Lima Puluh Lima
"Every year we get older, and I'm still on your side." — NIKI, Every Summertime
FIRASATKU ternyata benar. Hari-hari yang kulewati setelah itu terasa lebih mudah dan membahagiakan, bahkan nyaris seperti aku terlahir kembali ke dunia ini, tanpa dosa, tanpa beban pikiran apa-apa. Aku nggak perlu lagi memikirkan tentang orangtuaku, ataupun tentang Egy. Ya memang sih Papa masih marah dan seolah-olah nggak sudi untuk melihat wajahku, tapi seenggaknya dia nggak mengusirku dari rumah. Dan Mama ... sejak dia menyerahkan kemeja Farhan malam itu, hubungan kami perlahan-ahan kembali membaik seperti semula.
Setelah berbaikan dengan Egy hari itu di dekat kuburan Lendra, esoknya aku jadi lebih sering main dan kumpul bareng Egy dan Bimo. Terkadang aku ngajak Farhan untuk ikut, tapi lebih sering sih kami cuma main bertiga. Nongkrong di kafe sambil minum kopi dan merokok—cuma mereka berdua yang merokok, aku nggak—sambil menceritakan apa saja ytang bisa kami ceritakan. Kami berusaha mengghindari topik tentang Lendra, karena suasana bakal jadi sedih dan nggak enak kalau mulai membahas itu. Hingga akhirnya Egy mengusulkan sebuah ide:
"Gimana kalau kita triple date?" Dia nyengir sambil memandangiku dan Bimo bergantian. "Kalian kan sekarang udah punya pacar, jadi nggak ada salahnya kita pergi hangout bertiga bareng pacar-pacar kita. Gimana?"
Aku dan Bimo tukar pandang. Sebenarnya itu bukan ide yang buruk. Aku menyukainya. Bimo juga sepertinya menyetujui usul itu, jadi kami sepakat untuk mengangguk. Egy senang dengan anggukan kami, dan disusunlah rencana triple date itu.
Kami pergi hangout dua minggu kemudian. Egy pulang dari Bandung ketika kuliahnya libur seminggu penuh, dan rencana yang sudah kami susun hari itu akhirnya terlaksana juga. Kami pergi ke pulau Pahawang dan berencana menginap dua hari dua malam di sana. Aku dan Dea sudah minta izin ke orangtua kami, dan mereka menyetujui, dengan syarat aku harus menjaga Dea baik-baik. Kukatakan pada Mama bahwa aku janji bakal menjaga Dea dengan segenap jiwa dan ragaku, dan Dea geli mendengarku mengucap sumpah itu. Tapi, serius, aku benar-benar bakal menjaga Dea dari Bimo, sahabatku itu nggak boleh mencium dan menodai adik semata wayang kesayanganku.
Kami berkumpul di rumah Egy ketika hendak pergi ke pulau Pahawang dan aku terkejut ketika sampai di sana ada Bastian dan Leo yang ternyata juga bakalan ikut. Ketika aku bertemu mereka, Bastian menyapaku sambil tersenyum lebar penuh kebahagiaan, kerena aku yakin hidupnya juga sama sempurnanya seperti aku.
Aku bersorak sorai dalam hati karena liburan kali ini sangat sempurna. Ada aku dan Farhan, Bimo dan Dea, Egy dan Ellen, Bastian dan Leo. Ini bukan triple date namanya, tapi fourple date—atau apalah itu istilahnya, terserah. Intinya kami kencan berempat, sama pacar masing-masing, dan aku nggak sabar untuk segera sampai ke pulau Pahawang.
Kami berangkat dari rumah Egy sekitar pukul sepuluh pagi, dan sampai di pelabuhan Ketapang pukul setengah dua belas siang. Kalian masih ingat pelabuhan Ketapang? Ini adalah tempat ketika aku dan Farhan hendak menyeberang ke pulau Kelagian. Ketika kutatap Farhan untuk memberinya sinyal bahwa kita pernah berada di tempat ini sebelumnya, Farhan mengangguk sambil tersenyum.
Setelah menitipkan mobil dan bertransaksi dengan nahkoda kapal, kami akhirnya dapat kapal putih yang kecil, tapi bagus. Kami bergegas memindahkan barang-barang bawaan dari dalam mobil ke geladak kapal. Setelah semua barang tersimpan rapi, barulah kami semua naik.
