Empat Puluh Empat
"In another life, I'd do it all again a thousand times." — Jarryd James feat. Broods, 1000x
TERNYATA tensi darahku rendah karena aku kurang makan dan istirahat.
Aku membuka mata dan mendapati Farhan duduk di sebelahku, sepertinya sedang menungguku. Dia langsung buru-buru memelukku begitu aku sadar, dan pelukannya sangat erat tapi juga sangat hati-hati seolah-olah takut apabila pelukannya lebih erat sedikit saja bisa melukaiku. Kepalaku masih agak sakit, dan tanpa sadar aku mengerang. Farhan melepas pelukan, lalu menyuruhku makan. Aku menolak untuk makan, karena mulutku rasanya pahit, dan ketika kucoba menelan ludah, rasanya sakit. Tapi Farhan memaksaku, dan aku nggak bisa menolaknya. Jadi Farhan menyuapiku makan sambil menceritakan apa yang terjadi padaku kemarin.
Ketika aku mengerang kesakitan dan jatuh terjerembab ke lantai, Farhan langsung berlari keluar dari lapangan dan menghampiriku. Lalu dia menggotong tubuhku dan memasukkanku ke dalam mobil. Chika ikut masuk ke mobil Farhan. Bastian juga ikut masuk karena dia yang membantu Farhan membaringkanku di kursi tengah. Setelah itu, Farhan membawaku ke rumah sakit, dan di sinilah aku sekarang: terbaring lemah di atas ranjang berseprai putih dengan infus menusuk urat nadi di tangan kananku. Aku siuman beberapa jam setelah matahari terbit.
"Aku khawatir banget tadi malam," kata Farhan, setelah ceritanya selesai. Matanya terlihat sangat kelelahan dan tampaknya kurang tidur. "Aku sampai nggak bisa tidur nungguin kamu siuman." Kekhawatiran terdengar jelas dalam suaranya, dan aku tahu Farhan sungguh-sungguh dengan ucapannya.
"Maaf," kuremas tangannya. "Maaf karena bikin kamu khawatir."
"Jangan minta maaf," katanya, lalu mencium lembut punggung tanganku. "Aku yang harusnya minta maaf karena ngajak kamu ke lapangan tadi malam. Harusnya aku nyuruh kamu tidur di kamar—"
"Ssstt—" aku memotongnya, "bukan salah kamu." Baru kusadari ternyata suaraku lemah ketika bicara. Kepalaku juga masih agak sakit. Lampu yang menggantung di langit-langit tampak berputar-putar. Kupejamkan mata. "Kepalaku masih pusing."
"Minum obat dulu," Farhan mengambil empat butir obat, lalu menyuruhku meminumnya.
"Makasih," kataku, setelah obat berhasil kutelan dengan susah payah. Bau obat yang menyengat membuatku tambah pusing, karena pada dasarnya aku benci obat.
"Istirahatlah," ucap Farhan, mengusap kepalaku dengan sayang.
"Kamu yang harusnya istirahat, Farhan," kataku. Kugenggam telapak tangannya lebih erat. Farhan rela begadang demi menungguku siuman. "Kamu butuh tidur."
"Aku bakal istirahat kalau kamu juga istirahat."
Aku mengangguk, lebih bertujuan agar Farhan mau tidur setelah dia juga melihatku tidur. Jadi langsung kupejamkan mata dan pura-pura tidur. Lalu kurasakan bibir Farhan mencium keningku, dan dia berbisik, "Cepat sembuh Dino sayang. Aku sedih lihat kamu kesakitan kayak gini." Air mataku hampir saja menetes karena terlalu bahagianya aku menerima perhatian yang sangat besar dari pacar yang mencintaiku sangat tulus. Setelah itu kurasakan kepala Farhan terbaring di sebelahku. Dan nggak berapa lama kemudian kudengar suara dengkuran halusnya yang teratur.
Aku membuka mata dan menangislah aku. Aku menangis karena terharu. Membayangkan Farhan menahan kantuk cuma demi aku. Membayangkan ekspresinya yang khawatir ketika para dokter itu mengurusku. Membayangkannya duduk di sebelah ranjangku sepanjang malam sambil mengusapkan jemarinya yang halus ke kepalaku.
Kuulurkan tangan untuk mengusap rambut Farhan yang halus. "Terima kasih, Farhan. Terima kasih."
