Empat Puluh Tiga

"You could blast me and my secret, because there's probably just no need." — Rex Orange County, Pluto Projector


AKU diajak Farhan untuk ikut ke Lampung Futsal—tempat Farhan biasa main futsal setiap Selasa dan Minggu malam. Biasanya aku malas ikut ngelihatin Farhan main futsal karena teman-teman futsalnya seksi-seksi dan lakik banget sehingga aku takut nggak bisa mengontrol nafsuku ketika berada di sana hahaha. Tapi kali ini aku mau ikut karena penasaran ingin bertemu Sebastian dan Leo. Ketika aku bertanya apakah di Lampung Futsal nanti bakal ada Sebastian dan Leo, Farhan menjawab ya ada dong, mereka kan pengunjung tetap di sana. Jadi, pukul 8 malam ini Farhan akan menjemputku di rumah, dan bersama-sama kami akan berangkat ke Lampung Futsal.

Pukul setengah delapan aku sudah siap berangkat. Aku pakai pakaian santai. Kalau nonton futsal pakai celana pendek selutut dan kaus oblong biasa nggak apa-apa, kan? Ketika turun ke lantai bawah dan menunggu di teras depan rumah, kepalaku mulai terasa pening. Aku memang sudah merasa agak pening sejak tadi siang, tapi malam ini pening di kepalaku lebih terazzza. Kuabaikan pening itu, dan memutuskan untuk merahasiakan ini dari Farhan, karena kalau Farhan tahu kepalaku pening dia pasti nggak akan mengizinkanku ikut dan malah menyuruhku istirahat di kamar. Aku nggak mau istirahat. Aku suntuk karena seharian di kamar melulu, jadi aku butuh refreshing. Melihat Farhan main futsal pasti bisa mengusir rasa pening ini.

Farhan sampai pukul delapan kurang tiga menit—aku melihat jam di iPhone-ku ketika Brio hitam itu berhenti di gerbang. Aku segera berlari menghampiri mobil itu, dan Farhan sudah membukakan pintu penumpang dari dalam ketika aku sampai. Aku langsuk masuk. Setelah mengucapkan salam lalu berpelukan, Farhan menginjak gas, dan mobil melesat cepat ke Lampung Futsal.

Lampung Futsal ternyata ramai, ya? Nggak cuma cowok, tapi cewek-cewek juga ada di sini. Farhan bilang cewek-cewek itu adalah pacar dari para pemain futsal yang datang untuk menyaksikan atau menyemangati pacar mereka. Cewek-cewek itu duduk di kursi-kursi yang diletakkan di pinggir lapangan yang setiap sisinya dikelilingi jaring.

"Aku selalu berharap ada kamu di sini biar aku mainnya tambah semangat," bisik Farhan di dekat telingaku, membuatku tersenyum malu dan pipiku panas. "Lihat! Itu Chika," Farhan menunjuk ke kerumunan cewek-cewek yang duduk di pinggir lapangan, dan benar di situ ada Chika.

"Dia ikut nemenin kamu main futsal?" tanyaku, tiba-tiba agak cemburu.

"Nggak. Dia nemenin pacarnya," jawab Farhan, lalu menunjuk ke kumpulan cowok- cowok yang sudah memakai artibut futsal lengkap. "Itu pacarnya. Yang paling tinggi," katanya.

Aku melihat cowok paling tinggi di antara kumpulan cowok-cowok itu. Ganteng. Senyumnya manis. "Aku nggak tahu Chika punya pacar."

"Memang kamu nggak perlu tahu. Ayo, aku anterin kamu gabung sama Chika dan yang lain," Farhan membawaku ke kerumunan cewek-cewek yang sedang tertawa sambil ngobrol dan minum teh. Saat kami sampai di sana, Chika melihat kami.

"Dino!" pekiknya, agak terkejut melihat kedatanganku. "Akhirnya lo dateng juga," katanya, lalu membawaku duduk di kursi di tengah-tengah antara dia dan seorang perempuan berhijab. "Duduk sini aja. Kita lihat permainan futsal pacar-pacar kita di sini." Chika nggak memedulikan aku yang khawatir karena dia seenak jidatnya membeberkan rahasia bahwa Farhan adalah pacarku. "Ganti baju sana, Farhan," Chika bicara ke Farhan, "biar Dino di sini. Aman sama gue."

