Tiga
"A little sympathy, I hope you can show me." — Alec Benjamin, Let Me Down Slowly
LIMA hari kemudian berangkat sekolah rasanya lebih nggak semangat. Setelah Farhan mengancamku, rasa bersalah selalu menghantui pikiranku.
Sudah lima hari ini juga aku nggak berdiri lagi di depan kelas saat jam istirahat. Sekarang aku lebih banyak menghabiskan jam istirahatku di dalam kelas, mendengarkan musik sambil malas-malasan. Aku betul-betul harus bisa melupakan Farhan dan nggak boleh suka sama dia lagi. Aku nggak boleh terus-terusan menyiksa diriku seperti ini!
Sialnya, setiap hari aku pasti bertemu Retno. Dan setiap kali melihat wajahnya yang amit-amit, aku malah teringat wajah Farhan yang imut-imut. Bukan karena kemiripan yang membuatku ingat pada cowok itu, tapi karena kesalahan yang kubuat pada wanita ini yang membuat cowok itu sangat membenciku.
Yaaaaaaah, aku selalu mendesah seperti ini ketika mengingat kembali kesalahanku. Sambil merebahkan kepala di atas meja, kuposisikan kembali headset di telingaku yang hampir terjatuh. Nggak ada lagi yang namanya menunggu di depan kelas saat jam istirahat untuk melihat dan menghirup aroma parfum Farhan yang menggoda. Masa-masa itu sudah lewat.
Sudah lima hari ini Bimo selalu bertanya, "Lo kenapa, sih? Kok jadi kayak orang nggak punya semangat hidup?" Tapi aku nggak pernah menanggapinya. Yang aku lakukan cuma menggelengkan kepala, dan kurasa itu jawaban yang cukup singkat dan jelas. Aku nggak mungkin menceritakan alasan sebenarnya ke Bimo, karena kalau dia tahu aku nggak semangat gara-gara Farhan, dia pasti akan menyesal berteman dengan gay seperti aku. Yang pasti aku belum siap untuk menceritakannya ke Bimo.
Now Playing: Thinking Out Loud by Ed Sheeran. Lagu ini benar-benar terdengar nyaman di telingaku. Makna dari lagu ini kerasa sampai ke hati. Terkadang, ketika mendengar lagu ini sempat terbersit wajah Farhan yang selalu menggoda pikiranku. Wajahnya yang tampan, yang selalu kunantikan untuk lewat di depan kelasku. Tapi semua bayangan itu dihancurkan oleh kemarahan dan kata-kata ancamannya yang mengerikan.
Kenapa harus kayak gini, sih?! Yaaah, mulai deh aku galau! Kenapa kejadiannya harus seperti ini? Kenapa Retno dan Farhan harus bersaudara? Kenapa aku merasa sedih ketika Farhan marah padaku? Kenapa ini harus terjadi?—Aku terus mengulangi pertanyaan-pertanyaan ini di dalam kepala, berusaha mencari jawabannya, tapi yang kutemukan malah jalan buntu karena kenyataannya memang nggak ada jawaban untuk semua pertanyaan itu. Aaaarrggghhh, aku bisa stress kalau terus-terusan seperti ini!
"Selamat siang, Anak-anak," tiba-tiba Pak Surya nyelonong masuk ke kelas, yang kontan saja membuatku kaget. Segera kulepas headset dari telingaku. Apa-apaan sih bapak ini, masih jam istirahat kok udah masuk kelas? Sok rajin banget!, umpatku dalam hati.
"Siang, Pak ...," jawab seisi kelas.
Aku masih bingung, bapak ini yang kerajinan masuk kelas atau jam istirahatnya yang kelamaan? Kelas sudah agak ramai walau masih ada beberapa kursi yang kosong, termasuk kursinya Bimo.
"Kok bapak ini udah masuk, sih?" Aku berbisik pada Eva, yang duduk di depanku. "Istirahatnya kan belum selesai?"
"Lo mimpi?" Eva balik badan sambil cekikikan. "Bel udah bunyi dari tadi, Dino! Lo budek, ya? Makanya nggak usah keseringan pakek headset!"
Aku buru-buru WA Bimo:
Dmn lo? Pak Surya udah di kelas, cepet masuk! Mau cari mati lo?
Nggak lama kemudian Bimo balas. Katanya:
Gue disuruh Bu Nedra nganter bingkisan, udh izin meninggalkan kelas kok.
Bagus deh kalau memang lagi bantuin Bu Nedra, itu artinya dia lagi nggak godain cewek-cewek kelas sebelah yang memang terkenal karena keseksian dan kemontokannya. Bimo tergiur dengan salah satu dari mereka, dan setengah mati berusaha mencari perhatian cewek itu, tapi sampai sekarang usahanya belum membuahkan hasil.
