Lima

"I just wanna get to know you better." — Fais, Know You Better


HARI ini berangkat sekolah diantar Papa. Motorku terpaksa kupinjamkan ke Papa karena mobil yang biasa dia pakai berangkat ke kantor lagi di bengkel, ada kerusakan mesin yang membuat mobil mogok nggak mau jalan. Bukan hal yang menyebalkan, aku nggak mungkin mengeluh untuk hal ini karena biar gimana juga motor itu hasil kerja keras Papa.

Papa menurunkanku tepat di depan gerbang sekolah. Saat aku turun, saat itu juga Farhan dengan motor kerennya masuk ke halaman sekolah. Mataku mengikuti sosoknya sampai ke tempat parkir. Aku mengerjapkan mata, kagum, melihat wajahnya yang putih segar ketika dia membuka helm. Oh God, ketampanannya selalu bisa membuat jantung ini berdebar kencang. Apalagi Farhan agak mengibaskan rambutnya ketika melepas helm. Oh, aku suka sekali dengan gerakannya yang seksi itu.

"Papa berangkat, Din," suara Papa membuyarkan fantasiku. Aku mengangguk dan mencium tangannya sebelum dia pergi.

Saat aku menoleh ke parkiran lagi, Farhan sudah menghilang. Kubuang napas keras-keras, kecewa. Sepertinya aku harus mulai mengambil langkah untuk mendekatinya. Tapi harus mulai dari mana?

Setelah kejadian di lorong sekolah waktu itu, aku jadi terobsesi, percaya diri, dan yakin bahwa aku bisa memulai pertemanan dengan Farhan. Walaupun kejadiannya sudah seminggu yang lalu, tapi masih belum bisa kulupakan saat-saat dia memegang lenganku, saat dia membantuku berdiri, saat dia tersenyum padaku untuk yang pertama kali. Dan, urgh yeah, terlalu banyak hal menyenangkan yang terjadi di lorong itu.

Setelah kejadian itu, sikap Farhan juga jadi lebih lunak. Kalau biasanya dia nggak peduli dengan kehadiranku, akhir-akhir ini dia hampir nggak pernah mengabaikanku. Beberapa hari terakhir ini kami sering bertemu secara nggak sengaja. Entah itu di kantin, di ruang guru, di tempat parkir, atau bahkan di kamar mandi. Aku nggak pernah merencanakan apa pun untuk bertemu dengannya. Pertemuan kami murni karena keenggaksengajaan. Bagusnya, setiap kali kami bertemu Farhan nggak pernah lupa meninggalkan satu senyum terbaiknya untukku. Ini alasan yang membuatku berpikir untuk mulai mendekatinya. Dia seperti memberi lampu kuning, bahwa dia juga ingin berteman denganku—tapi masih harus hati-hati. Entah dapat tebakan ini dari mana, aku hanya dapat merasakannya.

"Dino!" Seseorang memanggilku ketika aku jalan menuju kelas. Aku berbalik dan mendapati Lendra setengah berlari ke arahku. "Mumpung ketemu di sini, ada yang mau gue omongin," katanya, sedikit ngos-ngosan.

"Apa?"

"Pulang sekolah ada acara?"

Aku mengingat-ingat sebentar. "Nggak tuh, kenapa?"

"Temenin gue, yuk?"

"Ke mana?"

"Ke CP, ada yang mau gue beli." CP adalah salah satu mal terkenal di kota ini.

"Boleh, sih," jawabku. Lalu, aku teringat sesuatu. "Eh, tapi gue nggak bawa motor."

"Ah gampang, bareng gue aja. Nanti pulang gue anterin. Kalau mau, lo boleh ajak Bimo sama Egy biar sekalian kita hangout."

"Oke deh," jawabku, tersenyum.

"Bagus," katanya, mengacungkan jempol. "Pulang sekolah gue tunggu di parkiran."

Aku mengangguk, dan setelahnya dia berlari meninggalkanku.

