagum. Makanya Dayena semangat banget waktu mau ketemu kalian."

Aku tersenyum untuk yang itu. "Sejak kapan kamu temenan sama dia?"

"Sejak kelas 2 SMP. Dia jugalah yang membuatku sadar bahwa gay itu bukan kesalahan. Awalnya waktu tahu Dayena Fujoshi, aku geli dan aneh sama dia. Tapi lama-lama aku ikut sepaham dengan jalan pikirannya. Terlebih waktu Kak Dino jujur waktu itu, aku langsung bisa ngerti apa yang dimaksud oleh Dayena, bahwa kebanyakan gay merasa takut untuk jujur ke orang lain sehingga mereka mengasingkan diri. Dan ternyata itu benar. Kak Dino waktu itu takut untuk jujur ke aku, kan?"

Aku mengangguk.

Dea melirik ke jam dinding, sudah pukul sepuluh kurang lima belas menit. "Udah larut ternyata," katanya, tersenyum sambil menepuk-nepuk kakiku yang terjulur di kasur. "Aku harus balik ke kamar."

"Makasih udah ngobrol sama aku malam ini," ucapku.

"Sama-sama," balasnya. "Mama nggak mungkin ngusir kamu dari rumah. Papa juga. Jadi jangan takut, ya?"

"Ya, De."

Dea bangkit berdiri. "Selamat malam, Kak," katanya sembari berjalan ke pintu.

Saat dia sampai di ambang pintu, aku menyempatkan diri untuk bertanya, "De, kalau nanti kamu menikah sama Bimo, kalian mau punya anak berapa?"

Dea memandangku geli, lalu berpikir sejenak sebelum menjawab, "Mungkin tiga, atau empat." Dia tertawa kecil setelahnya. Kemudian, "Kalau Kak Dino, mau punya anak berapa?"

"Pinginnya sih empat, tapi kayaknya Farhan nggak terlalu suka anak-anak. Jadi mungkin dua aja cukup."

Dea tertawa lagi. "Kalau Kak Farhan beneran cinta dan sayang sama Kak Dino, dia juga pasti bakalan cinta dan sayang sama anak-anak kalian."

Aku tersenyum, mengangguk senang. "Aku nggak sabar lihat anak-anak kita main bareng, De."

"Nanti, Kak. Aku percaya hari itu pasti ada."

"Ya, De. Aku juga percaya."

Dea menutup pintu kamar, dan malam itu aku bermimpi tentang masa depan.

Bandar Lampung, 05 April 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top