Empat Puluh

"One day, I'll be good. Right now, I'm just mad." — Ashe, Save Myself


SETELAH kegiatan MOS selesai, aku dan Bimo akhirnya punya waktu berduaan lagi. Dea dan Dayena sudah nggak mengintili kami lagi setelah mereka dapat teman baru di kelas mereka. Tapi, si Dayena masih tetap maksa ingin ketemu Farhan secepatnya. Dia bahkan sudah mengatur jadwal pertemuan kami. Starbucks, Sabtu malam, 19.00 WIB, on time. Saat aku memberitahu Farhan bahwa ada seorang Fujoshi yang sangat terobsesi pada kami—real gay couple, begitu Dayena menyebut kami—dan Farhan langsung menyetujui undangan pertemuan itu. Katanya, "Nggak apa-apa, Dino. Aku malah seneng bakal ketemu perempuan yang mendukung hubungan kita." Jadi, aku menyetujui jadwal yang disusun Dayena, dan malam Minggu besok aku dan Farhan sudah harus berada di Starbucks pukul tujuh tepat.

Saat jam istirahat aku dan Bimo langsung ke kantin, memesan makan dari warung favorit kami dan mulai mengobrol. Sejak Dea dan Dayena selalu mengintili, aku dan Bimo nyaris nggak pernah ngobrol serius lagi. Dan sekarang ada banyak hal yang nggak aku ketahui yang ingin aku dengar penjelasannya dari Bimo.

"Pertama kita mulai dari Egy," kata Bimo. "Dia masih membenci lo dan bersumpah nggak akan mau memaafkan lo kecuali kalau lo mau berubah."

Aku tertawa mencemooh. "Berubah jadi apa? Power Rangers?"

Bimo angkat bahu. "Berubah jadi normal lagi, mungkin."

"Bim, nggak ada yang perlu diubah dalam diri gue," kataku.

Bimo mengangguk setuju, lalu mulai cerita hubungannya dengan Egy mulai membaik akhir-akhir ini. Bimo punya nomor WA Egy, dan mereka sering berkirim pesan menanyakan kabar masing-masing. Bimo menceritakan ulang apa yang diceritakan Egy kepadanya, bahwa Egy sangat senang sekali bisa kuliah di ITB dan ngekos di luar kota. Dia akhirnya bisa bebas, hidup sendiri, tanpa ada yang melarang dia mau pulang jam berapa, main ke mana saja, dan membawa pulang cewek siapa saja. Ketika Bimo cerita bahwa Egy makin nggak benar dan sering banget mainin cewek, aku mulai memikirkan bagaimana perasaan Ellen—kekasihnya—kalau sampai tahu hal ini. Secara, mereka sudah pacaran dua tahun, dan kalau sampai hubungan itu kandas di tengah jalan hanya karena Egy yang ketahuan selingkuh, itu pasti akan sangat menyakitkan.

"Egy memang berengsek," komentar Bimo setelah ceritanya selesai. "Pacarnya di sini setia nungguin dia, tapi dia di sana malah kegatelan sama cewek lain."

"Itu emang sifatnya Egy, kan?" Lalu tiba-tiba aku teringat pada Sebastian dan semua fakta yang aku dapatkan ketika berkunjung ke rumah Farhan beberapa hari lalu. "Bim, lo masih ingat Sebastian?"

Bimo berpikir sebentar sebelum menjawab. "Adiknya si Egy?"

Aku mengangguk mengiyakan.

"Kenapa dia?"

"Dia itu ternyata temannya Farhan. Satu tim futsal bareng Farhan."

"Oh," Bimo angguk-angguk. "Lampung memang sempit, ya? Ini kenal sama yang ini. Itu kenal sama yang itu. Itu dan ini kenal satu sama lain." Dia tertawa, dan aku juga tertawa.

"Tapi ada satu hal lagi yang lebih mengejutkan, Bim," kataku, sengaja menggantungkan penjelasanku supaya dia penasaran.

Dan dia memang penasaran. "Kenapa, Din? Jangan bikin gue kepo."

"Lo tahu Leo yang satu kelas bareng kita waktu MOS kemarin, kan?"

Bimo mengangguk.

