Satu
"For the first time I saw you, you make me feel like... Damn!" — Teza Sumendra, I Want You, Love
ITU dia.
Dia adalah Farhan Satya Al-Hadil.
Nggak ada cowok lain di sekolah ini yang bisa menarik perhatianku kecuali dia. Dia itu ganteng banget, sumpah! Kulitnya putih cerah, hidungnya mancung banget kayak paruh burung elang, matanya agak-agak sipit dengan tatapan teduh kayak tetesan air hujan, dan bibirnya—ya ampun ini bagian yang paling aku suka dari wajahnya—warnanya merah banget kayak buah stroberi yang lagi matang-matangnya. Aku selalu penasaran, bibir itu rasanya asem-manis kayak stroberi nggak, ya? Dan yang paling kukagumi dari Farhan selain bibirnya adalah rambut dan badannya. Rambut dia tuh warnanya hitam legam gitu kayak langit malam hari, dan badannya juga bagus: atletis dan berisi. Farhan memang sangat mempesona, orang-orang banyak yang memperhatikannya ketika dia berjalan di sepanjang lorong sekolah.
Oh ya, omong-omong namaku Aldino Patra Raihansyah. Teman-temanku biasa memanggilku Dino karena menurut mereka itu lebih praktis. Aku seorang siswa kelas sebelas di salah satu sekolah negeri di kota Bandar Lampung. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Papaku seorang pegawai negeri sipil yang bekerja di salah satu kantor instansi pemerintahan di kota ini. Selain itu, untuk memperbaiki investasi jangka panjang, Papa juga seorang wirausaha yang memiliki beberapa toko alat-alat kantor yang bercabang di kota ini. Sedangkan mamaku sering melakukan bisnis pengkreditan. Aku punya satu adik perempuan yang saat ini duduk di bangku SMP kelas 9. Aku hidup dalam lingkungan keluarga yang sangat menyenangkan dan nggak kekurangan suatu apapun.
Di sekolah, seperti layaknya remaja pada umumnya, aku punya banyak teman. Tapi cuma ada tiga orang yang benar-benar berteman dekat denganku. Selain itu, tanpa bermaksud menyombongkan diri, aku juga punya banyak fans. Mulai dari cewek-cewek kelas sepuluh sampai anak kelas dua belas banyak yang menyukaiku. Dan sekali lagi kutekankan: aku nggak bermaksud menyombongkan diri, aku cuma mengatakan apa yang sebenarnya terjadi di kenyataan.
Banyak orang bilang aku punya wajah yang cukup menarik dan menggoda. Kata orang, wajahku benar-benar enak dilihat dan nggak mengecewakan. Kulitku memang putih, mukaku nggak banyak jerawat, dan badanku juga cukup berisi—nggak gemuk, tapi nggak terlalu kurus juga—dan kata orang semua ini menambah daya tarikku. Aku nggak pernah merasa diriku menarik, sampai akhir-akhir ini mulai kusadari makin banyak cewek yang terang-terangan menyatakan cinta padaku.
Dia, Farhan Satya Al-Hadil, lewat begitu saja di depan mukaku. Aku ingin sekali menyapanya, tapi aku malu. Kalaupun berani untuk menyapanya, emang dia bakal membalas sapaanku? Dan misal pun dia membalasnya, lalu apa yang harus kukatakan selanjutnya? Bahwa sapaanku tadi cuma iseng doang? Nggak mungkin, kan? Jadi aku cuma diam saja berdiri di ambang pintu kelas sambil memandangi punggungnya yang sekarang berbelok menghilang ke arah kantin. Hari ini, gagal lagi.
Inilah kegiatan rutinku setiap jam istirahat: berdiri di depan kelas menunggu kedatangan Farhan Satya Al-Hadil. Kedengarannya konyol, tapi memang inilah kebiasaanku. Setiap hari Farhan pasti lewat sini untuk ke kantin atau ke WC, karena jalan tercepat menuju ke dua tempat itu adalah dengan melewati lorong tempat kelasku berada ini.