Perlukah kuceritakan betapa bahagianya aku ketika berada di kapal pesiar yang kembali membawaku mengarungi lautan? Farhan memelukku dari belakang ketika kami berdua memutuskan untuk duduk di haluan depan kapal. Teman-temanku yang lain berada di dalam geladak, sementara Dea dan Bimo sepertinya sedang berada di buritan kapal. Aku ingin menjaga Dea dari Bimo, tapi rugi rasanya kalau menyia-nyiakan waktu berduaan sama Farhan di atas kapal putih ini. Apalagi, pelukan Farhan terasa nyata dan hangat.
"Kali kedua aku naik kapal pesiar sama kamu," ucapku sambil mengecupi jemarinya satu per satu.
Farhan balas mengecup puncak kepalaku. "Kamu bahagia?"
"Aku lebih dari sekadar bahagia, Farhan. Kebahagiaanku terasa lengkap. Sahabatku, orangtuaku, adikku, semuanya menyetujuiku. Ini terasa lebih mudah untuk dijalani. Terasa bebas." Kuhirup dalam-dalam aroma asin air laut sambil memejamkan mata menikmati embusan angin yang membelai tubuh kami berdua.
"Mungkin sebaiknya kita harus mulai memikirkan tentang pernikahan," ujar Farhan, terkikik geli. "Kamu mau konsep pernikahan yang kayak mana?"
"Serius kita harus bahas itu sekarang?" kataku, terkikik geli juga. "Dan omong-omong, nanti kita mau punya anak berapa?" tanyaku akhirnya, nggak tahan untuk membahas ini, walaupun masih sangat jauh sekali bagi kami untuk bisa punya anak.
"Empat," jawab Farhan tanpa pikir panjang. "Aku suka anak-anak. Pinginnya sih punya enam, tapi kasihan kamunya nanti ngurusin banyak anak bisa pusing dan stress."
Lengkap sudah kebahagiaanku hanya mendengar jawabannya saja. "Aku nggak sabar pingin cepat-cepat dewasa."
"Kita nikmatin aja prosesnya, Din. Jadi dewasa nggak semudah yang kita bayangkan."
Aku setuju. Kutarik lembut kepala Farhan, dan kucium bibirnya pelan-pelan. Walaupun kulihat Egy memandangi kami dari geladak, tapi aku nggak peduli. Egy nggak lagi membenci kami, sebagaimana dia juga nggak risih melihat kami ciuman.
Empat puluh lima menit kemudian kami sampai di tujuan.
Pulau Pahawang indah banget. Surganya Lampung, nih. Well, sebenarnya di Lampung masih banyak pantai yang bagus dan sama indahnya dengan Pahawang, cuma yang satu ini lebih terkenal dan hits di telinga orang-orang dari luar kota. Kalau kalian main ke Lampung, jangan lupa bilang-bilang ke aku, ya? Nanti aku kasih tahu destinasi wisata pantai yang keren di sini.
Hal pertama yang kami lakukan sesampainya di pulau Pahawang adalah menurunkan barang-barang. Setelahnya kami mendirikan tenda. Nggak seperti di Kemah Bersama waktu itu, kali ini kami mendirikan tenda dengan mudah dan lancar, karena Farhan ternyata punya keterampilan menakjubkan tentang mendirikan tenda. Kurang dari 30 menit dua tenda kami sudah berdiri di pasir putih pulau Pahawang, menghadap ke lautan. Kami sengaja mendirikan dua tenda, satu untuk cowok-cowok, satunya untuk Ellen dan Dea.
Selanjutnya kami berenang. Tolol nggak sih kami berenang tengah hari ketika matahari lagi panas-panasnya? Egy menjadikan ini tantangan, semua harus berenang dan nggak boleh takut item, karena cuma orang-orang ras lemah yang takut sama matahari, katanya. Merasa ditantang, Farhan menyetujui. Leo juga nggak takut. Bastian dan Bimo apalagi, mereka malah yang paling semangat dengan tantangan itu. Sementara aku? Aku malah berharap semoga dibolehin nggak ikut tantangan konyol itu.
