Empat Puluh Dua

"You're everything I want, but I can't deal with all your love." — The Walters, I Love You So


MALAM Minggu akhirnya tiba, dan kami pun gugup. Well, sebenarnya cuma aku yang gugup. Farhan terlihat tenang dan santai-santai saja. Dia bahkan bisa bersiul riang sambil memutar setir dengan santai ketika mobil memasuki area parkir Mal Boemi Kedaton. Kami parkir di basement, dan setelah mesin dimatikan, kegugupanku makin menjadi-jadi.

"Aku nggak yakin ini ide bagus," kataku setelah keluar dari mobil.

"Kenapa nggak bagus?"

"Karena kita bakal ketemu segerombolan perempuan yang ngefans sama kita," kataku. "Aku nggak pernah suka kalau harus berhadapan dengan perempuan sebanyak itu."

Malam ini, seperti yang sudah dijadwalkan Dayena, kami akan ketemuan dengan para Fujoshi Lampung yang jumlahnya kurang lebih dua belas orang. Bisa dibayangkan? Dua belas perempuan yang menyukai romantisme di antara dua orang lelaki. Dayena bilang malam ini kami akan ditraktir, semua biaya ditanggung mereka, jadi kami hanya perlu datang, duduk, tersenyum ke mereka, menyapa mereka, menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, foto bareng mereka, dan setelah itu kami boleh pergi. Kami hanya harus memuaskan nafsu Fujoshi mereka, itu saja. Dan itulah yang membuatku gugup. Aku takut nggak bisa memuaskan nafsu mereka.

"Santai aja kali, Din," kata Farhan, membenarkan kerah kemejaku yang terlipat nggak rapi. "Aku udah searching di Internet tentang Fujoshi, dan sebagian besar blog mengatakan bahwa mereka itu friendly. Salah satu situs web bahkan ada yang menulis bahwa Fujoshi itu harapan terakhir para gay agar bisa diterima oleh masyarakat. Dan kalau kita mau hubungan kita diterima oleh masyarakat, maka kita harus bersikap ramah sama Fujoshi-Fujoshi ini."

Kuembuskan napas untuk menenangkan diri. Ketakutan berlebihan ini nggak ada gunanya karena ketika gugup keringat keluar lebih banyak dari tubuhku dan membasahi bagian belakang kemejaku. Kalau aku nggak berhenti gugup sekarang, kemejaku pasti akan basah kuyup. Dan bakal lebih memalukan lagi bertemu Fujoshi dengan kemeja basah kuyup dan penampilan berantakan.

Starbucks Mal Boemi Kedaton ramai sekali malam weekend begini, tapi untungnya Dayena berdiri dan melambaikan tangan sambil tersenyum lebar sehingga kami langsung bergegas menghampiri mereka.

Hal pertama yang aku lakukan setelah sampai di meja mereka adalah menghitung jumlah Fujoshi yang ada di situ. Bukan dua belas orang, tapi tujuh belas! Gila, lebih banyak dari yang dibilang Dayena. Tujuh dari tujuh belas cewek itu memakai hijab, sementara yang lainnya membiarkan rambut mereka tergerai rapi di punggung. Tapi ada satu cewek yang berambut cepak dan berpotongan seperti lelaki. Dan belakangan baru aku tahu bahwa yang berambut cepak itu adalah lesbian.

"Hai Kak Din, Kak Farhan." Dayena menyapa setelah kami duduk di kursi yang sudah mereka siapkan untuk kami. Kursi kami terlihat sangat mewah dan spesial karena posisinya yang menghadap ke mereka semua.

Yang selanjutnya terjadi adalah tujuh belas perempuan Fujoshi itu mulai memperkenalkan diri mereka satu per satu. Ketika orang terakhir dari kumpulan Fujoshi itu memperkenalkan diri, aku sudah mulai pusing karena harus mengingat nama dan wajah-wajah mereka.

"Untuk menunjukkan keantusiasan kami dalam mendukung hubungan Kak Farhan dan Kak Dino," Dayena angkat bicara setelah semua teman-temannya selesai memperkenalkan diri, "tulisan yang ada di gelas minuman kami sengaja kami tulis dengan nama 'FarDin'."

