Empat Puluh Enam
"I know you love her but it's over, Mate." — Dean Lewis, Be Alright
BESOKNYA aku masih nggak berangkat sekolah. Bukan karena badanku masih lemas, tapi karena aku malas berangkat. Tanggung. Soalnya ini hari Sabtu, jadi sehari lagi libur nggak apa-apa, kan? Biar izin sakitku genap seminggu lamanya.
Pagi-pagi seperti biasa Mama mengantar sarapan ke kamar. "Besok nggak usah lagi nganter ke kamarku, Ma. Aku udah sembuh, kok."
"Nggak apa-apa. Mama ngelakuinnya karena kepingin." Mama tersenyum, lembut, khas seorang ibu. "Hari ini Mama mau main ke rumah teman Mama. Kamu ikut, yuk?"
"Teman Mama siapa?"
"Tante Firna. Kamu ingat dia, nggak? Dulu waktu masih kelas 6 SD Mama pernah ngajak kamu main ke rumahnya."
Aku menggeleng, lupa. Soalnya udah lama banget, sih. Waktu aku kelas 6 SD berarti usiaku 12 tahun—dan itu sudah 5 tahun yang lalu. Otakku berusaha mengorek-orek informasi tentang Tante Firna, tapi nihil. Kenangan lima tahun lalu yang kuingat adalah saat pertama kali aku menyukai bentuk otot dan puting seorang laki-laki. Atau dengan kata lain, kelas 6 SD aku sudah mulai suka dengan laki-laki, tapi belum menyadari orientasi seksualku karena saat itu aku masih bingung. Aku baru mulai sadar bahwa aku gay saat aku kelas 9 SMP.
"Tapi kamu mau kan nemenin Mama ke rumah Tante Firna? Mama mau ngenalin kamu ke anaknya."
Aku mengerutkan kening. Mengenalkanku ke anaknya Tante Firna? Apa anaknya Tante Firna cowok? "Siapa, Ma?"
"Ada, deh. Cantik anaknya. Manis."
"Cewek, Ma?" kataku, bodoh.
Mama mengangguk sambil menyipit heran. "Ya iyalah cewek, masa cowok? Mama nggak mungkin ngenalin kamu ke cowok."
Aku menelan ludah. Mama mengucapkan kalimatnya tadi penuh penekanan.
"Kamu mau ikut, kan?" tanya Mama, menatapku.
"Jam berapa berangkatnya, Ma?"
"Setengah tiga nanti," jawab Mama.
Aduh, jam setengah tiga adalah waktu di mana Farhan dan aku seharusnya mengurung diri di dalam kamar. Tadi pagi Farhan memberitahu setelah pulang sekolah dia akan mampir ke rumahku. Dan aku sudah menyetujuinya. Setiap hari Farhan memang selalu datang ke rumah, dan setiap hari juga kami akan berpelukan, ciuman, ngobrol, dan kadang-kadang juga melakukan sex seperti yang kami lakukan kemarin. Aku sadar bahwa ini berisiko, karena Mama bisa tambah curiga. Tapi walaupun risikonya besar, aku suka. Aku menyukai waktu yang kuhabiskan di dalam kamar bersama Farhan.
Sial. Aku nggak mungkin menolak ajakan Mama. Mama ingin mengenalkanku dengan anak Tante Firna dan kalau aku menolak nanti dia tambah curiga. Kok anak gue nggak mau dikenalin sama cewek, ya? Atau jangan-jangan dia homo?—Kira-kira mungkin beginilah yang akan diucapkan Mama dalam hati.
Aku bisa saja mengarang alasan bahwa aku masih lemas dan nggak sanggup pergi ke mana-mana, tapi itu tetap akan membuat Mama curiga, karena Farhan akan datang ke rumah. Nanti Mama akan mengucapkan dalam hati—Kayaknya anak gue beneran homo, deh. Buktinya, mau gue kenalin ke anak teman gue yang cantik, dia bilangnya masih lemas. Tapi pas Farhan datang ke rumah, dia segar bugar nggak lemas sama sekali. Ya ampun, semua pilihan yang ada begitu mengerikan sampai-sampai aku takut untuk memilih salah satunya.