Akhirnya kami yang cowok-cowok nyebur ke air. Ellen nggak nyebur karena dia alergi panas—halah, dasar alesan aja!—dan Egy yang sayang banget sama pacarnya mengecualikan Ellen dalam tantangan. Dea juga nggak ikut berenang karena katanya aneh banget dia perempuan sendirian, jadi dia menemani Ellen di tenda. Kan sialan! Aku kepingin banget gabung sama Dea dan Ellen, supaya nggak harus berenang terbakar matahari begini. Kulitku langsung kayak disiram air panas, pedih-pedih ngilu gitu. Nggak ada sepuluh menit kemudian kulit putih dan mulusku sudah merah-merah terbakar matahari.
Farhan berenang mendekatiku. "Kamu nggak apa-apa?" tanyanya, khawatir, karena aku menggaruk-garuk badanku yang gatal dan memerah.
"Kepanasan," jawabku, sambil menenggelamkan setengah tubuh ke air. "Airnya hangat juga."
"Kalau kamu mau udahan, nggak apa-apa. Kasihan kamu kayaknya kesakitan."
"Nggak apa-apa kok, Sayang. Aku baik-baik aja." Kupandangi tubuh bagian atas Farhan yang telanjang, dan kulitnya juga sama terbakarnya dengan aku. "Kulit kamu juga merah-merah."
Dia memandangi tubuhnya sendiri. "Memang. Bentar lagi juga aku udahan," katanya. "Aku laper. Kamu laper, nggak?"
Aku mengangguk, aku laper banget.
"Yuk, kita udahan sekarang. Kita makan dulu." Farhan menggandeng tanganku, lalu kami menepi.
Melihat kami menepi membuat Egy berteriak marah karena tantangan belum selesai, tapi Farhan balas teriak bahwa kami harus menepi untuk mengisi perut kami yang keroncongan. Mendengar teriakan Farhan, Bimo setuju, dan dia berenang menepi juga. Akhirnya mereka semua ikut menepi, dan kami makan siang bersama di dekat tenda sambil mendengarkan gerutuan Egy karena tantangan berenang di siang hari bolong gagal total karena nggak ada yang menang.
♡︎♡︎♡︎
MALAMNYA, kami semua berkumpul mengelilingi api unggun yang kami buat dari ranting-ranting pohon yang berserakan di hutan kecil di belakang pantai. Nggak susah menghidupkan api unggun ini, tapi menjaganya tetap berkobarlah yang lumayan sulit karena angin pantai berembus lebih kencang pada malam hari. Tapi akhirnya kami berhasil mengakalinya, dan api unggun tetap berkobar sementara kami mulai mengedarkan makan malam.
Makan malam kami adalah ayam bakar hasil bakaran kami sendiri tadi sore. Kami membawa cukup nasi untuk semua orang, dan ayam bakar buatan kami rasanya benar-benar nikmat dan gurih. Yang paling banyak jasanya membuat ayam ini terasa gurih dan nikmat adalah Farhan, jadi pacarku dapat banyak pujian dari sahabat-sahabatku yang lain. Mereka memuji cara Farhan meracik bumbu dengan mencampurkan semua bahannya secara tepat dan sesuai takaran sehingga rasa bumbunya tidak terlalu asin atau terlalu pedas atau terlalu hambar.
Kesuksesan Farhan dengan bumbu ayam bakar itu membuatnya mendapatkan tepukan bangga dari Egy, dan sahabatku itu mengatakan: "Dino beruntung dapetin lo."
Tapi Farhan membalas Egy dengan ucapan, "Gue yang beruntung dapetin Dino."
Egy tersenyum, lalu mengangguk. Farhan memeluk dan mencium keningku di hadapan Egy. Melihat Farhan melakukan perbuatan yang romantis padaku membuat Egy tersenyum lebih lebar.
Selesai makan, kami gitaran. Sebenarnya bukan kami, tapi cuma Farhan yang main gitar. Yang lain nggak ada yang bisa. Egy dan Bastian bisanya main piano. Leo memang tipe cowok yang nggak terlalu mendalami dunia musik. Dan Bimo bisanya cuma main pianika. Jadi malam itu Farhan yang memetikkan gitar untuk kami, sementara kami menyanyikan lagi-lagu yang cocok dinyanyikan di pinggir pantai pada malam hari yang berbintang.
Di tengah-tengah gitaran, Bimo berkata, "Farhan, lo tahu chord lagu Sempurna?"
"Versi Andra and The Backbone doang tahunya," jawab Farhan.
"Nah, itu. Nyanyiin itu dong. Gue mau persembahin lagu itu untuk Dea," ucap Bimo seraya mencubit gemas pipi adikku yang saat itu duduk di sebelahnya.