Aku dan Farhan mengangkat gelas minuman kami yang sudah disiapkan oleh mereka sebelum kami datang, dan benar ada tulisan FarDin di sana. Kami bertukar pandang sejenak, bingung dan heran.

Menangkap tatapan heran kami, Dayena menjawab, "FarDin itu singkatan dari Farhan dan Dino. Mulai sekarang, kami bertujuh belas ini akan jadi Team FarDin."

"Aku nggak ngerti," aku menggeleng-geleng.

"Ya ampun," kata Fujoshi berambut panjang sepunggung yang kalau nggak salah namanya Jule, "Kak Dino bener-bener lucu, ya? Aku gemes ih sama uke satu ini."

"Uke itu apa, sih?" tanyaku, polos.

Sebagian Fujoshi menggeram gemas sambil memukul-mukul meja dengan pelan. "Ih, makin gemesin ya Kakak satu ini, bener-bener uke sejati idaman hati. Kak Farhan pasti bahagia deh punya uke kayak Kak Dino yang ganteng, lucu, polos, gemesin juga. Kyaaaah."

"Uke itu artinya Bottom, Kak," jawab Sasiwi, perempuan lesbian yang berambut cepak tadi.

Aku menatap ke mereka semua, lalu menatap ke Farhan. Pacar gantengku itu cuma angguk-angguk sambil tersenyum geli. "Kamu tahu arti uke?" tanyaku, menyipit curiga.

Farhan mengangguk sambil senyum-senyum jail. "Tahu," jawabnya. "Aku kan udah bilang, aku udah searching di Internet tentang Fujoshi dan segala jenis hal yang berhubungan dengan mereka."

"Kenapa kamu nggak bilang ke aku, sih?" kataku, merengut kesal karena rasanya memalukan terlihat bodoh di hadapan perempuan-perempuan Fujoshi ini.

"Maaf, ya," ucap Farhan sambil mengacak rambutku dengan sayang. "Nanti kalau udah di rumah aku kasih tahu, deh," lalu tangannya yang mengacak rambutku turun untuk mencubit pipiku.

Bersamaan dengan cubitan Farhan di pipiku, suara jepretan kamera terdengar di sana-sini. JPRET! JPRET! JPRET! Farhan segera melepas cubitannya, dan kami mendapati Fujoshi-Fujoshi itu tengah memegang hape mereka yang diarahkan ke kami. Mereka tersenyum gemas sambil memandangi layar hape mereka yang aku yakin berisikan fotoku dan Farhan yang tadi mereka ambil.

"Iiiihh, so sweeeeet," ucap salah seorang Fujoshi yang aku udah lupa siapa namanya.

"Gila, beneran romantis banget, anjirrrr, Kak Farhan juga kelihatan sayang banget sama uke-nya," kata Sasiwi.

"Aku bakal pingsan kalau lama-lama harus melihat mereka kayak gitu," ujar Fujoshi berhijab yang mukanya mulai memerah.

"Aku juga. Kayaknya aku mau mimisan." Ini Fujoshi berhijab lain yang bicara.

"Ya ampun, gue penasaran gimana kalau mereka berdua ML, ya? Pasti Kak Farhan hot banget di kasur, dan Kak Dino mendesah nikmat banget di bawah tubuhnya Kak Farhan," celetuk seorang Fujoshi yang kayaknya berotak mesum.

Lalu setelah Fujoshi mesum itu mengucapkan kalimatnya, teman-temannya yang lain diam sambil berpikir. Aku nggak mau menebak apa yang mereka pikirkan, walaupun aku yakin mereka pasti sedang membayangkan aku dan Farhan lagi ML. Ew! Dasar perempuan- perempuan nggak sopan! Itu kan urusan kami, ngapain kalian bayangin, sih?

"Kak Dino," kata Dayena, sementara teman-temannya mulai tertawa-tawa sok cantik setelah selesai dengan pikiran mereka. "Makasih ya udah mau dateng ke sini. Tadinya aku kira Kak Dino nggak jadi dateng karena sikap aku yang waktu itu terlalu berlebihan."

