Empat Puluh Tujuh
" I was tryin' to be nice, but nothing's getting through." — Gayle, ABCDEFU
SEPERTI biasa, setelah pulang sekolah aku dan Farhan langsung mengurung diri di dalam kamar. Pertama-tama kami ciuman, lalu setelah itu Farhan mendorongku ke kasur, dan kami pun berpelukan. Farhan memulai obrolan dengan menanyakan apa yang kulakukan di rumah Tante Firna kemarin sore, yang segera kujawab dengan apa adanya. Farhan langsung kaget ketika tahu bahwa Tante Firna adalah mamanya Mitha.
"Aku nggak pernah tahu nama mamanya Mitha," katanya. "Jadi di sana kamu ngobrolin apa aja sama Mitha?"
Kujawab dengan sejujurnya, kuceritakan semua obrolanku bersama Mitha kemarin sore. Tapi tentu saja aku nggak menceritakan apa yang dilarang oleh Mitha—bagian itu aku potong karena aku sudah janji ke Mitha nggak akan memberitahukannya ke Farhan.
"Pokoknya Mitha bakal berhenti godain kamu kalau dia ngelihat langsung siapa pacar kamu. Dan menurutku, inilah saatnya kita jujur, Farhan. Ini saatnya kita memberitahu Mitha bahwa aku adalah pacarmu," kataku akhirnya mengusulkan.
Tanpa babibu, Farhan langsung menyetujui. Dia sangat antusias menyambut usulanku, sampai-sampai dia memelukku sangat erat dan menciumi puncak kepalaku berkali-kali.
Katanya, "Sebenarnya aku udah lama pingin jujur ke Mitha, tapi aku takut kamu bakal marah kalau aku nggak izin dulu ke kamu."
"Kenapa harus izin dulu ke aku?"
"Karena kamu kan masih takut," jawabnya. "Kamu bahkan nggak berani jujur ke Mama kamu sendiri."
Aku merengut jengkel. "Memangnya kamu berani?"
"Beranilah," katanya, mantap tanpa keraguan. "Bahkan kalau sekarang kita harus jujur pun, aku pasti bakalan jujur. Aku nggak mau hubungan kita selalu dibayang-bayangi ketakutan kayak gini."
Aku diam, nggak tahu harus ngomong apa. Farhan terdengar mantap dan yakin dengan ucapannya, seolah-olah dia sudah siap untuk jujur kepada dunia tentang hubungan kami. Masalahnya, aku belum siap. Aku memang ingin dunia tahu tentang hubungan kami, tapi bukan sekarang waktunya. Seharusnya nanti, ketika kami sudah siap untuk hidup seorang diri. Maksudku seorang diri bukan ketika kami sendirian di dunia ini, tapi ketika kami sudah bisa hidup mandiri, menghasilkan uang sendiri, nggak bergantung pada orangtua lagi. Kalau sekarang kami come out dan kemudian orangtua kami nggak mau lagi melihat wajah kami, apa yang harus kami lakukan? Kami harus lari ke mana? Pergi ke mana? Farhan dan aku masih sekolah, kami masih belum bisa dapat kerja enak di kantoran karena ijazah SMA saja belum kami dapatkan. Ya, kan?
Jadi dengan penuh kesabaran kuutarakan semua itu padanya.
Dan coba tebak apa jawaban Farhan? Dia bilang, "Kalau memang itu harus, aku bisa kok kerja apa aja untuk cari duit. Yang kita butuhkan sekarang adalah keyakinan, Dino. Kalau kita nggak yakin, susah buat kita untuk melewati ini semua."
Itu dia. Keyakinan. Mungkin Farhan benar. Yang harus aku lakukan adalah yakin bahwa kami bisa. Pasti bisa. Kalau kami nggak bisa melewati semua ini dengan cara seperti ini, maka kami masih bisa melewatinya dengan cara yang lain. Akan selalu ada cara bagi kami untuk melewati ini, asalkan kami yakin.
Atau lebih spesifik, asalkan aku yakin.
"Maafin aku karena terdengar meragukan," kataku, akhirnya memeluk Farhan. Walaupun Farhan setahun lebih muda dariku, tapi aku percaya dan yakin dia pasti nggak akan salah dalam mengambil langkah. Setiap langkah yang diambilnya pasti sudah dia pikirkan matang-matang. Dan yang perlu aku lakukan adalah yakin kepadanya.
