Lima Belas

"The first time that you touched me, oh will wonders ever cease? Blessed be the mystery of love." — Sufjan Stevens, Mystery of Love


SIAPA yang harus kupilih, Farhan atau Lendra? Semalam aku nggak bisa tidur nyenyak karena pertanyaan itu terus muncul dalam kepalaku. Aku baru bisa tidur setelah otakku lelah untuk berpikir. Dan ketika bangun dari tidur, bukannya pergi, pertanyaan itu malah merusak pagiku.

Aku tahu, banyak dari kalian yang lebih memilih Farhan untuk jadi pacarku. Sama seperti kalian, aku juga menginginkan Farhan—sangat menginginkannya untuk jadi pacarku. Tapi kalau aku pilih Farhan, apa yang akan terjadi pada Lendra? Dia akan sakit hati dan merasa ditinggalkan lagi, seperti yang dilakukan ayahnya. Dan aku nggak mau itu terjadi pada Lendra. Aku nggak mau. Dia bisa jadi kacau lagi.

Aku bangun, tapi nggak langsung mandi. Aku berencana nggak masuk sekolah dulu hari ini. Aku belum siap bertemu Lendra atau Farhan, karena aku belum bisa memutuskan untuk memilih siapa. Aku masih perlu waktu untuk berpikir. Jadi kubuka pintu kamar dan langsung turun ke dapur.

Di dapur cuma ada Mama. Dea dan Papa pasti masih sibuk mandi atau pakai seragam. Seperti biasa, Mama lagi sibuk sama kompor dan sesuatu yang digorengnya.

"Loh, kamu belum mandi?" tanya Mama ketika melihatku masih mengenakan piama.

Aku menggeleng. "Aku nggak sekolah dulu deh, Ma." Suaraku parau khas orang bangun tidur.

"Kenapa? Kamu sakit?" Mama meletakkan punggung tangannya di keningku. "Tapi badan kamu nggak panas."

Aku menggeleng dan memberi alasan yang sama dengan yang pernah kuberikan waktu itu, "Badanku capek, Ma. Aku pingin istirahat dulu hari ini."

"Oke," kata Mama. "Biar nanti Mama hubungi wali kelas kamu."

Aku mengangguk dan menghela napas. Hari ini aku bisa lolos dari mereka, tapi besok-besok aku harus menghadapi kenyataan. Aku nggak bisa terus-terusan menghindari Lendra dan Farhan hanya karena aku nggak bisa memutuskan siapa di antara mereka yang lebih aku inginkan untuk jadi pacarku. Cepat atau lambat, suka atau nggak suka, aku pasti akan menghadapi hari di mana aku harus menolak salah satu di antara mereka.

Sebenarnya aku bahkan nggak tahu siapa yang benar-benar aku inginkan. Apakah benar aku menginginkan Farhan? Sebab kalau aku memang benar-benar menginginkan Farhan, kenapa aku masih saja memikirkan perasaan Lendra? Kalau aku benar-benar menginginkan Farhan, seharusnya mudah bagiku untuk menolak Lendra dan membiarkannya terpuruk dalam rasa sakitnya.

Mungkin sebenarnya aku juga menginginkan Lendra.

Rasanya aku ingin menjerit. Aku nggak tahu siapa yang benar-benar kuinginkan!

Sepertinya aku harus bertanya pada orang lain. Seseorang yang lebih banyak tahu tentang cinta. Seseorang yang bisa menjaga rahasia. Tapi, siapa? Aku nggak punya teman yang bisa kuajak curhat. Aku punya Egy dan Bimo, tapi aku nggak mungkin berbagi masalah ini ke mereka. Dan kalaupun misalnya kuceritakan masalah ini ke mereka, mereka pasti bakalan kepo dan memaksaku memberitahu siapa orang yang kuceritakan itu. Nggak, Egy dan Bimo bukan orang yang bisa aku ajak cerita.

"Kamu ngelamunin apa, sih?" Suara Mama mengusik lamunanku. Dia memindahkan nasi goreng dari wajan ke piringku.

Aku memandangnya. Biasanya Mama adalah orang pertama yang kuajak cerita kalau aku punya masalah yang nggak bisa kuselesaikan sendiri. Tapi untuk masalah yang satu ini, aku nggak mungkin menceritakannya ke Mama. Nggak, itu bukan memperbaiki keadaan, justru malah akan memperburuknya.

"Nggak apa-apa, lagi pingin ngelamun aja kok, Ma."