Blaa, blaa, blaa ... Pak Surya memulai ceramahnya tentang materi pelajaran hari ini. Aku berusaha menyimak apa yang dia katakan, tapi sulit untuk mencerna dan mengartikan kalimat demi kalimatnya karena dia keseringan bicara menggunakan bahasa istilah. Ditambah lagi ketika sedang menerangkan, dia terkadang ikut terbawa suasana dan malah cerita ke hal lain di luar materi.
"Jadi," kata Pak Surya, "sumber pencemar logam Timbal (Pb) adalah asap kendaraan bermotor yang mengandung tetra ethyl lead (TEL) yang terdapat pada bensin. Oleh karena itu bagi kalian yang memiliki kendaraan bermotor sudah seharusnya memahami hal-hal tersebut." Dia diam sejenak untuk memperoleh efek. Tapi percuma saja. Beberapa teman sekelasku ada yang bergumam dan berbisik-bisik pelan, dan karena merasa nggak ada yang memperhatikan, Pak Surya melanjutkan, "Yang penting kalian harus hati-hati pada bahan kimia yang ada di lingkungan kita ..." Pak Surya ganteng juga, godaku dalam hati. Sayangnya dia tua dan membosankan.
Cukup lama dia menjelaskan tentang jenis-jenis bahan kimia berbahaya dan dampaknya bagi kesehatan manusia, sampai akhirnya nggak ada lagi yang ingin dia sampaikan. Mengakhiri materi hari ini, Pak Surya menyuruh kami semua untuk mengerjakan tugas.
Eva hampir selesai mengerjakan tugasnya, dan aku yang sudah mendapat izin resmi, tanpa basa-basi lagi langsung memindahkan jawabannya ke lembar tugasku. Saat ini aku lagi malas cari jawaban, jadi aku mengambil jalan pintas saja (baca: mencontek). Tapi jangan kalian pikir aku ini bodoh, ya!
Selesai tugas kukerjakan, segera kukumpulkan ke meja Pak Surya.
Setelah aku duduk kembali, Pak Surya memukul meja dan berseru, "Sekarang semua tugasnya dikumpul!" Banyak murid yang mengeluh karena belum selesai mengerjakan. "Yang belum selesai tinggalkan saja! Ayo cepat dikumpul!" Pak Surya adalah tipe guru yang disiplin. Ketika dia berkata "kumpulkan!" maka semua tugas, baik yang sudah ataupun yang belum selesai, harus dikumpulkan tanpa terkecuali.
"Dino." Pak Surya memanggilku setelah semua tugas dikumpulkan.
"Iya, Pak?" jawabku, dengan sopan menghampiri mejanya.
"Tolong kamu bawa tugas-tugas ini ke ruangan saya," perintahnya. Sedikit informasi, guru Kimia-ku ini punya ruang kerjanya sendiri, karena selain guru Kimia, dia juga memegang jabatan kepala bidang kurikulum yang mengatur jadwal pelajaran setiap kelas supaya nggak tabrakan.
"Baik, Pak." Aku mengangguk. Dengan hati-hati tanganku mulai mengangkat buku-buku yang bertumpuk itu, dan meninggalkan kelas.
Ruang Pak Surya berada di dekat perpustakaan. Aku harus melewati dua kali belokan untuk bisa sampai ke sana. Belokan pertama ada di sebelah kiri kelas, jadi kulangkahkan kaki ke sana. Aku jalan santai dan hati-hati karena membawa tumpukan buku. Gema suara ribut khas anak-anak sekolah ketika jam pelajaran kosong terdengar di telingaku.
Aku melangkah agak lebih cepat ketika mendekati belokan kedua—karena belokan ini dekat dengan kelas Farhan, jadi aku ingin cepat-cepat melihat seperti apa Farhan ketika lagi duduk di dalam kelas. Apakah dia kalem? Atau justru malah pecicilan dan doyan ngobrol selagi guru menerangkan? Atau dia malah suka tidur di kelas? Ah, aku penasaran.
Saat aku melangkah cepat-cepat, pada saat bersamaan dari arah berlawanan ada seseorang yang berlari tergesa-gesa menuju ke arahku. Dan sialnya—entah disengaja atau nggak—orang yang berlari itu menabrak bahuku dengan sangat keras. Aku, yang nggak siap dengan tabrakan itu, akhirnya oleng, dan terjatuh ke lantai! SIAL, aku jatuh!
"Aduuuh!" Aku berteriak kesakitan ketika tulang ekorku menabrak lantai yang keras. Uh, rasanya sakit banget. Buku-buku tugas jatuh dan berantakan ke mana-mana! Wah, bahkan ada yang jatuh ke selokan! "Woy! Kalau lari lihat-lihat doong!!!" teriakku dongkol, kesal, marah, sakit! Oh shit!