Sungguh, Lendra jadi lebih akrab denganku setelah dia curhat tentang masalah keluarga dan isi hatinya. Aku merasa, Lendra yang sekarang bukanlah Lendra yang dulu: sedih, tertutup, suka cari masalah, brutal, dan nggak terkendali. Sekarang dia jadi lebih terbuka, lebih akrab, lebih mau menceritakan apapun hal yang menurutnya nggak bisa diselesaikannya sendiri. Aku lega, seenggaknya dia sudah benar-benar berubah sekarang.

Kemarin malam dia datang ke rumahku dengan alasan minta bantuan untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya yang selama ini dia abaikan. Aku senang, karena bagaimana pun Lendra sudah bisa sedikit melupakan masalah perceraian orangtuanya dan nggak terlalu stress memikirkan hal itu. Oke, mungkin di luaran dia hanya bersikap seolah-olah lupa dengan beban hidupnya. Tapi siapa yang tahu apa yang ada di dalam hatinya? Mungkin saja Lendra masih sering menangis dan menyesali perpisahan orangtuanya. Mungkin.

Yang jelas, untuk saat ini seenggaknya dia bisa melupakan sedikit beban hidupnya. Entah seberapa berat beban hidupnya itu, tapi aku yakin dia pasti bisa melewatinya.

Sesampainya di kelas, aku terheran-heran mendapati kertas origami warna biru muda dilipat empat persegi di atas mejaku. Kuraih kertas itu, dan segera membukanya. Di dalamnya, di bagian warna putih kertas itu, ada sebuah kalimat pendek:

Dino, maaf ya :)

Aku mengerutkan kening. Beberapa hari ini kertas origami yang dilipat segi empat selalu berada di atas mejaku setiap kali aku datang. Aku nggak tahu siapa yang mengirimnya, karena nggak ada nama si pengirim di kertas kecil ini. Tapi aku curiga yang mengirim kertas ini adalah Retno. Karena siapa lagi yang mau melakukan hal-hal konyol seperti ini kalau bukan dia?

Kuremas kertas origami itu sampai menjadi bola, lalu kubuang ke sembarang tempat. Aku nggak mau menyimpan sesuatu yang jelas-jelas itu berasal dari Retno, karena aku membencinya. Dan aku nggak mau mempunyai satu barang pun yang pernah disentuh olehnya.

~###~

BEGITU bel tanda jam istirahat pertama telah dibunyikan, aku langsung melesat pergi ke perpustakaan. Aku sengaja datang ke tempat ini untuk mencari materi dari tugas Kimia-ku. Sebenarnya malas, aku tipe orang yang jarang sekali baca buku pelajaran. Aku lebih suka baca novel, atau kalau nggak komik yang simple dan banyak gambarnya. Tapi karena ini adalah tugas yang akan mempengaruhi nilai untuk masa depanku, maka terpaksa aku harus melakukannya.

Si Bimo lagi asik ngecengin cewek-cewek kelas X yang cantik dan montok-montok, yang memang sudah ditaksirnya dari beberapa bulan yang lalu, tapi baru kali ini punya kesempatan untuk mendekati mereka. Jadi ketika aku mengajaknya ke sini, dia dengan cepat menolak dan mengatakan bahwa kesempatan terbaik untuk mendekati cewek nggak pernah datang dua kali. Memang bukan hal yang mengejutkan lagi kalau Bimo lebih memilih cewek daripada menemaniku ke perpustakaan.

Buku yang aku cari ada di rak susun paling pojok, dan bukunya terletak di susunan yang paling atas. Aku berusaha meraih buku itu, tapi tanganku nggak bisa menggapainya. Oh sial, kenapa rak ini tinggi banget? Bahkan dengan jinjit pun aku masih belum bisa meraihnya. Tinggal sedikit lagi, kira-kira aku butuh tambahan 15 sentimeter lagi untuk bisa meraih buku itu.

Tapi tiba-tiba, dari arah kanan ada sebuah tangan yang berhasil meraih buku yang kuinginkan itu. Buru-buru aku melihat siapa orang ini, dan langsung membeku setelah melihat wajah gantengnya. Itu Farhan. Astaga! Itu Farhan! Dia mengambil buku itu untukku—atau, untuk dirinya sendiri?