Akhirnya, aku mengangguk. Aku nggak mau kecurigaan Mama makin bertambah.
Dan Mama langsung tersenyum lebar. Dia langsung memeluk dan mencium keningku penuh syukur. "Mama sayang kamu, Dino. Mama cuma pingin kamu bahagia."
"Dino juga sayang Mama."
Setelah melepas pelukan, Mama keluar kamar. Setelah pintu kamar ditutup, segera kukirim pesan WhatsApp ke Farhan yang isinya pemberitahuan bahwa aku nggak akan ada di rumah sore ini karena harus pergi menemani Mama main ke rumah temannya. Aku nggak bohong untuk yang ini. Tapi ... aku bohong tentang anak temannya Mama yang cantik dan manis itu, karena aku nggak mau Farhan tahu aku kenalan dengan perempuan. Itu akan membuatnya sedih dan cemburu. Dan aku nggak pernah suka membuat Farhan sedih dan cemburu.
♡︎♡︎♡︎
PUKUL setengah dua siang Mama sudah heboh nyuruh aku mandi yang bersih dan berpakaian yang modis. Mama bahkan meminjamkan lulur bengkoang miliknya yang katanya harganya sangat mahal karena lulur itu sangat ampuh merontokkan sel-sel kulit mati yang ada di tubuhku. Aku ptotes bahwa kulitku sudah putih dan mulus dan nggak dakian, jadi ngapain pakai lulur segala? Nggak akan ada efeknya. Tapi Mama tetap ngotot nyuruh aku pakai lulur, biar makin putih dan mulus ceunah.
"Pokoknya kamu harus mandi yang lama. Gosokin semua badan kamu," kata Mama, seraya mendorongku masuk ke kamar mandi. "Selagi kamu mandi, Mama bakal nyiapin baju buat kamu."
Aku sengaja mandi lama-lama biar Mama pikir aku lagi luluran, padahal aku nggak menyentuh lulurnya sama sekali. Aku nggak suka pakai lulur, karena seperti yang kukatakan tadi, kulitku sudah bersih, sudah putih, sudah halus, sudah mulus, sudah enak bangetlah pokoknya dilihat orang lain. Luluran cuma buang-buang tenaga.
Saat aku keluar dari kamar mandi, di kasur sudah tergeletak kemeja warna biru langit dan celana jins hitam legam kesayanganku. Mama nggak ada di kamar, jadi buru-buru kukenakan kemeja dan celana jins itu setelah sebelumnya kuoles deodoran ke ketiakku dan menyemprotkan parfum banyak-banyak ke badanku. Mama bilang aku harus wangi hari ini. Dan caranya mengucapkan itu terdengar seolah-olah setiap hari badanku bau. Ew, padahal aku selalu wangi, kok. Farhan aja sampai doyan nyiumin ketek aku setiap kali kami berduaan di dalam kamar.
Oh ya, omong-omong soal Farhan, dia sudah balas pesanku. Dia bilang nggak apa-apa, asalkan aku jaga diri dan jaga kesehatan, jangan sampai lemas, ya. Aku mengiyakan pesannya dengan membalas: Tenang aja, Sayang. Aku udah sembuh, kok.
Lalu Farhan membalas: Oke. Aku sayang kamu, Din.
Aku balas: Aku sayang kamu juga, Farhan. Jangan nakal ya di sana. Jauhin Mitha.
Farhan membalas lagi: Mitha gak masuk sekolah hari ini. Aku bersyukur karena gak harus ketemu dia di kantin. Biasanya dia suka modusin aku di sini.
Aku ingin membalasnya lagi, tapi nggak jadi karena Mama sudah keburu masuk ke kamar dan menyuruhku mandi. Sampai selesai mandi pun aku nggak sempat membalas pesan Farhan. Mungkin nanti aku akan membalasnya kalau ada kesempatan.
"Udah siap?" tanya Mama sambil tersenyum. Dia menatapku dari atas sampai bawah, matanya dipenuhi sorot kekaguman. "Kamu ganteng banget, Dino."
"Iyalah," kataku, bangga. Kalau nggak ganteng, mana mungkin Farhan, Lendra, dan Riko bisa naksir denganku—ini cuma aku ucapkan dalam hati.
