Tujuh Belas
"Bashful lovers, just you and me
We take it slow, just you and me
Falling backwards, just you and me
Sink so low, just you and me."
— Shallou, You and Me
BUKANNYA langsung menemui Farhan, aku malah berpikir untuk menemui Riko dan Lendra lebih dulu. Aku sengaja menyiapkan Farhan untuk bagian terakhir karena aku ingin menyingkirkan Lendra dan Riko supaya ketika aku menerima Farhan, nggak ada lagi beban pikiran tentang bagaimana menolak mereka secara halus.
Sekarang aku lagi di kelas. Duduk manis menunggu bel tanda jam masuk sekolah berbunyi. Di sebelahku ada Bimo yang lagi asik kunyah-kunyah permen karet sambil sibuk mainin gadget-nya. Di pikiranku ada banyak kata-kata, bayangan-bayangan, dan harapan-harapan kabur yang sebentar lagi akan jadi kenyataan. Kata-kata penolakan halus yang sudah kususun semalaman, bayangan-bayangan tentang bagaimana ekspresi Lendra dan Riko ketika aku menolak mereka, dan harapan-harapanku tentang Farhan yang akan memeluk dan menciumku ketika aku menerima cintanya. Membayangkan dipeluk dan dicium Farhan membuat perutku geli.
Pagi-pagi sekali aku sudah kirim pesan LINE ke Riko untuk menemuiku di Dunkin Donuts jam setengah enam sore, dan dia membalasnya dengan antusias. Sekarang aku WA Lendra. Kukatakan padanya untuk menemuiku di Kopi Kini, tempat dia menyatakan cintanya padaku. Belum ada lima menit kemudian, Lendra menyetujui untuk datang ke Kopi Kini jam 7 malam.
Setelah Lendra, aku langsung nelepon Farhan. Aku harus menelepon sebanyak tiga kali sebelum Farhan menjawabnya. "Halo? Dino?" Dari suaranya, aku tahu kalau dia mengharapkanku untuk menghubunginya. Dan setelah dua hari nggak bertemu dengannya, aku jadi kangen juga sama suaranya.
"Ya. Nanti malem bisa ke kafe Sky View nggak?" Aku langsung ke topik pembahasan. Aku ingin sekali basa-basi, ngobrol banyak hal dengannya. Bahkan aku tergoda untuk mengatakan bahwa aku juga mencintainya. Tapi aku nggak mengatakan itu karena di sebelahku ada Bimo. Dia bisa kepo habis-habisan mendengarku teleponan sambil bilang I love you.
"Bisa. Jam berapa?"
"Jam 8."
"Oke," katanya dengan suara yang dibanjiri sukacita. "Kamu mau aku jemput atau gimana?"
"Ketemu di sana aja. Jam 8."
"Oke. Aku pasti dateng."
"Bagus." Karena nggak ada lagi yang mau kukatakan, aku berniat menutup telepon.
Tapi sebelum aku melakukannya, Farhan mencegahku. "Tunggu dulu, Dino."
"Ya? Apa lagi?"
"Kamu marah? Kamu ke mana aja? Aku kirim WhatsApp, aku telepon, aku sms, tapi satu pun nggak ada yang kamu respons. Kamu menghindar dariku?"
Aku ingin menjelaskan semuanya, tapi nggak jadi. Aku malah mengatakan: "Jam 8. Di Sky View. Aku bakal jelasin semuanya di sana."
"Oke. Sampai ketemu nanti malam."
"Bye." Kali ini aku yang memutuskan panggilan. Aku nggak mau jutek, aku pingin banget ngobrol sama Farhan, mendengarkan suaranya yang seksi dan menggoda itu ... tapi aku nggak bisa. Aku nggak boleh bicara dengannya dulu. Aku harus menyimpan Farhan untuk bagian terakhir.
"Siapa?" tanya Bimo.
"Temen gue. Gue ajakin main," kataku berbohong. Dan oh ya, tambahkan Bimo dalam daftar orang-orang yang sudah aku bohongi.
"Oh," ujarnya singkat.
Kemudian bel tanda jam belajar mengajar dimulai pun berbunyi.