Pintu terbuka dan buru-buru kutarik tanganku yang mengusap rambut Farhan. Mama dan Papa berdiri di ambang pintu, kaget melihatku menatap mereka dengan mata yang basah.
"Oh, Dino," Mama menjatuhkan plastik yang ditentengnya ke lantai, membuat buah jeruk dalam plastik itu terguling ke bawah ranjang. "Kamu udah siuman," Mama duduk di kursi sebelah kananku (karena Farhan tidur di sebelah kiriku) dan memegang tanganku yang diinfus. "Mama khawatir banget karena tadi malam kamu nggak sadar-sadar."
Mama sudah ada di sini dari tadi malam? Oh tentu saja, yang pertama kali dihubungi pastilah keluargaku. "Sekarang Dino baik-baik aja, Ma. Cuma masih agak sedikit pusing."
"Ya ampun. Udah minum obat?" tanya Mama.
Aku mengangguk. "Udah, Ma."
Papa, yang sudah selesai memunguti buah jeruk yang bergelindingan, berdiri di belakang Mama. "Mama kamu khawatir sama keadaan kamu sampai ngejatuhin buah-buah jeruk itu. Untung ada Papa yang langsung mungutin."
"Maaf," Mama nyengir ke Papa, lalu dia menatap Farhan. "Kasihan Farhan."
"Seharusnya dia tidur di sofa," kata Papa, memandangi Farhan juga.
"Mama berterima kasih banyak sama Farhan karena mau nemenin kamu terus di sini. Tadi subuh Mama nyuruh dia pulang, tapi dia menolak dan malah nyuruh Mama yang pulang. Jadi Mama pergi ke luar sebentar untuk beliin dia sarapan. Dia pasti ngantuk banget karena semalam begadang nungguin kamu siuman."
Air mata mengalir lagi ke pipiku. Aku nggak berusaha untuk menghapusnya. Biarlah Mama melihat air mata ini dan dia boleh berpikir apa saja. Sekarang rasanya ingin sekali kupeluk Farhan erat-erat, seerat yang aku bisa untuk membalas semua perbuatannya yang sangat baik kepadaku.
"Kamu mau jeruk, Dino?" tanya Papa, yang mengupasi jeruk di sofa.
Aku menggeleng, menghapus air mataku. "Nggak usah, Pa."
Mama menatapku dengan menyipit. Aku balas menatap Mama, dan sepertinya dia mengetahui sesuatu. Ada keingintahuan yang sangat jelas terlihat dalam sorot matanya yang menyipit itu. Dia memandangiku dan Farhan bergantian, seperti sedang menarik kesimpulan dari sesuatu yang dia pikirkan. Masalahnya, aku nggak bisa menebak apa yang dia pikirkan. Apakah dia mulai mencurigai hubungan kami, atau dia mulai mengetahui sedikit dari banyak rahasia yang kusembunyikan tentang orientasi seksualku? Aku merinding membayangkan bagaimana cara kerja naluri seorang Ibu.
Selepas menatapku dengan mata menyipit, Mama memutuskan untuk sarapan. Dia nggak mengatakan apa pun, tapi diamnya bisa berarti apa saja, dan aku mulai khawatir. Aku mulai gelisah. Sikap Farhan yang terlalu peduli padaku memang bisa menumbuhkan berbagai macam prasangka di dalam kepala Mama.
Entah bagaimana, sekarang aku yakin Mama pasti merasakan ada sesuatu yang terjadi di antara aku dan Farhan. Sikap Mama sudah beda dari yang dulu-dulu. Kalau dulu Mama nggak peduli dengan keakrabanku dan Farhan, sekarang Mama jadi peduli. Setiap kali Farhan main ke rumah dan naik ke kamar, Mama akan menyipitkan mata sambil memandangi kami yang menaiki tangga. Atau kalau Farhan turun dari kamarku, Mama masih menatapnya dengan menyipit penuh tanda tanya. Anehnya Mama nggak pernah jutek ke Farhan, dia selalu senyum ke pacarku itu. Tapi, aku tahu. Senyumnya itu hanyalah topeng. Dan di balik topeng itu Mama mengetahui sesuatu. Dia belum mengatakannya secara langsung padaku karena aku yakin dia pasti sedang menunggu bukti yang kuat untuk membuktikan semua kecurigaannya. Oh, Mama, nalurimu memang sangat tajam dan kuat.