"Mau permen karet?" Seseorang berkata di belakangku sambil menyodorkan tangannya yang penuh permen karet. Aku mengambil satu. "Ke South Bank, yuk? Mau nggak?" Dan dia ini adalah Bimo, sahabat baikku.
"Malam ini?" tanyaku, melumat permen karet.
Dia mengangguk. "Iya, sekitar jam sebelas." Tangannya menggaruk rambutnya yang kribo. "Ikut, ya? Egy juga ikut, kok. Dia udah confirm."
Oh ya, kenalin, temanku yang gendut, berambut kribo, dan doyan ngunyah permen karet ini namanya Bimo. Anaknya asyik dan humoris sehingga dia cocok bergaul denganku. Dan temanku yang namanya Egy, dia kakak kelasku. Anaknya asyik dan agak gatel sehingga aku dan Bimo mudah bergaul dengannya.
"Lendra gimana? Udah confirm?" Lendra adalah adik kelasku. Anaknya juga asyik dan agak pembangkang sehingga dia mudah menyesuaikan diri ketika bergaul dengan kami.
Bimo menggeleng, rambutnya yang kribo goyang-goyang. "Belum. Udah gue WA kok, tapi belum di-read. Lo tahu sendiri kan dia gimana?" Aku mengangguk, ngerti apa yang dia maksud. Dia menambahkan, "Biar Egy yang hubungin dia."
Aku mengangguk lagi. "Oke, gue ikut."
Bimo mengacungkan jempol dan balik badan ke dalam kelas.
Kembali menolehkan kepala ke luar kelas, aku melipat tangan di depan dada sambil bersandar di engsel pintu. Aku masih menunggu Farhan Satya Al-Hadil untuk lewat di depanku lagi. Aku suka aroma parfumnya yang selalu tercium ketika dia berjalan di dekatku.
Seperti yang kubilang di awal, Farhan itu satu-satunya cowok di sekolah ini yang bisa buat aku degg-deggan, buat aku melayang, buat aku tergila-gila. Dia itu sempurna banget, deh. Ganteng, pintar, kapten tim futsal, dan juga aktif di OSIS. Jadi nggak heran kalau cewek-cewek banyak yang menggandrunginya—dan nggak sedikit juga cowok-cowok yang iri padanya.
Jujur, aku sendiri masih nggak tahu kenapa bisa suka sama Farhan. Yang aku tahu, setiap kali berada di dekatnya jantungku berdetak sangat cepat dan berdebar-debar kuat, lalu perutku langsung kayak kemasukan kupu-kupu, geli dan menyenangkan. Dan pada saat bersamaan, tubuh ini seperti ingin memeluknya, ingin menghirup lebih banyak aromanya yang menyenangkan itu.
Logikaku selalu berkata bahwa rasa sukaku pada Farhan adalah sebuah kesia-siaan besar, tapi perasaanku nggak pernah sejalan dengan apa yang logikaku katakan. Nyatanya, seberapa kuat aku berusaha menolak perasaan ini, tetap saja nggak bisa dan rasa suka tumbuh semakin besar padanya.
Sejujurnya, seperti yang kubilang tadi, banyak cewek-cewek yang naksir dan secara terang-terangan menyatakan cinta padaku, tapi aku nggak pernah merespons mereka karena aku nggak punya rasa apa-apa sama mereka. Lebih baik menolak daripada menerima tapi aku nggak suka. Bahkan waktu itu, Retno, teman sekelasku yang juga naksir denganku, nekat mau bunuh diri gara-gara cintanya aku tolak! Gila, kan?
Aku nggak bisa menyukai perempuan, baik secara fisik ataupun emosional—atau demi menutupi "kehomoan"-ku pun nggak bisa. Oke, mungkin ini terdengar sangat aneh dan nggak menyenangkan, tapi beginilah faktanya! Aku bukan tipe orang yang munafik—aku nggak mungkin memungkiri suatu hal yang jelas-jelas memang benar keadaannya seperti itu.