"Nah, Leo juga ternyata satu tim futsal bareng Farhan dan Bastian."

Bimo angguk-angguk kepala seperti robot, matanya menatapku penuh ingin tahu.

"Terus? Bagian mana yang hebohnya?" tanyanya, nggak sabaran.

Aku bicara sangat perlahan, karena aku ingin tahu reaksi Bimo ketika mendengar berita ini: "Leo dan Bastian ternyata gebetan. Farhan bilang, saat ini mereka lagi PDKT, dan katanya si Bastian udah lama naksir Leo, tapi Leo-nya baru merespons sekarang-sekarang ini."

Sama seperti ekspresi Farhan yang langsung kaget ketika tahu Sebastian adalah adiknya Egy, eskpresi Bimo juga sama kagetnya dengan itu. Dia menatapku nggak percaya, menggeleng berkali-kali, lalu bergumam, "Nggak mungkin. Bastian nggak mungkin homo."

"Dia beneran homo, Bim. Leo sendiri yang cerita ke Farhan. Nggak mungkin Farhan bohong, kan? Dan nggak mungkin juga Leo bohong, kan? Mereka nggak mungkin bohong dan main-main dengan orientasi seksual seseorang."

"Tapi lo kan tahu sendiri Bastian itu kayak mana, Din," kata Bimo, masih berusaha menolak kenyataan. "Dia terlalu lakik. Inget nggak waktu kita main ke rumah Egy dan kemudian ketemu dia yang pulang pakai jersey futsal sambil bawa bola warna ijo stabilo?" Aku mengangguk karena aku ingat. Itulah ingatan pertamaku tentang Bastian. "Dia macho banget waktu itu, Din. Bahkan suaranya juga laki abissss. Nggak mungkin dia gay. Kecuali kalau dia kayak lo, mungkin gue bakalan percaya."

Aku memandangnya. "Jadi maksud lo, dari fisik gue udah kelihatan ya kalau gue gay?"

"Ya." Bimo menjawab mantap. "Mata lo cantik kayak perempuan. Bibir lo tipis dan merah kayak bibir perempuan. Kulit lo juga sehalus kulit perempuan. Nggak heran banyak cewek-cewek yang naksir sama lo, Din. Lo ganteng, imut, dan ... enak dilihat. Kayak perempuan, tapi masih kayak laki juga. Tapi kalau Bastian? Atau Leo? Mereka terlalu lakik. Kulit mereka nggak kayak perempuan, tingkah laku mereka bahkan nggak ada sedikit pun yang kayak perempuan."

"Yah, Bim," kataku menyimpulkan, "jadi gay kan nggak harus dilihat dari fisik. Bahkan cowok paling macho sekalipun bisa aja gay."

"Ya, sih. Tapi tetap aja, gue masih nggak percaya Bastian gay. Bukan cuma karena fisiknya, tapi juga karena hubungan darahnya dengan Egy. Maksud gue, gimana coba kalau Egy tahu adik lelaki satu-satunya gay? Apa yang bakal dia lakuin? Apa dia bakalan membenci adiknya sama kayak dia membenci lo dan Farhan?"

Aku menggeleng. "Entahlah, Bim. Dari kemarin-kemarin juga gue sama Farhan selalu nanyain hal itu."

Obrolan tentang Egy dan Sebastian berakhir sampai di situ. Kami berhenti bicara sejenak saat pesanan kami datang, dan mulai melahapnya sampai habis. Selagi makan, Bimo sambil mainin hapenya, dan dia senyum-senyum sendiri melihat sesuatu yang ada di layar hapenya. Sesekali Bimo menghentikan makannya sejenak untuk mengetik, lalu melanjutkan lagi mengunyah baksonya sampai habis. Aku mengerutkan kening heran melihat Bimo tersenyum lebih lebar ketika dia membalas pesan di hapenya itu. Sebelumnya aku nggak pernah melihat Bimo tersenyum selebar itu.

