Enam Belas
"Nobody told me when you love someone for real, that your mind's on hold and your heart's behind the wheel." — TENDER, Slow Love
KUSUT. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan mukaku sekarang. Kupandangi wajahku di depan cermin gantung, dan terkejut dengan perubahan yang terjadi dalam semalam. Mataku tampak bengkak, noda bekas air mata yang mengering meninggalkan tanda yang memanjang pada pipiku. Bibirku pecah-pecah dan rambutku acak-acakan. Kusut, aku benar-benar kusut.
Seseorang membuka pintu kamar, dan kepala Dea muncul dari baliknya. Aku balik badan dan memarahinya, "Bisa nggak sih sebelum masuk ketuk pintu dulu!"
Biasanya kalau aku marah, Dea bakal ikutan marah. Tapi sekarang dia nggak melawan dan malah berkata dengan tenang, "Mama nyuruh aku manggil kamu. Sarapan udah siap."
Aku merasa nggak enak karena sudah membentaknya. Jadi aku berkata dengan tenang juga. "Oke, aku turun sebentar lagi."
Dea mengangguk, kemudian menutup pintu dengan pelan. Kupandangi wajahku lagi, dan merasa kasihan dengan diriku sendiri. Inilah diriku yang sebenarnya: galau, kesepian, kusut. Aku nggak punya siapa pun yang bisa diajak berbagi cerita. Bukannya nggak mau berbagi cerita dengan keluarga dan sahabat-sahabatku, cuma ... aku takut apakah mereka masih akan menganggapku ada kalau mereka tahu aku ini gay?
Ini semua salahku. Selama ini aku terlalu asyik dengan pikiranku membayangkan yang enak-enak tentang Farhan tanpa membaginya dengan orang lain. Sekarang dalam kondisi nyaris kacau seperti ini, aku nggak punya siapa pun untuk diajak bicara. Sama seperti yang terjadi pada Lendra, mungkin ini yang dirasakannya dulu ketika dia malu dan takut untuk membagi ceritanya.
Satu-satunya harapanku—Riko—sekarang sudah nggak bisa diandalkan lagi. Setelah pernyataan cintanya yang mengejutkan tadi malam, aku menangis, dan menjerit di balik bantal. Sampai semua orang rumah pulang, aku masih tetap menangis dan nggak keluar dari kamar. Mama berkali-kali mengetuk pintu kamarku dan menyuruhku turun untuk makan malam, tapi aku nggak menggubrisnya dan malah menyuruh Mama pergi. Semalam aku benar-benar terpuruk dalam masalahku sendiri. Aku menangis sampai kelelahan dan jatuh tertidur.
Hasilnya, pagi ini aku bangun dengan wajah kusut begini. Biasanya setiap bangun tidur aku pasti selalu mengecek handphone-ku, tapi pagi ini aku nggak melakukannya. Aku nggak mau melihat handphone karena nggak mau berurusan dengan Farhan, Lendra, dan Riko. Aku ingin menghindari mereka dulu. Sebenarnya, aku ingin menghilang saja dari mereka bertiga supaya nggak harus menyakiti salah dua di antara mereka. Dan kalau bisa, aku ingin menghilang saja dari dunia ini supaya nggak harus berhadapan dengan keluarga dan sahabat-sahabatku yang sudah pasti akan melempar banyak pertanyaan seputar perubahan sikapku akhir-akhir ini.
Tapi, perutku keroncongan. Aku belum makan dari semalam. Mau nggak mau aku harus turun ke dapur untuk mengisi perutku dan di sana aku harus berhadapan dengan keluargaku. Mereka pasti bakal khawatir melihat kondisiku yang berantakan dan seperti orang kekurangan gizi ini. Jadi aku segera masuk ke kamar mandi. Aku mandi, sikat gigi, cuci muka, gosok kaki, tangan, badan, dan terakhir shampooan. Setelah selesai, aku berpakaian. Kuputuskan nggak mau berangkat sekolah lagi hari ini. Aku butuh satu hari lagi untuk menghindari Lendra dan Farhan.