Oke, kita jangan bahas itu dulu. Sekarang kembali ke Farhan.
Walaupun nggak pernah bertegur sapa, tapi aku sudah hampir tahu semua tentangnya. Ya itu memang sudah sangat jelas, kan? Aku menyukai Farhan—dan sekali lagi kutegaskan: aku sangat menyukainya—sampai-sampai aku ingin jadi orang pertama yang tahu segala hal tentangnya. Tapi sejauh ini yang aku tahu adalah: Farhan pindah ke sekolah ini awal tahun ajaran baru. Dia anak tunggal dalam keluarganya. Ibunya PNS, dan ayahnya kepala cabang di salah satu perusahaan BUMN. Kalau berangkat sekolah Farhan selalu bawa motor gede miliknya—dan beberapa kali pernah kulihat dia bawa mobil. Hobinya main futsal, makanan kesukaannya sate kambing, ukuran sepatunya 41, warna kesukaannya merah. Dia menguasai hampir semua mata pelajaran dan selalu mendapat nilai ulangan terbesar di kelasnya. Walaupun beda kelas, tapi aku sudah tahu banyak hal tentang dia. Kebanyakan informasi tentangnya aku dapatkan dari teman-temanku yang sekelas dengannya.
Aku masih ingat pertama kali bertemu Farhan—lima bulan yang lalu—rasanya kayak bertemu Glenn Alinskie langsung. Waktu itu aku lagi jalan di lorong menuju kelas, lalu entah disengaja atau nggak, badanku ditabrak oleh seseorang. Karena kesal, aku berniat ingin membuat perhitungan dengan orang itu. Tapi seketika kekesalanku menghilang karena orang yang menabrakku wajahnya sangat tampan. Kulitnya yang putih, bersih, dan mulus tanpa jerawat itu seolah-olah memancarkan sinar yang menyilaukan mata sehingga aku nggak jadi marah-marah dan malah diam mematung menikmati aroma parfum cowok tampan yang beberapa detik lalu ingin kumarahi.
Orang yang menabrakku itu—yang setelah seminggu kemudian kuketahui namanya adalah Farhan—meminta maaf, dan kemudian berlari dengan cepat. Setelah tabrakan itu aku mulai cari-cari informasi tentangnya. Mencari-cari informasi tentang cowok yang wangi parfumnya enak itu.
Seminggu setelahnya aku merasa seperti terhipnotis oleh ketampanannya. Wajahnya yang enak dipandang selalu berputar-putar dalam benakku. Aku selalu merasa gelisah dan kehilangan arah kalau sehari nggak bertemu dengannya di sekolah. Jatuh cinta, mungkin. Tapi apa mungkin jatuh cinta secepat ini? Apa bisa ini dibilang cinta? Atau hanya suka sesaat saja? Ah, ini kali ya rasanya cinta pada pandangan pertama?
Dari dulu sampai sekarang pun aku masih tetap memperhatikan Farhan, masih mengagumi sosok gantengnya itu. Ingin sekali berteman atau bersalam sapa dengannya, tapi aku ragu untuk memulai duluan. Dan sialnya dari awal pertemuan sampai sekarang pun aku belum, dan bahkan nggak pernah ngobrol dengannya.
Sampai akhirnya, setelah cukup lama mengamati dan cari-cari informasi, aku mulai menyadari Farhan sering pulang-pergi dari kelasnya menuju kantin atau WC. Dan seperti yang tadi kukatakan, kalau mau pergi ke dua tempat itu, dia pasti lewat depan kelasku. Karena tahu hal itu, aku jadi rajin nunggu di depan kelas hanya untuk melihat Farhan yang ganteng dan baunya enak itu!
Apakah aku sudah keterlaluan menyukainya sampai sejauh ini?