Setelah itu aku mengajak Farhan foto bareng. Kataku, "Foto, yuk? Kita nggak pernah loh foto berdua."
"Oke," katanya, menyetujui, lalu dia mengeluarkan hapenya, dan kami pun foto berdua.
Kami foto sambil tiduran, sambil pelukan, sambil cium pipi, dan juga cium kening. Sangat membahagiakan rasanya bisa mengabadikan momen saat ini bersama pacar kesayangan. Farhan terlihat sangat bahagia di dalam foto, dan aku terlihat sangat tampan dan imut—oke, aku memang kepedean, tapi Farhan juga setuju kok kalau aku memang tampan dan imut. Kami cocok. Kami serasi. Kami seperti sudah ditakdirkan untuk bersama-sama seperti ini.
Kemudian, setelah puas dengan foto gaya softcore, Farhan mengajakku gaya hardcore. Maksudnya hardcore adalah kami foto telanjang tanpa baju! Farhan yang mengusulkan ini, karena katanya tiba-tiba dia horny lihat mukaku yang unyuk dan imut- imut. Jadi tanpa banyak bicara, kami langsung melepas seragam sekolah kami.
Foto telanjang rasanya sangat erotis dan menggairahkan. Di satu foto, aku bergelung manja ke dalam pelukan Farhan, kepalaku kuletakkan di bahunya, sementara Farhan cuma tersenyum sambil memegang hape.
JPRET! JPRET! JPRET!
Di foto lain, aku berpose seolah-olah sedang menjilat puting Farhan, sementara Farhan memasang ekspresi keenakan yang justru malah terlihat lucu. Aku gemas melihatnya seperti itu, dan dengan lembut kucubit putingnya. Dia mendesah, lalu mencium bibirku.
Saat sedang berciuman, Farhan mengarahkan kameranya ke kami, dan ... JPRET! Satu foto kami lagi ciuman bibir sambil telanjang pun akhirnya terabadikan.
"Yang ini bagus, lucu," komentar Farhan ketika kami melihat-lihat hasil selfie telanjang tadi. Gambar yang dikomentarinya adalah fotoku yang lagi pura-pura tidur dengan berbantalkan lengan Farhan yang putih dan sedikit berotot. Ketiak Farhan yang berbulu halus menggelitik pipiku, tapi aku suka dengan sensasi menggelitik itu. Aroma ketiak Farhan tercium sangat maskulin, dan aku betah lama-lama tidur di dekat ketiaknya. Ekspresiku tampak damai dan nyaman dalam foto itu.
"Muka aku di foto ini imut, ya," kataku, tersenyum bangga.
Farhan mencubit pipiku sayang. "Kamu memang lucu dan imut, Sayang." Satu kecupan manis mendarat di keningku. "Kita harus pindahin foto ini ke laptop," katanya. "Aku nggak mau foto ini dilihat teman-temanku."
Aku mengangguk setuju. Foto-foto selfie telanjang tadi biar jadi konsumsi pribadi kami sendiri, bukan untuk diumbar-umbar. Jadi langsung kuambil laptop dari dalam lemari, lengkap dengan kabel data. Setelah laptop dihidupkan dan kabel data dicolokkan, foto-foto kami langsung dipindahkan ke laptop.
"Tinggal tunggu deh," kata Farhan, sambil berbaring telentang di kasur.
Aku ikut membaringkan tubuhku di sebelah Farhan. Kami masih telanjang dada. Dan karena sudah terlanjur buka baju, jadi sekalian saja aku buka celananya Farhan. Jari-jari tanganku sudah nakal meraba-raba bagian depan celananya yang menggunduk besar dan terasa sangat keras. Farhan sudah mengeras.
"Horny?" godaku, sambil mencium bibirnya.
Farhan mengangguk, lalu membalas ciumanku.
Aku baru akan membuka celana Farhan ketika tiba-tiba sesuatu bergetar di kantungnya.
Drrtt ... drrrttt ... ddrrrrttt ...
"Hape kamu, tuh," kataku.
Farhan segera meraih hape kecilnya dari saku celana. Hape kecil itu adalah Nokia 1202 versi lama yang layarnya masih hitam putih. Farhan sengaja pakai hape itu khusus untuk nelepon dan sms.
"Halo?" sapa Farhan kepada siapa pun itu yang meneleponnya.
Nggak tertarik untuk mengetahui apa yang dibicarakan si Penelepon, aku kembali melihat layar laptop dan foto-foto yang dipindahkan sudah hampir selesai.