"Ya udah, yuk." Mama menyerahkan kunci mobil Papa ke tanganku, dan setelah itu kami turun ke lantai bawah.
♡︎♡︎♡︎
RUMAH Tante Firna lokasinya di Jalan Putri Balau, dekat ruko lama Giant daerah Kedamaian. Perjalanan dari rumahku ke rumah Tante Firna memakan waktu dua puluh lima menit—agak lama karena ini weekend, jalanan macet. Ditambah ada proyek pembangunan fly over, jadi makin tambah lama lagi. Untungnya kami naik mobil, jadi mau selama apa juga nggak masalah. Dan sebenarnya aku bersyukur karena terjebak macet aku nggak harus cepat-cepat bertemu anaknya Tante Firna. Rasanya aku belum siap untuk kenalan dengan oran lain. Aku masih memikirkan bagaimana perasaan Farhan kalau dia tahu aku dikenalin ke perempuan?
Rumah Tante Firna adalah bangunan superbesar bertingkat dua yang dicat warna putih seluruhnya. Ada balkon di lantai dua, yang bentuknya hampir mirip dengan balkon kamarku. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah pintu kaca yang menghubungkan balkon itu adalah pintu kamar anaknya Tante Firna?
Setelah asisten rumah tangga Tante Firna membukakan gerbang yang tingginya hampir empat meter, kuparkirkan mobil ke garasinya yang ternyata luas. Aku yakin garasinya bisa menampung empat mobil sekaligus. Aku penasaran, berapa banyak orang yang tinggal di rumah sebesar ini?
Seorang wanita berhijab seumuran Mama yang masih kelihatan cantik keluar dari pintu yang menghubungkan garasi dengan bagian dalam rumah. Wanita ini punya mata yang sipit, pipi yang begitu tirus, dan bibir yang sangat merah muda dan indah. Aku tebak pasti ini yang namanya Tante Firna. Aku berusaha mengingat-ingat wajah Tante ini, tapi nggak ada satu ingatan pun yang muncul tentang dia. Fix, kalau pernah bertemu dengannya, aku pasti sudah melupakannya.
"Ya ampun, Mbak," kata Tante Firna, salaman dengan Mama, kemudian mereka cipika-cipiki khas ibu-ibu arisan. "Kirain nyasar, loh."
"Ah, nggak mungkin nyasar. Aku masih ingat rumah kamu, Fir."
Tante Firna tertawa kecil, lalu dia menatapku. "Oh ini Dino, ya?" Dia tersenyum lebar, kemudian menyodorkan tangannya ke hadapanku.
Aku menjabat dan mencium tangan Tante Firna yang halus—dia pasti tipe perempuan yang nggak pernah cuci piring dan cuci baju. "Salam kenal, Tante."
Tante Firna tersenyum lebih lebar. "Sopannya. Salam kenal juga, Dino. Sekarang udah gede ya kamu. Dulu mah masih kecil. Tambah ganteng aja loh Dino sekarang."
Aku balas tersenyum sambil mengangguk kikuk. Aku bingung harus menanggapinya bagaimana.
"Ya udah yuk masuk ke dalam," Tante Firna menggiring kami masuk ke dalam rumahnya lewat pintu depan.
Saat melangkahkan kaki masuk ke ruang tamu, aku terperangah. Sama seperti garasinya yang sangat besar, ruang tamu Tante Firna juga sangat besar. Langit-langitnya sangat tinggi, dan gantungan lampunya sangat mewah dan tampaknya terbuat dari emas. Ada lukisan besar di setiap sisi dinding, semua lukisan bergambarkan pemandangan. Nggak ada foto keluarga di ruang tamu, yang membuatku heran kenapa ruang tamu sebesar ini nggak dipasangi foto keluarga Tante Firna?
"Duduk, Mbak, sambil dimakanin kuenya," katanya, seraya membukakan semua tutup tempat kuenya yang juga mewah dan sepertinya terbuat dari berlian. Gila. Tante Firna pasti orang kaya banget kalau tempat kuenya saja semewah itu.
Setelah Mama duduk, Tante Firna langsung bergegas masuk ke dalam.