Farhan tersenyum, lalu mengangguk. Dia masuk ke ruang ganti.

"Jadi, akhirnya lo mau juga nemenin Farhan ke sini," kata Chika, tersenyum heboh padaku. Teman-teman wanitanya yang lain sibuk dengan urusan mereka masing-masing begitu Chika mengajakku ngobrol. "Gue selalu nungguin saat-saat kayak gini, Din. Saat gue dan lo duduk berdua di sini, ngelihatin pacar kita main futsal sambil membanggakan kehebatan mereka masing-masing." Chika senyum lebih lebar. "Lo tahu, nggak? Farhan dan Tomi kan rival terbesar di sini. Bisa dibilang, mereka sama-sama hebat."

"Tomi?" tanyaku.

"Pacar gue. Yang itu," Chika melambai ke cowok tinggi yang tadi dikasih tahu Farhan. Cowok tinggi di seberang sana tersenyum ke Chika sambil balas melambai. "Lihat? Dia ganteng, kan? Dia nggak kalah gantengnya dari Farhan. Nggak kalah hebat dari Farhan. Bahkan, pacar gue mungkin lebih hebat daripada pacar lo." Chika bicara dengan nada membanggakan diri, yang membuatku mau nggak mau harus membela pacarku.

"Tapi Farhan juga hebat, kok. Gue sering lihat dia main futsal di sekolah, dan dia selalu menang. Tendangannya selalu tepat ke sasaran."

"Oh sumpah, ini menyenangkan!" Chika merangkulku erat-erat. "Akhirnya gue punya sahabat gay yang bisa diajak berdebat tentang pacar."

Aku tersenyum. Geli memang, tapi rasanya menyenangkan. Membangga-banggakan pacar kita di hadapan orang lain, rasanya sungguh menyenangkan. Seperti ada sesuatu yang meledak di dalam diriku ketika kupamerkan kehebataan Farhan di hadapan Chika.

Tapi, ketika mataku melihat wajah seseorang yang kukenal, aku langsung teringat dengan tujuanku datang ke tempat ini. Bukan untuk bergosip dan membangga-banggakan pacarku, walaupun sesungguhnya pacarku itu pantas untuk dibanggakan. Aku datang ke sini untuk bertemu Sebastian. Atau Leo. Atau siapa pun salah satu di antara mereka. Dan karena mataku melihat Sebastian di seberang sana, aku buru-buru pamit ke Chika.

"Lo mau ke mana? Baru juga gabung di sini. Kita kan belum lihat pacar kita main futsal." Chika cemberut.

"Ada kawan yang mau gue temuin di sana," kataku, menggerakkan dagu ke arah Sebastian yang sedang memakai sepatu futsalnya di sana.

Chika melihat ke sana, dan mengangguk. "Oke. Jangan lama-lama, ya? Langsung ke sini lagi."

Aku bergegas menuju ke tempat Sebastian berada. Beberapa orang yang sudah berpakaian lengkap langsung masuk ke lapangan lewat celah terbuka di jaring yang mengelilingi lapangan futsal, meninggalkan Sebastian sendirian di kursi itu. Sebastian sedang menunduk mengikat sepatunya ketika aku berdiri di dekatnya. Dia mendongak untuk melihat wajahku, mengernyitkan kening, lalu tersenyum.

"Dino?" katanya, setelah menyadari ini aku. Sebastian memang nggak pernah memanggilku dengan sebutan 'Kak', karena katanya aneh manggil orang lain dengan sebutan 'Kak', sementara Egy, kakak kandungnya sendiri pun nggak pernah dia panggil dengan sebutan 'Kak Egy'. Selalu Egy saja. Bukannya kurang ajar, tapi karena dia nggak mau terlalu kaku manggil 'Kak'.

Aku mengangguk, balas tersenyum. "Hai."