"Kok bisa?!" Farhan terdengar kaget di belakangku.
Aku menoleh ke arahnya, terkejut melihat ekspresinya yang khawatir dan ketakutan. Pasti penting, kataku dalam hati. Siapa pun itu yang menelepon Farhan, pasti baru saja memberitahukan kabar yang sangat mengejutkan.
"Oke oke, gue ke sana sekarang."
"Siapa?" tanyaku setelah Farhan memasukkan kembali hapenya ke kantung celana.
"Leo. Dia bilang Bastian masuk rumah sakit," jawabnya.
Aku kaget. "Bastian kenapa?"
Farhan meringis ketika mengatakan, "Dia babak belur. Dihajar habis-habisan sama Egy."
"Astaga!" Aku memekik. Inikah saatnya? pikirku dalam hati, nyaris saat itu juga.
Farhan segera turun dari kasur, menyambar kemeja OSIS, kemudian memakainya. "Kita harus ke rumah sakit sekarang. Leo bilang, Bastian butuh kita di sana." Sambil bicara, Farhan mengancingkan kemejanya.
Aku mengangguk tanpa berpikir apa-apa lagi. Kuraih kemeja OSIS-ku, lalu kupakai dengan cepat. Setelah selesai, aku sudah siap pergi.
Farhan mencabut kabel data dari hapenya, dan aku melihat ke layap laptop: untungnya foto-foto telanjang kami sudah selesai di-copy.
"Ayo Dino, cepat," kata Farhan.
Karena buru-buru, langsung kututup laptop begitu saja tanpa mematikannya lebih dulu. Foto-foto telanjang kami masih bisa diurus nanti. Yang penting sekarang adalah Bastian. Kalau benar dia dihajar Egy, berarti dia sudah jujur. Membayangkan Egy yang mengamuk saat mendengar pengakuan Bastian membuatku meringis khawatir. Kalau sama Farhan saja—yang ibaratnya bukan siapa-siapanya—Egy bisa begitu kejam, apalagi kalau sama adiknya sendiri? Egy pasti jadi sangat kejam seperti monster. Oh Tuhan, aku berharap semoga Bastian baik-baik saja.
Di lantai bawah, kami bertemu Mama yang terheran-heran melihat kami buru-buru. "Mau ke mana kalian?"
"Ke rumah sakit," jawabku. "Temen kami kecelakaan."
"Siapa?" Mama bertanya lebih banyak, membuang-buang waktu lebih banyak.
"Bastian," jawabku cepat. "Maaf, Ma, kita ngobrolnya nanti aja. Sekarang kami harus buru-buru."
Mama nggak menghalangi lagi. Dia memberi kami jalan sambil berkata, "Hati-hati di jalan. Nggak usah kebut-kebut"
Aku mengangguk padanya. Dan sebelum keluar dari rumah, sempat kulihat Mama naik tangga, menuju lantai dua.
♡︎♡︎♡︎
DI RUMAH sakit, Farhan menelepon Leo, menanyakan ruang tempat Bastian dirawat. Setelah mendapat jawabannya, kami segera meluncur ke sana.
Sesampainya di kamar rawat Bastian, kami disambut oleh kerumunan kecil orang-orang yang menunggu di sekitar ranjang tempat Bastian tergeletak tak berdaya. Hal pertama yang kulihat di tubuh Bastian adalah perban. Banyak sekali perban. Slang infus menusuk urat nadinya, dia bernapas dengan bantuan slang oksigen. Wajah Bastian tampak biru dan bengkak, pipinya menggembung dengan cara yang nggak wajar. Segitu buruknyakah Egy menghajar adik kandungnya sendiri hanya karena dia gay?
Di sekeliling ranjang Bastian ada orang-orang yang kuketahui sebagai keluarga Egy. Ayahnya, ibu tirinya—ibu kandung Egy sudah lama meninggal sejak Egy masih SD—dua kakak tirinya yang sudah pada menikah, dan tiga anak kecil yang aku tahu adalah keponakan-keponakan Egy. Mereka menatap sedih kepada si Sakit yang tergeletak begitu lemah. Sambil mendekati kerumunan itu, aku bertanya-tanya dalam hati kenapa Egy nggak ada di sini? Apakah dia kabur?