Pukul sembilan lebih lima belas menit Farhan bangun. Dia mengucek matanya beberapa saat lalu memandangiku dengan senyum. "Selamat pagi, Say—"
"Oh ya selamat pagi, Farhan," aku buru-buru memotong sebelum Farhan sempat menyelesaikan ucapannya. Gila aja kalau Farhan bilang sayang di depan orangtuaku yang saat ini lagi nonton tivi sambil duduk di sofa.
Begitu mendengar Farhan bangun, Mama langsung menolehkan kepalanya dari tivi, ke kami. Dia tersenyum—dan mulai memasang topengnya. "Eh Farhan udah bangun," katanya. "Enak tidurnya?"
Farhan tersenyum juga, mengusap tengkuk, lalu menjawab, "Cuma kaku di leher, Ma."
Mama mengangguk, lalu mengambil kontong plastik putih dan membawanya ke Farhan. "Kamu sarapan dulu, nih." Mama menyerahkan plastik itu ke Farhan. "Habis itu kamu pulang aja, Farhan. Semalaman kamu di sini. Memangnya nggak dicariin orangtua kamu?"
Farhan menggeleng, tapi menerima kantong plastik berisi sarapan dari tangan Mama. "Nggak, Ma. Farhan masih mau nemenin Dino di sini."
Kerutan di kening Mama makin menegaskan pernyataanku bahwa dia memang tahu sesuatu. "Emang kamu nggak mau mandi dan ganti baju, gitu?"
Farhan menggeleng lagi. "Farhan mau numpang mandi di sini aja, Ma. Dan soal baju, tadi pagi Farhan udah WA Mama Farhan buat bawain baju ke sini."
Pernyataan Farhan membuat Mama makin mengerutkan kening.
Oke, wajar saja Mama curiga. Sikap peduli Farhan memang terlalu berlebihan. Maksudku, seorang sahabat juga pasti butuh pulang saat menunggui sahabatnya di rumah sakit. Lagipula, alasan Farhan bersikeras tetap tinggal di sini akan memicu tumbuhnya prasangka buruk lain dalam kepala Mama.
"Kenapa kamu pingin banget ada di sini, Farhan?" Nah kan, baru juga diomongin, Mama sudah langsung aja menanyakan alasannya.
Aku melihat Farhan yang tampak kebingungan menjawab pertanyaan Mama. "Farhan cuma nggak enak ninggalin Dino sendirian, Ma."
"Dino nggak akan sendirian. Kan ada Mama sama Om yang bakal jagain," kata Mama.
Farhan terpojok. Dia berusaha mencari jawaban yang pas—aku bisa melihat itu dari sikapnya yang gelagapan dan matanya yang liar melirik ke sana kemari. Dia juga melirik ke aku, seperti meminta bantuan.
"Udahlah, Ma. Biarin aja kalau Farhan emang masih mau di sini. Ngapain juga Mama larang? Toh, mamanya Farhan kan mau ke sini, katanya. Jadi Farhan mungkin sekalian nunggu mamanya."
Mama seperti berusaha menahan dirinya supaya nggak mendengus jengkel. Oh Tuhan, Mamaku sudah mencurigai hubungan kami sampai sangat jauh dan dia hampir mendapatkan hasil dari kecurigaannya. Aku nggak bisa membayangkan bagaimana kalau Mama sampai tahu. Itu pasti akan jadi sangat buruk.
Nggak lama setelah perdebatan itu, Farhan mendapat telepon dari mamanya. Dia permisi keluar untuk menjemput mamanya, dan sosoknya menghilang di balik pintu ganda kamar VIP tempatku dirawat.
"Farhan peduli banget sama kamu, ya," kata Mama. Bicaranya nggak sinis, kok, cuma ... yah, kedengarannya beda aja gitu.
"Emang salah kalau Farhan peduli sama Dino, Ma?"
Jawaban Mama dibungkam oleh kedatangan mamanya Farhan yang membawa parsel buah dibungkus plastik warna-warni. Mama langsung menyambut uluran parsel itu, lalu bersalaman dengan mamanya Farhan. Papa juga salaman dengan mamanya Farhan.
"Duduk dulu, Mbak," kata Mama, menyuruh mamanya Farhan duduk di kursi.