Memang. Tadinya aku malas banget mau datang ke sini karena dari awal aku sudah malas dengan si Dayena ini. Tapi karena Farhan yang baik hati dan tidak sombong itu maksa aku untuk datang menemui mereka, ya sudah deh akhirnya aku datang dan menemui mereka. Ternyata, bertemu Fujoshi nggak seburuk yang aku kira. Si Dayena boleh berlebihan ketika pertama kali bertemu denganku, dan bahkan dia pingsan ketika ingin bertemu Farhan, tapi sekarang dia nggak lagi begitu. Si Dayena jelas satu-satunya Fujoshi yang tampak tegar di antara teman-temannya yang lain.

"Nggak masalah," kata Farhan, menjawab ucapan Dayena. "Kami justru senang bisa ketemu kalian." Farhan tersenyum manis, yang membuat Dayena jadi geregetan.

"Ya ampun Kak Farhan kalau senyum ganteng banget, sih," puji Dayena, yang membuat teman-temannya langsung ikut nimbrung menoleh ke arah kami.

"Kak Farhan coba cerita dong gimana awalnya Kak Farhan bisa ketemu Kak Dino," kata Fujoshi berhijab yang mempunyai tahi lalat di atas bibir sebelah kirinya.

Farhan tersenyum sambil menjawab, "Awal ketemu Dino waktu kami tabrakan di lorong sekolah. Itu adalah hari pertamaku di sekolah itu, dan waktu ketemu Dino aku langsung merasa bahwa dia inilah yang spesial." Farhan merangkulku sambil mengusap pipiku lembut. Fujoshi-Fujoshi itu megap-megap mencari udara.

Aku mengangguk. "Bisa dibilang kami sama-sama jatuh cinta pada pandangan pertama." Lalu aku terkikik geli karena rasanya aneh mengucap kalimat ini.

"Pasti menyenangkan ya bisa mendengar kisah cinta kalian," kata Fujoshi bernama Desi, yang aku ingat namanya karena dia punya bekas luka di bawah dagunya.

"Kenapa kisah kalian nggak dijadikan cerita aja?" tanya salah seorang Fujoshi yang duduk paling belakang. "Dibuat novel, gitu?"

Ide bagus, pikirku. Tapi, aku kan nggak tahu gimana caranya membuat novel. Maksudku, aku bisa menulis, waktu SMP aku sering kok ikut lomba menulis puisi dan cerita pendek. Masalahnya, kalau aku sudah menulis kisah cinta kami, lalu bagaimana caranya supaya ceritaku itu dibaca orang lain?

"Iya, kenapa nggak ditulis aja di Wattpad?" kata salah seorang Fujoshi di belakang Sasiwi.

"Wattpad?" Aku mengerutkan kening.

Fujoshi tadi menjelaskan, "Itu aplikasi kepenulisan terbesar yang pernah aku tahu. Di sana kita bisa nulis cerita, baca cerita, atau ngobrol bareng penulisnya. Begitu, Kak."

Tiba-tiba aku merasa tertarik dengan Wattpad itu. "Bisa di-download di App Store?"

"Bisa. Di App Store, Play Store, semuanya ada. Kak Dino coba deh kalau memang tertarik. Siapa tahu Kak Dino punya minat bikin cerita tentang kisah cinta kalian."

Ketertarikanku pada Wattpad semakin menjadi-jadi. "Aku mau download sekarang." Kubuka App Store, dan ku-download aplikasinya.

Selagi menunggu download selesai, Farhan berkata di sebelahku, "Iya Din, coba buat cerita tentang kita, dengan kamu dan aku sebagai karakter utamanya."

Aku tersenyum ke Farhan. Semua Fujoshi itu tersenyum ke Farhan.

"Kami bakal jadi orang pertama yang baca cerita Kak Dino kalau memang cerita itu ada di Wattpad," kata Desi. "Dan aku serius nggak sabar pingin banget tahu kisah cinta kalian."

Tiba-tiba senyumku jadi lebih lebar. Bukan cuma ke Farhan, tapi juga ke Fujoshi-Fujoshi itu. Farhan benar, ternyata Fujoshi nggak semengerikan yang aku kira. Mereka justru sangat friendly. Memang sih mereka agak annoying kalau sudah bertanya ke hal-hal yang menjurus ke sesuatu yang lebih intim, seperti misalnya si Jule yang tiba-tiba bertanya kapan pertama kali kami melakukan ML? Atau si Icha yang bertanya gimana rasanya ciuman dengan Kak Farhan yang bibirnya merah dan seksi itu? Pasti nikmat, ya, tambah si Ichabe-cabean. Aku mengerutkan kening karena pertanyaannya itu seolah-olah menyiratkan keinginannya untuk mencicipi bibir Farhan. Dan satu lagi si Tika Lagi—aku menyebutnya Tika Lagi karena dia Tika kedua yang memperkenalkan diri setelah Tika yang pertama—bertanya bagaimana rasanya ketika pertama kali Kak Farhan memecahkan lubang perjakaku? Pertanyaannya membuat Farhan tertawa terbahak-bahak, tapi aku merengut kesal.