"Dia pasti mau manggil anaknya," kata Mama, berbisik di telingaku.
Tiba-tiba aku gugup. Apa yang harus aku lakukan ketika anaknya Tante Firna datang menghampiriku? Bagaimana caraku memperkenalkan diri ke anaknya Tante Firna? Ya ampun, aku nggak pernah kenalan dengan cewek sebelumnya, jadi aku amatir untuk yang satu ini. Aku pernahnya kenalan sama cowok, dan kenalan sama cowok beda dengan kenalan sama cewek. Katanya kalau kenalan sama cewek, kita sebagai cowok harus lebih gagah dan mendominasi daripada dia. Ih, malesin banget, kan? Aku kan sukanya digagahi, bukan menggagahi.
Oke oke, aku mulai ngelantur. Gugup membuatku berpikiran yang macam-macam. Tinggal kenalan, jabat tangan, sebut nama aja kok rempong, ya? Toh, aku kenalan sama anaknya Tante Firna kan cuma supaya Mama nggak curiga aku gay, bukan karena aku memang kepingin kenalan dengan anaknya Tante Firna yang entah siapalah itu namanya.
Nggak lama kemudian Tante Firna kembali ke ruang tamu seorang diri. Mama dan aku mengerutkan kening. Kenapa dia sendirian? Mana anaknya yang mau dikenalin ke aku?
"Sebentar ya, Mbak," kata Tante Firna, tersenyum minta maaf. "Wulan lagi siap-siap."
"Oh, nggak apa-apa. Kita juga nggak buru-buru, kok. Iya kan, Din?" kata Mama.
Aku mengangguk saja.
Akhirnya anak Tante Firna punya nama. Wulan. Bagus juga, sih. Pasti orang Jawa. Berarti beda suku denganku. Aku orang Sunda tulen. Mama Sunda. Papa Sunda. Farhan sukunya Lampung, tapi itu nggak apa-apa. Walaupun katanya orang Lampung wataknya keras, tapi nyatanya Farhan nggak begitu. Dia justru manusia paling lembut yang pernah aku kenal. Loh, kenapa kita malah bahas suku bangsa, ya? Ini pasti karena aku gugup akan bertemu Wulan.
Lima menit terjebak dalam gugup yang nggak berkesudahan, akhirnya Wulan datang. Dan ... aku menelan ludah.
Itu bukan Wulan. Tapi Mitha.
Iya, MITHA! Mantannya Farhan, cewek yang waktu itu ketemu denganku dan Farhan di XXI. Cewek yang waktu itu mencium pipi Farhan di hadapanku. Cewek yang sekarang satu sekolah dengan Farhan dan masih sering godain Farhan. Cewek gatel yang aku benci banget. Cewek yang dipenuhi aura negatif ketika aku berjabat tangan dengannya. Cewek itu ... anaknya Tante Firna yang ingin Mama kenalkan padaku.
Mitha juga terkejut ketika dia melihatku. Dia berdiri diam di tempatnya, tampak terpana.
Mama dan Tante Firna cuma tersenyum sambil angguk-angguk kepala. Aku tahu apa yang diucapkan dalam hati Mama sekarang: Yes, anak gue nggak homo. Tuh, lihat, dia sampai terpana gitu ngelihat si Wulan.
Dan Tante Firna pasti berkata dalam hati: Oke, Wulan pasti kaget karena ternyata Dino ganteng banget kayak artis-artis Korea. Oke, yang ini memang cuma karanganku doang, tapi aku yakin Tante Firna pasti setuju dengan karanganku.
"Udahan dong tatap-tatapannya," kata Mama, nyengir menggoda. "Sini Wulan, kenalan sama Dino."
Wulan—oh, nggak, aku panggil dia Mitha saja karena nama Wulan terlalu bagus dan lembut untuknya. Nggak cocok. Dia kan wanita gatel.
"Dino, kan?" Mitha tersenyum saat dia mendekatiku dan menyodorkan tangannya padaku.
Aku balas tersenyum sambil menjabat tangannya. "Mitha?"
Dia mengangguk. "Nggak nyangka ternyata lo yang mau dikenalin ke gue."
