Empat Puluh Lima
"Just the two of us, we can make it if we try." — Kauai45, Sweet Cocoa, Just The Two of Us
"HALO?" sapaku pada nomor tanpa nama yang meneleponku nyaris pagi-pagi sekali sehingga aku terjaga. Mataku masih sayup-sayup, pandanganku belum fokus benar, masih ngantuk. "Siapa ini?" tanyaku, sambil menguap. Kulirik jam, masih setengah lima pagi. Mungkin ini Farhan yang menelepon. Tapi kalau ini Farhan, kenapa nomornya nggak ada nama?
"Dino, ini Bastian," kata orang di seberang sana.
"Oh, Bastian," kataku, malas-malasan, setengah merem, setengah melek. Nyawaku belum kekumpul semua. "Ada apa, Bas?"
"Din, gue mau jujur ke Egy tentang orientasi seksual gue."
Aku langsung terjaga seutuhnya. Nyawaku tiba-tiba sudah kekumpul semua. Aku bahkan bangkit dari tiduran dan duduk tegang di atas kasur. "Seriusan?" tanyaku, kaget, panik, tapi nggak tahu kenapa reaksiku berlebihan seperti ini.
Bastian menjawab, "Ya. Tiga hari lagi Egy pulang ke Bandung, dan menurut gue udah saatnya gue jujur ke dia."
"Tapi Bas ..." Aku nggak tahu apa yang harus kukatakan, jadi kalimatku menggantung di ujung bibir.
"Gue jadian sama Leo, Din," kata Bastian. "Tadi malam Leo nembak gue. Dan lo tahu betapa bahagianya gue? Oh, lo pasti tahu, karena lo juga pasti pernah ditembak sama Farhan, kan?" Aku mengangguk mengiyakan, walaupun aku tahu Bastian nggak bisa melihat anggukan kepalaku. "Gue udah buat keputusan kalau gue bakalan come out ke Egy. Gue nggak mau pacaran sembunyi-sembunyi dari kakak gue sendiri, Din. Gue pingin Egy kenal sama Leo, dan Leo pun kenal sama Egy. Kenal sebagai pacar, maksud gue."
"Itu mustahil, Bas," kataku, khawatir. "Gimana kalau ternyata Egy malah membenci lo? Gimana kalau Egy malah ngusir lo dari rumah?"
"Itu emang risiko yang harus gue ambil. Dan sebenarnya ini bukan tentang gue, Din. Tapi ini tentang Egy. Udah saatnya dia belajar memaafkan dan melupakan. Oke, mungkin nggak mudah melupakan apa yang terjadi padanya, tapi tetap aja, dia nggak boleh terus-terusan menghukum kita atas kesalahan yang nggak pernah kita lakukan ke dia. Ini saatnya gue buat gebrakan, supaya Egy sadar bahwa nggak semua gay itu jahat kayak Pak Sutrisno."
Aku mengangguk ke udara kosong. Oh, aku sudah di rumah, ya. Aku sudah pulang dari rumah sakit dua hari yang lalu. Sekarang kondisiku sudah baik-baik saja walaupun masih sedikit lemas dan belum sanggup berangkat sekolah. "Gue nggak tahu harus gimana, Bas. Di satu sisi, gue juga kepingin menyadarkan Egy tentang kita yang nggak pernah berniat mencelakakan dia. Tapi di sisi lain, gue khawatir Egy makin membenci kita kalau lo juga nekat come out ke dia."
"Ini bukan nekat, Din. Tapi ini keharusan."
Aku mengembuskan napas. Bastian pasti sudah mempertimbangkan keputusannya matang-matang. Kalau nggak, mana mungkin bicaranya semantap itu? "Oke," kataku akhirnya, "gue dukung keputusan lo buat jujur ke dia. Tapi kalau nanti reaksi Egy nggak sesuai dengan apa yang lo harapkan—misalnya dia ngadu ke orangtua lo dan kemudian lo diusir dari rumah, gue mau kok nampung lo di rumah gue."
Bastian terkikik geli di ujung sana. "Kalau diusir dari rumah, pastinya gue bakal tinggal di rumah Leo dong," katanya. Kira-kira apa tujuannya memberitahukanku ini semua? "Gue butuh dukungan lo, tapi nanti. Belum saatnya, Din. Nanti gue hubungin lo lagi kalau saat itu udah tiba."