Leo, yang duduk di sebelah ranjang Bastian, berdiri menyambut kami. Orangtua Egy juga menyambut kami dengan hangat, begitu pun kakak-kakak tirinya. Setelah kami bersalaman, mereka segera menjauh dari ranjang Bastian, duduk di sofa yang ada di kamar rawat ini. Mereka memberi kesempatan buatku dan Farhan untuk bisa melihat kondisi Bastian dengan jelas.
Mengerikan rasanya melihat Bastian terluka seperti itu. Yang membuatku sangat ngeri adalah kemungkinan Farhan bisa saja mengalami nasib seperti Bastian. Kalau saja waktu itu nggak ada aku dan Bimo yang mencegah perkelahian, mungkin Farhan akan bernasib sama buruknya seperti Bastian—atau bahkan jauh lebih buruk.
"Dia udah siuman?" tanyaku ke Leo.
Leo mengangguk. "Dia udah siuman dari beberapa jam yang lalu, tapi cuma sebentar. Sekarang lagi tidur."
"Sejak kapan dia masuk rumah sakit?" tanya Farhan.
Leo menggeleng. "Nggak tahu. Gue juga dapat kabarnya barusan."
"Sekarang kakaknya di mana?" tanyaku.
Leo menggeleng lagi. "Tadi ada di sini, sekarang nggak tahu di mana. Kayaknya dia kabur setelah orangtuanya marah-marahin dia."
Kalau jadi orangtuanya, aku juga pasti akan memarahinya karena sudah seenak jidatnya
menghajar adik kandungnya sendiri sampai babak belur—dan sampai masuk rumah sakit pula! Egy sudah sepantasnya merasa bersalah. Tapi mengingat dia nggak pernah merasa bersalah sedikit pun atas apa yang pernah dilakukannya padaku dan Farhan, aku jadi ragu akan hal itu. Mungkin saat ini Egy sedang memutuskan untuk nggak mau mengenal Bastian lagi. Itu ... mengerikan.
Aku dan Farhan menunggu Bastian siuman sambil mengobrol dengan Leo. Ayah dan ibu tiri Egy duduk di sofa. Kakak-kakak tiri Egy sudah menghilang entah ke mana bersama anak-anak mereka. Kentara sekali ibu tiri Egy tampak sedih dan terpukul atas apa yang menimpa Bastian. Mata wanita itu bengkak, dan hidungnya berwarna kemerahan. Dia memegangi tissue untuk sesekali mengelap hidungnya. Ayah Egy yang berusaha tegar demi menguatkan istrinya juga tampak sama terpukulnya dengan wanita yang dipeluknya. Mereka jelas sangat menyayangi si bungsu.
Sekitar satu setengah jam kemudian Bastian siuman. Dia mengerang kesakitan, tapi matanya terbuka sepenuhnya. Dia melihat aku dan Farhan, kemudian menyapa kami dengan suara yang begitu pelan dan tampak kesakitan.
"Hai," aku balas menyapanya, sambil tersenyum.
Ayah dan ibu tiri Egy bangkit dari kursi dan segera menemui anak bungsu mereka. Ibu tirinya terisak hebat sambil menghambur untuk memeluk Bastian dengan sangat erat. Kasih sayang yang diberikannya tampak tulus, dan ini membuatku yakin seratus persen bahwa walaupun ibu tiri, tapi beliau nggak jahat.
"Bastian baik-baik aja, Ma," kata Bastian, menenangkan ibu tirinya.
Wanita itu mengangguk. "Mama tahu. Mama cuma nggak tahan pingin peluk kamu, Sayang."
Ayahnya maju untuk ikut memeluk Bastian. Hug group. "Biar nanti Papa yang ngurus Egy."
Bastian melepas pelukan orangtuanya sambil berkata, "Di mana Egy, Pa?"
Papanya cuma angkat bahu.
"Bastian pingin ketemu Egy, Pa. Pingin ngobrol sama Egy."
"Untuk apa lagi kamu ngobrol sama dia?" Suara papanya keras. "Kamu jadi kayak gini gara-gara dia, Bas!"
"Bastian tahu, Pa," kata Bastian, membela diri. "Tapi ini penting. Mumpung ada Dino sama Farhan di sini, Bastian harus ngomong sama Egy sekarang."
Papanya menoleh ke arah kami, tampak seperti sedang menilai pengaruh keberadaan kami di sini. Aku juga sebenarnya nggak tahu apa pengaruhnya aku ada di sini dengan Bastian yang harus ngomong dengan Egy sekarang. Yang jelas, apa pun itu, papanya Egy langsung mengangguk dan kemudian menelepon Egy.