"Nih," dia langsung menyerahkan buku itu padaku.

Dengan bingung, kuambil buku itu dari tangannya. Romantis sekali ... dia mau menolongku tanpa aku harus memintanya. Lagi-lagi dia menolongku. Sudah dua kali. Dia tersenyum singkat, lalu balik badan dan bersiap melangkah. Tanpa sadar, seperti ada yang menggerakkan tanganku, kupegang pundaknya hingga membuat langkahnya berhenti. Dia menatapku kebingungan.

"Makasih, ya," ucapku, tersenyum. Jantungku mulai berdebar-debar. Aku memang suka nervous ketika berada dekat Farhan.

"Sama-sama," jawabnya, balas tersenyum. Dia melirik ke buku di tanganku. "Kalau nggak salah, itu buku buat tugas yang disuruh sama Pak Surya, kan?" Dia membuka obrolan. Yes, ini pertama kalinya kami mengobrol dengan baik—dan dia yang membuka obrolannya pula.

Aku mengangguk. "Buku ini yang buat gue rela lama-lama di perpus."

Dia tertawa pelan. Jantungku seperti ingin melompat keluar saking senangnya melihat Farhan tertawa. "Kelas gue juga disuruh buat tugas itu, kok. Tapi udah selesai," katanya. "Gue kira kelas lo udah duluan."

"Belum. Minggu kemarin baru dikasih tugasnya, minggu ini disuruh cari materi. Minggu depan baru mulai presentasi. Ribet sih, tapi demi nilai, ya gue lakuin aja."

"Iya, gue juga begitu, tuh. Sebenernya males banget ngerjain, tapi demi nilai, sampe rela bolak-balik perpus." Dia nyengir, memamerkan barisan giginya yang rapi. "Kalau mau, lo boleh lihat tugas gue buat contoh. Punya gue udah selesai, kok."

Jantungku seolah ingin melompat kegirangan. Dia menawarkan tugasnya? Kesempatan bagus, aku harus memanfaatkan ini. "Oh boleh deh, gue juga agak ribet nih harus nyusunnya gimana." Aku nyengir juga. "Lo bawa tugasnya sekarang?"

Dia menggeleng. "Masih di rumah, sih. Besok gue bawain, deh."

"Oke, thanks banget yah. Sorry kalau ngerepotin."

Dia tertawa lagi. "Nggak ngerepotin, kok. Gue justru seneng bisa bantuin lo."

Aku ikut tertawa, gugup. "Sekali lagi thanks, loh."

"Oke, besok ya gue bawain."

"Oke. Ketemu di sini lagi, ya. Pulang sekolah."

"Siap, deh." Dia mengacungkan jempolnya. "Gue duluan ya, mau ke kantin." Dia tersenyum sekali lagi sebelum pergi meninggalkanku.

Mataku mengikuti sosoknya yang keluar dari perpustakaan. Dia baik sekali mau meminjamkan tugasnya. Jarang-jarang loh anak kelas lain mau meminjamkan tugas mereka, apalagi ke orang yang belum terlalu mereka kenal. Tapi Farhan beda, dia kan belum terlalu kenal aku, tapi dengan sukarela dia mau berbaik hati meminjamkan buku tugasnya. Apa ini artinya dia juga mau berteman denganku?

Selain itu, Farhan juga sepertinya sudah melupakan masalahku dengan Retno. Sudah benar-benar lupa, atau hanya pura-pura lupa, entahlah. Mungkin dia hanya pura-pura melupakannya, jadi dengan begitu kami bisa memulai pertemanan dengan baik. Ini baru kemungkinan. Jawaban sesungguhnya hanya Farhan yang tahu. Dan aku juga nggak terlalu tertarik untuk membahas masalah itu.

Yang terpenting sekarang Farhan sudah memberikan lampu hijau. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, tapi yang jelas sikapnya yang mulai terbuka ini menunjukkan bahwa dia memberikan ruang untuk memudahkanku mengambil langkah selanjutnya. Oh Tuhan ... aku berharap, apa yang kupikirkan ini sejalan dengan rencana-Mu.