Papa menggeser posisi duduknya di sebelah Mama, sementara mamanya Farhan duduk berseberangan dengan mereka. Senyum mamanya Farhan yang tulus pasti meluluhkan hati Mama, karena topeng bernama 'kecurigaan' yang tadi terpasang di wajahnya sudah menghilang. Senyum Mama terlihat tulus ke mamanya Farhan. "Jauh ya, Mbak?"
"Rumah saya?" tanya mamanya Farhan. "Ah nggak, kok. Di Kedaton, belakang KFC. Ini memang lagi sekalian mau berangkat ke rumah teman ada acara syukuran anaknya. Begitu dapat kabar Dino sakit, langsung mampir ke sini. Soalnya Farhan juga minta dibawain baju, katanya."
"Oh, iya. Aduh, makasih loh ya udah ditengokin," kata Mama. "Kalau mau ngobrol sama Dino, duduk di sebelahnya aja, Mbak. Nggak apa-apa."
"Oh iya," mamanya Farhan tersenyum, lalu bangkit berdiri. Dia duduk di kursi di sebelahku.
Tersenyum kepadaku. "Udah enakan, Dino?"
"Lumayan, Tante," jawabku.
Mamanya Farhan kemudian menasihatiku agar jangan lupa makan dan istirahat yang cukup, karena walaupun masih muda tapi kalau pola makanku berantakan segala jenis penyakit bisa hinggap di badanku, dan aku menggangguk berterima kasih padanya sambil tersenyum. Beliau membalas senyumnya dengan sangat manis.
Setelah itu, mamaku dan mamanya Farhan terlibat percakapan, tapi kali ini aku nggak dilibatkan. Mereka asyik dengan obrolan mereka sendiri.
Aku melihat Farhan lagi ngobrol sama Papa di sofa. Aku nggak bisa mendengar obrolan mereka, tapi dilihat dari ekspresinya aku tahu Papa enjoy ngobrol sama Farhan. Aku merasakan lega dalam hati. Paling nggak, salah satu orangtuaku nggak mencurigai Farhan.
Obrolan antara Mama dan mamanya Farhan bergulir seperti bola menggelinding di papan landai. Cepat. Nggak kerasa tahu-tahu mamanya Farhan pamit pulang. Mama mengantar mamanya Farhan sampai ke depan pintu. Senyuman Mama sangat lebar ketika melambai kepada mamanya Farhan yang menghilang di balik pintu ganda. Saking bahagianya Mama, sepertinya dia lupa dengan kecurigaannya terhadap Farhan. Dia nggak mempermasalahkan keberadaan Farhan lagi setelah itu, tapi tetap saja matanya masih terkesan seperti mengawasi.
Pukul dua siang Dea datang menjenguk. Diikuti oleh Bimo, Dayena, Chika, Leo, dan Bastian. Mereka bawa oleh-oleh juga. Parsel buah. Kantong plastik berisi roti, susu, keju. Bimo malah bawa sekotak pizza, yang langsung dapat teguran dari Mama.
"Dino kan belum boleh makan pizza, Bimo! Nanti sakit kepalanya kambuh lagi!" katanya, agak-agak jengkel, tapi terdengar agak-agak geli juga.
"Maaf, Ma Ini pizza bukan buat Dino, tapi buat kita-kita aja yang sehat. Biarin aja Dino ngiler lihatin kita makan pizza." Dia menjulurkan lidah padaku, lalu nyengir, yang membuat Mama tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Aku putar bola mata ajah.
Leo, Bastian, dan Chika mendekatiku. Aku langsung mengucapkan apa yang harus kuucapkan kepada mereka. "Terima kasih. Untuk yang semalam."
Chika tersenyum. "Santai aja, kali. Udah kewajiban gue nolongin pacarnya Farhan."
Untung Mama lagi asik ngobrol sama Dayena dan Dea di sofa, jadi dia sepertinya nggak mendengar omongan Chika.
Dan Chika sepertinya menangkap kekhawatiranku karena dia buru-buru mengatakan, "Maaf."
Aku menatap Bastian. "Sorry ya, Bas. Gara-gara gue, rencana makan malem lo jadi batal."
Setelah aku siuman dan mendengar cerita Farhan, hal inilah yang pertama kali memancing rasa bersalahku. Bastian dan Leo sudah janjian mau makan malam bareng, tapi gara-gara aku rencana itu jadi batal.
"Selow, Din. Masih bisa malam ini," katanya, tersenyum tanpa masalah.
Leo dan Chika tertawa.