"Ke rumah sakit sekarang. Bastian mau ngomong," kata papanya, bicara pada Egy di sambungan telepon.
Mama tiri Egy dan Bastian diam, menunggu sambil menggenggam tangan Bastian erat-erat.
"Nggak ada alasan. Kamu harus ke rumah sakit, selesaikan semuanya di sini sekarang!" Nada keras papanya diiringi dengan kekesalan. Lalu, secepat itu papanya mematikan telepon dan memasukkannya kembali ke dalam saku. "Dia dalam perjalanan."
Nggak ada yang bisa kami lakukan lagi selain menunggu. Aku, Farhan, dan Leo memutuskan duduk di sofa, membiarkan Mama dan papanya Bastian mengobrol dengan anak mereka.
"Kamu yakin Egy bakal dateng?" tanyaku ke Farhan, berbisik.
Farhan menggeleng. Ambigu.
Tapi aku tahu, jawaban Farhan pasti sama dengan jawabanku: Nggak mungkin Egy bakal datang, karena dia pasti nggak mau lagi ketemu Bastian yang gay. Sama seperti dia yang menolak untuk bertemu dengan kami lagi, kecuali kalau pertemuan itu nggak sengaja.
Jadi, ketika Egy masuk ke kamar diikuti oleh Ellen di belakangnya, aku kaget. Egy datang! Raut wajahnya dipenuhi kebencian. Matanya menatap galak ke kami. Bahkan, Egy melotot tajam ke Leo, yang aku yakin dia pasti sudah tahu hubungan Leo dengan adiknya. Egy melewati kami begitu saja dan mendekati orangtuanya.
"Apa lagi?" tanyanya, tanpa repot-repot menolehkan kepalanya ke Bastian. Dia sangat membenci adiknya sendiri sampai-sampai melihat keadaannya yang babak belur pun ogah.
"Gue pingin ngomong penting sama lo," kata Bastian.
Akhirnya Egy menatap Bastian. Tapi, tatapan itu begitu dingin sehingga aku yakin Egy adalah manusia pembenci homo sejati. "Nggak ada lagi yang perlu kita omongin," katanya, kasar. "Gue nggak mau kenal lo lagi!"
"Egy!" Mama tirinya membentak. "Jangan ngomong kayak gitu sama adikmu sendiri!" Wanita itu tampak terluka. Ironis sekali. Yang nggak ada hubungan darah dengan Bastian justru malah yang paling menyayanginya.
"Masih untung kamu nggak Papa bawa urusan ini ke meja hukum!" Papanya ikut membentak.
"Ma, Pa, udahlah," Bastian mencoba menenangkan. "Tolong tinggalin Bastian sama Egy, please? Ada yang mau Bastian omongin. Penting."
"Nggak, Bas. Mama akan tetap ada di sini." Mama tirinya menolak.
"Ini urusan Bastian sama Egy, Ma. Dan mumpung ada Dino sama Farhan di sini, Bastian mau menyelesaikan semuanya sekarang. Mama sama Papa tolong tunggu di luar sebentar, ya? Please?" Bastian memohon dengan sangat, sehingga siapa pun yang mendengarnya nggak akan bisa menolak.
"Baiklah," kata papanya, memegangi bahu istrinya sambil membantunya bangkit berdiri dari kursi. "Apa pun itu, pokoknya harus diselesaikan sekarang. Papa nggak mau lagi lihat kalian berdua berantem kayak anak kecil." Bersamaan dengan kata-katanya, beliau membawa istrinya keluar dan sosok mereka menghilang di balik pintu yang tertutup.
Sekarang, hanya tinggal kami berenam di kamar ini. Enam orang. Dua pasangan gay. Satu pasangan straight. Berdiri di tempatnya dengan kaku dan tampak marah, Egy melirik kami. Lirikannya bisa dibilang cukup maut, karena Farhan bahkan tampak ketakutan dilirik seperti itu. Aku merasakan tangannya yang menggenggam tanganku agak gemetar.
"Sekarang apa?" tanya Egy, memecah kesunyian. "Kalian para homo bakal ngeroyok gue sekarang?" Dia memelototi kami bergantian.
"Gy, udahlah," Ellen berusaha menenangkan pacarnya. Tapi kami semua tahu, sekalinya Egy marah nggak akan bisa dihentikan, kecuali kalau dia ingin menghentikannya sendiri.