Setelah makanan dan minuman kami habis, obrolan kami selanjutnya adalah tentang pengajian di rumah Lendra besok malam. Itu adalah pengajian bulanan untuk mengirim doa ke Lendra yang sudah berada di akhirat supaya dia bisa tenang dan bahagia di sana. Kata Bimo, Tante Linda—mamanya Lendra—sudah mewanti-wanti kedatangan kami di rumahnya. Bimo sudah bilang setuju akan datang, jadi sekarang kami menyusun rencana untuk berangkat ke sana barengan. Bimo akan menjemputku di rumah, dan kata Bimo sekalian ajak Dea juga, ya.

"Dea? Ngapain ngajak dia?"

"Ya nggak apa-apa. Katanya dia mau ikut."

"Katanya?" Aku mengerutkan kening. "Emang dia bilang ke lo kalau dia mau ikut?"

Bimo mengangguk. "Tadi dia WA gue. Barusan aja," jawabnya.

Aku nggak mengucapkan apa pun lagi dan mulai menyambung-nyambungkan semua tingkah laku Bimo dengan ucapannya barusan. Katanya, Dea barusan aja WA dia, yang berarti WA-nya masuk ketika Bimo lagi makan tadi. Dan Bimo WA-an sambil senyum lebar ketika dia lagi makan. Apakah itu WA dari Dea yang membuatnya tersenyum bahagia? Dan kenapa Bimo bahagia WA-an sama Dea?

"Lo WA-an sama adek gue?" tanyaku, curiga.

Bimo mengangguk. "Ya. Kenapa emang?"

"Nggak apa-apa, sih."

Dan memang nggak apa-apa, kok. Cuma, aku kok agak penasaran ya kenapa Bimo mau WA-an sama Dea, dan kenapa Dea juga mau WA-an sama Bimo? Jangan-jangan mereka lagi PDKT! Ya ampun, kalau mereka lagi PDKT, berarti adikku berada dalam bahaya. Aku nggak bisa membiarkan Bimo mendekati dan menggodai adikku. Kenapa? Karena aku tahu siapa Bimo. Bimo adalah sahabatku, dan sejatinya seorang sahabat adalah mengetahui semua keburukan sahabatnya. Jadi aku tahu keburukan Bimo itu apa.

Sama seperti Egy yang suka kegatelan dengan cewek lain padahal dia sudah punya cewek, Bimo pun begitu. Aku nggak bisa membayangkan gimana kalau Dea berada di posisi Ellen yang selalu diselingkuhin dan disakitin diam-diam. Nggak, aku nggak boleh membiarkan itu terjadi. Walaupun kadang aku kesal setengah mampus ke adik semata wayangku itu, tetapi sesungguhnya di dalam hati aku menyayanginya karena dialah satu-satunya makhluk yang mempunyai hubungan darah denganku yang paling bisa mengerti aku.

Mulai sekarang, aku harus mulai mewaspadai gerak-gerik Bimo yang sedang melancarkan serangan mautnya kepada adik semata wayang kesayanganku.

♡︎♡︎♡︎

FARHAN sudah berada di depan gerbang sekolah ketika aku sampai di sana. Dia duduk di atas motor Ninja warna merahnya, tersenyum manis saat melihatku, lalu mengedipkan sebelah matanya untuk menggodaku. Aku menggigit bibir kuat-kuat, mencegah diriku supaya nggak langsung berlari dan memeluknya erat-erat, karena terlalu banyak orang yang juga keluar gerbang di sekitar kami. Ketika sudah sampai di dekatnya, Farhan mengucapkan selamat siang.

"Kamu ganteng hari ini," pujinya setelah aku membalas ucapan selamat siangnya.

"Kamu juga ganteng hari ini," aku balas memuji.

"Jadi, kita langsung aja?"

Aku mengangguk. "Ya."

Aku baru akan naik ke boncengan motor Farhan ketika suara cewek serak-serak basah memanggil nama Farhan dengan lantang. Serentak kami langsung menoleh ke sumber suara, yang ternyata adalah Retno yang melambaikan tangannya sambil mendekati kami. Dia agak berlari, membuat rambut hitam keriting sosisnya berkibar-kibar. Retno sudah nggak memakai kacamata segede tetek Nicki Minaj, tapi menggantinya dengan lensa kontak warna biru muda. Giginya yang nyengir memamerkan behel yang warnanya sama dengan warna kontak lensanya. Dia berdiri di hadapan kami dan menyapa, "Hai."