Setelah Bastian dan Chika selesai ngobrol denganku, giliran Dayena yang mengambil posisi duduk di sebelahku. Dia tersenyum sangat manis. "Aku sebagai perwakilan Team FarDin mendoakan supaya Kak Dino cepat sembuh dan bisa masuk sekolah lagi," katanya. Lalu dengan suara berbisik, "Dan supaya Kak Dino bisa mesra-mesraan bareng Kak Farhan lagi." Lalu dia tertawa kecil, membuatku tertawa juga akhirnya.
"Terima kasih doanya untuk Team FarDin. Kalian benar-benar luar biasa. Kalau udah sehat, aku mau kita ketemu lagi nanti." Aku berbisik juga, "Dan aku bakal lebih mesra lagi ke Farhan nanti di hadapan kalian."
Dayena menggigit bibirnya gemas, menahan diri supaya nggak teriak heboh. Akhirnya yang bisa dia lakukan cuma memukul-mukul pahanya. Aku tersenyum geli melihat reaksinya.
Obrolanku dengan Dayen juga bergulir cepat, seperti obrolanku dengan penjenguk yang lain. Entah karena aku yang menikmati obrolan kami, atau karena faktor lain, entahlah. Tapi yang jelas, tahu-tahu mereka sudah mau pulang aja. Aku sedih karena harus ditinggalin mereka, karena ada mereka di sini aku jadi nggak terlalu bosan berbaring di kasur seharian.
Yang tinggal di kamarku cuma Bimo dan Dea. Bimo belum mau pulang karena pizza yang dia bawa belum habis. Aku putar bola mata. Aku tahu alasan sebenarnya nggak mau pulang bukan karena pizza-nya, tapi karena Dea-nya.
Yang selanjutnya pamit pulang adalah Mama dan Papa. Mereka mau pergi beli kado untuk temannya Mama yang hari Jumat besok mau hajatan. "Kalian jagain Dino, ya," pesan Mama ke Bimo dan Dea. Tapi bukan ke Farhan. Mama nggak mengatakan apa pun pada Farhan dan langsung pergi begitu saja dari hadapan kami.
Aku nggak mau Mama memusuhi Farhan, tapi juga nggak bisa mencegah prasangka buruk itu tumbuh di kepalanya. Karena kepedulian Farhan yang, bisa dibilang, terlalu vulgar. Mama nggak mungkin curiga kalau Farhan nggak terlalu menunjukkan kepedulian dan juga kasih sayangnya kepadaku.
Aku jadi serba salah sekarang. Di satu sisi, aku ingin Farhan tetap peduli dan sayang padaku, menunjukkan kasih sayang dan kepedulian itu dengan caranya sendiri. Walaupun terkesan vulgar, tapi sesungguhnya aku menyukainya. Nah, di sisi yang satunya lagi aku takut sikap peduli Farhan akan memancing kecurigaan Mama. Bahkan sekarang pun Mama sepertinya sudah kepancing.
"Kak Dino udah mendingan?" Suara Dea. Dia duduk di sebelahku, sedang merapikan selimutku.
"Ya. Aku dibikinin surat, nggak?"
"Nggak bikin surat. Mama langsung telepon wali kelas Kak Dino."
Seharusnya aku sudah tahu. Untuk sakit bohongan aja Mama langsung nelepon Wali Kelas, apalagi sakit beneran. Mama pasti sangat khawatir denganku karena inilah pertama kali dalam hidupku aku diinfus.
"Farhan, Bimo, bisa keluar sebentar, nggak?" kataku, menatap mereka. "Aku mau ngobrol berdua sama Dea."
Farhan berdiri, mengangguk. Tapi Bimo nggak mau bangkit. Mata dan ekspresinya menunjukkan protes. Mulutnya yang menggembung memuncratkan pizza ketika dia bicara. "Gue belum selesai ngehabisin pizza-nya."
Farhan memegang tangan Bimo, kemudian menariknya berdiri. "Ayo, Bim. Kalau Dino nyuruh kita keluar, ya berarti keluar. Ini obrolan keluarga, kita nggak boleh ikut campur." Farhan menarik Bimo ke pintu. Bimo pasti menolak tarikan Farhan bukan sepenuh tenaga, karena kalau Bimo pakai tenaga, Farhan pasti nggak bakal kuat menarik badan Bimo yang gendut kayak badak.