"Pasti juga ngelamunin cewek!" Aku kaget mendengar suara Dea yang entah kapan datangnya tahu-tahu sudah ada di dapur.

"Dari mana kamu dateng?" tanyaku keheranan.

Dea memandangku lebih heran. "Dari kamar, lah," jawabnya. "Kamu keasikan ngelamun sih, jadi nggak lihat aku datang." Dea mengambil sendok dan garpu di tengah meja makan. "Kakak kenapa, sih? Dari kemarin ngelamun melulu. Lagi ada masalah?"

Aku menggeleng, mengabaikannya. "Bukan urusan kamu."

Dea mengangkat bahu, nggak peduli, kemudian menyantap nasi gorengnya.

"Eh Dino, mumpung kamu nggak sekolah, nanti siang jaga rumah, ya? Mama sama Papa mau pergi ke rumah Om Raihan." Om Raihan adalah adik kandung Papa yang merupakan salah satu dari dua orang yang menjadi asal nama panjangku.

Aku mengangguk, mengiyakan.

Nggak lama kemudian Papa datang dan ikut gabung sarapan. Papa melihat ke arahku yang nggak pakai seragam sekolah dan bertanya, "Kamu sakit?"

Aku menggeleng. "Lagi males sekolah aja, Pa."

"Sekolah kok males-malesan," kata Papa, menghidupkan iPad yang sudah stand by di mejanya. "Gimana mau pintar kamu!"

"Kak Dino pasti lagi ada masalah di sekolah, makanya dia males berangkat. Dari kemarin aku perhatiin dia galau melulu loh, kayak lagi ada beban pikiran gitu," ujar Dea dengan sok tahunya. Tapi kata-katanya memang benar, sih.

Mama duduk di kursinya sambil berkata, "Kamu baik-baik aja kan, Sayang?" Mama nggak pernah memanggilku 'Sayang' kecuali kalau aku lagi ada masalah, atau kalau aku lagi ngambek dengannya. Dan kalau sekarang Mama memanggilku sayang, apakah artinya dia bisa menebak suasana hatiku saat ini?

Aku mengangguk pelan. "Aku nggak ada masalah apa-apa kok di sekolah. Beneran, deh. Aku cuma lagi butuh istirahat aja." Jawaban konferensi pers, tapi itu cukup untuk membuat Mama, Papa, dan Dea bungkam.

Aku mengerti satu hal. Sebagai keluarga, aku yakin mereka juga pasti paham kalau aku lagi ada masalah. Tapi karena aku bilang nggak ada apa-apa, jadi mereka nggak terlalu mendesakku untuk cerita. Maaf Ma, Pa, De, aku nggak bisa cerita masalah ini ke kalian.

"Kalau gitu Papa berangkat ke kantor pinjam motor kamu aja, deh," kata Papa, lalu menyeruput tehnya.

"Loh, nanti ke rumah Raihan-nya gimana, Pa?" tanya Mama.

"Mobil biar di rumah aja. Nanti Papa jemput Mama lagi di sini. Papa males bawa mobil, susah keluar parkirnya lagi."

"Terserah deh, Mama sih ngikut Papa aja." Mama tersenyum.

Nah, ini kenapa Mama sama Papa jadi kayak anak muda lagi, sih?

Selesai sarapan, sesudah Papa dan Dea berangkat ke urusan mereka masing-masing, Mama menyuruhku naik ke kamar dan istirahat. Ketika aku menginjakkan kaki di anak tangga, Mama memanggilku, dan aku menoleh ke arahnya.

"Kamu yakin nggak apa-apa?" tanya Mama, lembut. Tapi ada kekhawatiran dalam suaranya yang nggak bisa dia sembunyikan.

Aku memandanginya. Aku memang lagi ada masalah, Ma. Aku bingung harus milih antara Lendra dan Farhan. Aku sangat menginginkan salah satu di antara mereka, tapi aku juga nggak mau menyakiti salah satu di antara mereka. Tapi yang kukatakan hanyalah, "Yakin. Kalau ada masalah, aku pasti minta solusi ke Mama."

Mama tersenyum dan mengangguk. Sorot matanya kembali ceria. "Kamu nggak harus menahan diri dengan Mama. Kapan pun kamu butuh Mama, Mama bakal selalu ada untuk kamu."

