Epilog
AKU sampai di parkiran sekolah pukul tiga sore setelah selesai membantu guru mengoreksi tugas-tugas. Seperti dugaanku, parkiran sekolah sudah sepi karena jam pulang sekolah sudah lewat sejam yang lalu. Cuma dua orang yang terlihat di parkiran, yaitu penjaga parkir yang duduk di posnya, dan Farhan yang duduk di atas motornya sambil memainkan ponselnya. Aku tersenyum melihat pacarku yang ganteng itu duduk santai di atas motor Ninja merahnya.
"Udah nunggu dari tadi?" tanyaku begitu sampai di dekatnya.
Farhan tampak kaget, tapi langsung tersenyum melihatku. Ada suatu kehangatan manis yang menjalari tubuhku ketika melihat senyum Farhan yang menenangkan, sekaligus memabukkan. Matanya jadi makin sipit ketika dia tersenyum. "Nggak, kok. Aku baru aja selesai latihan futsal."
Aku mengangguk. "Ya udah kalau gitu langsung pulang aja, yuk?"
Farhan juga mengangguk, dan kami segera naik ke motor masing-masing. Aku dan dia memang nggak pulang bareng. Farhan menungguku di parkiran karena dia memang kepingin melakukannya. Katanya, "Sebelum pulang aku pingin ketemu kamu sebentar supaya aku bisa mandangin wajah imut kamu sepuasku." Dan diucapkan kata-kata ini malah membuatku kepingin guling-gulingan di tanah saking bahagianya.
"Pulangnya hati-hati, ya," kata Farhan ketika motor kami sudah sebelahan, siap untuk pulang.
Aku mengangguk, mengambil helm. "Kamu juga."
Dia balas mengangguk dan tersenyum.
Aku berniat memakai helmku.
Tapi sebelum aku memakainya, Farhan bergerak mendekatiku, berdiri di hadapanku, mencegah tanganku. "Kenapa?" tanyaku, bingung.
Dia mendekatkan kepalanya ke kepalaku, dan sedetik kemudian dia mencium keningku. Gerakannya ini lambat seperti slow motion, membuat jantungku berdetak sangat cepat karena ini berisiko dilihat orang lain. Tapi toh aku juga diam aja. Pipiku rasanya panas sekali.
"Aku sayang kamu. Hati-hati. Jaga diri. Jangan kebut bawa motornya. Kalau ada polisi tidur jangan langsung dihantam, tapi digas pelan-pelan biar kamu nggak kesakitan."
Aku mengangguk, nggak bisa menghilangkan senyum di wajahku.
"SIM, STNK, surat-surat semuanya lengkap?"
Aku mengangguk sambil tersenyum geli. "Kamu ini pacarku atau polisi yang lagi tilang aku, sih?"
"Aku polisi yang lagi tilang hati kamu," katanya, berusaha ngegombal tapi gagal karena bukannya malu-malu, aku malah geli mendengarnya.
"Ya udah, yuk pulang." Farhan naik ke motornya, memakai helm full face-nya, dan menghidupkan mesin.
Aku juga melakukan hal yang sama. Setelah pamitan, Farhan pergi duluan. Aku nggak mengikutinya. Aku harus menenangkan diri sejenak sebelum menghidupkan motor karena sekarang keinginanku untuk melompat kegirangan sangatlah besar. Jadi begini ya rasanya bahagia dicintai dan diperhatikan oleh orang yang kita sayangi?
Saat aku lagi bahagia dengan hati berbunga-bunga, saat itu jugalah aku melihatnya duduk di kursi panjang di seberang tempat parkir. Eskpresi sedih bercampur terluka terlihat jelas di wajahnya yang manis. Lendra. Dia kelihatan sedang melamun di sana, matanya memandang ke atas langit, tatapannya kosong dan hampa. Bahagia yang tadi kurasakan tiba-tiba lenyap begitu saja seperti asap.
Aku meringis khawatir memikirkan kemungkinan Lendra melihat Farhan mencium keningku tadi. Apakah itu yang membuatnya kelihatan sedih dan terluka?
Cepat-cepat aku menyingkir dari area parkir sebelum Lendra bisa melihatku. Entah kenapa aku takut sekali kalau harus berhadapan dengannya. Membayangkan melihat wajah terluka Lendra dari jarak dekat, menatap matanya yang kosong dan hampa, bibirnya yang bergetar seolah menahan rasa sakit, itu semua selalu membuatku meringis khawatir. Aku khawatir sudah menyakiti Lendra lebih parah dari yang selama ini kukira. Aku percaya bahwa mungkin nanti ada saatnya hubunganku dan Lendra bisa kembali seperti dulu lagi. Tapi untuk sekarang, aku belum siap karena aku masih nggak yakin apa yang harus kukatakan padanya.
Aku berhasil keluar area parkir tepat ketika Lendra mendaratkan pandangannya ke arahku. Lima detik mata kami bertemu dan saling tatap, dan saat itu pula aku bisa melihat seberapa sakitnya dia. Mata hitam itu berisi harapan-harapan yang nggak terkabulkan. Dadaku dihantam oleh sesuatu yang menyakitkan, aku meringis kesakitan. Kupalingkan kepalaku, dan kuabaikan Lendra begitu saja. Kalau memang hubungan kami ingin kembali seperti dulu lagi, maka Lendra-lah yang harus memulainya, karena semua kecanggungan ini awalnya berasal dari dia. Dia yang mulai menyukaiku. Dia yang mulai menyatakan cinta padaku. Dan dia juga yang mulai membangun tembok pemisah di tengah-tengah persahabatan kami. Aku nggak akan menghancurkan tembok itu kalau bukan dia yang lebih dulu melakukannya.
Setelah keluar gerbang dan merasa cukup jauh untuk bisa dilihat Lendra, aku berhenti dan kembali memalingkan wajah ke arahnya. Dia masih duduk di kursi itu dengan kepala tertunduk ke bawah, telapak tangan menutupi wajahnya seperti seseorang yang sudah berada di ambang batas kewarasannya. Samar, kulihat bahunya bergetar pelan. Apakah Lendra menangis?
Aku ingin sekali menghampirinya, duduk di sebelahnya, merangkulnya, menenangkannya, dan mengatakan padanya bahwa segalanya akan baik-baik saja, aku akan selalu ada bersamanya seperti yang kukatakan padanya malam itu di Kopi Kini ketika aku menolaknya. Tapi aku nggak bisa melakukan itu. Aku sadar aku nggak bisa melakukan itu padanya.
Dengan hati teriris tanpa bisa melakukan apa pun untuk menenangkannya, aku memutar kepala dan memutuskan untuk nggak peduli padanya. Mataku berembun membayangkan sakit yang dirasakan Lendra. Dia nggak mungkin menangis kalau rasanya nggak menyakitkan. Dan sementara aku asik mesra-mesraan dengan Farhan, Lendra di sana tengah berjuang mempertahankan hatinya yang hancur berkeping-keping.
Oh, Lendra ... maafkan aku untuk segala hal yang nggak pernah aku lakukan kepadamu.
***
CERITA TENTANG KITA belum berakhir sampai di sini. Sampai jumpa di cerita kedua.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top