Noda-noda bekas air mata di pipiku sudah menghilang, rambut kusutku sudah rapi kembali, bibirku sudah merah muda lagi, tapi mataku masih sembap dan bengkaknya masih sangat jelas kelihatan. Aaaargh, apa yang harus kulakukan dengan bengkak ini? Hanya dengan melihat bengkak di mataku, keluargaku pasti akan langsung tahu bahwa aku habis menangis. Dan itu bisa berakibat fatal. Mama akan langsung menginterogasiku, Papa akan mengajakku bicara empat mata, dan Dea ... dia pasti akan mengejekku dan mengataiku cengeng! Sial!
Kuputuskan untuk nggak keluar kamar. Tapi perutku berbunyi dan rasa lapar menguasaiku. Aku mengelus perut dengan penuh penyesalan. Kenapa hanya karena satu pilihan yang nggak bisa aku tentukan malah membuatku jadi kesusahan begini? Aku nggak tahu. Mungkin semua ini nggak akan pernah terjadi kalau saja aku nggak terlalu berperasaan. Kalau saja aku bisa sedikit lebih tega dan nggakpedulian, pasti aku sudah bisa memutuskan sekarang.
Dengan terpaksa aku turun ke dapur. Meja dapur sudah kosong. Papa dan Dea nggak ada di sana. Kubuang napas, lega. Untunglah, berarti mereka sudah berangkat ke urusan masing-masing dan aku nggak harus menghadapi semua anggota keluargaku. Aku hanya harus menghadapi Mama yang sekarang lagi sibuk cuci piring di wastafel. Mama mungkin akan menginterogasiku, tapi dia nggak akan pernah memaksaku.
"Selamat pagi, Ma," sapaku, setelah duduk di kursi.
Mama berhenti cuci piring, dan berbalik untuk memperhatikanku. "Selamat pagi." Mama menatapku agak lama dan ekspresinya berubah jadi khawatir. Dia pasti melihat mataku yang sembap dan bengkak. Setelah mengeringkan tangan, melepas celemek, kemudian Mama menghampiriku. Lalu memelukku. Aku balas memeluknya erat-erat. Mama mengelus rambutku sambil mengatakan, "Kamu memang lagi ada masalah, kan?"
Aku mengangguk dalam pelukan Mama.
"Kenapa nggak kamu ceritain ke Mama?"
Kulepas pelukannya, lalu mendesah. Aku tergoda ingin menumpahkan semua bebanku ke Mama, tapi segera kutahan kuat-kuat. Ini bukan saat yang tepat bagi Mama untuk tahu anak lelaki satu-satunya ini gay. Jadi, aku menggeleng. "Aku bisa mengatasi masalah ini sendirian." Berbohong lagi. Entah sudah berapa kali aku membohongi Mama.
Sekali lagi Mama mengelus rambutku dengan lembut, dan mencium puncak kepalaku dengan penuh kasih sayang. "Mama yakin kamu pasti bisa. Kamu udah dewasa, jadi kamu pasti bisa menentukan pilihanmu sendiri."
Aku belum dewasa, Ma, karena aku belum bisa menentukan pilihanku sendiri. Aku masih butuh bantuan orang lain. "Ya, aku juga yakin," jawabku, berusaha semangat. Mama mengelus rambutku lagi. "Aku lapar."
"Mama buat bubur gandum nih, dan kayaknya bagus untuk sarapan kamu—untuk mengembalikan semangatmu. Sebentar ya, Mama ambilin." Mama segera berkutat dengan bubur gandum yang katanya bagus untuk mengembalikan semangatku itu. Dan nggak butuh waktu lama bubur yang wanginya lezat itu sudah tersaji di depanku.
Aku makan dengan lahap dan cepat karena aku sangat lapar, dan bubur gandum itu memang lezat sekali. Dalam waktu kurang dari lima menit mangkukku sudah kosong. Dan aku mendesah nikmat karena kekenyangan. Mama benar-benar tahu caranya memanjakan anak. Saat aku kekenyangan, Mama menyimpan sepiring penuh buah mangga yang sudah dikupas dan dipotong kecil-kecil. Pencuci mulut.
"Buah juga bagus untuk kesehatan kamu," katanya, tersenyum penuh kasih sayang dan ketulusan. Dia duduk di kursi di hadapanku.