Kami balas menyapanya.

"Pulang sama siapa, Ret?" tanya Farhan, curiga.

"Dijemput pacarku," jawabnya, tersenyum riang.

Aku dan Farhan tukar pandang. Sorot mata Farhan seolah mengatakan: Kita harus di sini sampai pacarnya Retno datang, aku mau lihat perlakuan dia ke sepupu aku kayak mana. Aku mengerti, jadi aku mengangguk. Pura-pura, kuajak Retno ngobrol untuk mengulur waktu.

"Oh Ret, tadi lo ingat nggak tugas yang dikasih Bu Nedra? Gue agak-agak lupa soalnya," kataku.

Retno langsung menjelaskan dengan panjang lebar yang semuanya nggak aku mengerti sama sekali, hahaha. Hampir tiga menit dia menjelaskan panjang lebar sebelum akhirnya berhenti.

Tepat setelah Retno berhenti, Farhan bertanya, "Mana pacar kamu?"

Retno memanjangkan leher ke belakang Farhan, dan tersenyum ketika melihat ke sana. "Itu mobilnya."

Aku dan Farhan langsung menoleh ke sana, ke tempat Honda Jazz warna biru langit terparkir rapi di sana. Mobil itu langsung mengingatkanku pada saat-saat aku naik ke mobil itu dulu, saat aku dan Riko masih sangat dekat seperti kakak beradik, saat Riko sering jemput aku di rumah dan ngajak aku main bareng dia dan kawan-kawannya, saat Riko main ke rumahku dan mobil biru langitnya itu terparkir rapi di garasi. Ada banyak kenanganku bersama Riko di dalam mobil itu dan rasanya agak janggal karena orang lain akan menaikinya dan membuat kenangan-kenangan itu memudar dan terlupakan.

Retno berlari ke sana, kami mengikuti. Sebenarnya hanya Farhan yang mengikuti, tapi aku nggak enak kalau nggak mengikutinya juga. Kami sampai di dekat mobil itu tepat ketika Riko keluar dari dalam mobil. Melihat aku dan Farhan berada di dekatnya membuat Riko terkejut, seolah-olah Farhan adalah orang terakhir yang dia harapkan akan ditemuinya. Dan Farhan menatap Riko dengan tatapan sedingin es. Ternyata, kebencian Farhan ke Riko masih belum pudar.

"Riko," Retno angkat bicara setelah beberapa saat lamanya Farhan dan Riko hanya saling menatap, "kenalin, ini Farhan, sepupu aku.

Kekagetan nggak bisa disembunyikan dari wajah Riko. Dia bergantian menatap ke Retno dan Farhan, seolah-olah memastikan apakah benar mereka punya hubungan darah.

Farhan mengulurkan tangannya ke Riko. "Nggak nyangka kita bisa ketemu lagi, Ko," kata Farhan, tersenyum, tapi tatapan sedingin es itu belum juga mencair.

"Kalian udah saling kenal?" Sekarang Retno yang tampak nggak percaya.

Farhan mengangguk. Tangannya masih menggantung di depan Riko, sementara pacarnya Retno itu sepertinya masih berusaha menenangkan diri. Nggak lama kemudian, Riko menjabat tangan Farhan dan menggoyang sedikit tangan yang menggenggam itu. "Ya. Seneng bisa ketemu lo lagi," kata Riko, suaranya serak seperti ada sesuatu yang menggumpal di tenggorokannya. Lalu Adit menoleh ke arahku yang berdiri di belakang Farhan. Dan dia tersenyum. Manis. Tulus. Senyuman seorang Kakak. "Senang bisa ketemu lo juga, Din."

Aku balas tersenyum lalu mendekat ke arahnya, berjabat tangan dengannya. "Apa kabar, Ko?" tanyaku. Ketika Riko menjabat tanganku, bisa kurasakan kekuatan dan juga kehangatannya. Tangannya ternyata belum berubah. Sentuhannya masih sekuat dan sehangat dulu. Tiba-tiba aku rindu rasanya dipeluk Riko. Tapi segera kuenyahkan perasaan itu karena setelah apa yang terjadi hari itu, nggak seharusnya aku memikirkan pelukannya.