Aku terharu mendengarnya. Dan air mataku nyaris tumpah kalau saja Mama nggak buru-buru pergi ke dapur, dan aku langsung masuk ke kamar. Bagaimana pun aku sudah membohongi tiga—bukan, tapi lima orang paling penting dalam hidupku. Aku membohongi Farhan tentang Lendra, dan aku membohongi Lendra tentang Farhan. Sekarang aku membohongi keluargaku dengan mengatakan bahwa aku lagi nggak ada masalah, padahal jelas-jelas aku lagi dilanda masalah!

Baiklah, mungkin ini memang bukan masalah serius. Aku nggak menghamili anak orang, aku nggak membunuh seseorang, aku nggak diperkosa dengan orang. Masalahku cuma karena nggak bisa memilih Farhan atau Lendra. Dan pada akhirnya, semua pertanyaan memang selalu mengarah ke sana. Pada akhirnya aku memang harus memutuskan. Pada akhirnya aku nggak bisa—dan nggak boleh—menggantung harapan mereka. Dan akhirnya juga aku memang diharuskan untuk menyakiti salah seorang di antara mereka.

Aku cek handphone-ku dan melihat ada banyak pesan masuk. Kebanyakan pesan WhatsApp dari Lendra dan Farhan yang menanyaiku lagi apa, mengingatkanku untuk makan dan mandi, juga ucapan-ucapan selamat pagi dan selamat malam. Aku nggak menggubrisnya. Aku belum bisa membalas pesan mereka sekarang. Aku belum siap untuk memutuskan. Tapi ada satu pesan LINE dari seseorang yang sudah hampir dua minggu ini nggak kutemui. Riko. Aku membuka dan membaca isi pesannya.

Plg skolh jm brp, Din? Gua mau mampir ke rmh lo, boleh?

Buru-buru kubalas LINE-nya:

Gua gk skolh, Ko. Klo mau main krmh, sini aja. Sekitar jm 12an nyokap gua pergi. Ke sini abis lohor aja, temenin gua. Gua tunggu.

Dan segera kukirim pesan itu dengan antusias.

Riko. Ya, kalau ada orang lain yang bisa kuajak cerita tentang masalah yang sedang kuhadapi sekarang ini, maka Rikolah orangnya. Dia dewasa, pengertian, pemikir, dan aku yakin Riko juga pasti sudah tahu banyak tentang cinta. Kuembuskan napas lega. Paling nggak akhirnya kutemukan seseorang yang bisa membantuku memecahkan pilihan yang membingungkan ini.

Karena nggak ada kerjaan lagi, kuputuskan untuk tidur tanpa menunggu balasan dari Riko.

~###~

"DINO, ayo bangun. Ada teman kamu tuh." Samar-samar aku mendengar suara lembut Mama.

Perlahan-lahan kubuka mata dan melihat Mama duduk di ujung kasurku. Aku bangkit dari tiduran dan melihat jam dinding. Sudah pukul 12—itu berarti empat jam aku tertidur. "Ada apa, Ma?" kataku, masih ngantuk. Maklum saja aku ngantuk, tadi malam aku nyaris nggak tidur, jadi pagi ini aku tidur sepuasnya.

"Ada Riko tuh di bawah," Mama memberitahu.

"Iya, suruh tunggu sebentar, aku cuci muka dulu."

Mama mengangguk dan kemudian berlalu.

Aku segera cuci muka, gosok gigi, ganti baju, dan kemudian turun ke ruang tamu. Riko duduk di sofa ruang tamu sambil memainkan handphone-nya. Dia memakai kemeja flanel lengan panjang yang digulung sampai ke siku, celana jins hitam terlihat pas di kakinya yang berotot, dan sepatu Vans dengan motif army membuat penampilannya jadi lebih keren dan terkesan sangat stylist. Ransel biru navy dan wajahnya yang kelelahan seolah menegaskan bahwa dia anak kuliahan yang tersiksa kebosanan karena mendengar ceramahan dosen.

"Hai." Aku menyapa dan duduk di sebelahnya.

"Hai," Riko tersenyum.

Aku menghirup aroma parfum yang menyenangkan dari badannya. "Baru balik kuliah?"

Dia mengangguk. "Males pulang, jadi mampir ke sini."

"Iya nih, Mama juga mau pergi. Untung lo ke sini, jadi ada yang nemenin gue."

Tepat setelah aku mengucapkannya, Mama keluar. "Dino, Mama pergi dulu, ya. Kamu nggak ke mana-mana, kan?"

Aku menggeleng. "Loh, Mama udah mau pergi? Papa nggak jadi jemput?"

"Nggak. Mama disuruh bawa mobil sendiri." Mama melihat ke Riko. "Riko di sini aja ya, temenin Dino. Mama mau pergi dulu ke rumah oomnya Dino."