~###~

"AAAHH! Nggak mungkin harganya 750.000! Kemarin saya lihat harganya 500.0000 loh, Mbak. Masa iya sih udah berubah cepet banget? Saya baru lihat harganya kemarin, loh! Dan katanya diskonnya berlaku sampai akhir bulan! Ini bahkan belum akhir bulan masa udah berubah aja?!" kata Lendra sambil menunjuk sepatu abu-abu di salah satu toko di CP. Lendra dan Mbak si penjaga toko lagi adu pendapat soal harga sepatu itu.

"Sepatu ini dari kemarin juga harganya 750.000 loh, Mas," balas si Mbak dengan suara kalem yang dibuat-buat guna menyenangkan hati pelanggan. Si Mbak pasti sama kesalnya dengan Lendra.

"Mungkin Mbak salah! Masa sih 750.000, padahal jelas-jelas kemarin saya lihat sepatu yang ini loh yang harganya 500.0000!" Lendra mengangkat sepatu yang dia mau itu ke hadapan si Mbak.

"Mungkin Mas yang salah lihat," kata si Mbak, kelihatan banget dia berusaha menjaga ekspresinya setenang mungkin sambil mengangkat sepatu yang bentuk dan warnanya hampir mirip dengan yang dipegang Lendra. "Mungkin Mas lihatnya sepatu yang ini. Kalau yang ini harganya 500.0000, tapi kalau yang Mas pegang itu 750.000!"

Jadi ceritanya begini: kemarin Lendra melihat sepatu yang dia mau itu harganya 500.0000, dan Lendra sangat yakin akan hal itu. Tapi si Mbak bilang kalau sepatu yang Lendra mau itu harganya 750.000. Dan memang, di label harganya juga 750.000, tapi Lendra masih ngotot bahwa baru kemarin sore dia lihat sepatu yang dia inginkan itu harganya 500.0000.

"Jadi Mas ini mau beli sepatu yang mana, sih? Yang 750.000, atau yang 500.0000 ini?" kata si Mbak akhirnya, terlihat sudah bosan meladeni Lendra yang ngotot nggak mau ngalah.

Lendra tampak berpikir sejenak. Lalu dengan berat hati dia mengambil sepatu yang dia mau dengan harga yang cukup tinggi itu. Walaupun berusaha menyembunyikannya, terlihat jelas ekpresinya yang keberatan dengan harga sepatu yang mahal itu.

Akhirnya selesai juga. Aku bersyukur sekali akhirnya kegiatan 'mengantar Lendra belanja' selesai. Aku sempat berpikir tragedi adu mulut antara Lendra dan si Mbak tadi sepertinya nggak akan pernah menemukan titik terang, sampai akhirnya Lendra mengalah. Fiuuuuh, aku lega.

Saat ini Lendra sudah membawa 3 kantong plastik dari 3 jenis toko berbeda. Dia sudah membeli baju, jam tangan, dan yang terakhir ini sepatu. Harus kuakui, Lendra memang tipe cowok yang modis, trendy, dan nggak pernah ketinggalan zaman. Dia akan selalu update soal gaya dan fashion cowok terbaru. Informasinya kebanyakan dia dapat dari internet dan majalah.

Jujur, aku suka Lendra dalam penampilannya yang selalu terlihat segar dan wangi. Dan aku yakin, siapa pun yang melihat Lendra pasti akan menyukainya juga. Gayanya keren, wajahnya juga mendukung. Sebenarnya banyak perempuan yang menyukai Lendra, tapi entah kenapa temanku yang satu ini nggak terlalu menanggapi perempuan-perempuan itu. Pacar terakhirnya yang aku tahu adalah Lova, dan setelah putus dari Lova, dia nggak pernah lagi dekat dengan siapa pun.