Aku tersenyum dan mengunyah mangga pelan-pelan. Dalam setiap kali kunyahan, aku nggak bisa berhenti bersyukur karena Mama masih menyayangiku, meskipun tadi malam aku bersikap kasar dan kurang ajar karena nggak menggubris saat dia memanggilku untuk makan malam. Dan aku merasa bersalah karena hal itu.
"Ma, aku minta maaf untuk yang semalam. Pikiranku lagi kacau. Aku butuh sendiri, jadi— aku—"
"Ssst," Mama menaruh telunjuk di depan bibirnya, mengisyaratkanku untuk nggak mengucapkan apa-apa lagi. "Mama ngerti dan Mama nggak marah. Makanya pagi ini Mama buatin kamu bubur gandum dan buah mangga supaya kamu kuat menghadapi masalahmu itu."
Aku mengangguk dan tersenyum. Mama benar-benar perempuan paling mulia yang pernah kukenal.
Setelah sarapan, aku naik lagi ke kamar. Mama bilang hari ini aku harus banyak istirahat, dan besok aku harus kembali ke sekolah. Mama bilang aku nggak boleh mengabaikan hal-hal penting dalam hidupku hanya karena masalahku sendiri. Dan Mama juga bilang kalau misalnya aku nggak bisa menyelesaikan masalahku, aku bebas minta solusi darinya kapan pun aku mau. Aku mengangguk dan mengatakan padanya bahwa aku akan baik-baik saja. Padahal sebenarnya nggak, aku nggak akan baik-baik saja.
Aku akan galau selama aku belum bisa memutuskan siapa di antara Lendra, Farhan, dan Riko yang lebih aku inginkan untuk jadi pacarku. Awalnya aku memang menginginkan Farhan, tapi sekarang aku juga menginginkan Riko. Bukan karena apa, nggak munafik juga, aku ingin sekali pacaran dengan Riko dan merasakan sentuhan tubuhnya yang menggiurkan itu. Aku ingin menikmati tubuh Riko. Tapi kalau aku memilih Riko dan mengikuti nafsuku, bagaimana dengan perasaanku ke Farhan? Dan bagaimana dengan rasa sayangku ke Lendra?
Otak mesumku menginginkan Riko, tapi otak rasionalku nggak menginginkannya. Mungkin karena Riko wangi, tampan, manis, dan—yang terpenting—berotot. Kalau dipikir-pikir lagi, Riko nyaris punya segalanya yang dimiliki Farhan dan Lendra. Dia punya wajah tampan, dan wangi parfumnya menenangkan seperti Farhan. Dia juga punya senyum yang manis seperti Lendra. Dan ototnya—ini yang membedakan dia dari yang lain. Farhan nggak berotot, tapi proporsional. Lendra juga nggak berotot, walaupun badannya juga nggak bisa dibilang jelek. Jadi untuk ukuran fisik, Riko bisa dibilang unggul dari Lendra dan Farhan. Tapi aku nggak mungkin memilih Riko dan menolak Lendra dan Farhan hanya karena aku ingin coba gimana rasanya bercinta dengan Riko. Gila!
Aku masih belum mendapat jawaban yang tepat untuk semua dilemaku. Sampai akhirnya aku lelah untuk berpikir, lalu kuputuskan untuk tidur.
Aku terbangun dari tidur karena mendengar suara pintu diketuk. Kubuka mata dan memandang jam. Pukul 12 lewat 45 menit. Pintu diketuk lagi dan seseorang memutar kenop pintu, kemudian kepala Papa muncul dari baliknya. "Hai. Papa boleh masuk?"
Aku mengangguk. "Masuk aja, Pa."
Pintu mengayun ke dalam ketika Papa melangkah masuk ke dalam kamar. Dia berjalan pelan ke kasurku sambil matanya berselancar menatap ke seluruh penjuru kamar. "Papa ingat banget dulu kamu sampai nangis-nangis minta dibeliin poster Spider-Man ukuran raksasa supaya bisa kamu tempel di dinding kamar kamu. Tapi sekarang poster itu udah nggak ada lagi. Ke mana kamu membuangnya?"
"Udah lama kucopot poster itu, Pa. Ada poster Spider-Man yang lagi manjat gedung di kamarku, kesannya jadi kayak kamar anak SD."