"Oh iya, Ma. Hati-hati, ya," kata Riko sopan.

"Mama pergi, ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab kami bersamaan.

Kemudian, hanya ada kami berdua. Seperti biasa, kami mulai ngobrol basa-basi tentang film dan game online, yang gara-gara Riko aku jadi ikutan doyan main game online. Riko terus nyerocos tentang game-nya yang menang melawan user lain. Aku belum mendapat celah untuk mulai menceritakan masalahku, karena aku merasa ini bukan tempat dan waktu yang tepat untuk bercerita. Mungkin nanti.

Selesai ngobrol masalah game, Riko mengeluarkan dua kaset DVD bajakan film action dan mengajakku nonton film itu. Jadilah kami nonton film itu di kamarku. Aku sempat memutuskan untuk cerita sekarang, tapi sepertinya ini juga bukan waktu yang tepat. Riko sangat serius ketika menonton film itu. Dan sementara Riko fokus ke layar laptop, aku memikirkan kata-kata pembukaan seperti apa yang cocok untuk memulai ceritaku ke Riko.

Aku nggak mungkin langsung to the point mengatakan bahwa aku gay dan lagi bingung karena ditembak oleh dua cowok yang sama-sama penting dalam hidupku, dan aku nggak mau menyakiti salah satu di antara mereka. Nggak, aku nggak mungkin bilang bahwa aku gay. Riko pasti akan jijik dan langsung nggak mau jadi temanku lagi.

Atau, aku bisa menceritakan masalah ini tapi hanya harus mengganti subjeknya saja. Aku bisa bilang ke Riko bahwa ada dua perempuan yang menyatakan cinta padaku, dan aku bingung harus memilih siapa. Toh, Riko juga nggak bakalan kepo. Dan kalaupun misalnya dia kepo mau tahu siapa cewek yang kuceritakan ini, aku bisa mengarang sebuah nama. Tapi itu berarti aku harus berbohong lagi ke Riko. Dan aku sudah membohongi cukup banyak orang hanya karena masalah sepele ini.

Jadi aku harus bagaimana? Oh Tuhan, kenapa mau curhat aja susah banget.

Mungkin nggak akan serumit ini jadinya kalau saja aku punya seseorang yang bisa mengerti orientasi seksualku. Mungkin.

Pukul setengah 5 sore, setelah dua film itu selesai kami tonton, Riko mengusulkan, "Gimana kalau sekarang kita berenang?"

Aku mengangguk menyetujui. Mungkin berenang bagus buat otakku. Melupakan dilema sejenak dan menikmati bentuk tubuh Riko yang seksi dan menggiurkan. Mungkin aku memang butuh penyegaran otak seperti itu. Tanpa basa-basi lagi kami langsung menuju kolam renang di belakang rumah.

Aku yang lebih dulu buka baju, dan Riko sibuk melepas kemeja dan kaus dalamnya. Nggak langsung nyebur ke kolam, aku malah mematung di tempatku, diam-diam melirik Riko. Badan Riko memang seksi dan menggoda imanku. Ada sesuatu yang berdesir di dalam diriku, sesuatu yang sangat kuat ingin menyentuh dan disentuh oleh tubuh seksi dan berotot itu. Aku selalu membayangkan kalau aku pelukan dengan Riko, apakah tubuhku akan pas berada dalam dekapannya?

"Ayo nyebur, Dino! Kok malah ngelamun!" Seperti yang kuduga, aku harus disadarkan dulu sebelum nyebur ke kolam, karena otak kotorku sudah melayang jauh ke tubuh Riko yang minta dijamah itu.

Kami langsung nyebur dan berenang memutari kolam berkali-kali. Sesekali kami bermain air, bercanda mencipratkan air ke muka satu sama lain. Aku bahkan sempat-sempatnya mencuri kesempatan dalam kesempitan. Ketika sedang bercanda, aku menindih punggung Riko di dalam air, tanganku melingkar di lehernya, dan dengan posisi aku yang digendong olehnya, dia pun berenang ke tepian dengan tubuhku yang masih menempel di punggungnya. Kontak fisik antara kulit telanjangku dengan tubuhnya yang menggiurkan membuat penisku menegang. Aku harap Riko nggak menyadari tonjolan yang menggunduk di balik celana boxerku. Hahahaha. Habisnya dia menggoda sih, dan aku jadi nggak tahan lagi.