"Ngelamun aja!" Suara serak-serak basah membuyarkan lamunanku.
Ah, siapa sih ganggu aja! Aku paling benci kalau lagi ngelamunin Farhan, pasti ada aja yang ganggu! Kubalikkan badan untuk mengetahui siapa yang mengganggu lamunanku. Dan ternyata itu adalah Retno, teman sekelasku yang nyaris bunuh diri gara-gara cintanya aku tolak! Lihat muka Retno, aku langsung males. Entah kenapa, sejak drama bunuh diri yang dia lakukan waktu itu membuatku jadi tambah nggak suka dengannya.
"Bukan urusan lo!" kataku, jutek. Aku benci anak ini. Dia menyebalkan. Maksa-maksa aku untuk jadi pacarnya, padahal aku sudah bilang nggak mau.
"Jutek amat jadi cowok." Dia mengedipkan sebelah matanya.
Lihat, kan? Dia malah godain aku sekarang.
"Nggak penting banget deh lo!" kataku, gusar. "Pergi sih!"
"Ah, kamu jahat ya sama aku." Retno makin kurang ajar, dia mencolek daguku! Udah unmood banget sama perempuan ini.
"Apaan sih lo colek-colek!" Aku kesal, benci, marah. Kudorong dia.
Aku nggak bermaksud membuatnya terjerembab ke lantai, tapi toh dia jatuh juga.
"Kamu kok sekarang jahat, sih?" katanya, memelas. "Salah aku ke kamu apa?"
"Nggak usah sok melas lo di depan gue!" Aku berteriak sekarang saking kesalnya dengan Retno yang penuh drama. Dia pasti sengaja menjatuhkan diri ke lantai biar aku care gitu maksudnya?
"Ciyeee berantem lagi. Ciyeee ..." Anak-anak di dalam kelas mulai bersorak meledek kami. Seolah-olah aku dan Retno lagi main sinetron, dan mereka itu penontonnya. Aku memelototi mereka, tapi malah membuat mereka makin buas meledek kami. "Ciyeee Dino dan Retno lagi broken home. Ciyeeee! Cuit, cuit!"
Dan amarahku pun memuncak. "Sial lo cewek sial! Lo itu udah gue tolak! Gue NGGAK SUKA SAMA LO! Harus berapa kali gue bilangin sih biar lo paham?! Gue nggak mau digangguin cewek laknat kayak lo lagi!" Aku membentaknya.
Kulihat wajah Retno mulai merah. Matanya juga merah. Nggak lama kemudian air mata mengalir deras dari pelupuknya. Aku malah makin nggak suka lihat dia nangis! Terserah dia mau nangis kek, mau lapor ke guru kek, aku nggak peduli! Yang penting aku benci sama dia dan nggak mau lagi diganggu olehnya!
"Kamu—" Dia berdiri sambil melepas kacamata besarnya. "Kamu jahat sama aku!" Dia berteriak dan menyeka air mata, juga ingus yang ikut-ikutan keluar dari hidungnya. Ew. Males banget deh.
Setelahnya dia pergi meninggalkan kelas, pasti mau nangis di WC. Huh! Setelah nangis dia pasti bakal cerita ke teman-temannya kalau aku menyakiti dia, padahal aku dorong dia juga nggak pakai tenaga. Dan tadi pas dia jatuh ke lantai juga kelihatan banget dramanya, ew.
Anak-anak di dalam kelas mengeluh, "Yaaaah, udah habis deh sinetronnya!" Sebel sih diejek begini, tapi mau gimana lagi?
Kuhirup udara segar, mengatur dadaku yang naik turun karena masih kesal. Tarik napas, embuskan ... Tarik, embuskan ... Pikiranku mulai terbebas dari energi negatif, dan digantikan oleh energi positif. Wajah Farhan yang ganteng kembali memenuhi isi kepalaku.