"Baik," jawabnya. Jabatan kami terlepas, dan Riko kembali menatap Farhan. "Jadi kalian mau pulang?" tanyanya ke Farhan.

Tapi aku yang menjawab pertanyaannya. "Ya. Lo juga mau pulang, kan?"

Riko mengangguk. "Iya."

Lalu Retno bicara, "Hari ini kami mau nonton." Dia menatap aku dan Farhan bergantian. "Gimana kalau kalian ikut nonton bareng kami? Pasti asik nonton rame-rame."

Aku mau, kataku dalam hati.

Tapi Farhan langsung menjawab tawaran Retno dengan nada sekeras batu, yang membuatku nggak jadi menyuarakan jawabanku. "Nggak usah, Ret. Aku sama Dino mau langsung pulang aja. Nggak enak nanti ganggu kalian pacaran."

Kalau Riko menangkap nada sinis dan nggak suka di dalam suara Farhan, dia pasti mengabaikannya karena dia tampak nggak terpengaruh sama sekali. Dia malah menatap Farhan datar, nggak tersirat emosi apa pun. Sementara Retno malah tersipu malu mendengar kata-kata yang dilontarkan Farhan tadi.

"Nggak apa-apa, Farhan, kalian nggak akan jadi pengganggu, kok," katanya.

Aku menahan diri supaya nggak putar bola mata.

"Yuk, Din," Farhan menggenggam tanganku, membuat Riko dan Retno mengerutkan kening mereka dalam-dalam sambil menatap tangan kami yang berpegangan. "Kita pulang."

"Kalian pulang bareng?" tanya Retno, hampir terdengar curiga.

"Ya," jawab Farhan mantap.

"Hati-hati bawa motornya," kata Riko, dengan nada sedatar meja.

Farhan nggak menjawab ucapan Riko dan malah berbalik meninggalkan mereka sambil menyeret tanganku. Aku belum juga mengucapkan sampai jumpa ke Riko. Ketika aku menoleh ke belakang, kulihat Riko menganggukkan kepala sambil tersenyum padaku. Dia nggak marah. Dia maklum. Setelahnya Riko masuk ke dalam mobil, Retno juga ikutan masuk. Mobil mereka menghilang dari pandangan ketika kami sudah sampai di motor Farhan.

Suasana hati Farhan pasti lagi nggak bagus ketika dia naik ke atas motor, dan aku juga naik ke boncengannya. Dia menghidupkan mesin motor, dan memutar gas kuat-kuat yang menimbulkan suara berisik dan membuat telingaku berdengung. Lalu dia memasukkan gigi, dan motor pun melesat ke jalanan dengan kecepatan yang membuatku hampir saja terjungkal kalau nggak berpegangan sangat erat ke pinggang Farhan.

Cuma butuh waktu lima belas menit kemudian kami sudah sampai di rumahku. Aku turun dari motor, membuka gerbang, dan Farhan segera memasukkan motornya ke garasi. Setelah Farhan melepas helm, aku segera membawanya naik ke kamarku. Kalau suasana hati Farhan sedang buruk saat ini, hanya ada satu cara untuk membuatnya baik lagi, yaitu dengan memeluknya, menciumnya, dan mengulum tytydnya.

Pintu kamar aku kunci, dan segera kujatuhkan tubuhku ke atas tubuh Farhan yang sudah berbaring di kasur. Farhan tersenyum sambil mengusap pinggangku.

"Apa yang membuat kamu kesal sampai bawa motor ngebut kayak orang gila gitu?" tanyaku sambil memandangi wajahnya. Tubuhku masih berada di atas tubuhnya. Mataku di atas matanya. Bibirku hanya berjarak setengah jengkal dari bibirnya.

"Aku benci Riko," katanya. Tangannya sekarang sudah turun ke pantatku, dan dia meremas pantatku dengan gemas.

"Kamu benci dia karena pacaran dengan Retno?"