"Baiklah."
"Kalau gitu, selamat pagi. Sori gue nelepon pagi-pagi, karena gue nyaris nggak bisa tidur semalaman, dan gue pikir nggak ada salahnya nelepon lo pagi-pagi begini." Bastian terdengar sangat riang gembira, seolah-olah dia baru saja dapat jackpot. Oh, dia emang baru dapat jackpot karena jadian dengan Leo.
"Oh, bye the way," kataku, akhirnya ingat untuk mengucapkan, "selamat jadian, ya. Gue ikut bahagia untuk kalian. Terutama untuk lo, Bas."
"Thanks." Bastian pasti tersenyum, karena dari suaranya seolah-olah bisa kulihat langsung senyumnya. "Gue udah lama naksir Leo, Din. Dan waktu dia nembak gue, rasanya kayak ... mimpi."
"Gue ngerti." Aku tersenyum. Dulu waktu Farhan menyatakan cintanya padaku, aku juga merasa seperti berada di alam mimpi. Antara percaya nggak percaya, tapi nyata.
"Pokoknya nanti gue hubungin lo lagi. Udah dulu ya, Din, gue mau tidur."
"Lo nggak sekolah?"
Bastian tertawa di ujung sana. "Gue lagi bahagia, Dino. Dan sekolah cuma bakal ngerusak kebahagiaan gue. Tahu, kan? Sekolah adalah tempat perusak kebahagiaan." Dia tertawa lagi, dan aku ikut tertawa bersamanya. "Bye, Dino. Makasih untuk waktunya." Tanpa menunggu jawabanku, Bastian memutuskan panggilan.
Kuletakkan iPhone-ku ke tempatnya semula, lalu kubaringkan tubuhku di kasur, menarik selimut sampai ke dagu, kemudian menutup mata. Setelah berdoa, aku menghitung domba. Dan dalam hitungan kedua puluh, kesadaranku perlahan-lahan menghilang.
♡︎♡︎♡︎
AKU terbangun lagi ketika nada dering handphone-ku berbunyi. Aku membuka mata dengan susah payah, meraba-raba kasur untuk menemukan hapeku, dan menjawab telepon dari siapa pun itu yang mengganggu tidurku.
Dan itu adalah Farhan, yang langsung bertanya, "Kamu baru bangun, Dino? Aku nelepon kamu berkali-kali."
Aku menguap. "Tadi pagi aku bangun waktu Bastian nelepon, terus tidur lagi. Sekarang kebangun lagi karena kamu nelepon."
"Maaf," dia terdengar menyesal. "Kamu udah minum obat? Udah sarapan?"
Kulirik jam sebelum menjawabnya. Masih pukul tujuh kurang lima belas. "Belum. Nanti aja, deh."
"Jangan lupa sarapan ya, Sayang. Minum obat. Jangan capek-capek. Tidur aja di rumah. Nanti pulang sekolah aku ke rumah kamu."
"Oke. Kamu juga jangan lupa sarapan, ya. Aku sayang kamu."
"Iya, aku sayang kamu juga. Aku berangkat sekolah dulu ya, Sayang. Love you."
"Love you too."
Telepon mati, dan kujatuhkan tubuh ke kasur, tidur lagi.
♡︎♡︎♡︎
KALI ketiga aku bangun bukan karena ada yang nelepon, tapi karena pintu kamarku diketuk. Bukan diketuk sih, tapi digedor-gedor. Mungkin itu Mama yang mau masuk ke kamar membawakan sarapan dan juga obatku. Jadi aku bangkit dari kasur, membuka pintu, dan ternyata benar itu Mama. Dia tersenyum sambil mengucapkan, "Selamat pagi."
"Selamat pagi," balasku, kembali duduk di kasur. "Makasih Ma, udah dibawain sarapanku."
Mama menaruh nampan di meja kecil sebelah kasur, lalu dia duduk di pinggiran kasur. "Kamu sarapan dulu. Makan yang kenyang. Terus minum obat, ya?"
Aku mengangguk. Mama mengecup keningku dengan lembut, lalu keluar dari kamar.