"Eh duduk sini, Din," kata Sebastian, menggeser tubuhnya ke samping sehingga ada ruang untukku duduk di kursi panjang itu. Segera kuempaskan pantatku ke sana. "Lo main futsal juga, Din?" tanyanya, masih tersenyum. Dia sudah nggak peduli dengan tali sepatu yang belum diikatnya.

"Nggak, sih," jawabku.

Sebastian mengangguk. "Kirain main futsal. Terus di sini ngapain? Nemenin temen?"

Kok dia masih nanya, ya? Apakah dia belum tahu bahwa aku ini pacarnya Farhan? Masa sih dia nggak tahu? Dia kan selalu berada di tim yang sama dengan Farhan. Pastinya mereka sering cerita banyak hal, kan? Apalagi Farhan sudah tahu Sebastian ini gay, masa iya Sebastian nggak tahu bahwa Farhan juga gay? Aneh.

"Lo kenal Farhan, kan?" kataku, nggak langsung menjawab pertanyaannya. Tapi aku juga nggak mau langsung mengatakan bahwa aku gay.

"Farhan Satya? Atau Farhan Amrila? Soalnya ada dua yang namanya Farhan di sini," katanya.

"Farhan Satya," jawabku.

"Oh iya kenal. Lo temenan sama Farhan?" Dia bertanya lagi.

Aku mengerutkan kening lagi. Heran. Memangnya dia baru tahu aku temenan sama Farhan? Atau jangan-jangan dia juga nggak tahu aku temenan sama Leo? "Gue juga temenan sama Leo," jawabku sambil mengangguk.

Saat kusebut nama Leo, wajah Sebastian dipenuhi suka cita. Melihat ekspresinya, aku tahu bahwa Farhan benar. Sebastian menyukai Leo.

"Kayaknya Leo nggak dateng ya malem ini?" tanyaku, mencari-cari ke lapangan.

Sebastian tampak agak salah tingkah saat dia menatap ke ruang ganti. "Tuh Leo di sana. Sama Farhan."

Dan memang benar dia ada di sana. Leo baru saja keluar dari ruang ganti bersama Farhan yang berdiri di sebelahnya. Tepat seperti dugaanku, badan Leo sedikit lebih tinggi dari badan Farhan. Tapi bukan berarti Farhan pendek. Nggak, kepala Farhan cuma sebatas telinganya Leo. Cuma butuh beberapa sentimeter lagi, dan Farhan akan bisa menyamai tinggi badan Leo yang memang kayak tiang listrik itu. Mereka mendekati kami.

"Kok kamu di sini?" tanya Farhan ketika sampai di tempat kami duduk. Dia duduk di sebelahku.

"Aku ngelihat Sebastian di sini, jadi aku samperin."

"Panggil Bastian aja, Din," ralat Sebastian.

Tapi aku mengabaikannya. "Hai Leo," aku menyapa sahabatnya Farhan yang duduk di sebelah Bastian. Saat Leo tersenyum ke Bastian, aku bisa melihat semburat merah jambu memenuhi pipi Bastian yang putih. Lucu. Manis. Menunjukkan dengan jelas perasaannya ke Leo.

"Hai Din," balas si Leo. "Tumben mau nganterin yayang-nya main futsal."

Kepala Bastian langsung menoleh kepadaku dengan kecepatan kilat. Ekspresi terkejut di wajahnya jelas sekali kentara. Matanya membelalak lebar, ketegangan juga ada di wajahnya. "Lo sama Farhan ... pacaran?" tanyanya, agak gelagapan. Dia pasti kaget yang super kaget.

Aku mengangguk, senang. Membangga-banggakan Farhan adalah hal yang menyenangkan. "Dia pacar gue."

Lalu tiba-tiba Farhan memelukku dari belakang dan mengecup pipiku singkat. "Dan Dino ini pacar gue."

Keterkejutan di wajah Bastian segera digantikan dengan rona merah muda yang terlihat semakin jelas di pipinya yang putih dan mulus. Aku juga merasakan panas di pipiku karena Farhan dengan seenak jidatnya menciumku di depan teman-temannya, dan bahkan mungkin di depan kamera CCTV yang nangkring di pojokan langit-langit. Tapi ah bodo amat sama CCTV. Memangnya tindak kejahatan kalau Farhan ketahuan mencium pipiku?