Kalau ditanya siapa perempuan yang lagi dekat dengannya, Lendra akan selalu beralasan, "Hidup ini udah susah, jangan ditambah susah dengan datang perginya seorang perempuan," yang ini berarti dia lagi nggak mau dekat dengan perempuan manapun. Mungkin sekarang dia hanya ingin fokus ke masalah perceraian orangtuanya. Mungkin.

"Kita makan dulu, yuk," ajak Lendra.

Aku mengiyakan dengan penuh semangat. Memang ini yang aku tunggu-tunggu dari tadi. Perutku sudah menjerit minta diisi.

Suasana di McDonald's lagi ramai-ramainya saat kami sampai di sana. Aroma ayam goreng yang khas dan lezat tercium di seluruh ruangan ini, membuat perutku tambah kelaparan. Kami memilih kursi yang agak pojok, karena memang cuma kursi ini yang tersisa. Lendra langsung mengantri pesan dan aku menunggu dengan perut kelaparan.

Agak lama mengantri, ada mungkin lima belas menit kemudian Lendra berhasil mendapatkan makanan kami. Begitu datang, aku langsung melahap makananku. Oh Gosh, aku benar-benar lapar dan nyaris pingsan tadi. Tapi sekarang yang terpenting, makan dulu. Karena perut kenyang, hati pun senang, ya kan?

Selesai makan, kami ngobrol-ngobrol sebentar.

"Serius, sepatu ini bagus nggak, sih?" tanya Lendra mengenai sepatu yang dibelinya tadi, yang kini berada di tangannya, menunjukkannya padaku. "Gue berani sumpah demi apapun, sepatu ini yang kemarin gue lihat harganya 500.0000!"

"Ya mungkin lo salah lihat. Soalnya sepatu yang 500.0000 itu mirip banget sama yang ini," komentarku. "Kan di label harganya juga emang 750.000, jadi nggak mungkin salah dong."

"Iya juga sih," Lendra memasukkan kembali sepatu ke dalam kotaknya. "Sebenernya nggak enak sih udah ngotot-ngotot sama si Mbak-nya, tapi kan gue gengsi mau narik kata-kata gue."

Aku tertawa. "Makanya lain kali jangan ngotot gitu, kan jadi malu sendiri. Udah ngotot, salah pula!"

Dia cemberut. Menurutku, wajahnya malah lebih manis dan lucu ketika cemberut begitu.

Lalu, hape Lendra yang saat itu tergeletak di atas meja, bergetar. Ada panggilan masuk. "Din, sebentar yah, gue terima telepon dulu—sekalian mau ke WC." Setelah mengatakan ini dia bangkit berdiri. Saat Lendra memutar badan, ada seseorang membawa baki makanan di belakangnya yang secara nggak sengaja bertabrakan dengan tubuhnya. Orang yang ditabrak Lendra jatuh ke lantai—makanan dan minuman yang dibawa orang itu pun ikut jatuh berserakan di lantai. Lendra sangat terkejut dengan apa yang telah dilakukannya.

"Aduh Bang, maaf Bang, saya nggak sengaja," dengan buru-buru dan merasa bersalah, Lendra membantu cowok itu berdiri. Aku segera menghampirinya, berniat ingin membantunya kalau-kalau dia terkena masalah setelahnya—seperti kena tonjok atau apalah.

"Oh iya nggak apa-apa, kok." Cowok itu membereskan bajunya yang agak berantakan tanpa melihat ke arah kami.

Kuperhatikan cowok berotot yang baru ditabrak Lendra ini. Sepertinya aku pernah lihat muka cowok ini, tapi di mana, ya? Kuperhatikan lebih jelas sosoknya. Firasatku mengatakan bahwa aku memang pernah mengenal orang yang ditabrak Lendra ini, tapi kenapa susah sekali mengingat kapan dan di mana aku pernah bertemu dengannya?

"Sekali lagi maaf ya, Bang," ucap Lendra, segera berlalu setelah dia memberi isyarat padaku untuk mengurusi cowok itu.