Selanjutnya yang aku lakukan adalah memakan sarapanku, lalu minum obat. Setelah itu, aku berusaha untuk tidur lagi, tapi nggak bisa. Mungkin nanti aku bakal tidur lagi setelah obatnya bereaksi, karena obat yang aku minum mengandung zat yang bisa menyebabkan kantuk, begitu yang kudengar dari dokter yang bicara dengan Mama dua hari lalu ketika dokter itu datang untuk memeriksa keadaanku setelah pulang dari rumah sakit. Jadi sekarang karena nggak tahu harus ngapain, dan karena aku nggak mau nge-WA Farhan yang pastinya lagi belajar di sekolah, aku pun mengambil laptop, menghidupkannya, kemudian memutuskan untuk mulai menulis kisah. Kisah tentang aku dan Farhan, tentu saja. Seperti yang pernah kukatakan pada Fujoshi-Fujoshi di Starbucks waktu itu, aku akan menulis kisah cintaku bersama Farhan ke dalam sebuah cerita yang bisa dibilang fiksi, tapi juga bukan fiksi, karena cerita yang akan kutulis adalah nyata, tapi sedikit dilebih-lebihkan.
Begituh.
Awalnya aku bingung harus mulai dari mana, karena ada banyak kenangan yang bisa jadi permulaan kisah kami. Apakah aku harus memulainya dari awal pertama kali aku bertemu Farhan? Ew, itu akan terdengar membosankan. Pertemuan yang dimulai dengan tabrakan, walaupun kejadian sesungguhnya memang seperti itu, tetap saja kedengaran sangat klise. Aku harus membuat awalan cerita yang menarik, yang nggak klise, tapi masih sarat akan sebuah drama. Kira-kira apa, ya?
Lalu sekonyong-konyong ingatan itu muncul, dan sebuah lampu terang langsung menyala di atas kepalaku. Seperti ada sebuah mesin yang menggerakkan, tanganku bergerak cepat di keyboard laptop. Semuanya mengalir begitu saja. Apa yang terlintas di pikiranku tersalurkan lewat jari-jariku menjadi sebuah rangkaian kata yang tahu-tahu sudah banyak aja. Dan tanpa kusadari, ternyata dapat satu chapter. Aku tersenyum sambil membaca ulang tulisan perdanaku tentang kisah cinta kami. Chapter pertama yang aku tulis isinya adalah chapter awal yang ada di cerita Kamu & Aku #1.
Itu dia.
Dia adalah Farhan Satya Al-Hadil.
Nggak ada cowok lain di sekolah ini yang bisa menarik perhatianku kecuali dia. Dia itu ganteng banget, sumpah! Kulitnya putih cerah, hidungnya mancung banget kayak paruh burung elang, matanya agak-agak sipit dengan tatapan teduh kayak tetesan air hujan, dan bibirnya—ya ampun ini bagian yang paling aku suka dari wajahnya—warnanya merah banget kayak buah stroberi yang lagi matang-matangnya.—dan bla, bla, bla, aku nggak perlu menyebutkan semuanya karena kalian bisa membacanya langsung di cerita Kamu & Aku #1.
Membacanya membuatku teringat pada hari itu ketika Retno gangguin aku, dan dengan kesal aku membentak dan mengatainya sampah. Waktu itu aku belum tahu bahwa Retno adalah sepupunya Farhan. Dan ketika mengetahuinya, aku langsung kaget. Wajar aku kaget, kan? Seperti yang pernah kukatakan, Retno dan Farhan kalau dilihat dari fisik nggak akan cocok dibilang sepupu, karena mereka sangat berbeda. Farhan berkulit putih dan ganteng, sementara Retno berkulit gelap dan nggak terlalu cantik. Dulu aku seringkali mengutuki Retno yang buruk rupa itu karena bisa-bisanya dia sepupuan sama Farhan. Tapi sekarang aku malu karena pernah mengutuknya, karena Retno yang sekarang tampak jauh berbeda dengan Retno yang dulu. Sekarang Retno sudah agak bersihan, walaupun masih belum bisa dibilang cantik, tapi paling nggak sekarang dia sudah berubah.
Yah, seiring berjalannya waktu, semua orang memang pasti berubah. Retno berubah, aku berubah, Farhan pun berubah. Bimo juga berubah jadi lebih baik dan berpikiran dewasa. Bahkan Egy juga berubah. Dari yang dulunya sahabatan denganku, sekarang dia sangat membenciku.