"Gue nggak nyangka," kata Bastian, geleng-geleng sambil senyum.

"Gue juga nggak nyangka," kataku.

"Bukan. Maksud gue, kalau lo sih udah kelihatan gay dari pertama kali kita ketemu, karena dari fisik lo aja udah memungkinkan untuk jadi gay. Dan pas lo ngomong, suara lo yang lembut membuat gue makin yakin bahwa lo itu gay. Pasti gay. Gue kaget karena Farhan juga ternyata sama, padahal selama ini gue kira dia straight." Tatapan Bastian melewati tubuhku dan menatap Farhan lekat-lekat, seperti sedang meyakinkan dengan mata kepalanya sendiri apakah Farhan benar-benar gay.

Farhan mengeratkan pelukannya di tubuhku, sangat erat, erat banget. "Yah, sekarang lo udah tahu, kan? Gue bukan straight," kata Farhan.

"Memang kamu nggak pernah cerita ke Bastian kalau kamu gay?" tanyaku ke Farhan.

Farhan menggeleng di belakang tubuhku. "Bastian nggak pernah tahu aku gay, tapi aku tahu dia gay. Kelihatan dari cara dia natap Leo."

Bastian nggak menjawab tapi cuma mengernyit memandangi kami yang lagi pelukan. Saat Bastian mengernyit seperti itu, wajahnya jadi makin mirip Egy. Oke, memang Bastian dan Egy punya kemiripan yang sangat jelas sekali terlihat. Mata besar, bibir tebal, rambut hitam lurus, dan kulit yang putih. Bedanya, wajah Bastian lebih muda dan lebih bebas bulu ketimbang wajah Egy. Tapi tetap saja, saat Bastian mengernyit, seolah-olah aku sedang melihat Egy, bukannya Bastian sendiri.

"Mereka romantis, ya?" tanya Leo di belakang Bastian, yang membuat Bastian berbalik untuk melihatnya. Senyum manis berkembang di kedua pipi Bastian ketika dirinya menatap Leo. Cinta itu ada di dalam matanya ketika Bastian menatap Leo dengan keantusiasan yang terlihat sangat jelas. Dan, aku juga bisa melihatnya di mata Leo. Mereka saling mencintai, walaupun Leo tampaknya nggak terlalu suka menunjukkan perasaannya secara blak-blakan.

"Lo tadi dateng jam berapa?" tanya Bastian, masih senyum-senyum ke Leo.

"Barengan sama Farhan. Pas Farhan masuk ke ruang ganti, gue juga masuk." Leo sudah selesai mengikat tali sepatunya, lalu berdiri dan menatap Farhan. Dia mengabaikan Bastian, yang membuat Bastian agak cemberut karena pertanyaannya nggak ditanggapi seriusan. "Yuk, Farhan?" ajak Leo. "Nggak usah keenakan pacaran lo! Inget ada match yang harus kita selesaiin."

"Iya, iya. Ganggu orang pelukan aja, sih," Farhan cemberut ketika dia melepas pelukannya dari pinggangku. Dia menunduk untuk memasang sepatunya.

"Lo juga ikut main?" tanyaku ke Bastian.

Dia mengangguk. "Gue kan satu tim sama Farhan."

"Pasti ada pemain cadangan, kan?" Aku bertanya ke Farhan. "Aku pingin ngobrol berdua sama Bastian." Ini saat yang tepat untuk menginterogasinya. Mungkin Bastian bisa memberitahuku informasi penting yang sangat ingin kuketahui.

"Oke," Farhan selesai dengan sepatunya, lalu berdiri di sebelah Leo di hadapan kami. "Aku bakal nyuruh Aziz gantiin Bastian di match kali ini. Kalau gitu aku main dulu," Farhan berbalik dan masuk ke lapangan lewat celah jaring yang terbuka. Leo masih berdiri di hadapan kami.
Mata Leo jelas terpaku pada Bastian, yang tampak salah tingkah karena ditatap seperti itu oleh orang yang disukainya. Leo juga terlihat salah tingkah, tapi tatapannya sangat mantap dan dipenuhi kobaran cinta.