Untungnya saat itu suasana hatiku lagi bagus, jadi kujawab pertanyaan-pertanyaan mereka tanpa kekesalan sama sekali. Aku bahkan sambil memandangi bentuk bibir Farhan yang sempurna ketika menjawab pertanyaan Icha. Dan nggak peduli dengan Icha yang sepertinya mau pingsan karena mukanya sudah sangat merah, aku mengusap bibir Farhan dengan jari-jariku sehingga membuat Farhan agak mendesah pelan, dan itu malah membuat para Fujoshi di sekitar kami tampak gelisah.

"Anjiiiiirrr," kata Sasiwi, yang sepertinya suka banget ngomong 'anjir'. "Gue beneran gemes sama mereka berdua ini."

"Aku pingin banget lihat kalian berdua ciuman," kata Icha, menggigit bibirnya sendiri.

Fujoshi yang lain juga menggigit bibir sambil sesekali memukul-mukul punggung, dada, atau lengan temannya karena geregetan.

Sesi tanya jawab itu benar-benar membuatku pusing. Hampir setiap Fujoshi menanyakan pertanyaan yang berbeda. Satu Fujoshi bisa menanyakan 4 pertanyaan sekaligus, yang membuatku tiba-tiba lelah dan bosan dengan pertanyaan-pertanyaan mereka. Akhirnya aku menyerah, duduk bersandar ke punggung kursi, meminum latte-ku, dan mendengarkan Farhan yang sedang menjawab pertanyaan-pertanyaan para Fujoshi itu. Semua pertanyaan mereka memang selalu berputar pada hubungan dan kisah cinta kami, dan ketika aku memutuskan untuk nggak lagi mendengarkan pertanyaan mereka dan berniat membuka iPhone-ku, tiba-tiba ada sebuah pertanyaan yang membuatku kembali fokus ke para Fujoshi itu.

"Gimana dengan orangtua Kak Dino dan Kak Farhan? Apa mereka tahu tentang hubungan kalian?"

Aku nggak tahu siapa yang menanyakan ini, tapi yang jelas Farhan agak kesulitan menjawab pertanyaan itu. Matanya dipenuhi keraguan dan kekhawatiran, dan aku buru-buru mengambil telapak tangannya, menggenggamnya dengan lembut sambil tersenyum menenangkan padanya. Inilah saatnya aku menjawab. "Mereka belum tahu. Dan kami masih belum mau untuk memberitahu mereka, karena kami yakin mereka pasti nggak akan bisa menerima hubungan kami," jawabku, tapi nggak menatap para Fujoshi itu. Mataku menatap ke dalam mata Farhan yang teduh seperti tetesan embun di pagi hari. "Tapi kami bakal melakukan yang terbaik untuk bisa diterima oleh mereka."

Hening di meja kami. Kami biarkan suara orang-orang yang duduk di sekitar kafe Starbucks ini mengisi keheningan di antara kami. Nggak ada satu pun Fujoshi-Fujoshi itu yang berniat membuka suara. Aku dan Farhan juga masih saling menatap, tersenyum, saling menguatkan. Orangtua kami adalah satu hal pasti yang harus kami hadapi kalau masih ingin mempertahankan hubungan ini. Biarpun dia nggak mengatakannya, tapi dengan melihat ke dalam matanya saja aku tahu bahwa Farhan juga sebenarnya gelisah. Kami berdua sama-sama gelisah memikirkan bagaimana caranya mempertahankan hubungan ini tanpa harus mengecewakan orangtua kami?

"Oke, yang tadi itu sangat sensitif," Dayena angkat bicara setelah beberapa menit lamanya kami terdiam. "Pertanyaan selanjutnya, siapa lagi yang mau nanya ke Kak Dino dan Kak Farhan? Mumpung mereka masih ada di sini, loh. Real gay couple ada di hadapan kita, jadi nggak boleh disia-siakan. Ayo, siapa lagi?"