"Aku benci dia karena kayaknya dia masih suka sama kamu. Tadi aja dia masih sok manis di depan kamu. Nanya-nanyain kabar kamu, sok-sok perhatian sama kamu. Aku benci matanya yang kegatelan itu waktu dia ngelihatin kamu."

Aku ingin protes dan membela Riko, bahwa apa yang Riko lakukan tadi sebenarnya bukan karena dia kegatelan denganku, tapi karena dia memang baik padaku. Aku tahu Riko sudah nggak punya rasa apa-apa lagi padaku karena dia pernah mengatakannya langsung bahwa dia sudah mengerti dan belajar. Aku nggak akan pernah jadi miliknya, dan dia akan menerima kenyataan itu dengan sama baiknya dia menerima hubunganku dengan Farhan. Tapi sepertinya Farhan terlalu membenci Riko sehingga membuatnya ketakutan aku bakal direbut olehnya.

"Dia cuma bersikap baik padaku, Farhan," kataku, berusaha untuk nggak terdengar terlalu membelanya.

Farhan mengusap bibirku dengan jempolnya. Hangat. "Aku nggak mau orang lain memiliki kamu, Dino. Cuma aku yang boleh milikin kamu."

Aku menganggukkan kepala, dan langsung mencium bibirnya. Nggak butuh waktu lama bagiku untuk memasukkan lidahku ke dalam mulut Farhan, dan dia segera mengisap lidahku, yang membuatku melenguh nikmat nggak tertahankan. Tangan Farhan sigap melepas kancing kemejaku satu per satu. Kemejaku baru saja lepas dari badan ketika tiba-tiba suara Mama terdengar memanggilku dari bawah.

"Dino, ke sini sebentar, tolongin Mama!" teriaknya.

Awalnya aku mengabaikannya, karena aku nggak mau melewatkan sensasi nikmat dari jari-jari Farhan yang memutar, mencubit, dan menarik lembut putting susuku. Bibir kami masih saling memagut, dan tanganku gantian melepas kancing kemeja Farhan satu per satu.

"Dino! Ke sini sebentar tolongin Mama!"

Terpaksa, kami berhenti. Aku mendengus jengkel dan segera menyingkir dari atas tubuh Farhan yang kancing kemejanya sudah terbuka semua. "Kita lanjutin nanti," kataku, memakai kembali kemejaku, lalu merapikan rambut.

Saat aku hendak membuka pintu kamar, Farhan memanggilku, yang membuatku menoleh kepadanya. "Kamu seksi kalau lagi horny begitu," godanya, sambil mengedipkan sebelah mata.

Aku menjulurkan lidah, lalu turun ke bawah. Farhan tertawa ketika aku menutup pintu kamar di belakangku.

Ternyata Mama menyuruhku beli bumbu dapur di warung Bukde Sa'id. Dia menyerahkan selembar uang 50 ribuan bersama kertas berisi daftar bumbu-bumbu apa saja yang harus aku beli. Mama bilang kalau ada kembaliannya ambil aja untuk kamu. Jadi aku langsung bersiap pergi.

Tapi sebelum aku pergi, Mama menyempatkan diri untuk bertanya, "Kamu sama Farhan ngapain aja sih di kamar? Mama manggil kamu dua kali, loh." Mama bicara dengan pelan dan hati-hati.

"Nggak ngapa-ngapain kok, Ma," jawabku, hati-hati juga.

"Farhan sering banget main ke kamar kamu, ya?" Kali ini suaranya terdengar curiga.

Aku mengangguk, mengiyakan, karena memang kenyataannya hampir setiap hari Farhan main ke rumahku. Sudah hampir seminggu ini Farhan selalu datang ke rumah, naik ke kamarku, lalu kami mengunci diri di kamar sampai tiba saatnya makan malam kami baru keluar. Yang kami lakukan di kamar tentu saja bercinta, ngobrol, main gitar, nonton tivi, ngemil, atau hanya sekadar pelukan dan ciuman, selalu seperti itu. Kami sengaja seharian mengunci diri di kamar karena Farhan bilang dia ingin mengunci hubungan kami dari orang-orang yang berniat memisahkan kami. Dengan berada di dalam kamar, kami bebas melakukan apa pun yang ingin kami lakukan tanpa harus takut ada yang memisahkan. Tapi ternyata dengan berada di dalam kamar pun nggak membuat kami aman, karena ada mamaku di lantai bawah yang tampaknya mencurigai perbuatan kami.