Seketika, obrolanku dengan Bastian di telepon subuh tadi terlintas di dalam benak. Niat Bastian ingin mengubah pendirian Egy terdengar sangat mustahil, tapi dia begitu optimis sehingga aku nggak punya pilihan lain selain mendukungnya. Bukankah itu yang selama ini aku inginkan? Mengubah Egy si homophobia menjadi homolovers? Atau paling nggak, mengubahnya jadi cowok yang nggak membenci kaum gay. Memang sih Egy nggak bisa disalahkan dalam hal ini, tapi dia juga nggak bisa dibenarkan untuk tindakannya mengucapkan kata-kata kasar dan hinaan kepadaku. Aku percaya, semua orang pasti bisa berubah.
Selagi menulis chapter selanjutnya, tiba-tiba aku ngantuk. Mataku berat banget, sepertinya efek obatnya mulai bekerja. Aku mematikan laptop dan menutupnya, setelah itu aku berbaring di kasur dan tidur.
Tidur karena obat perangsang tidur rasanya sangat menyegarkan. Saat aku terbangun beberapa jam kemudian, kudapati Farhan sudah berada di sebelahku. Dia tersenyum manis saat aku melihatnya, dan kupikir mungkin aku sedang bermimpi. Mungkin ini efek samping dari obat—halusinasi berlebihan melihat wajah orang yang sangat kita cintai di dunia ini. Tapi, begitu Farhan mengecup keningku dengan lembut, aku langsung tahu bahwa aku sudah terjaga seutuhnya dan kecupannya di keningku bukanlah halusinasi.
"Nyenyak tidurnya?" tanyanya, tersenyum.
Aku mengangguk, mengucek mata. "Iya." Kupaksa tubuhku bangkit dari tiduran, duduk bersila di hadapan Farhan. Pacarku yang ganteng memandangiku masih sambil tersenyum. "Kenapa senyum-senyum gitu?" tanyaku, mengerutkan kening.
"Kamu lucu kalau abis bangun tidur. Imut." Dia mencubit pipiku, gemas. "Aku beruntung banget bisa dapetin cowok seimut dan seganteng kamu, Dino."
Pipiku panas, sialan! Farhan pintar banget sih bikin aku melayang-layang. Sekarang aku sedang berada di atas awan kebahagiaan. Seseorang tolong jangan ganggu aku, karena sedang kunikmati manisnya rasa kebahagiaan yang mengalir di sekujur ragaku. Tanpa bisa menahan diri, langsung kucium bibir Farhan. Rasa bibirnya selalu manis, selalu kenyal, selalu menggairahkan. Aku mendesah dalam ciuman kami. Farhan menggerayangi dadaku, kemudian tangannya turun untuk mengelus selangkanganku. Oke, itu enak. Tangan Farhan mengusap lembut kelamin yang mengeras di balik celana tidurku. Aku harus menciumnya lebih ganas lagi, karena nafsuku sudah membakar lebih panas lagi.
"Farhan ...," desahku, tiba-tiba teringat sesuatu.
"Ya?" Farhan menghentikan ciumannya, tapi tangannya nggak berhenti mengusap kelaminku.
"Aku masih sakit, Farhan." Kuhentikan ciuman, menarik bibirku lepas dari bibirnya. "Aku nggak mau kamu ketularan penyakitku."
Farhan tersenyum lembut, lalu ibu jarinya mengusap bibirku. "Aku nggak tahan pingin gigit bibir kamu, Dino." Dia mendesah. Aku tahu dia pasti lagi horny. Sudah hampir seminggu kami nggak melakukan seks. Biasanya setiap hari kami akan melakukan seks—yang softcore atau hardcore, pokoknya tiap hari sentuhan yang erotis itu pasti kami lakukan. Semenjak aku sakit kami nggak pernah lagi melakukan sentuhan yang erotis itu. Aku merindukannya, aku menginginkannya sekarang, tapi aku nggak bisa.
"Farhan, nggak sekarang," kataku, mengecup keningnya.