Setelah puas main air, kami menepi dan duduk di pinggiran kolam. Duduk di sebelah Riko, aku melirik badannya yang basah, putih, dan berotot. Dadanya benar-benar seksi. Apalagi puting susunya yang dialiri air itu, uuuuurgh, menggiurkan. Jantungku berdebar karena nafsu mulai menguasaiku. Lidahku gatal ingin melumat putingnya! Aku sampai harus menelan ludah untuk mencegah diriku supaya nggak melakukan hal yang nekat. Urgh, makhluk satu ini benar-benar jadi santapan lezat imajinasi liarku. Aku membayangkan menjilat putingnya, memegang batang kemaluan yang ada di balik celananya, meremas-remas ototnya. Argh, itu pikiran yang menyenangkan, tapi juga menyesatkan. Tapi, ini gila, aku mengingatkan diriku sendiri. Ini gila dan ini nggak bisa diterusin! Akal sehatku berteriak meredam nafsu yang mulai membakar hasratku.

Aku berdiri dan berjalan ke kursi santai. Aku nggak bisa tahan lama-lama dekat-dekat tubuh Riko yang telanjang. Bisa-bisa aku malah nggak tahan nafsu dan memperkosanya di sini. Dan bukannya memperbaiki masalah, itu malah akan membuat segalanya jadi berantakan.

"Udahan?" tanya Riko, mendongak untuk melihatku.

Aku mengangguk. "Bilas yuk, capek."

"Oke." Riko bangkit dari duduknya.

Aku mengambil dua handuk dari dalam, dan kami langsung bilas. Riko bilas di kamar mandi di kamarku, sementara aku bilas di kamar mandi bawah. Aku menghidupkan shower, dan titik-titik air hangat jatuh menenangkanku. Membayangkan Riko, menikmati tubuh atletisnya yang menggairahkan, menyentuh ototnya yang besar dan liat, semuanya membuatku menginginkan sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya: sentuhan laki-laki. Aku memang pernah disentuh laki-laki, tapi bukan dalam kondisi telanjang seperti tadi.

Oh, aku ralat: aku memang pernah disentuh laki-laki yang telanjang dada, tapi belum pernah kurasakan hasrat yang sangat menggebu-gebu seperti ketika Riko menyentuhku. Bersentuhan dengan Riko yang telanjang membuatku menginginkan lebih, membuatku menginginkan sesuatu yang lebih dari sekadar sentuhan biasa.

Terlalu banyak berpikiran mesum, tanpa sadar penisku tegang sekeras baja. Oh, shit! Ini memalukan! Buru-buru kuselesaikan mandiku sebelum aku melakukan hal-hal yang lebih memalukan lagi. Membayangkan tubuh Riko selalu berhasil membangkitkan nafsuku. Bahkan dengan Farhan pun aku nggak pernah senafsu ini sebelumnya.

Selesai mandi aku langsung masuk ke kamar dan mendapati Riko dalam kondisi setengah telanjang dililit handuk. Ups, mulai lagi godaan mata yang menggiurkan. Kenapa Tuhan menguji nafsuku seberat ini? Tadi di kamar mandi saja aku hampir coli gara-gara membayangkan tubuhnya. Sekarang tubuh Riko yang telanjang terpampang jelas di depan mukaku. Untung aku masih punya akal sehat, kalau nggak, mungkin aku sudah memperkosanya.

"Baru beres?" tanyaku. Aku memang belum pakai baju, tapi sudah pakai celana. Dan suasananya benar-benar cocok. Kalau aku buka celana dan Riko melepaskan handuknya, aku pasti akan mendorongnya ke kasur dan menjilati tubuhnya sepuasku.

Riko mengangguk. "Iya, nih."

"Oke," kataku, membuka lemari, lalu mengambil kaos. "Gue mau ambil makanan dulu di dapur."

"Hm, oke," dia tersenyum, dan memakai bajunya.

Di kulkas cuma ada dua roti isi keju buatan Mama tadi pagi, satu kotak susu full cream, dan beberapa potong puding. Kuambil semua makanan itu dan membawanya ke kamar. Aku tahu Riko pasti lapar. Siapa pun yang habis berenang pasti lapar. Semua makanan itu kubawa dalam satu piring bundar ukuran besar yang biasa dipakai Mama untuk menaruh pizza.

Riko lagi tiduran di kasur sambil nonton tivi ketika aku sampai di kamar. "Cuma ada makanan ini. Nggak apa-apa, ya?" Kutaruh piring di atas karpet di bawah kasur yang menutupi lantai.