"Ada yang mau lo omongin, Leo?" kataku, nggak sabar dengan tatapannya yang seperti ingin mengatakan sesuatu.

Leo menggeleng sekali. "Nggak ada. Cuma mau bilang malem ini Bastian kelihatan lebih manis. Pipinya ... merah." Tiba-tiba Leo tampak seperti salah bicara. Dia nyengir sangat lebar sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya, gugup. "Eh tapi lo baik-baik aja, kan?" tanya Leo, tampak khawatir melihat muka Bastian yang semakin memerah.

Bastian cuma mengangguk tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Dia pasti speechless karena orang yang dia sukai ternyata memerhatikannya.

"Oke. Kalau gitu gue main dulu, ya?" Tapi Leo nggak beranjak pergi. Dia masih menatap Bastian dengan malu-malu. "Hm ... nanti sehabis match lo mau nggak temenin gue makan? Ada kafe baru di daerah—"

"Gue mau," jawab Bastian, mengangguk penuh semangat sebelum Leo menyelesaikan ucapannya.

"Bagus. Kalau gitu, gue main dulu." Leo tersenyum manis sekali lagi, lalu masuk ke lapangan.

Setelah berduaan dengan Bastian, aku nggak langsung bicara, tapi membiarkan dia menenangkan dirinya dulu. Senyumnya jadi lebih lebar, lalu sangat lebar saat dia memperhatikan Leo yang sedang melakukan pemanasan di lapangan. Leo memang terlihat sangat lakik dan ganteng banget ketika dia melakukan stretching, tapi cowok tinggi itu sudah ada yang naksir, jadi aku nggak terlalu tertarik untuk melihatnya lebih lama daripada semenit. Kualihkan tatapanku kembali ke Bastian yang pipinya masih memancarkan rona merah yang terlihat sangat menggemaskan. Leo benar. Bastian tampak lebih manis ketika pipinya memerah seperti itu. Dan ditambah dengan senyumnya yang lebar, wajahnya jadi kelihatan lebih unyuk dan imut.

Aku ikutan tersenyum melihat Bastian tersenyum. Mungkin ini yang dirasakan oleh Fujoshi-Fujoshi itu ketika melihat dua lelaki saling menunjukkan kasih sayang mereka? Walaupun bukan aku yang merasakannya secara langsung, tapi melihatnya saja sudah membuatku ikutan bahagia. Aku bahagia karena Bastian mencintai Leo, dan Leo pun membalas cintanya itu. Walaupun Leo sepertinya nggak terlalu suka menunjukkan rasa cintanya ke Bastian, tapi di dalam mata dan tingkah lakunya, cinta itu terasa ada. Tinggal menunggu waktu yang tepat bagi Bastian untuk menyatakan cintanya ke Leo. Atau justru Leo yang akan menyatakan cintanya ke Bastian? Ah, aku kok jadi penasaran, ya?

"Kenapa lo nggak langsung bilang ke dia kalau lo suka sama dia?" tanyaku, tanpa bisa dicegah. Aku geregetan lihat Bastian yang sepertinya cuma bisa memandangi Leo tanpa bermaksud mengutarakan isi hatinya ke cowok tinggi itu.

Bastian tersadar dari dunia fantasinya bersama Leo, dan segera menjawab pertanyaanku dengan mantap, "Gue nggak tahu gimana harus mengatakannya. Gue pengennya dia yang bilang ke gue."

"Kenapa harus dia?" tanyaku, penasaran.

"Karena selama ini dia tahu gue suka sama dia, tapi dia masih nggak yakin dengan perasaannya ke gue. Dia bilang dia pernah naksir orang lain, tapi orang itu udah jadi milik sahabatnya dan dia akhirnya harus merelakan semua perasaan yang dia pendam selama ini. Jadi bisa dibilang, dia belum bisa melupakan orang lain yang jatuh ke pelukan sahabatnya itu dan masih berusaha meyakinkan dirinya sendiri apakah dia mencintai gue atau nggak."