~###~
PUKUL setengah enam sore aku sampai di Dunkin Donuts. Aroma manis donat tercium tajam ketika aku masuk ke dalam. Aku memesan empat donat dan dua milkshake chocolate. Setelah mendapat semua pesanan, aku duduk di kursi yang agak dekat ke pintu, tapi terpisah cukup jauh dari kursi-kursi yang lain. Ini posisi yang cocok untuk ngobrol dengan Riko. Orang-orang nggak akan ada yang bisa mendengar obrolan kami.
Riko datang sepuluh menit kemudian. Dia menyalamiku, dan langsung duduk di kursi kosong di hadapanku. "Sorry, udah lama nunggu?"
Aku menggeleng. "Baru aja dateng." Kugeser piring berisi dua donat dan segelas milkshake ke hadapannya. "Gue tahu lo nggak suka basa-basi, jadi langsung ke intinya aja ya, Ko." Aku memulai. "Gue sengaja nyuruh lo ke sini karena gue mau menjelaskan semuanya."
Riko menyedot isi minumannya. "Jelaskanlah."
"Lo tahu kan, lo udah gue anggap kayak kakak gue sendiri. Pikiran lo dewasa, penuh pertimbangan, matang, dan pemikiran-pemikiran yang sebelumnya nggak pernah ada di pikiran gue, itu semua ada di diri lo, dan gue nyaman dengan sifat lo itu."
Riko tersenyum sambil mengunyah donat sepotong demi sepotong.
"Tapi senyaman apa pun gue sama lo, sebetah apa pun gue dekat sama lo, gue tetap nggak bisa merasakan feeling 'itu' ke lo."
Senyum di bibir Riko menghilang. Dia nggak bergerak untuk beberapa detik lamanya, dan mulutnya yang tadi lagi asik ngunyah donat sekarang diam nggak bergerak. Dia seperti patung. Mungkin dia kaget. Tapi, enam puluh detik kemudian dia kembali tersadar. "Jadi, maksudnya?"
"Maksudnya gue nggak bisa nerima lo—gue nggak bisa jadi pacar lo." Kutatap matanya, berusaha untuk nggak mengalihkan mataku dari matanya yang bergetar. "Sekeras apa pun gue coba, gue tetap nggak bisa menemukan cinta untuk lo di dalam hati gue."
Riko menundukkan kepala. Dia nggak melanjutkan makan donatnya, karena aku yakin nafsu makannya pasti hilang. "Kenapa?"
Ah, ini dia. Alasan. Riko pasti ingin tahu kenapa aku nggak bisa menemukan cinta untuknya. Dan aku sudah siap dengan jawabanku. Jadi, kuberikan apa yang dia inginkan:
"Karena gue udah lebih dulu suka sama seseorang. Ada seseorang yang gue suka—yang gue cintai dengan sepenuh hati gue. Dia ... istimewa. Dan cinta gue cuma untuk dia—udah gue kasih semuanya cuma untuk dia. Jadi, gue nggak bisa menemukan cinta ke lo karena semuanya udah gue berikan ke dia."
Riko tampak kaget. Wajah cerianya tiba-tiba berubah jadi ekspresi yang mungkin hanya dimiliki oleh seseorang yang patah hati, terluka, dan cemburu. Aku bertanya-tanya apakah wajahku terlihat seperti itu ketika melihat Farhan dan Chika pelukan? Kemudian, Riko menatapku. Ekspresinya berubah mengeras.
"Kalau memang lo udah menyerahkan semua cinta lo ke orang itu, terus apa arti pelukan yang kemarin? Kenapa lo juga balas memeluk gue? Kalau memang lo udah cinta banget sama orang itu, seharusnya lebih mudah buat nolak gue tanpa harus menggantungkan harapan gue! Seharusnya lo langsung tolak gue malam itu juga! Tapi lo malah bilang butuh waktu, butuh waktu, butuh waktu—yang membuat gue menunggu dan berharap terlalu banyak sama lo! Lo bahkan nggak bales LINE gue, Dino!" Riko menyemprotkan semuanya di hadapanku. Aku diam nggak tahu harus mengatakan apa.
"Dan oh ya," tambahnya, "gue nggak marah lo nolak gue. Gue marah karena lo menghilang seharian dan bikin gue cemas, bikin gue menunggu seharian cuma untuk dengar penjelasan bahwa lo udah lebih dulu suka sama orang lain! Seharusnya lo nggak perlu membiarkan gue menunggu seharian kalau memang sudah lebih dulu ada orang lain yang lo sukain! Seharusnya lo nggak perlu buang-buang waktu gue, Dino!"