Riko turun dari kasur dan mengangguk. "Wah, ada sandwich," katanya, mengambil satu, kemudian melahapnya tanpa permisi dulu. Nggak apa-apa kok dia bersikap seperti itu. Aku sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri, jadi nggak ada lagi malu-malu di antara kami—kalau kata Riko, "Malu-malu mah laper." Hubunganku dengannya sudah seakrab itu—ini juga alasan yang membuatku yakin untuk cerita padanya.

Ah benar juga, kan. Karena badan Riko yang bagus itu mengalihkan perhatianku, aku jadi lupa dengan tujuanku untuk cerita dan minta solusi darinya. Dan karena sisa waktu Riko di sini nggak banyak, aku harus curhat sekarang sebelum terlambat.

"Eh, adik lo kok udah maghrib gini belum pulang?" tanya Riko sebelum aku mulai cerita. Mulutnya masih ngunyah sandwich.

"Hm, mungkin dia ikut ke rumah Om Raihan."

Riko mengangguk dan menatap ke pintu kaca yang memisahkan kamar dengan balkon. Dia memandang ke sana agak lama sebelum kemudian mengatakan, "Eh gue kayaknya belum pernah sana, ya?" Dia menunjuk ke balkon.

Aku mengangguk. "Karena memang nggak ada apa-apa di sana, kecuali kalau malam-malam begini pemandangan langitnya emang bagus sih."

"Wah, gue mau ke sana, ah. Kayaknya adem." Riko sudah berdiri sebelum aku menyetujui. Dan mau nggak mau, aku pun ikut ke balkon.

Di balkon cuma ada satu kursi santai, dan aku duduk di situ. Riko berdiri, menyandarkan punggung ke pagar yang mengelilingi balkon. Di belakang tubuhnya, langit jam tujuh malam mulai menggelap, bulan mulai memunculkan cahayanya, bintang-bintang mulai berkedip.

Mataku menatap wajah Riko. Dia ganteng. Kumis tipis membuat wajahnya terlihat lebih manis. Kulitnya yang putih kontras sekali dengan langit yang menghitam di latar belakang. Dia tersenyum. Aku pun balas tersenyum. Dan inilah waktu yang tepat untuk menceritakan dilemaku.

"Riko—" aku memulai.

"Sini dong," katanya, memotong ucapanku. Aku menurut dan berdiri di sebelah kirinya. "Lo benar, pemandangan di sini bagus. Langitnya bagus."

Aku tersenyum. "Semua bakal jadi lebih sempurna kalau duduk di sini sambil gitaran dan ditemenin sama pacar." Aku pernah membayangkan duduk di balkon sini bersama Farhan sambil memainkan gitar, menyanyikan lagu cinta, dan memandangi langit malam yang indah. Balkon ini emang cocok untuk bermesraan. Orang-orang nggak akan cukup peduli untuk melihat apa yang kami lakukan di atas sini karena warga kompleks perumahanku ini memang nggak ada yang peduli satu sama lain.

"Ya." Riko membalikkan badan menghadap ke arah langit.

Aku ikut membalikkan badan dan memandangi langit yang semakin menggelap. Bulan sabit bersinar seperti sebuah senyuman. Aku ingat, terakhir kali kulihat bulan yang sama seperti itu adalah ketika Lendra menceritakan beban berat dalam hidupnya. Sekarang, dalam posisi dan bentuk bulan yang sama, aku akan menceritakan masalah yang mengganggu pikiranku beberapa hari belakangan ini. Aku menoleh ke Riko, dan mulai bicara.

"Ada yang mau gue—" Aku dan Riko mengucap bersamaan. Kemudian kami tertawa karena ini kebetulan yang mengejutkan.

"Lo duluan," kata Riko, tersenyum.

"Nggak, lo duluan." Aku balas tersenyum.

Dia tersenyum sekali lagi dan mengalihkan tatapannya ke langit. "Ada sesuatu yang mau gue omongin ke lo," katanya. "Sesuatu yang gue sendiri nggak tahu kenapa ini bisa terjadi sama gue. Sesuatu yang benar-benar nggak bisa gue cari jawabannya sendiri. Sesuatu yang membuat gue bingung, tapi juga membuat gue bahagia."

"Oh ya, apa itu?"