"Kak Farhan bahagia nggak pacaran sama Kak Dino?" Seorang Fujoshi berhijab bertanya.

Farhan menjawab dengan mantap dan tanpa keraguan sama sekali, "Jelas aku bahagia." Dia memandangi wajahku. "Melihat Dino tersenyum aja merupakan kebahagiaan terbesar dalam hidupku."

Beberapa Fujoshi mendesah sambil berkata, "Aaaahhhh ... romantis bangeeets."

"Kak Dino juga bahagia sama Kak Farhan?" Fujoshi lain bertanya padaku.

"Kalau nggak bahagia, nggak mungkin aku masih bersama Farhan sampai saat ini."

Jawabanku mungkin jawaban paling garing yang pernah didengar oleh mereka. Tapi, biarlah. Terdengar gumaman setuju dari beberapa Fujoshi, sebelum akhirnya salah seorang Fujoshi berkata, "Selama kalian pacaran, ada nggak hal atau sesuatu yang membuat Kak Farhan sedih? Maksudku, apa Kak Farhan pernah nangis untuk Kak Dino?"

Farhan diam sebentar, entah sedang berpikir atau mempertimbangkan untuk mengabaikan pertanyaan itu. Jelas bahwa Farhan pernah menangis untukku, yaitu saat aku pernah hampir membuat hubungan kami putus hanya gara-gara aku nggak bisa move on dari kematian Lendra.

"Kayak yang tadi aku bilang," jawab Farhan, "aku bahagia bersama Dino, dan cuma dengan melihatnya tersenyum pun sudah merupakan kebahagiaan terbesar dalam hidupku. Jadi, kalaupun aku menangis untuk Dino, itu adalah tangis karena bahagia. Karena aku nggak pernah sekalipun merasa sedih ketika aku sedang bersamanya. Dino adalah sumber kebahagiaanku yang paling besar di dunia ini." Sambil mengucapkan ini, Farhan mencium punggung tanganku dengan lembut, yang membuat wajah Fujoshi-Fujoshi itu memerah.

Aku tersenyum penuh haru, dan air mata menggenang di pelupuk mataku saking terharunya aku mendengar kata-kata Farhan. Nggak diragukan lagi. Cintanya untukku nggak perlu diragukan lagi. Selama ini, sejak kami resmi pacaran malam itu, Farhan nggak pernah sekalipun membuatku kecewa. Dia nggak pernah sekalipun membuatku sedih. Dia justru malah ingin selalu membuatku bahagia bersamanya. Mulai dari awal pacaran, Farhan selalu meneleponku setiap pagi, mengucapkan kata-kata selamat pagi dan semangat menjalani harimu hari ini, semoga harimu menyenangkan. Kemudian dia juga selalu bilang Love you padaku, yang mana setiap satu kata Love you yang dia ucapkan itu menandakan cintanya yang semakin kuat padaku. Lalu Farhan juga membawaku berlibur ke Pulau Kelagian, tujuannya hanya untuk menghiburku, membuatku bahagia, dan supaya aku nggak sedih lagi tentang Lendra. Kami bernyanyi di ujung dermaga kecil Pulau Kelagian pada malam hari yang dingin dan ditemani suara ombak yang memecah lembut di dermaga di bawah kaki kami. Di sana, di ujung dermaga itu, Farhan memelukku, menciumku di bawah cahaya ribuan bintang, membiarkanku mendengar detak jantungnya yang menenangkan, dan berakhir dengan bercinta di atas pasir putih yang halus dan membuatku nyaman. Semua itu ... bukankah itu cukup untuk membuktikan bahwa dia benar-benar mencintaiku, dan nggak ada sedikit pun keinginannya untuk meninggalkanku? Bahkan ketika aku menolak pelukan dan juga kasih sayang yang diberikannya waktu itu hanya karena aku merasa terpukul dan terluka atas kematian Lendra, Farhan nggak pernah meninggalkanku. Dia tetap ada di sampingku, menjagaku, memelukku, mencintaiku sama besarnya dengan cinta yang pernah dia berikan padaku selama ini. Dia nggak pernah menyerah untuk memperjuangkanku, membahagiakanku. Dia yang terbaik dalam hidupku.