Aku bingung. Dia benar—aku yang salah. Ketika dia nembak aku, seharusnya langsung kutolak dia detik itu juga. Seharusnya aku nggak menggantungkan harapannya. Dia pasti sudah berharap yang terlalu banyak padaku karena aku juga balas memeluknya waktu itu. Dan ... ini semua salahku! Aku salah bicara! Seharusnya aku memberi alasan yang jauh lebih bagus. Seharusnya aku nggak melempar Farhan ke hadapan Riko, karena ini terlihat seperti aku mempermainkan perasaannya sekarang!
Tapi, aku juga nggak bisa sepenuhnya disalahkan. Karena ketika dia menyatakan cintanya, pikiranku lagi kacau dan nyaris frustrasi, dan ketika dia memelukku, aku merasa nyaman sekali berada dalam pelukannya—karena saat itu aku memang lagi butuh pelukan, dan dia memberikannya—jadi aku balas memeluknya. Oh my God, semua yang kulakukan padanya—memeluknya, menangis di pelukannya—adalah pelampiasan kegalauanku! Biar bagaimana pun, aku memang telah menjadikan Riko sebagai pelampiasan. Aku melampiaskan semua yang nggak bisa aku dapatkan dari Farhan, ke Riko.
"Masalahnya nggak semudah itu, Ko," kataku, setenang mungkin. Aku merasa bersalah. Karena semua perasaanku ke Riko sebenarnya cuma nafsu semata. Nafsu yang nggak bisa aku dapatkan dari Farhan, kemudian kulampiaskan ke Riko. "Masalahnya jauh lebih rumit daripada itu."
"Dan mulai sekarang, itu nggak lagi jadi masalah!" serunya, kasar. Dia pasti kecewa. Dia pasti merasa dikhianati. "Gue ngerti kalau lo nggak bisa jadi pacar gue, tapi gue nggak pernah ngerti sama jalan pikiran lo. Kalau aja lo langsung nolak gue waktu itu, mungkin rasanya nggak akan sesakit ini!"
Mataku bergetar mendengar kata-katanya. Ini yang aku takuti. Ini yang berusaha kuhindari. Tapi semakin keras aku berusaha menghindar, semakin ini jadi kenyataan. Riko sakit hati. Riko sakit hati karena aku. "Maaf, gue nggak bermaksud bikin lo sakit hati. Waktu itu gue beneran bingung. Gue benar-benar lagi kalut."
Riko bangkit berdiri. Dia menatap tajam ke mataku. "Gue udah dapat jawabannya. Gue nggak marah, cuma butuh waktu untuk berpikir jernih." Dia meraih ranselnya. "Makasih untuk donat dan segalanya." Dan Riko bergegas pergi meninggalkanku sendiri.
Kupandangi dia yang menghilang ke tempat parkir. Maafkan aku, Riko. Aku nggak tahu kalau kata-kataku akan membuatnya sakit hati. Aku salah bicara. Seharusnya aku nggak mengatakan bahwa aku jatuh cinta pada orang lain! Memang benar apa yang dia bilang: kalau aku sudah memberikan semua cintaku ke Farhan, kenapa aku masih memberi Riko harapan? Kalau nggak ada sedikit pun cinta di hatiku yang tersisa untuk orang lain selain Farhan, kenapa aku masih menyuruh Riko untuk menunggu? Aaaargh! Aku memang bodoh!
Akhirnya, aku harus menerima kenyataan bahwa aku sudah menyakiti Riko. Dia bisa mengerti aku menolaknya, tapi dia nggak akan pernah memaafkanku karena telah memainkan perasaannya. Aku ternyata nggak lebih baik dari Lova.
Dengan pasrah, aku segera pergi dari tempat ini. Aku nggak bisa terus-terusan merasa bersalah karena itu nggak akan menyelesaikan apa pun. Aku harus melakukan sesuatu. Mungkin nanti Riko akan mengerti dan aku akan bicara lagi dengannya. Tapi untuk sekarang, aku harus menemui Lendra dan mengatakan bahwa aku nggak bisa jadi pacarnya. Kali ini aku bakal lebih hati-hati. Aku nggak mau lagi ada hati yang tersakiti gara-gara aku.