"Okelah," kata Bimo akhirnya ketika sudah sampai di ambang pintu. "Kalian pasti mau ngomongin urusan cewek. Gue sama Farhan nggak bakal ngerti." Pintu menutup di belakang tubuhnya yang gendut.
Sialan!
Anehnya, Dea malah tertawa karena tingkah Bimo. Oh, matanya juga berbinar penuh cinta. Kalau ada bintang-bintang, mata itu pasti bakal kelihatan lebih bagus. Tapi aku menyimpan urusan Dea nanti untuk bagian terakhir. Hal pertama yang ingin kutanyakan adalah Mama.
"Mama kayaknya curiga deh sama kami," kataku, pelan, memulai.
Senyum di bibir Dea menghilang, digantikan dengan kecemasan. "Aku tahu, Kak. Mama pernah bilang."
"Apa katanya, De?"
"Kata Mama, 'Dea, Mama curiga deh sama kakak kamu dan Farhan.' Terus aku tanya, 'Curiga kenapa, Ma?' Mama jawab: 'Ya curiga aja, soalnya mereka deket banget. Farhan juga sering jemput kakak kamu main pakai mobil. Terus ya, gayanya Farhan itu kalau jemput kakak kamu necis banget. Pakaiannya bersih, wangi, pokoknya ganteng bangetlah. Kedekatan mereka rasanya aneh. Mama lihat Farhan suka ngirim kode lewat tatapan mata ke kakak kamu. Terus, tiap pulang main, mobilnya Farhan pasti berhenti lama-lama di depan rumah. Mama jadi pingn tahu apa yang mereka lakuin di dalam mobil.'"
Aku menelan ludah. Ketakutanku menjadi nyata. Perbuatan kamilah yang membuat Mama berpikiran seperti itu. "Aku nggak tahu harus gimana, De. Aku bingung. Aku nggak mungkin nyuruh Farhan berhenti menunjukkan kasih sayangnya ke aku."
Dea sepertinya paham dilema yang kurasakan. Dia mengangguk penuh pemahaman. "Kak Dino belum ngasih tahu Kak Farhan?"
Aku menggeleng. "Belum sempat. Tapi aku pasti bakal ngasih tahu Farhan."
Dea mengangguk. "Aku pasti dukung Kak Dino. Maksudku, kalau seandainya Mama tahu Kakak gay, aku berusaha untuk bersikap netral tanpa ikut memojokkan Kak Dino. Tapi aku juga nggak mau menentang Mama. Aku hanya akan bersikap netral."
Sekarang aku yang mengangguk penuh pemahaman. Dea memang nggak bisa dan nggak boleh memihak siapa pun. Kalau dia memihak Mama, itu artinya dia harus memisahkan kami. Tapi kalau dia memihak kami, itu artinya dia harus menentang Mama dan jadi anak yang kurang ajar. Dua-duanya bukan pilihan bagus.
Keheningan di antara kami hanya sebentar saja karena beberapa saat kemudian Dea berbisik, "Aku tahu Kak Dino masih meragukan Kak Bimo."
Akhirnya topik ini naik juga ke permukaan. Aku sudah lama ingin bertanya pada Dea apa yang dilihatnya dari Bimo. "Aku tahu sahabatku, De. Aku tahu buruknya dia."
"Tapi apa Kak Dino tahu baiknya dia?"
"Ya tahu. Kalau dia nggak baik, mana mungkin aku mau temenan sama dia, kan? Enam tahun, pula!" kataku, bangga. Memang membanggakan kok punya teman sejati seperti Bimo. Walaupun dia suka bercanda dan kadang-kadang konyol, tapi sesungguhnya dia sahabat yang setia kawan.
"Bukan Kak Bimo yang mainin perasaan cewek-cewek itu," kata Dea tiba-tiba bahas ini. "Tapi justru sebaliknya."
Aku menggeleng. "Nggak mungkin. Bimo yang bilang sendiri kok kalau dia yang mutusin cewek-cewek itu karena dia nggak suka sama mereka."
Dea menatap mataku dalam-dalam. "Kak Bimo bilang kayak gitu karena dia gengsi, Kak. Apa Kakak nggak bisa bedain mana yang gengsi dan mana yang cerita sesungguhnya? Walaupun aku nggak mengenal Kak Bimo sebaik Kakak, tapi paling nggak Kak Bimo jujur tentanf isi hatinya ketika dia ngobrol denganku." Dea diam sebentar, seperti sedang menunggu responsku. Tapi karena aku nggak merespons, dia melanjutkan. "Pacar terakhir Kak Bimo, Merry namanya. Kakak kenal dia, kan?" Aku mengangguk mengiyakan. "Tapi apa Kakak tahu alasan mereka putus?"