Aku tertawa. "Gue juga nggak nyangka bakal dikenalin dengan lo."
"Kalian udah saling kenal?" tanya Mama dan Tante Firna nyaris bersamaan.
Aku dan Mitha mengangguk barengan.
"Aku tahunya dia ini namanya Mitha, bukan Wulan," laporku ke Mama. "Dan Mitha ini mantannya Farhan."
Mitha juga melapor ke mamanya, "Dan dia ini Dino, temennya Farhan yang waktu itu ketemu aku di XXI."
"Ya ampun, Mbak," kata Tante Firna sambil geleng-geleng kepala, tapi sambil tersenyum. "Ternyata anak kita udah kenal duluan."
"Iya ya, Fir, Lampung sempit banget," Mama juga geleng-geleng kepala sambil senyum. "Jadi Mitha kenal juga sama Farhan?"
Mitha mengangguk.
"Dan Dino juga kenal sama Farhan?" tanya Tante Firna.
Aku mengangguk.
"Loh, kamu kenal Farhan juga, Fir?" tanya Mama ke Tante Firna.
Tante Firna mengangguk sambil menjawab, "Kenal, Mbak. Dulu waktu Wulan masih pacaran sama Farhan, anak itu sering main ke rumah."
Mama menyipit heran. "Oh sama aja dong, sekarang Farhan juga sering main ke rumah aku."
"Tapi Dino nggak pacaran sama Farhan kan, Mbak?" tanya Tante Firna, entah polos, entah bodoh.
Mama tertawa terbahak-bahak sendirian. Begitu dia sadar bahwa nggak ada satu pun di antara kami yang tertawa bersamanya, dia pun diam. "Ya nggak mungkinlah, Fir. Dino kan bukan homo. Ya kan, Sayang?" Mama menoleh padaku.
Aku mengangguk saja, tetapi menolak untuk mengiyakan.
"Ajak Dino main ke belakang gih," titah Tante Firna ke Mitha.
Mitha mengangguk, tersenyum sopan ke mamaku, lalu mengajakku beranjak pergi dari ruang tamu. Aku mengikuti langkah Mitha ke dalam rumahnya, melewati ruang keluarga yang ukurannya dua kali lebih besar dan lebih lebar daripada ruang tamu, kemudian dia menggeser pintu yang menghubungkan ruang keluarga dengan halaman belakang yang lebar dan berumput hijau asri. Ada ayunan besi di halaman belakang ini, kolam renang berukuran kurang lebih sama dengan kolam renang di rumahku, dan kursi santai di pinggiran kolam. Mitha menyuruhku duduk di kursi santai itu sementara dia pamit ke dapur karena harus membuatkanku minum dan mengambil camilan.
Aku duduk di kursi santai dengan banyak pertanyaan berputar-putar dalam kepalaku. Kenapa Mitha sangat lembut dan sangat sopan? Ke mana semua sikap menyebalkan yang waktu itu dia tunjukkan kepadaku? Ke mana Mitha yang waktu itu agresif mencium Farhan duluan? Di mana Mitha yang ketika menjabat tangannya, aku merasa ada aura negatif mengalir di sekujur kulitku? Mitha yang aku benci itu hilang entah ke mana, digantikan sosok Mitha yang manis dan sopan santun, nggak ada gatel-gatelnya sama sekali.
Hm, mungkin karena di depan orangtua kami makanya dia bersikap manis. Kalau sudah berduaan di halaman belakang begini, mungkin sifat asli Mitha yang gatel dan menyebalkan akan langsung terungkap. Mungkin.
Sepuluh menit kemudian Mitha kembali ke halaman belakang sambil membawa baki berisi dua gelas besar jambu punch dan sepiring brownies cokelat. Dia meletakkan baki itu di atas meja yang terletak di tengah-tengah antara dua kursi santai.
"Dicicipin, Din," kata Mitha seraya duduk di kursi santai. "Buatan gue nih."
Aku tersenyum, tapi nggak mau menyentuh minuman itu karena curiga jangan-jangan Mitha mencampurkan sianida ke dalam minumanku. Sikapnya yang manis dan baik itu belum tentu karena dia menyukaiku. Dia pasti masih membenciku.