Aku sampai di Kopi Kini pukul tujuh lebih lima belas menit—terlambat lima belas menit karena jalanan macet. Selesai parkir, langsung kuterobos pintu masuk, dan tanpa perlu dicari Lendra sudah melambaikan tangannya. Dia tersenyum sangat manis. Dan aku tahu, sebentar lagi senyum itu akan hilang seiring dengan kata-kata penolakan yang akan kuucapkan.
"Sorry, jalanan macet," ucapku, duduk di kursi yang sehadapan dengannya. Di hadapanku sudah ada segelas minuman cokelat dan sepotong kue keju. Lendra pasti sudah datang dari jam tujuh tadi. Aku merasa berdosa karena terlambat.
"Nggak apa-apa. Toh, kita juga nggak buru-buru, kan?"
Aku mengangguk, padahal sebenarnya aku buru-buru ingin cepat menyelesaikan urusan di sini, karena aku punya janji dengan Farhan di sana. "Gue nyuruh lo ke sini karena gue mau jelasin semuanya," kataku.
Lendra menganggukkan kepala, dan ekspresinya berubah serius. "Jadi, gimana?"
Kutatap matanya sejenak, dan sambil mengembuskan napas pelan-pelan aku mengucap, "Maaf Lend, gue nggak bisa terima lo jadi pacar gue."
Sesaat, Lendra seperti kehilangan orientasi. Matanya bergetar, mulutnya terbuka agak lebar, dan tangannya gemetar. Tapi setelah beberapa saat dia mampu mengendalikan diri. Dia menelan ludah berkali-kali, tapi nggak mengatakan apa pun. Dia masih kaget. Aku bisa mengerti.
"Kenapa, Din? Apa karena kita sahabat makanya lo nggak bisa nerima gue jadi pacar lo?" Lendra sudah agak tenang sekarang, tapi ekspresi sedih dan sakit itu terukir jelas di wajahnya.
Aku mengangguk. "Itu juga, dan masih ada hal lain yang membuat gue nggak bisa jadi pacar lo." Aku menatapnya, berharap dia bertanya. Tapi karena dia nggak mengatakan apa pun, aku melanjutkan, "Kita harus pikirin gimana dengan Bimo? Gimana dengan Egy? Kita nggak bisa kan terus-terusan sembunyi di belakang mereka?"
"Kita bisa bersikap normal di depan mereka, dan mereka nggak bakal curiga selagi kita nggak menunjukkan hal-hal yang berlebihan di depan umum."
"Nggak semudah kelihatannya, Lend. Nggak segampang itu."
Lendra mengulurkan tangannya, mencoba meraih tanganku, tapi kutarik tanganku menjauh darinya. "Bisa nggak sih kita pikirin diri kita dulu? Lo nolak gue cuma karena lo takut Egy dan Bimo tahu tentang hubungan kita? Itu konyol, Dino! Gue nggak bisa terima alasan kayak gitu."
Aku meringis. Dia benar. Alasanku terdengar nggak masuk akal dan sangat dangkal. Tapi aku nggak punya alasan yang lebih bagus lagi. Aku nggak mau lagi melempar Farhan, karena itu bisa membuat Lendra marah dan sakit hati. "Bukan cuma itu doang. Sebenernya ada banyak—"
"Apa karena ada orang lain?" Lendra memotong kata-kataku sebelum aku menyelesaikannya.
Aku menatapnya, kesal karena ucapanku dipotong. "Orang lain—apa? Nggak! Nggak ada orang lain. Nggak ada siapa pun! Intinya, gue nggak bisa jadi pacar lo karena gue nggak pernah sedikit pun punya rasa cinta untuk lo!" Aku refleks, kata-kataku meluncur begitu saja, keluar dari mulutku tanpa sempat kusaring.
Lendra menatapku kaget. Matanya bergetar lagi. Lalu, matanya berembun. Embun di matanya berubah jadi titik-titik air yang menggenang di pelupuknya. Kemudian dengan satu kali kedipan, air mata yang menggenang itu jatuh membanjiri pipinya yang putih. Lendra menangis. Ya Tuhan. Kata-kataku pasti menyakitinya. Dia menangis lagi. Sesakit itukah? Seperih itukah? Dia buru-buru menghapus air matanya. Lendra nggak cengeng. Sama seperti aku, dia menangis hanya ketika hatinya terluka dan tersakiti. Dan sekarang dia menangis karena hatinya terluka gara-gara aku!