Aku tahu—seperti yang selama ini selalu kuketahui—rasa sukaku ke Farhan hanyalah sia-sia belaka. Untuk apa aku memikirkan dan selalu memujanya sedangkan dia saja kayaknya nggak tahu kalau aku ada di dunia ini. Tapi anehnya, makin lama ini dibiarkan justru malah makin parah aku memujanya. Memang membingungkan perasaanku ini: aku suka sama Farhan, tapi malu untuk jadi temannya. Dan bodohnya kenapa aku nggak punya keberanian untuk mulai berteman dengannya? Huuaaaah ... ya sudahlah, selama masih bisa melihat dan mencium aroma parfumnya, dengan begitu aku sudah puas, kok.
Yah, paling nggak itulah alasanku.
Akhirnya orang yang kita bicarakan datang juga. Farhan muncul dari arah kantin. Dia jalan dengan tegap dan gagah seperti biasa: tangannya terayun pelan seirama gerakan kakinya yang kokoh menopang beban tubuhnya. Ah, aku makin mengagumi keindahannya. Tepat di samping Farhan, mataku menangkap sosok Retno melangkah bersamanya. Aku bingung, kenapa Farhan jalan bareng Retno? Apa mungkin mereka pacaran? Ah, nggak mungkin. Kalau aku yang ganteng begini aja nolak dia, apalagi Farhan yang gantengnya luar biasa itu? Retno pasti langsung dibuang ke tong sampah, hahaha.
Tiba-tiba Farhan berhenti tepat di depanku, yang membuat jantungku mulai berdegup kencang. ASTAGA! Aku membelalakkan mata, mencoba menyadari apakah ini mimpi? Ternyata bukan! Ya Tuhan, bisa kurasakan darah mengalir sangat deras menuju ke muka—pasti sekarang mukaku merah! Aku malu, shock, dan nggak percaya Farhan Satya Al-Hadil yang selama ini kukagumi, yang selama ini kudambakan dalam hati, berdiri tepat di hadapanku! Rasanya aku mau pingsan, tapi segera kusadari bahwa aku harus bersikap gentle di depannya. Aku nggak boleh menunjukkan satu gerakan apa pun yang menandakan bahwa aku suka padanya. Sesulit apa pun, harus bisa kukontrol semua gerakanku.
"Lo yang namanya Dino?" tanyanya.
Suara Farhan indah banget oh Tuhan, mirip suara Ed Sheeran, merdu banget. Aku sampai nyaris kehabisan napas. Ternyata dia mengenaliku dan tahu namaku! Tahu dari mana, ya? Ah bodo, yang jelas dia tahu aku!
Aku harus menelan ludah dulu sebelum menjawabnya karena aku nervous banget berada di jarak sedekat ini dengannya. Ini pertama kalinya dia bicara denganku. "Iya, gue Dino. Kenapa?" Suaraku bergetar, berusaha aku buat setegas mungkin, tapi gagal.
"Lo ngapain anak ini sampai dia nangis?" Farhan menunjuk ke Retno yang berdiri di sampingnya. Aku melirik Retno, baru sadar dia masih ada di antara kami—atau sebenarnya aku yang ada di antara mereka?
"Nggak ada urusannya sama lo!" Aku tahu suaraku masih gemetar, dan aku yakin sebentar lagi bicaraku pasti tergagap-gagap.
"Sekarang jadi urusan gue!" Suara Farhan makin tegas, berat seperti menahan emosi. Kok dia emosi, ya? Memangnya ada apa, sampai-sampai urusanku dengan Retno juga jadi urusannya?
Aku makin gemetar, bukan karena takut, tapi karena masih shock. "Memang lo siapa, sok jadi pahlawan ikut campur urusan orang!" Aku heran, jangan-jangan Farhan pacarnya Retno? Ah, mustahil! Jadi, siapa dong? Buat apa Farhan mau tahu urusanku dengan Retno kalau dia nggak ada hubungan 'apa-apa' dengan perempuan itu. Iya, kan?
"Gue kakak sepupunya Retno!"