"Gue sengaja nyuruh Dino ke sini untuk ngasih tahu lo semuanya, Gy," kata Bastian, suaranya pelan, tapi tampak tenang. "Bahwa semua orang yang ada di dekat lo adalah gay."
Egy tertawa sinis. "Ya. Sekarang semua yang ada di dekat gue adalah gay terkutuk. Lo gay. Dino bangsat itu gay. Pacarnya yang sok hebat itu juga gay. Dan itu"—Egy menunjuk Leo—"pacar lo yang menjijikkan juga gay."
Farhan sudah mengepalkan tangannya, dia langsung terpancing emosi karena ucapan Egy. Tapi buru-buru kupegang kepalan tangannya, menenangkannya. Kepala dingin adalah satu-satunya yang kami butuhkan saat ini untuk bisa memenangkan ini.
Leo tampak nggak terpengaruh dengan kata-kata Egy. Mungkin Leo sudah bisa mengendalikan emosinya.
"Dino ..." Bastian menatap padaku. "Sekarang," katanya, sambil mengangguk.
Ya. Sekaranglah saatnya. Bastian membutuhkan aku saat ini. Inilah yang sudah kami rencanakan kemarin sejak Bastian meneleponku pagi-pagi sekali hari itu. Dan di sinilah peranku.
"Lingga yang sahabat lo itu juga gay," kataku, mengatakannya dengan penuh tekad.
Egy melotot kaget. "Nggak mungkin!" katanya, nggak percaya. "Lingga nggak mungkin gay! Gue udah sering nginap dan tidur bareng di rumah dia, bahkan gue sering mandi bareng dia, dan dia nggak pernah sekalipun macem-macem dengan gue!"
"Begitu juga dengan kami," kataku, masih penuh tekad yang sekarang membara di dalam hatiku. Kebenaran ini harus diucapkan dengan lantang, karena kepercayaan yang saat ini jadi taruhannya. "Kita udah sering tidur bareng kan, Gy? Lo, gue, Bimo, Lendra ... dulu kita selalu tidur berempat di kasur yang sama. Dan apakah gue pernah melakukan hal yang nggak-nggak ke lo? Apakah gue pernah melakukan sesuatu yang merugikan lo?"
Egy diam seribu bahasa. Tangannya tekepal kuat-kuat di samping tubuhnya. Walaupun samar, tapi bisa kulihat tangannya agak gemetar. Yang aku nggak tahu adalah, itu gemetar karena amarah, atau gemetar karena berusaha menolak kenyataan bahwa aku benar?
"Lo semua homo terkutuk!" Dia menggeram dengan gigi terkatup. Kemarahan dan kebencian itu terdengar jelas dalam geramannya. "Mungkin kemarin-kemarin lo emang nggak ngapa-ngapain gue, tapi siapa yang tahu apa yang bakal terjadi besok? Gue yakin lo pasti berniat pingin nidurin gue!"
Aku menggeleng. "Nggak pernah ada niatan gue untuk nidurin lo, Gy. Sorry to say, lo bukan tipe gue. Jangan lo pikir karena kami homo jadi lo bisa seenaknya mengatakan bahwa kami bakal mengisap semua kelamin cowok tanpa pandang bulu. Nggak, Gy. Kami yang gay ini juga punya selera. Kami juga milih-milih siapa yang mau kami kulum. Dan satu hal yang pasti, lo bukan tipe yang gue inginkan untuk gue kulum."
Egy diam lagi, tampak sedang berusaha mencari kata-kata yang cocok untuk membalas ucapakanku. Di sebelah Egy, Ellen tersenyum sambil mengangguk padaku. Ellen mendukungku, memberi izin padaku untuk terus melawan Egy, membawanya kembali ke jalan penuh kasih sayang, bukannya jalan yang penuh kebencian.
"Intinya," aku berkata lagi setelah Egy diam cukup lama, "kami yang ada di sini nggak pernah sekalipun berniat kurang ajar ke lo. Gue bahkan menghormati lo, Gy. Gue udah anggap lo kayak kakak gue sendiri. Tapi kenapa lo justru nganggap gue kayak musuh terbesar dalam hidup lo?"
Egy masih diam.
Sekarang giliran Bastian yang bicara. "Gue juga nggak pernah ada niat pingin kurang ajar sama lo, Gy. Tahu, kan? Selama ini gue selalu berusaha untuk jadi 'adik' yang terbaik dalam hidup lo. Apa pernah gue ngebangkang semua yang lo suruh ke gue? Apa pernah gue merugikan lo? Apa pernah selama ini gue memalukan lo? Nggak pernah kan, Gy?"