"Maaf, Lend." Aku berusaha memegang tangannya. Tapi Lendra menarik tangannya menjauh dari tanganku.
Lendra mengangguk dan senyum getir menghiasi wajahnya. "Gue memang terlalu banyak berharap." Dia mengucek matanya yang masih agak basah. "Gue memang sangat membutuhkan lo untuk membantu gue menjalani hidup di dunia yang serba nggak adil ini, dan gue memang berharap lo mau melakukan itu bareng gue. Tapi ternyata harapan gue terlalu tinggi. Dan sekarang, saat harapan itu nggak jadi kenyataan, rasanya sakit banget—seolah-olah gue jatuh dari puncak gunung paling tertinggi. Karena lo tahu, Din? Gue selalu menempatkan lo di atas. Gue selalu meletakkan lo di atas segalanya dalam hidup gue. Karena setelah papa gue pergi, nggak ada siapa pun lagi yang peduli dan sayang sama gue kecuali lo. Tapi sekarang lo mengakui sendiri kalau lo memang nggak pernah punya sedikit pun rasa sayang ke gue. Yah, memang gue yang tolol dan terlalu kebanyakan berharap."
Hatiku nyaris patah mendengarnya. Lendra membutuhkanku. Dia nggak cuma sekadar menginginkanku, tapi membutuhkanku! Dia menempatkan aku di atas segalanya! Apa yang telah kulakukan? Aku mematahkan hati seseorang yang benar-benar membutuhkanku! Aku menghancurkan harapannya. Aku menggoreskan luka di hatinya. Aku nggak lebih baik dari Lova. Apa yang aku lakukan ke Lendra hampir sama dengan yang Lova lakukan padanya: menyakiti dan menghancurkannya. Dan oh Tuhan, aku bahkan menyakiti dua hati yang pernah disakiti Lova. Pertama Riko. Dan sekarang Lendra. Aku sama buruknya dengan Lova!
"Lend, maaf ..." Sekali lagi aku berusaha meraih tangannya, tapi Lendra buru-buru menarik tangannya makin jauh dari tanganku. "Gue—Maaf, Lend, gue nggak bisa." Aku menggeleng, dan dalam hati kuucapkan kata-kata Farhan: Ini bukan tentang mereka, ini semua tentang kamu dan aku. Benar. Ini bukan tentang Lendra, ini tentang aku dan Farhan.
Sudah cukup aku kasihan padanya. Bukannya aku egois atau mau jahat, tapi aku cuma kepingin sedikit aja merasakan kebahagiaan. Aku ingin mencintai Farhan, dan aku nggak mau lagi ada yang menghalangiku untuk mencintainya. Selama ini aku selalu berusaha membuat Lendra bahagia, dan sementara aku melakukan itu, nggak sedikit pun kurasakan kebahagiaan untuk diriku sendiri. Dan sekarang ketika kebahagiaan itu ada di depan mata, aku nggak akan melewatkannya. Aku nggak mau lagi mengalah demi mengasihani Lendra. Mulai sekarang, aku harus tegas. Biarlah Lendra merasakan sakit itu sekarang, toh pada akhirnya dia akan cepat sadar dan mengerti bahwa aku memang bukan tercipta untuknya. Sudah saatnya Lendra belajar.
"Sekali lagi gue minta maaf, Lend." Aku masih mencoba.
Dia tersenyum, dan senyumnya terlihat sangat dipaksakan. "Lo nggak harus minta maaf. Ini bukan salah lo. Ini salah gue yang terlalu banyak berharap."
Jam tanganku sudah menunjuk ke angka delapan, dan aku harus segera keluar dari tempat ini. Aku harus menemui Farhan. Aku harus menemui kebahagiaanku. Jadi tanpa memedulikan apakah Lendra marah, benci, atau kecewa padaku, aku bangkit dari kursi dan pamitan padanya. "Itu jawaban gue, Lend. Gue nggak bisa jadi pacar lo. Gue harap lo bisa ngerti. Tapi gue masih sahabat lo, dan gue masih peduli sama lo."
Lendra tersenyum. "Makasih. Mungkin mulai sekarang semuanya bakal berubah."