"Kalian nggak melakukan hal yang aneh-aneh, kan?" tanya Mama. Sekarang alisnya mengerut khawatir.

"Hal yang aneh-aneh kayak mana?"

Mama mengangkat bahu. "Siapa tahu aja kalian nonton film porno?"

Aku tertawa sambil geleng-geleng kepala. "Nggak mungkin Dino nonton porno bareng Farhan, Ma. Bisa berabe urusannya."

"Jadi kamu sering nonton film porno?"

"Nggak gitu. Maksud Dino—" aku kehilangan kata-kata. Bagaimana cara menjelaskannya, ya? "Pokoknya Dino sama Farhan nggak melakukan hal yang aneh-aneh." Ciuman, pelukan, dan seks itu bukan hal yang aneh-aneh, kan?

Mama mengembuskan napas, pasrah. "Oke. Mama percaya. Maafin Mama, ya. Mama cuma takut kamu kepengaruh hal-hal yang buruk."

"Farhan nggak pernah jadi pengaruh buruk buat Dino, Ma."

"Mama tahu. Tapi wajar kan kalau Mama khawatir? Karena naluri seorang ibu nggak bisa dibohongi."

Aku mengangguk mengiyakan.

"Yang terpenting buat Mama adalah kebahagiaan kamu, Dino. Selagi kamu bahagia, Mama juga bahagia. Tapi cuma satu permintaan Mama: jangan pernah melakukan hal-hal buruk yang akan kamu sesali suatu hari nanti. Mengerti?"

"Ngerti, Ma," jawabku, mengangguk. "Jadi boleh Dino pergi ke warung sekarang?"

"Oh, ya. Jangan lupa cabai rampai, ya. Itu yang paling penting."

Obrolanku dengan Mama tadi itu bisa dibilang cukup—dan mungkin sangat—berbahaya karena Mama bisa saja tahu segalanya tentang aku dan Farhan. Seperti yang Mama bilang tadi: Naluri seorang ibu nggak bisa dibohongi. Apakah ini artinya Mama bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dariku? Mama nggak mungkin menanyakan apa yang aku lakukan dengan Farhan di dalam kamar kalau dia nggak merasakan sesuatu yang berbeda, kan? Tapi, setelah kupikir matang-matang, akar dari kecurigaan Mama sesungguhnya adalah perbuatan kami yang mengurung diri seharian di dalam kamar. Mama nggak mungkin curiga kalau kami nggak melakukan itu, kan? Dan wajar saja kalau Mama curiga. Aku juga pasti akan berpikiran yang sama kalau melihat Farhan mengurung diri seharian bersama orang lain.

Berarti yang kami lakukan sudah nggak bagus, pikirku. Aku harus cepat-cepat memberitahu Farhan tentang hal ini.

Belanja di warung Bukde Sa'id nggak memakan waktu lama karena begitu kuserahkan kertas tulisan Mama, si Bukde Sa'id langsung mengerti dan dengan cekatan mengambilkan semua yang ada di dalam daftar. Setelah selesai aku langsung membayar, dan dia memberikan kembalian. Cepat-cepat aku pergi setelah transaksiku dengan Bukde Sa'id selesai.

Di rumah, setelah menyerahkan bumbu-bumbu dan mengantongi uang kembalian, aku segera naik ke kamar. Farhan sedang tidur memeluk guling, kemejanya masih belum dikancing, menampilkan bagian depan tubuhnya yang putih dan tampak menggiurkan. Matanya tertutup rapat, dan sepertinya dia benar-benar tidur. Saat aku berbaring dan memeluknya, bisa kudengar suara dengkurannya yang pelan dan teratur. Aku tersenyum. Tanpa bisa dicegah, aku sudah keburu mencium keningnya sambil berbisik, "Selamat tidur, Farhanku sayang."

Dan saat itu juga kuputuskan untuk nggak usah memberitahu Farhan tentang kecurigaan yang Mamaku rasakan.

Bandar Lampung, 11 Desember 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top