Aku nggak menjawab karena nggak tahu harus jawab apa. Nyatanya, aku tahu, tapi juga nggak tahu. Yang jelas, saat aku bertanya tentang Merry ke Bimo, dia cuma menjawab sudah putus, nggak penting lagi dibahas. Waktu itu aku nggak menanyakan lebih lanjut karena menurutku alasannya pasti sama saja: Bimo nggak mau serius pacaran dengan perempuan itu.
"Mereka putus karena Merry nggak suka sama fisik Kak Bimo yang gendut."
Aku diam.
"Kalau Kakak pikir selama ini Kak Bimo yang mutusin dan mainin perasaan perempuan-perempuan itu, Kakak salah besar. Justru Kak Bimolah yang dimainin dan disakitin sama perempuan-perempuan itu. Nggak cuma sekali kok Kak Bimo diputusin cewek cuma gara-gara badannya yang gendut."
Aku masih diam.
"Intinya, semua yang Kak Bimo ceritain ke Kakak itu bohong. Dia nggak pernah mainin perasaan cewek. Kak Bimo justru cowok yang paling menghormati perasaan cewek. Selama aku mengenalnya, nggak pernah sekalipun Kak Bimo berniat menggodaku. Pendekatannya ke aku justru sangat mulus dan tahu-tahu aku nyaman sama Kak Bimo."
Aku diam karena aku menunggu Dea selesai bicara.
"Aku nggak pernah ketemu cowok sebaik Kak Bimo, Kak. Dia benar-benar cowok yang lucu, bijaksana, dan cerdas. Sumpah, awalnya aku pikir Kak Bimo yang bakal jatuh cinta padaku. Tapi justru akulah yang jatuh cinta padanya. Aku nggak peduli dia gendut, sumpah kalau nggak gendut, Kak Bimo pasti ganteng."
Aku mengangguk, setuju. Aku sudah ratusan kali mengatakan dalam hati bahwa apabila tubuh Bimo agak langsingan dikit, dia pasti ganteng. Dan aku mungkin akan menyukainya juga.
"Kakak mungkin masih meragukan perasaan Kak Bimo ke aku, tapi aku bisa memastikan bahwa Kak Bimolah yang terbaik untuk hidupku. Karena kapan lagi coba aku bisa menemukan cowok sebaik dan sehormat Kak Bimo, yang ketakutan terbesarnya adalah menyakiti perasaan cewek?"
Aku nggak bisa tinggal diam sekarang. "Tapi dia sering gatel sama cewek-cewek di sekolah, Dea." Entah kenapa aku malah membeberkan kejelekan Bimo. Hanya saja, masih ada bagian diriku yang masih belum rela Dea harus merajut kasih dengan Bimo.
"Gatel sama cewek wajar kan, Kak? Kak Bimo juga kan nggak punya pacar, jadi apa salahnya dia godain cewek-cewek? Toh, Kakak sendiri juga tahu, selama ini Kak Bimo selalu godain cewek-cewek itu, tapi apa dia pernah berhasil mendapatkan salah satu di antara mereka?"
Kata-kata Dea melemparku kembali ke dalam kelas, ketika Bimo hampir setiap hari selalu mengeluh, "Sialan, gue godain cewek itu, tapi kok dia susah banget ya dibuat ngelirik ke gue?" Ketika dia mengatakan ini, aku menangkap sebuah nada dalam suaranya. Bukan nada jengkel ataupun kesal, tapi lebih seperti nada mengasihani diri sendiri. Aku sudah terlalu bosan mendengar keluhannya yang hampir setiap hari, jadi aku nggak terlalu menanggapinya. Dan sekarang, entah kenapa aku menyesal karena nggak pernah peduli dengan perasaan Bimo yang sesungguhnya.
"Intinya, Kak Bimo itu yang terbaik. Aku nggak tahu apakah di luar sana masih ada orang kayak Kak Bimo yang mau mencintaiku dengan setulus hati."
"Sejak kapan?" Aku nggak bisa mencegah diriku untuk bertanya.