"Kok lo dipanggil Wulan, bukan Mitha?" tanyaku.
"Nama gue kan Mitha Wulandari. Di luar, gue emang dipanggil Mitha. Tapi di rumah, gue selalu dipanggil Wulan, karena kata Mama, nama itu bagus."
Aku mengangguk mengerti. Nama asliku juga sebenarnya Aldino Patra Raihansyah. Teman-teman di sekolah biasa memanggilku Dino karena menurut mereka itu lebih praktis. Tapi teman-teman di kompleks perumahan biasa memanggilku Aldin. Bahkan dulu waktu SD teman-teman memanggilku dengan nama Raihan, tapi kemudian dilarang oleh Mama karena Raihan adalah nama pamanku—adik kandung Papa.
"Gue masih pingin ketawa," kata Mitha, tertawa kecil. "Ternyata lo yang bikin Mama gue heboh banget sampai nyuruh gue nggak masuk sekolah hari ini karena mau ketemu anak temannya yang katanya ganteng banget."
Aku langsung ingat dengan pesan WhatsApp Farhan tadi siang yang bilang Mitha nggak masuk sekolah hari ini. Sekarang aku mendengar langsung alasannya nggak masuk sekolah. Dan aku setuju dengannya, itu benar-benar lucu.
"Mama gue juga heboh banget nyuruh gue mandi pakai lulur segala karena katanya bakal ketemu anak Tante Firna yang cantik dan manis kayak boneka Barbie." Tentang boneka Barbie ini hanya karanganku saja.
Mitha besar kepala. Tawanya berubah jadi lebih sombong. "Nyatanya, gue memang cantik kayak boneka Barbie, kan?"
Aku tertawa mengejek. "Boneka Barbie apaan? Muka lo jelas-jelas lebih mirip Monokurobo." Tawaku meledak mengingat boneka babi itu.
Mitha cemberut, lalu memukulku dengan gerakan sok cantik. Geli, ih. Tapi sesudahnya dia ikut tertawa bersamaku.
"Jadi serius lo nggak masuk sekolah cuma gara-gara pingin ketemu gue?" tanyaku, penuh kepercayaan diri.
Mitha mendengus jengkel. "Jangan kepedean dulu. Gue nggak masuk sekolah karena disuruh mama gue, bukan karena kemauan sendiri. Padahal hari ini gue ada janji mau nonton bareng Farhan."
"Nonton bareng?" Aku mengerutkan kening. Jantungku berdetak nggak enak mulai dari sini.
"Iya. Gue pingin banget nonton berdua bareng Farhan, tapi Farhan nggak pernah mau." Dia murung.
Tapi aku senang melihatnya murung. Oke, mungkin aku jahat karena tertawa bahagia di atas penderitaannya, tapi sumpah aku nggak tahan untuk nggak menertawakan usahanya yang gagal ke Farhan.
"Lo masih suka sama Farhan?" tanyaku, hati-hati. Inilah waktu yang tepat untuk mengklarifikasi semuanya, mendengarnya langsung dari mulut Mitha mungkin akan membuatku sedikit lebih tenang.
Mitha mengangguk pelan. "Masih."
Jantungku malah berdetak makin nggak enak. "Kenapa lo bisa putus dari Farhan?" tanyaku. Walaupun sudah mendengar alasannya dari Farhan, tapi aku masih penasaran ingin tahu penjelasannya dari sudut pandang Mitha.
Mitha menggeleng. "Farhan bilang dia nggak cocok sama gue. Katanya, gue terlalu agresif. Memang sih, gue akuin gue agresif. Tapi gue agresif juga karena Farhannya kayak batu, Din."
"Kayak batu gimana maksudnya?"
"Ya gitu, selama pacaran Farhan nggak pernah sekalipun ada niatan pingin ngajak gue jalan-jalan, atau main ke rumahnya, atau pergi ke mana gitu ke tempat yang romantis. Selama pacaran kita cuma WA-an, teleponan, berangkat dan pulang sekolah bareng, abis itu udah ... nggak ada ngapa-ngapain lagi."
"Tapi tadi Mama lo bilang Farhan sering main ke sini," kataku.