Papa duduk di pinggir kasur. "Itu artinya, sekarang kamu bukan anak kecil lagi dong?"
Aku tersenyum. Sepertinya baru kali ini aku ngobrol intens dengan Papa, setelah beberapa tahun belakangan ini aku nggak pernah ngobrol lagi dengannya. Papa masih memakai seragam dinasnya. Kemungkinan besar Papa pulang ke rumah saat jam istirahat makan siang dan memutuskan untuk bicara denganku karena mungkin tadi malam aku mengurung diri di kamar, jadi dia mengkhawatirkanku.
"Papa nggak balik ke kantor?" tanyaku.
Papa menggeleng. "Papa kepikiran kamu dan jadi pingin ngobrol sama kamu."
"Pasti karena yang tadi malam, ya?" kataku. "Maaf, Pa. Bukannya aku mau ngelawan atau bersikap kurang ajar, tapi tadi malam aku benar-benar lagi pingin sendiri."
"Oh, bukan itu. Kalau itu sih Papa nggak tahu apa-apa. Papa langsung tidur begitu sampai rumah." Papa naik ke kasur dan melipat kakinya sehingga duduk bersila di hadapanku. "Papa cuma khawatir sama keadaanmu."
Aku menggeleng dan tersenyum. "Nggak ada yang perlu dikhawatirkan, Pa. Aku baik-baik aja." Aku yakin Mama pasti sudah ngobrol dengan Papa, dan karena usahanya membujukku gagal, jadi Mama memaksa Papa untuk mengajakku bicara supaya aku mau menceritakan masalahku. Nggak, aku nggak akan berbagi masalah ini dengan Papa ataupun Mama.
"Kamu yakin? Mamamu khawatir—dan itu juga membuat Papa khawatir. Papa jadi merasa bersalah karena semakin kamu tumbuh dewasa, Papa jadi makin nggak pernah ada waktu buat ngobrol dan ngurusin kamu lagi." Papa menatap ke dinding kosong tempat poster Spider-Man dulu pernah berada. "Papa bahkan nggak pernah tahu poster Spider-Man itu udah nggak ada lagi di sana."
Aku tersenyum. Memang benar, sejak aku masuk SMP Papa sudah jarang banget bercandaan dan main bareng aku lagi. "Papa udah ngurusin aku dengan baik, kok," ujarku. "Dan jangan merasa bersalah, ah. Aku ngerti kok kalau Papa sibuk sama kerjaan dan segala urusan toko, jadi aku nggak mau ganggu kerjaan Papa."
Papa menggeser tubuhnya agak lebih dekat kepadaku. "Kalau kamu butuh sesuatu, kamu harus bilang ke Papa. Selagi mampu, Papa pasti bakal ngasih apa pun yang kamu mau."
Aku mengangguk. "Aku udah punya semua yang aku butuhkan, dan aku justru makasih banget karena Papa udah mewujudkan semua yang aku mau."
Kemudian Papa memelukku. Aku balas memeluknya. "Papa sayang kamu, Dino. Maaf kalau Papa belum bisa jadi orangtua yang baik buat kamu."
Aku menggeleng. "Dino juga sayang Papa, dan Dino juga minta maaf kalau Dino belum bisa jadi anak yang baik buat Papa. Tapi Dino akan berusaha semampu Dino buat jadi anak yang bisa Papa banggain."
Papa melepas pelukan dan tersenyum. "Nah ini baru jagoan Papa. Dewasa, tampan, dan penuh pertimbangan."
Aku balas tersenyum. "Iya dong, wajahku tampan begini juga kan warisan dari Papa." Dan kemudian kami tertawa.
Hubunganku dengan Papa memang nggak sebaik hubunganku dengan Mama. Semakin aku tumbuh besar, Papa semakin menjauh dariku. Nggak, bukan Papa yang menjauh dariku, tapi aku yang menjauh darinya. Karena dulu kupikir betapa konyolnya melakukan permainan-permainan anak kecil sementara aku sudah duduk di bangku SMP. Dan sekarang, saat ini, aku malah merindukan saat-saat Papa menggendongku, saat-saat Papa bermain dan bercanda bareng aku, saat-saat aku menangis minta dibeliin poster Spider-Man ukuran raksasa.