Riko nggak menjawab, matanya terpaku pada bulan yang tersenyum di langit. Kemudian dia mendekatiku, melingkarkan lengan kanannya di bahuku. Dia merangkulku. Sekarang, rangkulan ini pun rasanya sama seperti rangkulanku ke Lendra waktu itu. Setelah itu, sambil matanya menatap ke dalam mataku, Riko mengucapkan kata-katanya dengan pelan dan hati-hati: "Sesuatu itu mulai gue rasain ketika gue kenal sama lo, Dino. Sesuatu yang spesial, sesuatu yang menginginkan gue untuk terus ada di samping lo. Sesuatu yang menyadarkan gue bahwa ternyata gue nyaman ... dan suka sama lo."

Otakku mulai berputar dan membuat tubuhku nggak bisa bereaksi terhadap apa pun yang terjadi sekarang ini. Bayangan Farhan dan Lendra menjauh, tapi Riko semakin mendekat. Dan sedetik kemudian, Riko memelukku. Wajahku menabrak dadanya, punggungku dilingkari lengannya. Aku diam tanpa daya dalam pelukannya. Aku bingung, kaget, dan ingin marah. Ingin menangis.

"Gue sayang sama lo, Dino." Riko membisikkan kalimat ini dekat telingaku. Lengannya semakin erat memelukku, tapi aku nggak membalas pelukannya. Tanganku terkulai lemah di samping tubuh. Aku memang ingin dipeluk Riko, ingin merasakan disentuh dan menyentuh tubuhnya yang seksi dan menggoda itu, tapi bukan seperti ini. Bukan di situasi yang membingungkan seperti ini.

Bukannya merasa sesak, aku justru merasa nyaman sekali berada dalam pelukannya. Apalagi dengan wewangian dari tubuhnya yang membuatku makin betah.

"Gue tahu lo kaget dan pasti nggak nyangka ini bisa terjadi. Tapi jujur, gue sendiri juga nggak tahu kenapa ini bisa terjadi sama gue. Awal pertama kita ketemu di South Bank, gue masih merasa biasa-biasa aja sama lo. Tapi pas kita ketemu di CP dan pulang bareng, gue mulai merasakan nyaman yang jauh lebih besar daripada rasa nyaman ketika dekat dengan perempuan." Aku merinding karena sapuan napasnya yang hangat membuat kulit leherku geli. "Dari situ gue mulai suka sama lo. Dari situ gue mulai deketin lo—dari situ gue mulai sering datang ke rumah lo dan terus ngajakin lo main bareng gue. Ini sesuatu yang pertama kali gue rasain. Dan ini yang gue rasain ke lo, Dino. Gue sayang sama lo. Dan gue pingin selalu dekat-dekat sama lo."

Bukan pelukannya, tapi kata-katanya yang membuat hatiku rasanya sesak sekali, seolah-olah ada karung seberat seribu ton dijatuhkan ke dadaku. Rasa sesak itu membuat air mata menggenang di pelupuk mataku, dan kemudian jatuh membanjir di pipiku. Aku menangis. Nggak yakin kenapa aku menangis. Yang aku tahu, aku merasa sangat sesak dan berat. Dan semuanya nggak bisa aku bendung lagi!

Menyadari aku nggak merespons ucapannya, Riko melepas pelukan. Dia memegang kedua bahuku, dan matanya menatap mataku yang sudah banjir. "Dino, ya ampun. Lo nangis? So-sorry, gu-gue—"

Cepat-cepat aku menggeleng dan mengusap pipiku yang basah. Kenapa aku jadi cengeng begini? Nggak, aku bukannya cengeng, aku cuma sakit hati karena dilema yang selama ini aku tahan jadi makin berat akibat pernyataan cinta Riko barusan. Sekarang, bukan cuma harus menyakiti salah satu di antara Lendra dan Farhan, tapi aku juga harus menambahkan Riko dalam daftar seseorang yang harus kupertimbangkan untuk aku sakiti.

Riko kembali menarikku ke dalam pelukannya. Kali ini aku membalas pelukannya. Kulingkarkan lenganku ke pinggangnya, dan kubenamkan wajahku di dadanya yang bidang. Kuhirup aroma tubuhnya yang menyenangkan. Kupeluk dia seerat yang aku bisa. Dan pelukan ini benar-benar membuatku nyaman. Sejenak aku merasa bebas, aman. Mungkin aku memang butuh dipeluk. Mungkin aku memang butuh disentuh. Tapi ... NGGAK! Aku harus melepas pelukan ini! Aku nggak bisa terus-terusan memeluk Riko. Aku nggak bisa melakukan ini. Kalau aku terus memeluknya, Riko akan berpikir bahwa aku menerima cintanya. Nggak! Belum! Aku belum memikirkan untuk menerimanya.