Orang yang menabrakku bukannya menolong, eh dia malah kabur menghindariku! Anjrit! Aku juga nggak terlalu berharap mau ditolong sih, tapi ya seharusnya dia ngerti, dong! Bantuin mungutin buku-buku itu kek, atau apa kek, yang penting ada tanggung jawabnya! Dasar lempar batu sembunyi tangan!!!
Aduuuh pantatku sakit! Aku masih belum sanggup berdiri, tapi aku terus mencoba, walau sakit yang teramat sangat menyiksa bokongku.
Di saat aku mencoba berdiri ... "EH?!" Aku tersentak kaget, tiba-tiba ada seseorang menggenggam lenganku dan membantuku bangun. Aku belum tahu siapa yang membantuku, tapi aku yakin pasti cowok, karena tangannya begitu kokoh dan kuat. Tapi beruntung deh ada yang mau berbaik hati menolongku.
"Lo nggak apa-apa?" Cowok itu bertanya.
Aku balik badan untuk melihat siapa yang menolongku. Dan setelah melihatnya, aku mati kutu. Wajah ganteng cowok ini ... dia yang menolongku! Mati-matian aku berusaha bersikap senormal mungkin di hadapannya, tapi nggak bisa! Bibirku bergetar, mataku menatap nanar, hatiku berdebar-debar. Itu Farhan! Astaga, itu Farhan! Lihat, dia yang membantuku berdiri! Dan sekarang kami berhadapan, agak jauh, tapi aku cukup bergetar menatap wajahnya yang bagaikan Glenn Alinskie dari jarak sedekat ini. Oh Tuhan, terima kasih, terima kasih.
"Sini, biar gue bantuin," Farhan menundukkan badannya, dan dengan cepat memunguti buku-buku tugas yang berantakan di lantai. Bahkan tanpa jijik dia mengambil buku yang jatuh ke selokan! Setelahnya dia kembali menyusun buku-buku itu. Sambil menyerahkan, dia berkata, "Lain kali kalau jalan hati-hati!" Entah aku salah lihat atau Farhan memang tersenyum manis padaku?
Kukerjapkan mata. Apakah aku bermimpi? Ini Farhan, orang yang sudah membuatku galau berhari-hari, dia yang menolongku? Dan dia juga memegang tanganku? Ini bukan mimpi, kan? Oh Tuhan, kalaupun ini mimpi tolong jangan bangunkan aku.
"Sakit nggak tuh kakinya?" Dia bertanya, memperhatikan kakiku. Memang, aku merasa agak sedikit ngilu di bagian kaki dan pantat. "Kalau sakit bawa ke UKS aja," sarannya.
"Nggak apa-apa kok, nggak seberapa sakit cuma ngilu dikit aja. Bentar lagi juga ilang."
"Yakin nggak apa-apa?" tanyanya lagi.
Kuputar pergelangan kakiku, menunjukkan padanya bahwa nggak ada kerusakan yang terlalu parah. "Lihat, kan? Nggak apa-apa kok, udah nggak seberapa sakit lagi."
"Ya udah, lain kali hati-hati kalau jalan." Dia menanggalkan senyumnya lagi, lalu balik badan membelakangiku, berniat pergi.
"Eh, tunggu!" Entah apa yang mendorongku berteriak hingga membuat langkahnya terhenti. Farhan membalikkan badan dan menatapku bingung. Aku jadi gugup, kenapa aku manggil dia lagi? Eh iya, aku harus mengucapkan, "Makasih, ya."
"Sama-sama." Tanpa diduga dia membalas ucapanku. Tersenyum lebih manis sekali lagi, dia pun pergi meninggalkanku bersama ledakan sejuta rasa bahagia di dalam dadaku.
Ini pertama kalinya aku benar-benar merasa bahagia! Farhan tersenyum padaku, dan dia memegang tanganku! Dia membantuku, dan dia juga mau bicara denganku! Apakah ini artinya dia nggak membenciku? Apakah setelah ini kami sudah bisa berteman? Apakah dia sudah melupakan semua kejadian lima hari lalu?
Kugelengkan kepala keras-keras. Wah, kok jadi mikirin Farhan lagi, ya? Aku kan lagi mencoba untuk melupakan dia, dan aku nggak boleh suka sama dia!
Sosoknya yang tampan, pintar, dan baik hati berhasil membuatku kembali mengagumi dirinya dan menumbuhkan rasa cinta yang jauh lebih besar padanya. Kejadian tadi cukup untuk membuktikan bahwa Farhan bukan cuma bagus dari luar, tapi juga dari dalam. Di balik wajah gantengnya itu tersimpan kebaikan hati yang tulus menolong sesama. Aaaargh Farhan, aku jadi makin cinta padamu!
Melepas keterkejutanku, kubalikkan badan, dan meninggalkan lorong.
Bandar Lampung, 24 Mei 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top