Dia terlihat sedih, tapi kemudian tersenyum. Sekali lagi, Farhan mencubit pipiku gemas sebelum akhirnya mencium bibirku penuh-penuh dan mengisap lidahku penuh nafsu. Setelah itu dia melepas bibirku dan mengajakku tiduran di kasur sambil pelukan. Aku tahu apa artinya ini. Pelukan sambil tiduran adalah cara Farhan mengajakku ngobrol banyak hal. Dan memang ada banyak hal yang ingin kubicarakan dengannya.
"Jadi, ada apa Bastian nelepon kamu?" tanyanya. Tangan kirinya berada di atas perutku, sementara tangan kanannya mengusap kepalaku dengan sayang.
"Dia mau come out ke Egy," jawabku.
Tangan Farhan yang mengusap kepalaku berhenti sebentar. "Kamu yakin?"
"Bukan aku yang mau come out, Farhan, tapi Bastian. Dan aku nggak tahu apakah dia yakin atau nggak."
Tangan Farhan kembali mengelus rambutku dengan sayang. "Aku nggak terlalu mengenal Bastian, tapi secara garis besar aku tahu dia orang yang nekat. Kalau dia bilang bakalan come out ke Egy, itu mungkin cuma karena nekat, bukan karena dia yakin."
Aku memiringkan tubuh ke kiri, sehingga wajahku berhadapan dengan wajah Farhan. Hidung kami bertabrakan, napas kami bersatu. Embusan napas Farhan jadi lebih berat saat aku mengusap pipinya. Dia memejamkan mata, tampak menikmati sentuhan jemariku di kulitnya. Lalu, sedetik kemudian dia menciumku. Ciumannya mendesak, menuntut, ganas. Tangannya tahu-tahu sudah berada di balik kausku, mengusap dadaku.
"Kamu horny banget, ya?" tanyaku, setelah ciuman kami terlepas.
Farhan mengangguk. Lalu, dengan bertingkah seperti bayi, dia bergelung ke dalam pelukanku. "Udah seminggu aku nggak ngeluarin."
Aku tertawa kecil, kemudian kucium keningnya. "Kenapa nggak coli aja?"
Farhan menggeleng dalam pelukanku. "Nggak mau coli. Maunya sama kamu, Sayang." Dia mengecup leherku, lembut, pelan.
"Atau mau aku bantu coliin sekarang?" Sambil berkata begini, tanganku meremas selangkangannya. Ternyata, penis Farhan sudah ngaceng keras di balik celana OSIS-nya. Aku jadi gemas.
Farhan menggeleng lagi. "Nggak mau. Nggak apa-apa, Din. Aku bisa tahan sampai kamu sembuh, kok."
Kupeluk Farhan lebih erat sambil kuciumi puncak kepalanya berkali-kali. Sayang banget aku sama makhluk ganteng satu ini. "Oke. Kalau aku udah benar-benar sembuh, nanti kita bakal ngewe sepuasnya."
Sekarang Farhan yang tertawa kecil. "Pasti bakal luar biasa nikmatnya."
Kemudian kami ciuman lagi, dan Farhan mendesah dalam ciuman kami. Dia sudah kelewat horny. Kurasakan penisnya yang tegang bergesekan dengan penisku yang juga sudah tegang. Ah, aku pingin banget ngewe sekarang, godaan untuk melakukannya terlalu kuat dan aku hampir saja nggak bisa menolaknya. Tapi prioritas utamaku saat ini adalah kesembuhanku, karena aku masih belum pulih seutuhnya, dan aku takut Farhan malah ikutan tertular penyakitku. Sekarang aja aku sudah khawatir. Apakah ciuman mautku bisa membuatnya sakit? Mudah-mudahan sih nggak, ya.
Setelah Farhan puas menciumku, dia melepas bibirnya dari bibirku. Penisnya yang tegang sengaja digesek-gesekkan ke penisku, dan itu rasanya enak bangeeets. Tapi sekali lagi aku harus menahan diri, karena aku masih lemes bangets. Takutnya nanti ketika aku digenjot Farhan, tubuhku malah makin lemas tak berdaya.
Berikutnya kami ngobrol. Awalnya aku bingung harus ngobrolin apa. Tapi tiba-tiba sebuah topik muncul di permukaan. Dan aku langsung memberitahukannya ke Farhan.
"Farhan, kayaknya mamaku mulai curiga deh dengan hubungan kita."