"Itu karena gue yang minta," katanya, terdengar sedih. "Farhan itu kalau nggak gue paksa masuk ke rumah, dia pasti nggak bakalan mau masuk."
Aku setuju dengannya. Ingat banget dulu Farhan selalu menolak tiap kali aku ajak masuk ke rumah. Dia baru mau masuk kalau aku sudah memohon dengan puppy eyes-ku.
"Kalian udah ngapain aja selama pacaran?" tanyaku hati-hati, berusaha untuk nggak terdengar terlalu ingin tahu.
Mitha menatapku heran, mungkin menurutnya aku terlalu kepo, tapi ya nyatanya memang aku kepo. "Nggak ngapa-ngapain," jawabnya. "Pegangan tangan aja nggak. Farhan itu emang benar-benar batu. Di saat semua cowok biasanya sibuk minta pegangan tangan atau pelukan atau ciuman, dia malah diam aja kayak batu."
Aku ingin tertawa, tapi nggak jadi. Mitha terdengar kesal ketika dia mengucapkan itu. Pantas saja Mitha agresif, lah Farhannya aja sedingin itu ke dia. "Dan lo nggak senang Farhan kayak gitu?" kataku. "Bukannya cewek-cewek biasanya bersyukur karena cowoknya nggak pernah nuntut minta macem-macem?"
Mitha mengembuskan napas. "Kalau mau dibilang bersyukur, jelas gue bersyukur karena bisa dapetin Farhan. Tapi logikanya, masa iya sih selama pacaran pegangan tangan aja harus diminta dulu? Cowok harusnya peka untuk pegang tangan ceweknya duluan, untuk menunjukkan kasih sayangnya."
Oke fix, aku tertawa terbahak-bahak dalam hati sekarang. Dia nggak mau pegang tangan lo karena dia nggak ada rasa apa-apa sama lo, Mitha! Bukan Farhan yang harusnya peka, tapi elo! Jelas-jelas cowok itu menghindari lo terus-terus, tapi lo masih aja maksain dia untuk suka sama lo! Hadeeehhh.
"Pokoknya lo nggak boleh bilang ke Farhan kalau gue cerita tentang ini, Din."
Aku mengangguk. Nggak ada manfaatnya juga kuceritakan ini ke Farhan. Yang penting aku sudah tahu ceritanya dari sudut pandang Mitha. Dan aku menyimpulkan bahwa itu adalah salah Mitha, yang nggak peka dan terlalu memaksakan diri supaya Farhan mencintainya.
"Farhan punya pacar nggak, sih?" tanya Mitha akhirnya.
Aku mengangkat bahu, ambigu.
"Nggak tahu atau nggak mau ngasih tahu?" kata Mitha.
Nggak mau ngasih tahu, jawabku dalam hati. Tapi yang terucap di bibirku: "Nggak tahu."
Lalu buru-buru kuucapkan, "Emang lo nggak pernah nanya langsung ke dia?"
"Pernah."
"Apa jawabannya?" Jantungku berdebar-debar.
"Dia bilang udah punya pacar," jawab Mitha.
Kuembuskan napas lega.
"Tapi ...," Mitha kembali bersuara.
Kenapa harus ada tapi, sih?
"... setiap kali gue tanya siapa nama pacarnya, Farhan nggak pernah mau jawab. Dia selalu bilang, 'Pokoknya ada, pacarku spesial bangetlah pakek dua telor.'"
Aku terbahak-bahak mendengar 'spesial pakek dua telor'. Sialan, kenapa Farhan nggak sekalian bilang, "Spesial pakek sosis dan dua telor." Sementara aku terbahak-bahak sampai perutku sakit, Mitha malah menyipitkan matanya heran.
"Lo tahu siapa pacarnya Farhan?" tanya Mitha setelah aku berhenti tertawa.
Aku menggeleng, tapi masih agak geli. "Kenapa emangnya?"
"Gue kok ngerasa kayaknya Farhan masih jomblo, ya? Dia bilang punya pacar, tapi nggak pernah mau nyebutin nama pacarnya. Dan setiap kali gue pingin tahu yang mana pacarnya, dia selalu menolak. Gue curiga, jangan-jangan dia bilang punya pacar cuma untuk ngejauhin gue?"