Aku nggak ngerti dengan yang diucapkannya, dan nggak cukup peduli untuk menanyakannya. Sekarang yang aku inginkan hanyalah pergi dari tempat ini dan menemui Farhan. Itu saja. "Oke. Gue harus balik, nih."
Lendra mengulurkan tangan. Aku menjabatnya. Aku nggak tahu apa maksud jabatan ini. Setelah melepaskan tangan, aku buru-buru keluar dan menghampiri motorku di tempat parkir.
Perjalanan dari Kopi Kini ke kafe Sky View memakan waktu kurang lebih dua puluh menit—karena macet, perjalanan yang biasanya ditempuh dalam waktu sepuluh menit sekarang dua kali lipat lebih lama daripada biasanya. Alhasil, aku terlambat.
Begitu masuk ke dalam, Farhan menelepon. Katanya dia sudah sampai di Sky View dan ada di lantai yang paling atas. Tanpa basa-basi aku langsung masuk ke lift dan menekan tombol ke lantai paling atas.
Seperti namanya, kafe Sky View menawarkan view dari sky malam yang berbintang. Kafe ini berada di atas rooftop sebuah gedung berlantai enam, dengan atap terbuat dari kaca bening yang memperlihatkan dengan jelas bintang-bintang yang berkedip di atas langit. Aku keluar dari lift dan menyadari hanya ada satu orang di atas sini. Farhan. Dia sedang berdiri membelakangi lift, kepalanya mendongak ke atas seperti sedang menghitung bintang.
"Farhan?" Aku mendekatinya.
Farhan balik badan dan tersenyum melihatku. Malam ini dia memakai kemeja pendek warna hijau dibalut rompi hitam yang kancingnya nggak dikaitkan. Topi kupluk warna hitam bertengger di kepalanya, jatuh ke belakang sampai mengenai tengkuknya—topi itu menambah kadar kegantengannya di mataku. Matanya yang teduh menatapku, dan jantungku berdebar karena tatapan itu. "Aku datang ke sini jam 8, sesuai janjiku," katanya, tersenyum mengejek, menyindir.
"Maaf," kataku, meringis. Aku merasa bersalah karena datang terlambat. "Seharusnya aku juga sampai sini jam 8. Tapi lihat sendiri di bawah sana, kan? Jalanan macet."
Farhan mendekatiku. Ketika dia berada di hadapanku, wangi parfumnya yang maskulin itu menyeruak masuk ke hidungku. "Kamu ganteng banget malam ini," pujinya, tersenyum.
Pipiku panas dipuji begitu. "Kamu juga."
Farhan tersenyum lagi dan kemudian menggenggam tanganku. Dia membawaku duduk di sofa dekat bar―dan bar itu kosong. "Kamu pintar banget milih Sky View," katanya.
Aku tersenyum gugup. Mau mati aja rasanya karena di sini cuma ada kami berdua. Pikiran tentang Farhan dan aku bisa bebas ciuman di sini dikalahkan rasa ingin tahu ke mana semua karyawan bar yang kerja di sini?
"Farhan, kenapa di sini cuma ada kita berdua?" tanyaku akhirnya.
Farhan tersenyum, terlihat sama gugupnya denganku. "Aku bisa jelasin nanti. Sekarang, aku mau dengar dulu jawaban kamu."
"Oh—ya." Aku berdeham, melegakan tenggorokan sejenak. "Aku harus jujur bahwa selama hampir tujuh bulan ini aku juga menyimpan rasa suka, kagum, dan naksir ke kamu. Dari awal kita ketemu, dari pertama kali aku ngelihat kamu—dari sejak itu aku mulai naksir sama kamu. Tapi aku pengecut karena nggak pernah berani deketin kamu. Dan aku bersyukur banget karena ternyata kamu juga punya rasa yang sama kayak aku. Awalnya aku bingung, kaget, dan nggak percaya. Tapi lama-lama aku juga sadar bahwa kita memang ditakdirkan untuk memiliki rasa yang sama, dan kita dipertemukan dengan cara 'tabrakan' untuk menyatukan cinta kita dan menjalani hari bersama-sama. Jadi intinya, aku ... aku mau jadi pacar kamu."
Farhan jelas gembira. Raut wajahnya berseri-seri. Senyumnya yang paling manis mengembang di kedua pipinya yang memerah. Wajah tampannya jadi makin enak dilihat ketika dia lagi bahagia gitu. "Ini serius, kan? Kamu nerima aku jadi pacar kamu? Kamu mau jadi pacar aku?"