Dea meringis, tapi tertawa kecil, lalu menjatuhkan kepalanya di bahu Bimo.
Aku geli melihat tingkah mereka, tapi bersyukur karena Dea tampak bahagia karena perbuatan Bimo yang sok romantis.
Maka, Farhan pun memetikkan chord gitar lagu Sempurna, dan kami semua menyanyikan lagu itu sama-sama.
Malam itu indah sekali. Aku nggak yakin bakal bisa melupakan kenangan manis nyanyi bareng sahabat-sahabatku, berkumpul sambil bercanda gurau ditemani api unggun dan suara angin serta ombak yang memecah di pantai. Fourple date kami berjalan sesuai rencana—bahkan jauh lebih baik dari rencana yang kami buat.
Aku duduk bersama Farhan, melingkarkan lenganku ke leher Farhan, merangkulnya sambil nyanyi lagu Sempurna bersamanya.
Egy dan Ellen ada di sebelah kami, dan Ellen dipeluk Egy dari belakang, sambil sesekali sahabatku itu mengecup lembut pipi mulus kekasihnya.
Leo dan Bastian juga nggak kalah manisnya, walaupun mereka nggak bersentuhan, tapi dari cara mereka saling memandang dan melempar senyum, cinta itu terasa ada di sana.
Bimo dan Dea malah lagi bercanda cubit-cubitan, dan aku tertawa kecil melihat Dea tampak gemas ketika dia mencubit perut Bimo yang berlemak.
Menyenangkan sekali melihat banyak cinta bertaburan malam ini.
Bosan gitaran, Bastian mengajak kami berenang. Aku dan Farhan menggeleng, karena kami sudah pernah berenang malam-malam di laut. Tapi Bimo dan Dea menyetujui, Ellen dan Egy juga setuju, jadi mereka bergegas ganti baju renang dan langsung nyebur ke laut. Cuma aku dan Farhan yang masih berada di pantai, memandangi sahabat-sahabat kami bermain ciprat-cipratan.
"Berdua di pulau Kelagian memang menyenangkan, tapi jauh lebih menyenangkan lagi di sini bareng sahabat-sahabat kita," ujar Farhan sambil memelukku lebih erat.
Aku mengangguk setuju. "Tapi sejujurnya," kataku, sambil mengamati Dea dan Bimo yang sekarang pelukan di laut, "aku masih khawatir sama Dea dan Bimo. Lihat, Bimo sekarang malah meluk Dea, dan kurasa aku harus misahin mereka." Aku sudah mau bangkit berdiri, tapi kok malas ya harus nyebur ke laut? Jadi aku kembali duduk.
"Biar aku aja," kata Farhan, berdiri. "Kamu tunggu aja di sini."
Aku memperhatikan Farhan ketika pacar gantengku itu membuka kausnya. Deangan hanya bercelana boxer, Farhan nyebur ke laut, berenang mendekati Dea dan Bimo yang lagi pelukan, dan kuperhatikan ketika Farhan bicara ke Bimo, lalu Bimo buru-buru melepas Dea dari pelukannya sambil nyengir kepadaku. Aku putar bola mata, dan mereka melanjutkan main ciprat-cipratan. Farhan gabung bersama Bimo dan Dea, seperti tembok penghalang yang memisahkan mereka. Tapi nggak apa-apa, itu lebih baik daripada tadi. Dea cuma pakai baju renang tipis, dan cowok straight manapun pasti bakal tergiur dengan tubuhnya yang mulai berbentuk.
Jadi aku sendirian di pantai, memandangi mereka, tersenyum melihat keseruan mereka. Aku ingin sekali bergabung, tapi mager rasanya buat bangun dari pasir.
Kesendirianku ternyata nggak lama, karena Egy bergerak menghampiriku. Celana boxernya basah dan meneteskan air, dan ketika dia duduk di sebelahku, butiran pasir menempel di celananya seperti besi berani.
"Nggak ikut nyebur?" tanyanya.
Aku menggeleng. Aku tahu cepat atau lambat aku dan Egy pasti harus ngobrol berdua, dan sekaranglah saat itu akhirnya tiba.
"Seandainya dulu gue nggak membenci kalian," katanya, "mungkin kita bakal lebih sering menghabiskan waktu kayak gini. Ketawa, bahagia."
"Yang udah ya udah nggak usah dipikirin lagi, itu semua udah jadi masa lalu."