Dengan terpaksa kulepas tubuhku yang menempel ke tubuhnya, dan kujauhi dia. Riko menatapku, kebingungan. Karena tadi aku balas memeluknya, dia pasti berpikir bahwa aku menerima cintanya. Nggak, aku nggak bisa menerimanya. Aku saja belum bisa memutuskan Farhan atau Lendra, jadi bagaimana mungkin aku bisa menerimanya sekarang?

"Gue butuh waktu," kataku, menghapus air mata di pipi. "Gue butuh waktu untuk mikirin semuanya."

Riko mengangguk dan berusaha mendekatiku, tapi aku bergerak mundur seolah-olah menjauhinya. Aku nggak menjauhinya. Aku cuma nggak mau dia memelukku lagi. Karena kalau dia memelukku, aku akan terbuai dalam pelukannya yang nyaman. Aku nggak bisa melakukan itu.

"Please," aku memohon. Air mata membanjir di pipiku. "Gue butuh waktu."

Mungkin karena melihat air mataku, Riko berhenti mendekatiku. Dia terpaku di posisinya yang berjarak kurang lebih dua meter dariku. "Maafin gue, Dino. Gue nggak ada maksud bikin lo nangis. Tapi tadi lo juga meluk gue, kan?—itu berarti lo juga nyaman ada di dekat gue." Kata-katanya terdengar tegas. Aku nggak merespons ucapannya dan malah nangis makin jadi kayak perempuan yang hilang keperawanan. Riko melanjutkan, "Oke, gue bakal tinggalin lo sendirian untuk mikirin semuanya. Gue harap lo buat keputusan yang benar." Tanpa disuruh, Riko pergi dari balkon dan keluar dari kamarku.

Setelah kepergiannya, aku nggak tahu harus melakukan apa. Nggak tahu harus memikirkan apa. Riko, cowok tampan bertubuh seksi itu, yang sudah kuanggap seperti kakakku sendiri, menyatakan cinta padaku! Aaargh, kenapa ini harus terjadi? Kenapa dia bisa suka padaku?

Tin! Tin! Suara klakson dari bawah membuatku melihat ke sana. Kepala Riko keluar dari jendela samping kemudi sambil teriak, "Pikirin semuanya baik-baik, Dino! Buat keputusan yang benar!" Dan setelah mengatakan ini, mobilnya pun pergi.

Aku merosot ke lantai dengan punggung bersandar pada pagar. Kenapa nasibku sial sekali? Kenapa setiap kali aku ingin menyelesaikan suatu masalah, masalah lain malah datang menghampiri dan menambah beban yang sudah ada? Belum selesai aku galau karena Lendra dan Farhan, sekarang ditambah lagi dengan Riko yang membuat keadaan jauh lebih buruk dari sebelumnya.

Niatku ingin curhat, niatku ingin minta solusi, malah jadinya begini! Seharusnya tadi aku menolak Riko supaya semuanya nggak semakin rumit, tapi entah kenapa tadi aku malah nggak berdaya dan diam seperti patung! Dan, kenapa pula tadi aku balas memeluknya? Kenapa hatiku nggak pernah sejalan dengan pikiranku? Kenapa aku merasa sangat nyaman ketika dia memelukku?

Air mataku berhenti mengalir dan pikiran-pikiran galau serta dilema itu kembali lagi. Sebenarnya aku malu nangis di depan Riko. Tapi sumpah, tadi itu aku nggak kuat! Pikiranku lagi kusut karena Lendra dan Farhan, dan malah dibuat makin kusut oleh pernyataan cintanya! Sekarang, setelah Riko pergi dan nggak akan mendengarkan curhatku lagi, siapa orang yang bisa kuajak cerita? Jawabannya nggak ada. Riko-lah satu-satunya harapanku untuk membantu menentukan pilihanku. Ini malah membuat otakku pusing dan hatiku makin sesak.

Aku masuk ke kamar, menjatuhkan tubuhku ke kasur. Sekarang aku sendirian. Sekarang nggak ada siapa pun lagi yang bisa menolongku. Aku nggak bisa menentukan pilihan tanpa bantuan orang lain. Dan aku terlalu takut untuk membuka jati diriku pada orang lain. Aku meraih bantal dan menutup kepalaku dengan benda empuk itu.

Kugigit bantal keras-keras. Kemudian, aku menjerit.

Bandar Lampung, 29 Mei 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top