Aku mengangguk, tersenyum malu-malu. "Aku mau jadi pacar kamu. Aku mau jalanin hidupku bareng kamu."
Farhan melompat dari sofa dan dia berlutut di hadapanku. Dia menggenggam kedua tanganku erat-erat, kepalanya mendongak menatap mataku. Matanya sangat tenang, seperti tetesan air hujan yang menyejukkan. Wajahnya juga imut dan tampan. Farhan berkata, "Makasih, Din. Makasih udah terima aku jadi pacar kamu. Aku sayang banget sama kamu. Aku beneran cinta sama kamu." Dan, dia mencium punggung tanganku. Ciuman yang lembut, manis, dan menggetarkan hatiku.
Dicium Farhan malah membuatku was-was. Kuperhatikan sekelilingku, takut ada orang―atau CCTV. Memang ada CCTV di pojokan atap, tapi ya sudahlah. Aku kan nggak mencuri apa pun di sini. Jadi aku mengelus rambut Farhan, dan dengan cepat kucium puncak kepalanya. "Aku juga sayang kamu. Aku cinta kamu. Mulai sekarang, aku milik kamu seutuhnya."
Farhan bangkit berdiri dan aku ikut berdiri. Dia merentangkan kedua tangannya berniat ingin memelukku, tapi aku mencegahnya. "Jelasin dulu. Kenapa di sini cuma ada kita berdua?"
Farhan tersenyum culas. "Pulang sekolah tadi aku langsung ke sini dan ngomong sama manajer yang mengelola tempat ini kalau aku mau booking Sky View ini untuk satu malam."
"Apa? Loh, kamu kok bisa—" Dia pasti bercanda, kan? Memangnya dia punya banyak duit buat booking semua tempat ini?
"Jangan kaget begitu deh," katanya, nyengir nakal. "Managernya teman mamaku. Jadi semuanya udah beres. Tempat ini udah aku booking jadi milik kita berdua. Nggak ada yang bakal ganggu kita malam ini―bahkan CCTV sekalipun." Dia tersenyum sambil menggesekkan hidungnya ke hidungku.
Mendengar kata-katanya membuatku ingin melompat memeluknya. Dan memang aku melakukannya. Aku melompat ke pelukan Farhan, dan dia menerima tubuhku ke dalam pelukannya. Badan Farhan lebih tinggi sedikit dari badanku, jadi tubuhku terasa pas di pelukannya. Dan—benar-benar luar biasa!—semua beban yang menghinggapi dadaku tiga hari belakangan mendadak lenyap tanpa sisa. Seolah ada letupan kebahagiaan yang meledak keluar dari dadaku, dan juga dada Farhan. Dalam pelukannya, kuhirup aroma parfumnya yang maskulin, yang dari dulu ingin sekali kuhirup sepuasku. Pelukan ini membuktikan cinta kami. Bahwa kami nggak terpisahkan. Bahwa mulai sekarang, nggak akan ada apa pun yang bisa memisahkan kami. Kami saling mencintai. Dan aku berjanji nggak akan pernah mencoba untuk melupakan Farhan lagi.
"Aku cinta banget sama kamu, Dino." Farhan membisikkan kata-kata ini di telingaku. Aku hampir meleleh mendengarnya.
"Aku juga cinta kamu, Farhan. Lebih dari apa pun."
Angin berembus dingin di sekitar kami, tapi kami nggak peduli. Pelukan ini menghangatkan. Tiba-tiba, Farhan melepas pelukan. Dia menatap mataku, dan aku menatap matanya. Kemudian, dia memegang pipiku. Dengan lembut dan penuh kasih sayang, dia mendaratkan ciumannya ke keningku, kemudian turun ke mataku, pipiku, dan terakhir, dia mencium bibirku. Tanpa ragu-ragu kubalas ciumannya. Ciuman Farhan terasa sangat lembut, manis, nikmat, bergairah, dan lututku lemas dibuatnya.
Ini ciuman pertamaku.
Farhan orang pertama yang menciumku.
Dan ciuman ini yang menyatukan kami.
Ciuman ini yang mengawali kisah cinta kami.
Bandar Lampung, 30 Mei 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top