"Jadi, cowok super tampan ini apakah sekarang udah punya pacar?" tanya Papa kemudian sambil nyengir.
Aku balas nyengir dan menggeleng. "Ayolah, Pa. Aku masih SMA—rasanya terlalu cepat kalau bahas perempuan sekarang." Intinya aku malas bahas-bahas perempuan karena aku nggak suka perempuan. Kalau bahas lakik aku pasti semangat.
"Loh, kok gitu? Papa aja dulu waktu SMA banyak yang naksir, loh. Mama juga sampai naksir sama Papa. Untungnya Mama kamu cantik dan lucu, jadi Papa milih dia untuk jadi pacar Papa. Dan Alhamdulillah, hubungan kami yang dimulai dari iseng-iseng pacaran waktu SMA, berakhir ke pelaminan sampai sekarang. Dan lihat hasilnya—kamu dan Dea, ganteng dan cantik. Persis kayak Papa dan Mama." Papa tertawa ketika mengatakan ini.
Aku ikut tertawa dan mengamati Papa. Papaku memang tampan. Kalau dilihat sekilas, aku sangat mirip dengannya. Kami punya warna kulit dan bentuk wajah yang sama. Hidungku sama dengan hidung Papa, mataku juga sama dengan mata Papa. Cuma bedanya, kulit Papa sudah agak kendur karena faktor usia, dan bulu-bulu wajah yang habis dicukur menghiasi dagu dan bawah hidungnya, sementara mukaku bersih tanpa bulu sedikit pun.
Papa memelukku sekali lagi. "Intinya, biarpun Papa jarang ngobrol sama kamu, bukan berarti Papa nggak sayang sama kamu. Cuma masalah waktu sampai akhirnya kamu bakal mengerti gimana rasanya jadi seorang ayah."
Aku menelan ludah. Jadi seorang ayah. Ya, suatu hari nanti aku pasti bakal jadi seorang ayah.
Papa melepas pelukan dan melirik ke jam dinding. "Udah hampir jam setengah dua, Papa harus balik ke kantor." Aku mengangguk. Papa turun dari kasur dan dia mengacak rambutku sekali, sebelum kemudian keluar dari kamar.
Ah, Papa. Aku sayang pria itu. Satu-satunya lelaki di dunia ini yang menyayangiku dan Dea tanpa syarat. Mendadak, aku merasa bersalah kepada semua anggota keluargaku karena sudah merahasiakan masalahku ini. Mereka semua peduli padaku. Kalau nggak, mana mungkin Papa mau mengajakku ngobrol kayak tadi? Nggak biasanya juga Papa bilang 'sayang' kayak tadi. Biasanya Papa ngajak aku ngobrol empat mata cuma untuk bahas urusan sekolah, sekolah, dan sekolah. Nggak pernah ada obrolan yang kayak tadi.
Oh, Papa. Oh, Mama. Aku sayang kalian. Aku janji nggak akan pernah mengecewakan kalian—aku bersumpah dalam hati, aku nggak akan pernah mengecewakan kalian. Aku akan berusaha jadi anak yang baik untuk kalian. Aku janji aku bakal bikin kalian bahagia. Tanpa sadar, air mata kembali mengalir di pipiku.
Setelah kepergian Papa, aku nggak keluar kamar lagi sepanjang hari itu. Aku duduk diam, membisu, membatu, nggak tahu harus memikirkan apa, nggak tahu harus memilih siapa, nggak tahu harus melakukan apa. Sampai akhirnya malam menjelma dan aku masih belum bisa memutuskan siapa yang akan kupilih untuk jadi pacarku. Lendra atau Farhan atau Riko?
Nggak ada yang memanggilku untuk makan malam, tapi orang selanjutnya yang masuk ke kamarku adalah Dea. Nggak seperti biasanya, malam ini dia mengetuk pintu terlebih dulu. Dan saat aku sudah bilang, "Masuk," baru dia masuk ke dalam sambil membawa nampan berisi sepiring makanan, dan segelas susu. Dea membawakan makan malamku!
"Kata Mama kamu harus makan," ujarnya.