Egy gemetar sebadan-badan. Aku bisa melihat itu sejelas aku melihat sosoknya yang mulai rapuh dikelilingi oleh kami.
"Kami yang gay ini menyayangi lo, Egy. Tapi kenapa lo malah membenci kami?" kataku.
Dan Egy langsung menoleh padaku—tatapannya nggak lagi galak, tapi berubah agak sedikit lebih lembut. Hanya sedikit, tapi buatku itu cukup untuk memberi banyak harapan bahwa Egy mungkin saja bisa diubah. Kami bisa membawa Egy kembali ke jalan kasih sayang.
"Selama ini lo selalu dikelilingi oleh gay, dan nggak ada satu pun gay di sekeliling lo yang berniat mencelakakan lo. Lingga, Bastian, gue, Farhan, Lendra—"
"Lendra?" Egy mengerutkan kening.
Aku mengangguk. "Ya. Lendra. Lo nggak tahu, kan? Dia juga gay, Gy. Dan coba lo ingat-ingat apakah Lendra pernah melakukan sesuatu yang merugikan lo? Apakah dia pernah berniat untuk godain lo? Nggak, kan?"
Egy diam, tampak merenung. Mungkin dia sedang memikirkan tentang Lendra. Aku berusaha sekeras mungkin menjaga topik tentang Lendra karena aku percaya kalau sudah menyangkut Lendra, baik aku ataupun Egy nggak akan bisa menahannya.
"Bahkan saat kematiannya pun Lendra nggak pernah berniat membuat kita khawatir, ingat? Dia menyembunyikan tentang penyakitnya dari kita. Dia menyembunyikan segalanya dari kita karena dia nggak mau membuat kita sedih dan khawatir."
"Lendra nggak mungkin gay!" Egy membentak, galak. Aku takut mendengar geraman yang terdengar setelah bentakan kasarnya tadi, tapi aku nggak boleh menyerah sekarang.
"Dia gay. Kalau lo nggak percaya, tanya aja sama Dina, atau sama Bimo. Atau bahkan, tanya aja sama teman lo yang sepupunya Lendra itu," kataku, kembali membulatkan tekad untuk menarik Egy kembali ke jalan kasih sayang.
"Lendra nggak mungkin gay!" Lagi-lagi Egy membentak, sambil menggeleng keras-keras seperti berusaha menolak apa yang didengarnya.
"Sekarang," kataku, mengabaikan bentakannya walaupun sebenarnya aku ketakutan setengah mati karena hal itu, "coba lo tanya ke diri lo sendiri: kalau seandainya sekarang Lendra masih hidup dan kemudian lo tahu dia gay, apa yang bakal lo lakuin? Apa lo bakal membenci dia juga?"
Suasana hening. Saking heningnya sampai bisa kudengar suara jam yang berdetak di antara dengungan AC. Nggak ada satu pun di antara kami berenam yang berniat membuka suara. Aku sedang menunggu respons Egy, yang untungnya sesuai dengan apa yang aku harapkan. Egy tampak terpukul dan kesulitan menjawab pertanyaanku.
"Kalau lo nggak bisa menemukan jawabannya," kataku, akhirnya memecah keheningan, "coba tanya ke hati lo dan jawab dengan hati nurani lo. Apakah lo bakal membiarkan kebencian dan ego mengalahkan kasih sayang lo ke Lendra? Dia kena kanker otak, Gy! Orangtuanya bercerai dan hidupnya kacau! Tapi, dia masih tetap sayang sama kita dan nggak mau membuat kita khawatir. Lendra selalu berbuat baik pada kita, tapi apa lo tetap tega membenci dia cuma karena dia gay?"
Egy menggeleng. Kebuasan dalam matanya seketika redup. Entah mataku yang menipu, atau Egy memang tampak berkaca-kaca? Dia seperti sedang memikirkan sesuatu, dan apa pun yang ada di pikirannya, itulah yang membuat matanya berkaca-kaca. Apakah dia sedang memikirkan kata-kataku? Atau dia sedang memikirkan Lendra?
"Itu aja yang mau gue kasih tahu ke lo, Gy," kataku lagi. "Nggak semua gay di dunia ini jahat. Nggak semua gay di dunia ini patut untuk dibenci."