Aku diam, bertanya-tanya. Apakah orang lain yang dimaksud itu adalah aku? Bukankah Chika pernah mengatakan bahwa Leo pernah naksir denganku, tapi karena aku sudah lebih dulu jadi milik Farhan, Leo akhirnya mundur dan berusaha menerima kenyataan. Bastian bilang Leo masih belum bisa melupakan orang lain itu, tapi aku bisa melihat dengan jelas ada cinta di dalam matanya yang meledak-ledak ketika dia menatap Bastian. Dan aku pastilah si Bodoh yang nggak tahu apa-apa kalau nggak bisa melihat cinta itu di dalam matanya.

"Tapi sekarang dia mencintai lo," kataku akhirnya.

Bastian mengangguk di sebelahku. "Semua yang punya mata pasti bisa melihat itu sekarang," katanya, bangga. Dia tersenyum sambil menepuk-nepuk pipinya. Tepukan itu malah membuat pipinya makin memerah. "Tinggal nunggu waktu yang tepat kapan dia akan menyatakan perasaannya."

Aku ikut tersenyum, dan pipiku ikut memerah. Sialan. Bastian yang jatuh cinta ke Leo, dan Leo yang mau menyatakan cintanya ke Bastian, tapi kenapa malah aku yang senyum-senyum nggak jelas gini, sih? Oh, Fujoshi, sekarang aku tahu apa yang kalian rasakan ketika melihat romansa di antara dua orang lelaki. Hihi.

"Jadi, apa yang mau lo omongin dengan gue?" tanya Bastian, menatapku.

Oh, ya. Aku harus ingat dengan tujuanku datang ke tempat ini. Aku harus mencari informasi tentang Egy. "Gue mau ngomongin soal ..." aku menelan ludah sebelum menyebut namanya, "... soal Egy."

Bastian mengangguk. "Kalian punya masalah, gue tahu itu. Egy pernah cerita dia ada masalah sama lo."

Aku mengangguk. "Gue dan Farhan kepergok lagi ciuman di depan Egy, Bimo, dan Ellen."

Bastian membelalak. Ekspresi super kaget yang tadi muncul ketika dia mengetahui aku dan Farhan pacaran, sekarang muncul lagi. "Kalian kepergok?"

Aku mengangguk. "Ya. Dan itu buruk. Egy langsung membentak gue, maki-maki gue dengan kata-kata kasar, dan menunjuk-nunjuk di depan muka gue." Aku memejamkan mata. Bayangan Egy yang meludahkan kata-kata hinaan kasar kepadaku terasa sangat menyakitkan sehingga aku langsung membuka mataku lagi. "Farhan nggak suka ada orang lain membentak-bentak gue, jadi dia mulai ribut dengan Egy, dan mereka saling tinju. Farhan kena tonjok di pipi, Egy di perut. Mereka baru berhenti setelah gue dan Bimo mencegah dengan sekuat tenaga."

Bastian angguk-angguk, tampak sedih, tapi tampak khawatir juga. "Kakak gue emang homophobia, Din," katanya. "Jadi wajar kalau dia kayak gitu."

Aku mengangguk lagi untuk yang kesekian kalinya. "Gue tahu, dan itulah tujuan gue ngajak lu ngobrol." Kutatap mata Bastian yang begitu mirip dengan mata Egy. Warnanya cokelat kehitaman dengan sorot tegas dan bersahabat. "Kenapa dia sangat membenci kita?"

Bastian diam sejenak seperti sedang mempertimbangkan untuk memberitahuku atau jangan. Tapi aku menatapnya dengan memohon. Aku yakin pasti ada alasan yang masuk akal di balik kebencian Egy. Dia nggak akan sangat membenci kami begitu saja kalau nggak ada penyebabnya.

"Egy pernah diperkosa gay," jawaban Bastian membuatku membelalak lebar. "Kejadiannya waktu dia kelas 9 SMP. Itu pertama kalinya Egy tahu tentang coli, dan dia sering melakukannya. Tahu, kan? Anak kelas 9 SMP yang nafsunya lagi menggebu-gebu? Saat itulah Egy mengalaminya."