"Sejak Kak Dino jadian sama Kak Farhan. Ingat, nggak? Waktu itu Kak Bimo ikut sarapan bareng kita, dan Mama nyuruh Kak Bimo makan salad buah?"
Aku mengangguk, ingat. Itu adalah adegan di bab pertama cerita Kamu & Aku #2. Saat itu Farhan menyuruhku berangkat sekolah bareng Bimo, jadi Bimo datang ke rumah untuk menjemputku, dan Mama menyuruhnya ikut sarapan bareng kami.
"Waktu itu Kak Bimo duduk di sebelahku, kan? Nah, dari situ tiba-tiba aku merasa nyaman duduk di sebelah Kak Bimo. Dia wangi, Kak. Parfumnya enaaaaak banget dihirup. Selain itu, Kak Bimo juga kelihatan manis dan lucu. Entah kenapa, aku merasa benar-benar suka Kak Bimo hari itu." Dea tersenyum, matanya menerawang jauh ke angan-angan. "Dua hari kemudian Kak Bimo minta nomor WA-ku di Instagram, jadi aku kasih. Setelah itu Kak Bimo curhat tentang hubungannya yang baru saja diputusin Merry, dan setelah itu kami mulai sering WA-an, lalu jalan, lalu ... aku sadar bahwa aku nyaman sama Kak Bimo, dan Kak Bimo pun kayaknya nyaman sama aku."
Aku berusaha menahan diri untuk nggak tersenyum lebar. Mendengar cerita Dea nggak lagi membuatku kesal, tapi membuatku bahagia. Seperti ketika aku melihat binar-binar cinta di mata Bastian, sekarang aku juga melihat binar-binar itu di mata Dea. Adikku sedang jatuh cinta. Adikku sedang menjalani masa pubertasnya.
"Jadi selama ini kalian WA-an dan sering ketemuan, tapi nggak pernah cerita ke aku?" Aku pura-pura jengkel, tapi nggak terlalu serius, sih.
"Kak Bimo yang minta, Kak," jawab Dea. "Dia belum siap kalau Kak Dino harus tahu. Katanya, kalau Kak Dino sampai tahu, Kakak pasti bakalan marahin dia."
Memang. Kalau aku tahu Bimo sering ngajak jalan adikku, aku pasti akan memarahinya. Tapi, aku juga nggak yakin untuk alasan apa aku marah? Apakah karena aku sahabat yang tahu semua keburukannya? Tapi toh, kenyataannya aku nggak mengenal Bimo sebaik yang aku kira. Masih ada rahasia tentang Bimo yang nggak aku tahu sama sekali. Mungkin Dea benar. Mungkin Chika juga benar. Selama ini, ternyata aku nggak terlalu mengenal baik orang-orang terdekatku. Karena faktanya ada banyak hal tentang Bimo dan Farhan yang belum aku tahu semuanya. Bukan salah mereka, tapi salahku sendiri yang nggak mau tahu dan nggak mau peduli dengan mereka.
"Kalian udah jadian?"
Saat Dea ingin menjawab pertanyaanku, Bimo tiba-tiba menerobos masuk. Farhan juga ikut masuk di belakangnya. "Ngobrolnya lama banget, sih. Bete tahu, nunggu di luar sambil ngobrol bareng Farhan. Nggak ada camilan pula. Gue masih pingin makan pizza." Bimo menggerutu sambil duduk di sofa dan memakan lagi pizza-nya.
Dea tertawa, kemudian dia bangkit dari sebelahku dan duduk di sebelah Bimo yang makan pizza dengan rakus seperti orang yang nggak makan berbulan-bulan. Dea mengambil tisue di atas meja, lalu mengelap mulut Bimo yang belepotan saus. Bimo tersenyum lembut ke Dea, lalu menyuruh Dea menggigit sedikit pizza yang ada di tangannya—atau dengan kata lain, Bimo menyuapi pizza ke Dea!
Kali ini aku nggak akan pura-pura batuk untuk memisahkan mereka. Kubiarkan mereka menikmati manisnya kemesraan yang sedang mereka lakukan. Karena sekarang aku yakin pada sahabatku. Aku bisa melihat binar-binar cinta itu tampak jelas di mata Bimo. Dan itu cukup untuk membuatku yakin bahwa memang Bimolah yang terbaik untuk Dea.
Bandar Lampung, 8 Januari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top