Nggak diduga-duga, Farhan mengangguk. "Aku tahu, Dino. Aku bisa lihat sikap Mama belakangan ini berubah jadi kayak orang yang mencurigai aku."
Jadi Farhan juga bisa melihatnya. Ya ampun, apakah tingkah laku Mama ke Farhan sejelas itu? "Apa yang harus kita lakukan, Farhan? Aku takut Mama bakal tambah curiga kalau kita kayak gini terus."
"Tapi kita juga nggak bisa bertingkah seolah-olah kita nggak peduli, kan?"
Aku mengangguk karena dia benar. Aku nggak bisa kalau harus jauh dari Farhan cuma supaya mamaku nggak curiga pada hubungan kami. Intinya aku nggak bisa kalau harus berpura-pura nggak pacaran dengan Farhan. "Jadi apa yang harus kita lakukan, Farhan?" Aku mengulang. "Aku beneran takut. Setiap hari kita selalu mengurung diri di kamar, dan itu malah membuat Mama makin curiga."
Farhan memelukku lebih erat. "Cepat atau lambat kita pasti harus jujur, kan? Sooner or later hubungan kita pasti bakal ketahuan. Jadi, mau kita berusaha kayak mana juga ujung- ujungnya sama aja, Din. Kita pasti bakal dipaksa untuk terbuka dan jujur soal hubungan ini."
"Iya, sih. Tapi aku belum siap kalau harus jujur sekarang, Farhan. Aku masih takut."
"Takut Mama bakal membenci kamu?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Bukan itu. Aku takut bakal dipaksa pisah dari kamu."
Farhan diam, nggak menjawab. Pelukannya makin erat, sampai-sampai aku yakin tubuhku pasti bakal remuk kalau dia mengeratkan pelukannya sedikit lagi saja. Setelah lama terdiam, akhirnya Farhan pun bicara, "Oke, gini aja. Seandainya nanti entah bagaimana Mama tahu tentang hubungan kita, aku janji aku bakal selalu ada di samping kamu apa pun yang akan terjadi. Aku janji nggak akan pernah ninggalin kamu. Aku janji aku akan berjuang untuk kamu. Pokoknya aku janji nggak akan pernah ninggalin kamu walaupun aku yakin Mama kamu pasti bakal nyuruh aku untuk ninggalin kamu."
"Janji, ya?" Kusodorkan jari kelingkingku padanya. "Janji kamu nggak akan ninggalin aku apa pun yang terjadi?"
Farhan tersenyum, kemudian menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku, setelah itu dia mencium keningku. "Aku janji, Sayang. Aku bersumpah pada diriku sendiri untuk nggak akan pernah ninggalin kamu satu hari pun."
Rasanya melegakan kalau sudah dapat kepastian seperti ini. Aku nggak perlu takut lagi bakal pisah dari Farhan karena dia sudah membuat janji—bukan cuma sekadar janji, tapi sebuah sumpah—untuk nggak meninggalkanku. Masa depan hubungan kami memang masih belum pasti, tapi paling nggak janji yang diucapkan Farhan memberiku sedikit harapan untuk memercayai bahwa kami pasti bisa melewati ini semua.
Setelah cukup membahas masalah kecurigaan Mama, kami langsung mengubah topik obrolan. Kali ini Farhan yang memilih topik bahasannya. Dia menceritakan banyak hal tentang teman-teman baru di sekolah barunya. Katanya, dia sudah dapat banyak teman. Katanya lagi, dia sudah mulai punya banyak fans. Ada beberapa cewek yang naksir Farhan dan mereka secara terang-terangan menunjukkan rasa sukanya kepada pacar gantengku ini. Aku merengut sebal ketika dia menceritakannya.
"Kok kamu merengut, sih? Kan itu bukan salahku," katanya, sambil mencium keningku.
"Aku bete aja karena sekarang punya banyak pesaing," kataku.
Dia tertawa kecil, lalu mengeratkan pelukan. "Jangan khawatir, Dino. Kamu udah menang bahkan sebelum persaingan dimulai." Bibir Farhan lagi-lagi melumat habis bibirku setelah dia mengucapkan kata-kata manisnya ini.
Setelah Farhan melepas bibirku dari lumatan bibirnya, aku bertanya, "Gimana dengan Mitha?"
"Baik-baik aja. Dia emang masih suka baperan sih sama aku, tapi aku nggak ngasih respons, kok. Sumpah."