Tapi, apakah aku yang terbaik dalam hidupnya?

Saat kuulang kembali kenangan-kenangan yang telah kami lewati, aku mendapati nggak ada satu pun perbuatanku yang menunjukkan bahwa aku nggak ingin meninggalkannya. Selama ini aku selalu ngambek padanya, membuatnya meminta maaf padaku, memaksanya agar bisa mengerti aku. Selama ini aku ingin dimengerti, tapi aku nggak pernah berusaha untuk mengerti dia. Lalu ketika Farhan ngajak aku ke Pulau Kelagian yang mana liburan itu adalah hadiah darinya untuk montversary kami yang kedua bulan, bukannya ingat bahwa hari itu adalah hari jadi hubungan kami, aku malah melupakannya dan malah menyalahkan Farhan karena apa yang terjadi pada Lendra. Lalu kami bertengkar, kusemprotkan semua ketakutanku padanya, semua ketakutanku akan dipisahkan darinya, yang membuatku nggak bisa berpikir bahwa seharusnya kami nggak peduli dengan apa yang terjadi pada kami. Pada saat itu, akhirnya Farhan yang meminta maaf dan menyalahkan dirinya sendiri. Farhan nggak pernah menyalahkanku, bahkan ketika aku menolak pelukannya pun dia nggak pernah menyalahkanku. Tapi, aku selalu menyalahkannya. Ini yang membuatku merenung bahwa mungkin aku memang bukan yang terbaik untuk Farhan. Aku nggak pernah bisa jadi yang terbaik untuk Farhan. Aku hanya akan jadi orang yang salah untuk Farhan.

Tanpa sadar, air mataku menetes. Aku nggak tahu sejak kapan air mataku mulai menetes. Yang jelas, saat Farhan mengusapkan jarinya ke pipiku, kurasakan ada air yang mengalir di sana. Aku segera mengerjapkan mata dan menghapus air mata itu dengan cepat.

Beberapa Fujoshi ternyata ikut terharu. Mereka menghapus air mata juga dari mata mereka. "Kalian benar-benar saling mencintai, dan cinta kalian benar-benar kuat. Aku bisa melihat itu di mata kalian," kata Dayena, sambil mengusap pipinya yang basah.

Aku ragu apa yang dikatakannya itu benar, sebab aku nggak tahu apakah cintaku ke Farhan sama kuatnya dengan cintanya untukku. Cinta Farhan untukku memang nggak bisa diragukan lagi. Tapi bagaimana dengan cintaku kepadanya?

"Jangan khawatir, Dino," kata Farhan, tersenyum. Dilihat dari sorot matanya, sepertinya dia bisa menebak apa yang jadi penyebab tangisanku. "Aku beneran cinta sama kamu, dan nggak peduli apa pun yang kamu lakukan padaku, aku akan tetap mencintaimu."

Fujoshi-Fujoshi itu membantu Farhan menenangkanku, sementara aku sedang berjuang menahan air mataku supaya nggak tumpah lebih banyak lagi. Air mataku ini terdiri dari campuran air mata bahagia dan penyesalan. Bahagia karena Farhan masih mencintaiku sebesar dia mencintaiku dulu, dan menyesal karena selama ini aku nggak pernah mampu membalas cintanya yang sangat besar itu. Tapi, aku bertekad untuk melakukan yang terbaik. Aku ingin jadi yang terbaik untuk Farhan dengan melakukan yang terbaik untuknya.

Setelah cukup tenang dan air mataku sudah nggak mendesak ingin keluar, Sasiwi berkata, "Kami di sini untuk mendukung kalian, Kak FarDin."

Yang lain mengangguk. "Kami Team FarDin akan terus mendukung kalian," kata mereka, nyaris secara bersamaan, membuat kulitku merinding karena keteguhan hati mereka untuk mendukung hubunganku dan Farhan.