Untuk pertama kali sejak kami membicarakan Egy, aku menggeleng. Nggak percaya. Nggak mungkin. "Siapa pelakunya?" tanyaku. Suaraku bergetar. Aku marah.

"Tetangga kami. Namanya Pak Sutrisno. Orangnya baik. Sering beliin kami es krim waktu kami masih kecil, dan sering ngajak kami jalan-jalan naik mobil Jeep-nya yang selalu dia bangga-banggain. Dia nggak punya istri, nggak punya anak. Hidup seorang diri dan tinggal di sebelah rumah kami. Orangtua kami udah menganggap dia kayak saudara sendiri. Tapi siapa yang pernah menyangka ternyata orang yang kita anggap kayak saudara sendiri justru malah orang yang menyebabkan kehancuran dalam hidup kita?"

Aku terlalu terkejut untuk bisa menjawabnya.

"Pak Sutrisno emang baik banget ke gue dan juga ke Egy, tapi kebaikannya jelas lebih condong ke Egy. Dulu gue selalu berpikir mungkin karena Egy lebih tua dari gue makanya Pak Sutrisno lebih perhatian ke dia daripada ke gue." Bastian membuang napas pelan-pelan, seperti berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Sampai akhirnya, kejadian itu terjadi. Egy nginap di rumah Pak Sutrisno—itu memang hal yang biasa, karena sejak dulu gue sama Egy sering nginap di sana, dan bahkan orangtua kami yang nyuruh kami tidur di rumah Pak Sutrisno, alasannya karena Pak Sutrisno tinggal seorang diri, dan nggak ada salahnya sesekali kami menemaninya. Waktu kejadian itu terjadi, gue nggak ikut nginap karena lagi nggak enak badan. Waktu itu umur gue 12 tahun, dan Egy 15 tahun. Kejadiannya malam. Sekitar jam setengah satu. Gue nggak tahu pasti apa yang terjadi malam itu di rumah Pak Sutrisno karena Egy menolak untuk menceritakannya—sampai sekarang pun trauma itu masih nggak bisa hilang dari ingatannya. Tapi yang jelas, gue cukup yakin Pak Sutrisno pasti melakukan hal yang nggak-nggak ke bagian belakang tubuh Egy."

Aku menelan ludah. Aku membayangkan segala kemungkinan terburuk yang bisa dilakukan kelamin Pak Sutrisno ke pantat Egy. Aku menggeleng. Ya Tuhan, jangan, ucapku dalam hati, seakan-akan kalau aku mengucapkannya berkali-kali aku bisa mencegah Egy supaya nggak mengalami mimpi buruk mengerikan itu.

"Yang bisa gue ingat," lanjut Bastian, "malam itu sekitar jam 1 pagi gue terbangun dari tidur karena mendengar suara gedoran pintu, dan gue buru-buru keluar kamar untuk melihat dengan mata kepala gue sendiri, Kakak gue, si Egy, yang selama itu nggak pernah gue anggap lemah ataupun cengeng, menangis di hadapan orangtua gue, dan nggak pakai celana! Lo bisa bayangin, Din? Saking takutnya Egy sama Pak Sutrisno, sampai-sampai dia kabur dari sana pun nggak ingat untuk pakai celananya dulu. Kalau suasananya nggak menegangkan, mungkin gue bakalan bersyukur bisa ngelihat tititnya Egy. Tapi masalahnya, saat itu yang bisa gue inget cuma ekspresi ketakutan di wajah Egy, juga suara tangisnya yang menyayat hati. Hari itu terakhir kalinya gue lihat Pak Sutrisno, karena setelah itu kayaknya dia dipenjara, atau diusir nggak boleh tinggal di rumah itu lagi. Entahlah."

Setelah Bastian selesai, air mataku mengalir ke pipi. Aku menangis untuk Egy.

"Ini bukan salah Egy, Din," kata Bastian, memandangi air mataku.

"Gue tahu," kataku, menghapus air mata. "Gue cuma nggak pernah nyangka ternyata itu penyebabnya."