Cowok berotot yang ditabrak Lendra itu masih sibuk mengurusi bajunya yang basah terkena tumpahan air soda. Dia nggak mengangkat wajahnya, mungkin malu. Lalu salah seorang pegawai McDonald's yang ada di situ datang dan langsung membereskan sisa makanan dan minuman yang berserakan di lantai.

"Maafin teman saya ya Bang, tadi itu nggak sengaja," aku berusaha mengatakan sesuatu. Tapi cowok itu masih sibuk dengan bajunya. Aku kasihan juga sama dia, bajunya nyaris basah kuyup gitu. "Biar saya bantu ngeringin bajunya, Bang. Sebentar, saya ambilin tisue." Aku lantas bergerak ke meja kami, mengambil beberapa lembar tisue yang memang kebetulan ada di situ, lalu kuberikan padanya.

Cowok itu mengambil tisue yang kuserahkan. Dia menatapku, tersenyum. Kemudian, mimik wajahnya berubah. "Eh ... elo?" Cowok itu menunjukku, seolah-olah dia juga mengenalku. "Lo pasti Dino, kan?" Dan tebakannya nggak salah. Wah, cowok ini mengenaliku—berarti kami memang pernah bertemu! Aku juga kayak ingat mukanya, tapi lupa namanya.

"Iya gue Dino," kataku. "Eh tapi sorry, lo siapa ya? Maaf, gue agak lupa, mungkin kita udah lama banget nggak ketemu."

"Riko," jawab cowok itu, kemudian sibuk lagi dengan bajunya yang masih belum kering. "Riko yang waktu itu ketemu lo di South Bank sama Lova."

Sebuah lampu terang menyala di atas kepalaku. Ternyata ini Riko, pacarnya Lova. Kalian tentu masih ingat dia, kan? Aku nyaris lupa dengan orang ini, sebab pertemuan kami saat itu juga sangat singkat, kan? Hebat juga dia masih mengenaliku.

"Oh iya ... ya ampun sorry, gue nyaris lupa," aku nyengir untuk kebodohanku sendiri. "Duduk dulu, yuk."

"Itu tadi siapa lo?" tanya Riko, setelah dia duduk di kursi. Dia ingat aku, tapi lupa sama orang yang mau dia tolong di lantai disko.

"Oh itu teman gue, namanya Lendra. Dia yang waktu itu muntah di lantai disko." Aku menatap baju putihnya yang kotor terkena tumpahan air soda. "Itu baju lo kotor gitu! Aduh, sorry banget ya Ko, teman gue tadi nggak sengaja."

Riko tertawa pelan. "Santai aja Din, nggak apa-apa kok kalau cuma baju kotor doang masih bisa dicuci." Tapi aku yakin, walaupun ngomong begitu, pasti sebenarnya dia sebal banget karena nggak bisa menikmati makanannya.

"Sorry Din agak lama, tadi Mama gue—" Lendra yang datang tiba-tiba nggak jadi melanjutkan ucapannya karena mungkin kaget melihat orang yang dia tabrak duduk di kursinya. Dia menatapku minta penjelasan.

"Oh iya Lend, ternyata yang lo tabrak ini teman gue, namanya Riko. Dia ini—" Apa? Aku baru akan mengatakan bahwa Riko ini pacarnya Lova, tapi kemudian kutelan ucapanku bulat-bulat. Nggak akan bijaksana kalau Lendra tahu Riko adalah pacar dari perempuan yang pernah sangat dicintainya. "Dia ini yang mau nolongin lo pas lo kena tonjok di South Bank."

Lendra tersenyum, menggumamkan kata terima kasih, lalu mereka berjabat tangan sambil menyebutkan nama masing-masing. Kemudian Lendra mengambil satu kursi dari meja lain, dan ikut duduk. Aku berharap Riko nggak bahas-bahas soal Lova di depan Lendra.

"Sorry ya, gara-gara gue makanan lo jadi tumpahan gitu," ucap Lendra lagi, penuh penyesalan. "Atau mau gue pesenin makanan lagi? Lo pasti laper, kan?" tawarnya.