Aku mengangguk. Percaya. "Pokoknya kamu nggak boleh baper sama Mitha, ya. Di mana pun dan kapan pun, pokoknya kamu harus ingat sama aku."
"Tenang aja, Sayang. Nggak ada siapa pun yang bisa gantiin kamu di hatiku." Setiap satu kalimat manis seperti ini selalu dia barengi dengan ciumannya di bibirku. Kali ini ciuman Farhan terasa lembut, pelan, penuh kasih sayang dan dipenuhi cinta. "Jadi kita cuma saling cium tanpa buka baju, gitu?" tanya Farhan setelah bibirnya lepas dari bibirku.
"Kamu mau buka baju? Buka aja." Sambil ngomong gini, tanganku sambil melepas kancing kemeja Farhan satu per satu, kemudian kulepas kemeja itu dari tubuhnya sehingga Farhan telanjang dada. Putingnya yang cokelat muda mengacung keras minta dicubit, dan dengan gemas langsung kucubit putingnya. Dia mendesah. Suara desahnya enak sekali didengar.
"Ciyeee yang horny," kataku.
Seketika muka Farhan memerah, dan dia mencium bibirku lagi. Ciumannya yang sekarang berubah lebih ganas, menandakan dia semakin horny. "Aku nggak tahan, Dino," desahnya.
"Aku coliin," kataku. Tanganku langsung sigap melepas celana OSIS-nya. Nggak butuh waktu lama kemudian Farhan sudah bugil. Penisnya sekeras baja, berkedut-kedut, dan terasa hangat ketika aku menggenggamnya.
Napas Farhan memburu. Dia memejamkan mata sambil mendesah kecil ketika aku mulai mengusap batang kelaminnya yang berurat. "Enak banget, Din."
Aku tersenyum. Aku suka banget lihat ekspresi Farhan yang keenakan, sangat seksi dan menggoda. Mulutnya terbuka sedikit, dan dari dalam tenggorokannya keluar erangan tertahan dan desahan-desahan lembut yang sangat menggairahkan. Diam-diam kuposisikan kepalaku sejajar dengan putingnya, kemudian kulumat habis puting susunya sambil kugigit-gigit, kujilat-jilat, dan kuisap-isap. Farhan mendesah agak keras setiap kali aku menggigit putingnya dengan cukup keras. Tanganku masih asik mengocok batang kelaminnya.
Lalu, aku merasa belum cukup. Mulutku rasanya nggak enak kalau cuma mengisap putingnya saja. Jadi dengan inisiatif sendiri bibirku turun ke bawah perutnya. Farhan nggak mencegahku.
Pertama-tama kukecup kepala penisnya yang sudah berlumur precum. Rasa precum itu agak asin, tapi gurih. Farhan mengerang lembut saat aku melakukannya.
Kemudian, perlahan-lahan kujilati batangnya dari pangkal sampai ke kepalanya. Aku menyukai urat-urat yang menonjol di kelamin Farhan. Lekukan uratnya terasa pas di lidahku. Farhan mendesah lega penuh kenikmatan.
Setelah itu, tanpa basa-basi lagi langsung kulumat habis semuanya. Farhan menggelinjang ketika kejantanannya amblas di dalam mulutku. Kedua tangan Farhan langsung memegangi kepalaku dengan lembut, tapi juga dengan sedikit tekanan. Kemudian, dengan pelan untuk menikmati sensasinya, Farhan mulai menggoyang pinggulnya.
"Aaahhh ...," Farhan mendesah, seolah menyerah pada kenikmatan yang melandanya. Tangannya membimbing kepalaku agar keluar masuk dengan gerakan yang awalnya lambat, lambat, lambat ... sampai dua menit kemudian Farhan mendorong kepalaku agak cepat, lebih cepat, hampir sangat cepat ... dan aku tahu ini berarti Farhan sudah merasakan cairan kenikmatan itu akan segera keluar.
"Enak, Dino. Aaahhh ...," sambil mendesah begini, Farhan mendorong penisnya dengan lembut sampai mentok ke dalam mulutku, lalu ditariknya keluar lagi, lalu didorongnya lagi.