Egy meraup segenggam pasir, kemudian membiarkan butiran pasir lolos dari sela-sela jemarinya. Sambil memandangi pasir jatuh ke tanah, Egy berucap, "Mungkin lo udah tahu tentang Pak Sutrisno dan masa lalu gue yang mengerikan."
Ingatanku langsung lari ke hari ketika Bastian menceritakan itu di lapangan futsal, dan aku mengangguk. Egy melihat anggukanku, lalu dia menunduk, seperti merasa malu.
"Gue benci Pak Sutrisno," gumamnya. Dia meraup segenggam pasir lagi, tapi kali ini dia melempar pasir itu dengan gusar hingga butiran pasir itu ada yang masuk ke matanya dan dia mengumpat kasar sambil mengucek mata.
Aku bisa merasakan kemarahannya, kebenciannya pada sosok Pak Sutrisno. Setelah matanya nggak lagi dikucek, Egy menatapku. "Gue sebenarnya nggak benci sama kalian," katanya. "Gue benci Pak Sutrisno. Begitu gue tahu lo homo, kenangan buruk tentang Pak Sutrisno kembali menghantui gue, membuat gue ketakutan hal itu bakal terjadi lagi." Dia meninju pasir, lalu menekan tinjunya sampai setengah kepalan tangannya tenggelam di dalam pasir. "Gue nggak mau itu terjadi lagi sama gue, Din. Itu mengerikan, lo tahu!"
Aku nggak mengangguk, nggak juga menggeleng karena aku nggak tahu seberapa mengerikannya kejadian itu. Tapi kalau Egy sampai marah dan bahkan meninju pasir, itu artinya kejadian itu sangat mengerikan buatnya. Yang bisa kulakukan hanyalah menyentuh tinjunya yang setengah terbenam di pasir sambil berkata, "Gue janji nggak akan membiarkan hal itu terjadi lagi ke lo, Gy."
"Janji?" Egy sudah setengah jalan ingin menangis, tapi mati-matian dia berusaha menahan air matanya.
Melihat Egy begitu rapuh mengingatkanku pada Lendra. Aku seperti dilempar kembali ke masa lalu, ketika aku harus jadi orang yang mendengarkan curhatan Lendra. Sekarang, mendengarkan curhat Egy membuatku seolah-olah bisa merasakan apa yang dia rasakan. Kueratkan genggamanku pada tinjunya yang masih terkepal.
"Lo sahabat gue, Din. Bimo juga sahabat gue. Maaf karena gue pernah jadi bajingan cuma karena rasa takut yang nggak pernah bisa gue lawan."
"Nggak ada yang perlu dimaafin lagi, Gy. Semua yang udah, ya udah. Kita harus move on. Kalau kita terus-terusan kejebak di satu masalah, nanti kita nggak bakal siap untuk masalah yang lain."
Egy menatapku. "Gue nggak pantes jadi sahabat kalian, Din. Gue berengsek karena berantemin lo, berantemin Bimo."
Aku tersenyum. "Gy, bukan sahabat sejati namanya kalau nggak pernah berantem. Setiap persahabatan pasti punya masalahnya masing-masing, tinggal gimana cara kita menyelesaikan masalah itu."
Sambil tertawa, Egy berkata, "Nggak sepenuhnya benar, tapi gue setuju sih sama ucapan lo."
Lalu kami tertawa bersama sambil memandangi sahabat-sahabat kami yang main ciprat-cipratan.
Fokusku lagi ke Dea, Bimo, dan Farhan, sedangkan Egy fokusnya ke Bastian, Leo, dan Ellen. Sambil memandangi mereka, Egy berkata, "Biarpun sekarang gue nggak lagi membenci gay, tapi setiap kali lihat Bastian dekat-dekat sama cowoknya, gue selalu ngerasa ... khawatir."
Aku tertawa kecil mendengarnya. "Mungkin itu yang dirasakan semua kakak di dunia ini, Gy. Gue juga ngelihat Dea sama Bimo rasanya kayak nggak ikhlas, cemas, tapi mau gimana lagi? Dea kelihatan bahagia sama Bimo."
"Dan Bastian juga bahagia sama Leo." Egy menoleh padaku, matanya menatapku dalam-dalam. "Din, serius gue mau tanya. Bastian sama Leo udah ngapain aja?"