"Nggak usah deh," tolak Riko. "Nggak apa-apa, nyantai aja kali. Tadi cuma beli minum sama kentang goreng aja, kok. Nggak laper, cuma lagi kepingin ngemil aja."

"Tadi Mama lo ada apa nelepon?" Daripada bahas tabrakan itu, aku lebih suka mengalihkan pembicaraan ke topik yang lain. Lagi pula, omongan Lendra tadi sempat terpotong.

"Mama minta jemput sekarang di kantornya," kata Lendra. "Gimana ya, Din? Mama gue sebentar lagi pulang."

"Ya udah, jemput lah," kataku enteng.

"Terus, lo pulangnya gimana?"

"Iya juga ya, gue kan nggak bawa motor."

"Atau lo tunggu dulu di sini, gue jemput Mama dulu, abis itu gue balik lagi ke sini jemput lo. Gimana?"

"Eh gila lo!" kataku, spontan. "Kantor Mama lo kan jauh dari sini, dan rumah lo juga jauh banget dari sini. Nggak usah Lend, buang-buang bensin aja. Biar gue naik Gojek aja."

"Gue nggak enak sama lo, Din," sesalnya.

"Lo pulang ke arah mana?" tanya Riko.

"Way Halim," jawabku.

"Kalau gitu biar Dino pulang bareng gue aja," kata Riko. Aku dan Lendra serempak menatapnya.

"Serius lo mau anterin Dino balik?" tanya Lendra.

Riko mengangguk mantap. "Iya, sekalian gue juga mau pulang. Way Halim, kan? Kita searah, kok."

Oke well, pulang sama Riko? Itu nggak terlalu buruk, kok.

"Kalau gitu, syukur deh." Dan Lendra bisa bernapas lega karena nggak harus menelantarkanku.

Setelah itu kami langsung ke parkiran. Di tempat parkir, kami harus berpisah karena Lendra parkir di lantai bawah, sementara Riko di bagian atas.

Honda Jazz-nya Riko berhenti tepat di depan tubuhku yang saat itu menunggu di dekat palang pintu keluar parkir. Aku memutuskan untuk menunggunya di sini karena kakiku sudah nggak kuat lagi naik ke lantai atas walau pakai lift sekalipun. Riko membukakan pintu penumpang dari dalam, dan aku pun masuk.

"Rumah lo daerah Way Halim di mananya?" tanya Riko sesaat setelah kami masuk ke jalan raya.

"Way Halim Permai."

Riko nggak banyak tanya lagi setelahnya. Dia fokus ke jalanan. Aku fokus pada pikiranku. Kami nggak saling bicara, cuma membiarkan suara HONNE melantunkan lagu Location Unknown. Diam-diam, aku suka curi pandang ke arah Riko yang lagi serius itu. Auranya memang terlihat dewasa dan sangat berwibawa ketika lagi menyetir.

Kami sudah jauh dari CP, dan kami belum bicara sama sekali. Sepertinya Riko tipe orang yang cuma mau ditanya ketimbang harus bertanya. Karena kalau bukan aku yang buka mulut duluan, dia pasti nggak akan membuka mulutnya walau cuma sekadar basa-basi. Oke, mungkin menurutnya basa-basi bukan hal yang penting, tapi saat ini aku butuh obrolan!

"Lo tadi ngapain di CP?" Iseng aku kepo begini. "Nonton?"

"Ah nggak, cuma mampir aja. Tadi lagi kepingin ngemil kentang goreng," jawabnya.

"Sendirian aja?"

Dia mengangguk.

"Nggak sama Lova?"

Riko menggeleng pelan. "Nggak. Tadi gue ngajak dia jalan sih, tapi dia nggak bisa karena harus les piano dan tugas kelompok."

Aku diam, nggak tahu harus komentar apa. Aku nggak mengenal Lova terlalu dekat, cuma sebatas teman di sekolah saja. Dan aku berteman dengan Lova karena dulu dia pernah jadi pacar salah satu sahabatku. Aku berpikir, apakah bijaksana kalau kuceritakan ke Riko bahwa Lendra adalah mantannya Lova?