Akhirnya, setetes air mata jatuh lagi dari mataku. Aku menangis lega karena ternyata aku nggak sendirian. Selama ini kami nggak pernah sendirian. Ada banyak orang yang akan mendukung kami, menyemangati kami, berdiri di belakang kami. Selama ini aku salah, aku selalu salah. Seperti Lendra, yang aku kira dia nggak pernah setuju dengan hubungan kami, tapi ternyata dia mendukung kami dengan cara membuatkan lukisan wajah kami dan mendoakan kami. Lalu ada Dea, yang aku pikir dia nggak suka melihat aku dan Farhan pacaran, tapi ternyata dia juga mendukung kami dengan cara menolak berjabat tangan dengan Egy yang membenci kami. Dan terakhir ada Dayena, si Fujoshi ini yang awalnya aku yakin aku membencinya karena dia terlalu mengganggu dan berlebihan menyikapi hubunganku dan Farhan, tapi ternyata justru dialah yang paling bersemangat mendukung kami. Selama ini, orang yang aku kira nggak pernah menyetujui hubungan kami, justru malah mereka yang berada di urutan pertama daftar orang-orang yang membela hubungan kami.

"Kami rasa cukup itu aja pertanyaan kami," kata Fujoshi bernama Mei Yuniken, yang sepanjang ingatanku dialah satu-satunya Fujoshi yang nggak pernah melontarkan satu pun pertanyaan pada kami. "Terima kasih untuk waktunya, Kak FarDin."

Farhan tersenyum sambil masih menggenggam tanganku. "Sama-sama. Kami justru senang bisa ketemu kalian."

Setelah itu, Fujoshi-Fujoshi itu mengajak kami foto bareng untuk mereka upload di forum FICL—Fujoshi Indonesia Chapter Lampung. Akhirnya kami foto, deh. Aku sudah menghapus air mataku dan memasang senyum terbaikku. Farhan terus merangkulku sepanjang kami foto bersama mereka. Dan di dua foto terakhir, Farhan mencium pipiku, yang membuat Fujoshi-Fujoshi itu megap-megap mencari napas karena terlalu shock dengan sentuhan bibir Farhan di pipi mulusku. Salah seorang Fujoshi bahkan nggak bisa bangkit dari kursinya karena kebahagiaan melihat Farhan mencium pipiku membuatnya lumpuh sejenak, begitu katanya.

Tapi kebahagiaan Fujoshi-Fujoshi itu nggak ada apa-apanya dibandingkan kebahagiaanku dan Farhan. Senyuman nggak mau lepas dari wajah kami, lengan Farhan nggak mau lepas dari leherku, dan tangan Farhan yang satunya lagi menggenggam tanganku dengan sangat erat dan kuat. Ini kisah cinta kami, yang didukung oleh Fujoshi- Fujoshi ini.

Ketika kami membubarkan diri dari Starbucks, jam ternyata sudah menunjuk ke angka 10. Nggak kerasa ternyata sudah malam, padahal rasanya seperti baru beberapa menit. Aku nggak nyangka ternyata aku menikmati pertemuanku dengan para Fujoshi yang awalnya aku pikir akan membosankan bertemu dengan mereka. Tapi sekali lagi harus kukatakan bahwa aku salah. Aku selalu salah.

Pukul setengah sebelas malam mobil Farhan sampai di depan gerbang rumahku. Aku sudah nyaris tertidur ketika Farhan mematikan mesin mobil. Dan karena Farhan mematikan mesin, aku tahu artinya dia ingin memeluk dan menciumku dulu di sini. Jadi, tanpa dia minta, aku sudah lebih dulu menyambar bibirnya. Kulumat bibirnya yang tipis dan berwarna pink alami itu, dan kuusapkan jari-jariku di rambutnya yang halus.

"Aku sayang kamu, Farhan," bisikku setelah ciuman kami terlepas.

"Aku juga sayang kamu," katanya. "Dan jangan pernah sekalipun berpikir bahwa kamu nggak pantas untukku, Dino. Aku nggak mau kamu berpikir kayak gitu."

Jadi Farhan menyadari kegelisahanku. "Aku cuma merasa bahwa aku bukan yang terbaik untuk kamu, Farhan."

"Jangan. Pernah. Sekalipun. Berpikir. Kamu. Nggak. Terbaik. Untukku." Farhan menciumi wajahku setiap kali dia mengucapkan suku katanya.

"Aku bakal berusaha jadi yang terbaik untuk kamu," kataku.

"Kita akan sama-sama berusaha jadi yang terbaik untuk satu sama lain," balasnya.