Dapat pertanyaan mendadak seperti itu membuatku gelagapan mencari jawaban. Mataku menatap ke mana-mana, ke pasir, ke pantai, ke api unggun, seolah-olah jawaban dari pertanyaan itu ada di sana. Padahal, aku nggak tahu jawabannya sama sekali. Aku cuma terkejut karena nggak siap menerima pertanyaan semacam itu, seakan-akan akulah yang jadi subyek pertanyaannya.
Jadi aku menggeleng untuk pertanyaannya, tapi Egy tampak nggak memercayaiku. Dia menyipitkan mata, menatapku lama-lama, seperti memaksa. Tapi, sungguh, aku nggak tahu Bastian dan Leo sudah melakukan hubungan intim sampai sejauh mana, aku nggak mau menanyakannya karena itu kan privasi mereka. Jadi aku menggeleng sekali lagi, kali ini lebih kuat, dan Egy akhirnya pasrah dengan keenggaktahuanku.
"Gue takut Leo udah ngapa-ngapain adik gue," ucapnya kemudian sambil memandangi adik kandungnya yang sekarang naik ke punggung Leo, bergendongan.
Aku ingin menjawab ucapannya, tapi keburu diinterupsi oleh kedatangan Bastian dan Leo yang lari bergendongan dari pantai, dan langsung ambruk ke pasir di hadapan kami. Bastian mengerang jengkel, tapi Leo malah terbahak-bahak. Lalu mereka berdua bangkit, dan tersenyum ke kami.
Bastian dan Leo duduk di dekat api unggun, menghangatkan diri. Nggak ada kata yang terucap dari bibir mereka, hanya tatapan dan senyuman. Egy lalu bangkit berdiri dan berlari mengejar Ellen yang lagi tiduran di pasir pantai. Tinggallah kami bertiga di dekat api unggun. Bastian langsung membuka mulutnya setelah Egy menjauh.
"Dia pasti ngomongin gue, kan?" katanya, mengedikkan dagu ke arah Egy yang sekarang ikut tiduran bareng Ellen.
Aku mengangguk. "Dia sayang sama lo, Bas. Dia nggak mau lo kenapa-kenapa."
"Gue emang nggak kenapa-kenapa, kok. Gue bahagia. Seharusnya Egy bisa ngelihat itu."
"Dia bisa, kok. Di matanya, kebahagiaan lo membuatnya ikutan bahagia. Tapi dia tetap khawatir, dan menurut gue itu wajar sih."
Bastian membuang napas. "Yah, paling nggak itu lebih baik daripada Egy yang dulu membenci kita."
Obrolan kami terputus sampai di situ karena semua orang yang berada di laut menepi dan duduk mengelilingi api unggun. Entah siapa yang mengambilkan, tahu-tahu sudah ada tiga botol minuman keras di antara kami. Aku memandangi mereka semua, dan Egy tersenyum jahil ketika aku mencurigainya. "Pantai tanpa alkohol rasanya kurang lengkap, ya kan?" katanya.
Jadilah mereka minum-minum. Itu memang bukan jenis minuman keras level paling berat, tapi tetap saja ada alkoholnya. Egy, Leo, Bastian, Bimo, mereka semua minum. Farhan ditawari, tapi dia cuma minum seteguk kemudian menolak untuk melanjutkan. Keempat cowok itu menyoraki Farhan karena menolak lanjut, tapi pacar supergantengku nggak peduli. "Hidup sehat tanpa alkohol," bisik Farhan di telingaku, dan aku mengangguk menyetujui.
Tololnya, Egy yang tadi bilang bahwa dia mengkhawatirkan Bastian malah tertawa-tawa mabuk bersama adiknya itu. Dan ketika Leo mencium Bastian di bibir, tawa Egy malah lebih kencang. Kalau itu aku, pasti sudah kutonjok Leo. Aku putar bola mata melihat tingkat konyol orang mabuk.
Hampir tengah malam, Ellen dan Dea pamit masuk ke tenda. Aku mengiyakan, karena sesungguhnya aku khawatir kalau Dea berada dekat-dekat Bimo, nanti sahabatku itu nekat mencium bibir adikku juga. Walaupun Dea sudah melarangnya minum, tapi Bimo nggak mengindahkannya. Setelah cewek-cewek masuk ke tenda, sisa kami berenam yang tinggal di dekat api unggun.