Aku diam. Ternyata bukan cuma aku saja yang belum siap untuk jujur tentang hubungan kami. Farhan pasti bingung antara harus jujur ke Mitha bahwa aku adalah pacarnya, atau berbohong dengan nggak mengatakan segalanya. Dan akhirnya, pilihan kedua yang dia ambil, karena menurutnya mungkin itulah pilihan yang paling mudah.
Kalau dia jujur tentang hubungan kami, apa yang akan terjadi selanjutnya? Mitha akan langsung tahu bahwa Farhan gay, dan kemudian Mitha akan membeberkan hal itu ke teman-temannya: "Gue nggak mau lagi dekat-dekat Farhan karena ternyata dia gay." Aku nggak tahu apakah Mitha jenis orang yang suka membeberkan dosa orang lain, tapi dilihat dari sikapnya yang agresif dan selalu minta dinodai oleh Farhan, aku yakin Mitha pasti nggak akan ragu menyebarkan rahasia Farhan ke orang lain.
Jadi aku bisa maklum. Farhan nggak bilang ke Mitha bukan karena dia nggak mau mengatakannya, tapi karena dia nggak bisa. Belum saatnya.
"Din? Kok ngelamun?" Suara Mitha menarikku kembali ke kenyataan.
"Oh, nggak."
"Jadi lo beneran nggak tahu siapa pacarnya Farhan?" tanya Mitha.
Aku menggeleng. Masih ambigu.
Mitha mengembuskan napas jengkel. "Kenapa Farhan sangat tertutup, sih? Padahal gue cuma pingin bukti. Kalau memang dia punya pacar dan pacarnya itu nyata, gue bakal mundur. Gue nggak akan ngejar-ngejar dia lagi."
Aku menatapnya antusias. "Serius lo nggak bakal ngejar-ngejar Farhan lagi?"
"Ya—kalau dia emang beneran punya pacar. Tapi kayak yang gue bilang tadi, setiap kali gue tanya yang mana pacarnya, dia nggak pernah mau jawab. Gue nggak akan percaya dia punya pacar sebelum gue lihat langsung dengan mata kepala gue sendiri." Mitha berkata tegas, penuh tekad yang sepertinya sudah bulat.
Berarti masalahnya cuma satu: Farhan hanya harus menunjukkan pacarnya ke hadapan Mitha, dan setelahnya cewek gatel ini bakal mundur teratur dan nggak akan gangguin Farhan lagi. Ini terdengar sangat menggoda, tapi juga sangat berisiko. Masalahnya, Mitha kenal dengan mamaku. Kalau kami memutuskan untuk jujur ke Mitha, kemungkinan besar dia pasti bakal mengadu ke mamanya, kemudian mamanya akan mengadu ke mamaku. Dan kalau mamaku juga ikut-ikutan tahu tentang hubunganku dan Farhan? Tamat sudah cerita ini. The end. Nggak ada lanjutannya.
Aku harus merundingkan ini bersama Farhan. Karena aku nggak mau Mitha godain Farhan lagi, tapi juga nggak mau Farhan berbohong dengan menjadikan orang lain sebagai pacarnya, jadi kami akan berusaha cari cara untuk bisa jujur ke Mitha. Sudah cukup sampai sini saja Mitha berharap terlalu banyak ke Farhan. Mulai sekarang aku harus membuatnya menjauhi Farhan. Farhan milikku. Dan nggak ada siapa pun yang berhak mengambilnya tanpa seizin dariku.
"Mungkin nanti Farhan bakal ngenalin pacarnya ke lo," kataku akhirnya.
Mitha mengembuskan napas, pasrah. Dan ketika dia bicara, suaranya terdengar sangat menyedihkan, "Ya, Din. Gue udah siapin hati gue kok buat terima kenyataan bahwa Farhan udah jadi milik orang lain."
Aku iba mendengar kesedihan dalam suaranya, tapi jauh di dalam lubuk hatiku ada suatu perasaan lega—seperti simpul mati yang dibuka ikatannya, terasa bebas dan menyegarkan.
Bandar Lampung, 26 Januari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top