"Nggak ada yang tahu kejadian ini kecuali keluarga kami. Egy bahkan melarang gue menceritakan apa yang gue lihat malam itu ke orang lain. Dia nggak mau orang-orang tahu apa yang menimpanya malam itu. Tapi karena lo sahabat kakak gue, dan supaya nggak ada salah paham di antara lo dan dia, gue pikir nggak ada salahnya gue ceritain ini ke lo. Jangan menyalahkan Egy karena dia membenci kita, Din. Kitalah yang harus disalahkan atas apa yang menimpanya malam itu. Atau paling nggak, kita salahkan Pak Sutrsino, gay laknat itu yang nggak tahu adab merusak masa depan orang lain." Banyak penekanan dalam suaranya, dan di ujung kalimatnya bisa kudengar kebencian itu memenuhi suaranya.

Aku menangis selama beberapa saat lamanya. Sekarang setelah mengetahui alasan yang sebenarnya kenapa Egy membenci kami, aku mulai bisa membayangkan diriku berada di balik sudut pandangnya.

Rasanya memang menakutkan. Ketika Farhan pertama kali masuk ke dalam tubuhku, rasanya sungguh menyakitkan, padahal waktu itu aku sudah rileks dan melakukannya atas keinginanku sendiri. Aku nggak bisa membayangkan bagaimana Egy yang pada waktu itu nggak rileks dan dipaksa untuk melakukannya. Bayangan suara kulit yang robek membuat air mataku mengalir lebih deras. Egy sahabatku, yang selalu memberi nasihat-nasihat padaku, harus mengalami kejadiaan naas itu.

Ini membuatku marah. Aku ingin memarahi siapa saja mereka yang gay dan nggak tahu diri seperti Pak Sutrisno. Apakah dia begitu kesepian sampai-sampai nekat melakukannya pada remaja yang masih polos dan merupakan anak tetangga yang sudah menganggapnya saudara? Maksudku, okelah kalau dia nggak mau punya istri karena dia gay, tapi nggak bisakah dia mencari gay di luar sana yang bisa dia ajak bercinta untuk melampiaskan nafsu birahinya? Pasti banyak gay yang mau ML sama dia, tapi kenapa dia malah melakukannya ke Egy? Sialaaan!!!

Kemarahan meledak-ledak dalam diriku seperti gunung api meletus. Dan tiba-tiba—mungkin karena amarah yang nggak bisa terlampiaskan ini—kepalaku terasa sakit. Seperti ada palu godam yang memukul bagian belakang kepalaku. Kucengkeram kepalaku dengan kedua tangan sambil mengumpat. Sakit banget, sumpah! Tanpa sadar, aku mengerang.

"Dino, lo kenapa?" Suara Bastian di sebelahku terasa jauuuh.

"Dino!" Seseorang berteriak khawatir di kejauhan, tapi aku nggak bisa mengira-ngira seberapa jauh orang yang berteriak itu.

Kepalaku rasanya mau pecah. Mataku berputar-putar. Oke, ini aneh. Aku mendapat serangan sakit kepala mendadak dan lama-lama makin sulit menahan rasa sakit dan juga pusing yang melanda. Duniaku berputar. Kupejamkan mata, tapi yang bisa kudengar cuma suara dug dug dug seperti palu menghantam kepalaku. Lalu degupan jantungku berubah cepat. Aku tahu aku masih mengerang, dan seketika tubuhku terjerembab ke lantai. Ya Tuhan, sakit sekali rasanya. Apakah ini yang dirasakan Lendra ketika sakit kepala yang luar biasa itu menyerangnya? Apakah ini tanda-tanda awal aku mengidap penyakit seperti Lenda? Nggak mungkin. Aku nggak mau kena kanker otak. Itu mengerikan.

Tapi rasa sakitnya luar biasa, dan aku nggak bisa menahannya. Darahku panas. Mataku berputar. Duniaku seperti tanpa pijakan. Kepalaku dipukul lagi. Aku mengerang lagi. Aku nggak bisa mendengar suara apa pun kecuali suara dug dug dug yang memukuli kepalaku.

Akhirnya aku menyerah. Kubiarkan tubuhku diambil alih oleh rasa sakit yang membuat seluruh duniaku menghilang dan menggelap.

Bandar Lampung, 24 Desember 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top