Lewat tengah malam, mereka yang minum-minum mulai ngoceh ngalor ngidul nggak jelas. Aku dan Farhan cuma bisa putar bola mata seraya menyabarkan diri menunggu mereka kelelahan dan tertidur. Butuh waktu nyaris dua jam hingga akhirnya mereka semua masuk ke tenda dan aku ditinggalkan berdua sama Farhan.
"Mereka tolol," geramku, ketika mengingat muka Bimo yang merah kayak babi ngoceh-ngoceh nggak jelas di bawah pengaruh alkohol. "Rusak semua seru-seruan kita malam ini."
Farhan tertawa kecil. "Rusak? Menurutku nggak. Akhirnya sekarang kita ada waktu berduaan."
Kucium lembut bibir Farhan, agak lama, sambil menikmati rasa bibirnya yang agak-agak asin karena dia belum bilas setelah mandi di laut tadi.
Lepas ciuman, Farhan mengajakku jalan-jalan. Aku menyetujui, jadi dengan bergandengan tangan kami menyusuri pantai.
Cuaca terang malam itu, tapi sayangnya bulan lagi nggak ada di langit. Hanya bintang-bintang yang menemani malam kami, bersama embusan angin dan ombak yang menyentuh kaki telanjang kami. Air lautnya dingin, tapi aku menyukai sensasinya. Kakiku dan kaki Farhan melangkah bersamaan di atas pasir putih yang terasa lembut bagaikan spons.
"Aku merasa sempurna," kataku.
"Aku juga. Kebahagiaanku terasa lengkap sekarang," balas Farhan.
Farhan benar, kebahagiaan kami terasa lengkap sekarang. Walaupun orangtua Farhan belum tahu tentang hubungan kami, tapi kami yakin suatu hari nanti ketika kami sudah sukses dan nggak bergantung pada siapa-siapa lagi, mereka pasti bakal bisa menerima hubungan kami.
Langkah kami terasa ringan ketika menjejak di atas pasir putih yang basah. Angin berembus makin kencang, menerbangkan rambut dan ujung bajuku. Angin juga membawa udara dingin yang membuatku menggigil. Farhan melihatku kedinginan, lalu dia merangkulku. Kehangatannya nggak langsung mengenyahkan dingin, tapi paling nggak begini lebih baik. Ketika kami sudah jauh menyusuri garis pantai dan tiba di suatu tempat gelap yang membuatku tiba-tiba merinding, kami pun berbalik menyusuri jalan yang tadi kami lewati.
Jejak kaki kami sudah tersapu ombak di pantai, dan langkah kembali kami menciptakan jejak baru yang segera dihapus lagi oleh ombak. Mereka boleh menghilangkan jejak kami, tapi mereka nggak akan bisa merusak suasana indah nan romantis ini.
Ketika kami sudah mendekati tenda, Farhan berkata, "Semua masalah yang pernah kita lewati membuatku belajar satu hal."
"Apa itu?"
"Keyakinan itu penting—bahkan jauh lebih penting daripada harapan."
Aku setuju. Sambil mengangguk, aku berucap, "Yah, Farhan, karena cinta dan harapan saja nggak akan cukup tanpa dibarengi dengan keyakinan."
Farhan balas mengangguk dan tersenyum lalu dia menghentikan langkahnya sehingga aku pun berhenti. Dia mengubah posisi tubuhnya berhadapan denganku. Matanya menatapku lembut, sangat lembut, penuh cinta dan kasih sayang tanpa cela. Bibirnya membentuk senyum paling indah dan menawan yang selalu bisa merontokkan sendi-sendiku. Lalu lengannya terangkat, dan dia mengusap lembut pipiku. Anehnya telapak tangan Farhan terasa hangat di tengah sapuan angin yang dingin. Lalu dia memotong jarak di antara kami, kemudian dia merengkuh kepalaku. Dia agak menunduk sedikit ketika menyatukan bibirnya dengan bibirku. Ciumannya nggak buas, melainkan pelan, lembut, manis, asin, dingin, hangat, berbagai rasa bercampur jadi satu dalam ciumannya.
Rasa-rasa kehidupan.
Rasa-rasa keyakinan.
Rasa-rasa cinta.
Di bawah cahaya ribuan bintang, Farhan-ku tersayang mencium bibirku sebagai bukti bahwa cintanya sangat besar dan tak terhingga untukku.
Kudoakan semoga kalian bisa mendapatkan pacar seromantis Farhan.
Bandar Lampung, 05 April 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top