Tanganku yang tadinya nggak ada kerjaan tahu-tahu sudah mendarat di puting Farhan. Aku mencubit putingnya dengan telunjuk dan ibu jariku, dan ini malah membuat Farhan mendesah lebih ganas lagi.
"Aku mau keluar," desah Farhan, sambil nggak berhenti mendorong kelaminnya keluar-masuk di dalam mulutku. "Keluarin di mana, Sayang?"
Aku nggak menjawab. Aku isap terus penis Farhan. Kupercepat isapanku, membuat Farhan menggelinjang sambil menjambak pelan rambutku karena (mungkin) saking enaknya jepitan mulutku pada batang penisnya.
"Dino, aku mau keluaaar," Farhan berusaha menarik kepalaku lepas dari kelaminnya.
Tapi aku nggak mau melepasnya. Aku ingin dia keluar di dalam mulutku. Aku ingin cairan itu meledak di dalam mulutku. Aku ingin tahu bagaimana rasanya air mani itu tumpah di dalam mulutku. Aku ingin tahu, Farhan. Ayo, keluarkan saja di dalam mulutku.
Nggak lama kemudian Farhan mengejang sambil mengerang panjang penuh kenikmatan. Bersamaan dengan itu, kurasakan semburan cairan hangat memenuhi rongga mulutku. Kelamin Farhan berkedut setiap kali cairan itu muncrat, dan lama-lama mulutku kepenuhan air mani. Aku agak mual dan mau muntah karena terlalu banyak menampung sperma. Jadi, sedikit demi sedikit kutelan cairan sperma Farhan. Dan kalian tahu nggak rasanya gimana? Asin. Agak lengket. Bau khas semen. Tapi secara garis besar nggak terlalu buruk, kok. Tanpa sadar, tahu-tahu pejuh Farhan sudah habis kutelan semuanya tanpa sisa. Pelan-pelan kukeluarkan kelamin Farhan dari cengkeraman mulutku.
"Gila, Dino!" Farhan tampak kaget, lalu buru-buru meraih kepalaku dan menariknya mendekat ke kepalanya. "Kamu telan spermaku?" Dia menatapku ngeri dan ketakutan.
Aku mengangguk sambil mengusap bibir menggunakan punggung tangan. "Aku penasaran gimana rasanya sperma, jadi aku telan aja."
"Jangan lakuin itu lagi, Dino," katanya, melarang. Sedetik kemudian, Farhan mencium bibirku. Ciuman yang ini dipenuhi aroma sperma yang kental. Setelah lepas ciuman Farhan berkata, "Sekarang giliran kamu." Dia sudah akan melepas celanaku ketika aku mencegahnya.
"Nggak usah, Farhan," kataku, menahan tangannya. "Aku nggak apa-apa, lagi nggak kepengen."
"Tapi Dino," rajuknya, "aku nggak mau egois."
"Nggak apa-apa." Kusingkirkan jauh-jauh tangan Farhan dari selangkanganku. "Aku nggak terlalu horny, kok." Kucium kening Farhan dengan sayang, lalu aku menyingkir ke samping, tidur di sebelahnya.
Farhan masih telanjang bulat, kelaminnya memang nggak ngaceng, tapi walaupun dalam keadaan 'tidur', benda itu tetap saja besar dan menggoda.
"Makasih, ya," ucap Farhan sambil memelukku. "Kamu enak banget ngulumnya. Jago. Juaralah pokoknya."
Aku tertawa kecil, bangga. "Nanti kalau udah benar-benar sembuh, aku pingin ngulum kamu sampai keluar, kemudian abis itu kita ML. Hihi. Kamu kuat nggak ngeluarin dua kali?"
Farhan tertawa penuh kesombongan. "Oh jadi kamu nantangin? Jangankan dua kali, keluar lima kali juga aku masih kuat, Din! Hahaha. Lihat ini," dia menunjuk ke kelaminnya yang perlahan-lahan bangkit berdiri. "Punyaku sekarang bangun lagi. Ayo, kamu siap untuk ronde kedua?" Dia tertawa penuh kemenangan.
Aku menyeringai, nggak mau kalah. "Oke, siapa takut!"
Kucium bibir Farhan untuk keseribu kalinya hari ini, dan setelah itu aku isap lagi kelaminnya sampai cairan spermanya benar-benar kering.
Bandar Lampung, 20 Januari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top