Keheningan kembali menguasai kamar. Hanya detak jam dinding yang membuktikan bahwa waktu sedang berjalan, dunia sedang berputar, segalanya sedang berubah. Kalau kata-kataku nggak berhasil menyentuh hati nurani Egy yang paling terdalam, maka selamanya kami akan selalu dibenci olehnya. Tapi kalau kata-kataku berhasil membuatnya sadar, maka mulai hari ini segalanya akan jadi lebih baik dan lebih mudah untuk kami lewati.
"Lo ingat apa yang pernah Mama bilang ke kita?" Bastian yang memecah keheningan.
Egy menoleh ke adiknya. Kali ini, tatapanya nggak lagi dingin, tapi juga nggak bisa dibilang bersahabat.
"Sebelum meninggal Mama pernah ngasih nasihat ke kita bahwa yang terbaik dalam diri setiap manusia adalah hati nuraninya." Bastian menatap Egy dengan lembut, tapi matanya memancarkan tekad yang sangat kuat. "Apakah hati nurani lo udah yang terbaik? Apakah perbuatan lo membenci gue, membenci Dino, dan membenci semua orang yang nggak pernah berbuat salah ke lo adalah perbuatan yang terbaik?"
Egy kehilangan kata-katanya. Dia membuka mulut, tapi nggak ada satu pun kata yang keluar dari sana. Yang ada, matanya tampak bergetar dan berkaca-kaca. Kemudian, dengan secepat kilat dia mengerjap-ngerjap sehingga matanya nggak lagi berkaca-kaca. Dia kembali memasang ekspresi sekeras batu itu. "Gue nggak punya waktu untuk ini," katanya, menggeleng. Tapi, dalam kata-katanya aku menangkap nada lain yang terdengar seperti sebuah penyesalan. Apakah Egy mulai menyesal karena membenci kami?
"Gy ...," Ellen menyentuh lengan Egy.
"Kita pergi dari sini," kata Egy, berbalik meninggalkan kami. Aku mengamati sosoknya sampai menghilang di balik pintu kamar yang tertutup.
"Please," Bastian berkata pada Ellen, "tolong bawa kakak gue kembali ke jalan yang benar." Bastian memohon dengan nada yang sangat menyentuh hati.
Ellen tampak luluh. Dia mengangguk pada Bastian. "Gue bakal berusaha untuk terus membujuk dia."
Bastian balas mengangguk. "Terima kasih."
Setelah pamitan singkat pada kami semua, Ellen pergi menyusul Egy.
Tinggal kami berempat, dan aku buru-buru mengatakan, "Akhirnya selesai."
Bastian tampak terlalu bersemangat ketika mengatakan, "Kita berhasil, Din!"
Aku menggeleng. "Belum, Bas. Keputusan cuma ada di tangan Egy."
Bastian tertawa kecil, seolah-olah mukanya yang bengkak itu nggak jadi penghalang semangatnya yang sedang berapi-api. "Lo nggak lihat tadi Egy terpojok? Dia bahkan sampai nggak bisa ngomong lagi! Apalagi waktu lo mulai ngoceh tentang Lendra ... Egy kelihatan kayak orang yang kehilangan orientasi! Dia kaget, sedih, bercampur marah dan menyesal."
Aku mengangguk setuju. Tapi tetap saja semuanya kembali ke Egy. "Kita cuma bisa berharap yang terbaik untuk semuanya," jawabku sok penting.
Tapi yang lain mengangguk. Farhan bahkan melingkarkan lengannya ke bahuku, kemudian mencium keningku. "Yang penting kita udah berusaha," katanya, tersenyum.
Leo bergerak ke samping ranjang Bastian, kemudian mencium kening anak itu. Kata Leo, "Sekarang bukan cuma lo aja yang punya pacar, Farhan. Gue juga udah punya." Leo terdengar bangga sambil menggenggam tangan Bastian erat-erat.
Farhan tertawa. "Kapan-kapan kita harus double date!"
Leo juga membalas dengan tertawa. "Pasti! Setelah semua urusan ini selesai, kita harus double date!"
Aku tersenyum penuh syukur karena entah bagaimana aku bisa tahu semua ini akan segera berakhir. Nggak lama lagi, setelah Egy akhirnya akan memutuskan bahwa sesungguhnya dia salah dengan membenci kami, kami bisa melewati ini semua dengan mudah. Sekarang, aku percaya. Dengan keyakinan, apa pun pasti bisa kami lewati.
Bandar Lampung, 11 Februari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top