Aku mengangguk, dan kupeluk lagi tubuhnya dengan erat. Kami saling memeluk, menghirup aroma parfum satu sama lain, berbagi kehangatan satu sama lain. Setelahnya, kami melepaskan diri, dan aku keluar dari mobil.

Farhan mengucapkan selamat malam dan Love you ketika menghidupkan mesin. Dan setelah aku membalas ucapannya, mobil itu pun pergi.

Aku baru masuk ke dalam rumah dan berniat menutup pintu ketika Toyota Rush hitam metalik berhenti di depan gerbang. Aku menoleh ke mobil itu dan sadar bahwa itu adalah mobil Bimo. Apa yang mobil Bimo lakukan malam-malam begini di depan gerbang rumahku?

Ternyata mobil itu menurunkan Dea. Bimo juga ikut turun dari mobilnya. Dengan bersembunyi di balik pintu, aku melongokkan kepala ke luar untuk melihat apa yang dilakukan Bimo dan Dea.

Mereka sedang berbicara, tapi aku nggak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan karena jarakku yang jauh dari mereka. Aku cuma bisa melihat mereka pegangan tangan. Dea tersenyum ketika Bimo memegang tangannya, dan Bimo juga tersenyum sama manisnya. Sialan, apa yang mereka obrolin, ya? Kenapa mereka tersenyum seperti itu? Entah kenapa rasanya aku masih nggak rela kalau Dea harus jatuh ke pelukan Bimo. Membayangkan Bimo masih sering selingkuh dan suka mainin perasaan perempuan membuatku cemas Dea juga akan diperlakukan seperti itu olehnya. Aku hanya mengkhawatirkan apa yang akan terjadi pada Dea.

Lalu, terjadilah. Aku baru saja berniat ingin menghampiri dan memisahkan mereka ketika tiba-tiba Bimo mencondongkan tubuhnya ke arah Dea, dan bibirnya mendarat tepat di kening Dea. Cup! seolah-olah aku bisa mendengar kecupan Bimo di kening adikku. Sesaat aku nggak jadi bergerak karena kaget. Aku pikir Dea bakal marah dicium Bimo, ternyata dia malah tersenyum lebih lebar lagi.

Kubuka pintu lebih lebar, dan langsung pura-pura batuk untuk memberitahu mereka bahwa aku ada di sini. "Ekhem-khem." Ini suara batukku yang aku buat-buat. Mendengar suaraku membuat Bimo buru-buru melepas tangannya yang tadi asik megangin tangan Dea. Bimo menoleh ke arahku, nyengir. Dea tersenyum, lalu mengucapkan selamat malam ke Bimo, dan setelah itu dia masuk ke rumah. Dea bahkan nyelonong masuk begitu saja tanpa menyalamiku.

"Abis ke mana lo berdua?" tanyaku, berusaha untuk galak.

"Abis jalan, Din," jawab Bimo, masih nyengir. "Cuma jalan doang, kok. Makan malem. Udah ya, Din? Udah malem, gue harus pulang, nih." Tangan Bimo membuka pintu mobil. "Selamat malam ya, Din. Selamat tidur. Mimpi indah." Dia masih nyengir ketika masuk ke mobil, lalu menutupnya. Dia menurunkan kaca jendela, menghidupkan mesin. Lalu setelah berkata, "Gue cabut ya, Din. Dadah." Mobil Bimo melesat cepat pergi meninggalkanku yang masih berusaha melotot galak kepadanya.

Setelah Bimo pergi, aku mengunci gerbang dan masuk ke rumah. Pintu depan rumah kukunci rapat-rapat, dan setelah itu aku masuk ke kamar. Suasana hatiku lagi bagus malam ini karena baru saja bertemu orang-orang yang mendukung hubungan kami. Para Fujoshi itu. Dea. Dan juga Bimo. Walaupun aku masih nggak tahu apa hubungan Dea dengan Bimo, dan walaupun aku masih khawatir Dea akan disakiti oleh Bimo, tapi paling nggak aku bersyukur karena untuk saat ini adik semata wayangku masih bisa tersenyum lebar. Dan orang yang membuatnya tersenyum adalah sahabat sejatiku. Kebahagiaanku terasa lengkap karena dua hal itu.

Bandar Lampung, 18 Desember 2021 --- Happy birthday, Billie Eilish!♥︎

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top