"Oh, gue kira lo abis ketemuan di CP," kataku, ngasal.

Riko tertawa renyah. "Apaan sih, emang gue anak kecil ketemuan di mal."

"Lah, emang cuma anak kecil doang yang boleh ketemuan di mal?"

"Ya nggak juga sih, itu kan hak setiap orang mau ketemuan di mana, tapi kalau gue sih nggak mau ketemuan di mal. Berasa jadi anak kecil lagi."

"Sok tua lo!" kataku, tertawa. "Oh iya, lo sekolah di mana, sih?"

"Gue udah kuliah, kali. Semester tiga."

Kuliah? Si Riko ini sudah kuliah? "Kuliah di mana?" Aku berusaha untuk nggak terlalu terkejut, walaupun sebenarnya kaget setengah mati.

"Di universitas swasta sini," jawabnya, menunjuk ke salah satu universitas swasta terkenal di kota kami yang kebetulan kami lewatin saat itu.

Aku manggut-manggut. "Pantes lo nggak mau ketemuan di mal. Bukannya sok tua, tapi ternyata emang lo udah tua, ya." Kutonjok pelan bahunya sambil tertawa.

"Anjrit! Karena gue udah kuliah, bukan berarti gue udah tua, ya!" Dia juga ikut tertawa bersamaku.

Setelah itu sisa perjalanan kami habiskan dengan mengobrol banyak hal, di antaranya membicarakan tentang kehidupannya. Riko berumur 20 tahun—tiga tahun lebih tua dariku. Dia tinggal bersama orangtua dan keempat saudarinya di kompleks perumahan di daerah Rajabasa. Riko punya dua kakak cewek dan dua adik cewek—yang membuatnya jadi anak lelaki tunggal di rumahnya. Selain membicarakan tentang kehidupannya, aku juga menceritakan tentang kehidupanku. Ternyata Riko anaknya asik diajak ngobrol, kalau sudah kenal. Semua topik kami bahas di dalam mobil ini. Mulai dari kehidupannya, hobinya, juga pengalamannya selama jadi mahasiswa. Aku belajar banyak hal darinya.

Sampai akhirnya kami benar-benar kehabisan bahan obrolan. Riko sudah kembali fokus ke jalan, jadi aku nggak tertarik untuk mengajaknya bicara. Karena nggak tahu mau ngapain, jadi aku curi-curi pandang ke arah Riko, ingin tahu lebih banyak seperti apa bentuk tubuh cowok ini. Dan sejauh yang aku lihat, badan Riko memang bagus, tangannya terlihat kekar ketika dia memindahkan persneling. Bisa dibilang, Riko punya nilai plus untuk postur tubuhnya yang seksi itu.

Akhirnya kami sampai di kompleks perumahanku. "Ada pertigaan itu belok kiri, Ko," kataku, menunjuk-nunjuk ke depan. Riko langsung berbelok saat kami sudah sampai pertigaan. "Pelan-pelan aja, rumah gue nggak jauh kok dari pertigaan ini." Pelan-pelan, Riko membawa mobilnya masuk ke blok perumahan tempatku tinggal. "Nah, stop! Ini rumah gue." Mobil berhenti tepat di depan gerbang bercat oranye.

"Berarti rumah lo nggak jauh dari PKOR, dong?" tanya Riko.

Aku mengangguk. "Kenapa? Lo sering nongkrong di PKOR, ya?" PKOR adalah tempat yang ramai dikunjungi orang pada malam hari untuk nongkrong, dan kalau pagi banyak yang jogging di tempat itu.

"Jarang kok, kalau lagi pingin aja nongkrong di situ," jawabnya.

Aku membuka pintu mobil. "Mau mampir dulu?"

"Lain kali aja deh, gue buru-buru nih," jawabnya sambil melihat jam tangan.

"Oke, thanks yah," kataku, ketika sudah keluar dari mobil.

"Sama-sama." Riko tersenyum dan menurunkan rem tangan. Lalu, mobilnya melesat pergi meninggalkanku.

Thanks Riko.

Bandar Lampung, 24 Mei 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top