JJJJEEEGGGGEEERRRR!!!! Aku merasa seperti disambar petir! Farhan kakak sepupu Retno? Mereka bersaudara? Astaga, kenapa aku nggak pernah menyangka? Aku ingin pingsan saking terkejutnya!
Aku membelalak lebar. "Lo ... lo kakak sepupunya di-di-di-dia? Lo berdua sodaraan?" Aku benci bicaraku yang tergagap-gagap. Masih nggak percaya, kupandangi Farhan dan Retno untuk mencari persamaan yang mereka miliki. Tapi nggak ada satu pun persamaan di antara mereka! Mereka jelas bukan seperti saudara, tapi lebih mirip kayak pembantu dan majikan—dengan Retno sebagai pembantu, of course
"Iya! Kenapa?" Farhan memajukan badan, dan itu membuatku makin degg-deggan. Dia membusungkan dada, matanya melotot. Aku nggak sanggup menatapnya, jadi kutundukkan kepala menatap lantai. Samar-samar tercium wangi parfumnya yang selalu aku sukai. Wangi parfum cowok, maskulin dan memabukkan! Ingin sekali kulingkarkan lenganku di pinggang rampingnya dan menghirup aroma parfumnya sepuasku. Tapi aku sadar ini bukan saat yang tepat untuk melakukan itu. Dan kalau aku memang nekat melakukannya, dia pasti sudah terlebih dulu menonjok hidungku sampai patah.
"Kalau lo emang beneran laki, nggak usah ganggu adek gue lagi! Ngerti nggak?!" tambahnya, lebih mengancam.
What the F? Jelas-jelas Retno yang ganggu aku, kenapa malah aku yang dituduh gangguin dia? Wah, si Retno pasti playing victim lagi nih. Pingin banget kuceritakan kejadian yang sesungguhnya ke Farhan, tapi entah kenapa aku malah nggak bisa mengucapkan apa pun. Tiba-tiba saja lidahku kelu.
"NGERTI NGGAK LO!" bentaknya. Aku tersentak.
Farhan pasti membenciku. Hilang sudah harapanku untuk berteman dengannya. Aaaaaarrrrggghhhh! "Iya iya gue ngerti!" Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku menyerah tanpa perlawanan. Aku benci posisiku sekarang: terjepit di antara keberanianku melawan Farhan dan ketidakberdayaanku pada sorot matanya yang tajam serta aroma parfumnya yang enak itu.
Aku masih menundukkan kepala. Kemudian kudengar Farhan berkata, "Ya udah, sekarang masuk deh ke kelas, dia nggak bakal ganggu kamu lagi. Kalau dia cari gara-gara lagi, bilang aja ke aku!" Aku iri sama Retno yang dikasih perhatian sama Farhan.
Aduh, sial! Ini pertama kalinya aku bicara dengan Farhan. Bukannya sweet moment yang kudapat, tapi malah sebuah ancaman! Aku benar-benar sial hari ini!
Sumpah, aku nggak pernah tahu Farhan dan Retno bersaudara. Seandainya aku tahu ini lebih awal, mungkin kejadiannya nggak akan seperti ini. Dan, kenapa juga aku harus meladeni si Retno? Kalau aku nggak meladeni perempuan itu, mungkin ini nggak akan pernah terjadi! Oh damn! Aku benar-benar sial hari ini!
"Inget kata-kata gue!" Farhan memuntahkan ancaman terakhirnya. Walaupun tertunduk, tapi bisa kurasakan tatapannya yang tajam seolah-olah menusuk ke dalam jantungku. Kemudian langkahnya terdengar menjauh.
Aku mengangkat kepala. Dengan berat hati, kutatap Farhan yang melangkah pergi meninggalkanku bersama sejuta rasa penyesalanku.
Bandar Lampung, 23 Mei 2021 — Gimana guys? Suka sama ceritanya? 100 votes, bab berikutnya aku publish hehehe.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top