"Taruh aja di atas meja," jawabku cuek, menunjuk meja kecil di sebelah kasur.
Dea menaruh nampan di sana dan duduk di pinggiran kasur. Ini anak kenapa nggak langsung pergi? Pasti ada niat terselubung, nih. Dea pasti ada maunya, nih. Tumben banget kan dia datang ke kamar pakek ngetuk pintu, membawakanku makan malam, dan nggak langsung pergi setelah menaruh makanan itu.
"Apa lagi?" tanyaku, jutek sekaligus heran.
Dea menggeleng. "Kamu udah enakan?"
"Aku nggak sakit."
"Aku tahu."
"Ya udah, jadi ada perlu apa lagi?"
"Aku tahu kamu masih belum enakan."
"Dibilangin aku ini nggak sakit!" Aku mulai kesal.
Dea menaikkan kakinya ke kasur, duduk bersila di sebelahku. "Kak, udah deh. Jujur aja sama aku. Kakak kenapa, sih? Dua hari ini Kakak sering ngelamun, ngurung diri di kamar, dan nggak masuk sekolah. Lagi ada masalah?"
"Bukan urusan kamu. Udah sana pergi!" Aku mendorong tubuhnya, tapi Dea masih nggak mau gerak dari kasurku.
"Apa ini karena orang yang ada di catatan kamu itu?" tanyanya lagi.
"Bukan. Udah sana pergi!"
"Terus, kenapa dong? Nggak mungkin kan kamu bertingkah aneh kalau nggak karena lagi ada masalah?" Dea masih belum nyerah.
"Aku baik-baik aja, De!" Aku mendorongnya lagi.
Dea menggenggam tanganku yang mendorong-dorong tubuhnya. Dia menatap mataku. Dan kemudian dia mengatakan sesuatu yang membuatku diam. "Kak, aku tahu kamu lagi ada masalah. Kamu nggak bisa nutupin semuanya dari aku. Kamu mungkin nggak mau ceritain masalah itu ke Mama ataupun Papa, tapi kamu bisa cerita ke aku! Aku mau kok dengerin cerita kamu. Dan lagi pula, aku ini pintar menjaga rahasia—bahkan dari Mama dan Papa sekalipun."
Aku menatapnya sejenak. Sebuah lampu terang memenuhi kepalaku. Mungkin Dea-lah orangnya. Mungkin adik semata wayangku inilah orang yang kubutuhkan untuk membantu memecahkan masalahku. Dea sendiri yang mengatakan bahwa dia pintar menjaga rahasia bahkan dari Mama dan Papa sekalipun. Jadi, apakah aku harus menceritakannya ke Dea?
"Selama ini kamu nganggap aku anak kecil. Ya aku memang anak kecil, tapi pikiranku lebih dewasa dari yang kamu kira. Dan aku pingin banget punya kakak yang bisa diajak curhat, berbagi cerita, dan menyelesaikan masalah bareng-bareng. Aku tahu kita beda jenis kelamin, tapi bukan berarti kita nggak boleh curhat dan berbagi cerita, kan?" celoteh Dea.
Aku mengangguk. "A-Aku—"
"Kamu kenapa? Ada masalah apa?"
Aku menelan ludah. Ya, Dea-lah orangnya. Aku harus berani mengambil risiko. Besok aku harus kembali ke sekolah dan berhadapan dengan Lendra dan Farhan. Kalau aku nggak bisa menentukan pilihanku malam ini, maka semuanya akan jadi lebih rumit. Dan sekaranglah saat yang tepat untuk menceritakan semuanya ke Dea. Aku nggak boleh membuang-buang waktu lagi karena terakhir kali aku menunda-nunda waktu untuk cerita, hal paling buruk terjadi padaku.
Lidahku berat untuk mulai cerita. Gimana kalau Dea marah? Gimana kalau Dea membenciku? Gimana kalau Dea malah ngadu ke Mama dan Papa? Ah, itu risiko yang harus kuambil. Dan benar, Dea adalah adikku, jadi dia pasti lebih bisa mengerti aku daripada orang lain.
Jadi, dengan sekali menelan ludah, aku mengatakan, "Aku ditembak sama tiga orang. Aku galau karena nggak bisa milih salah satu di antara mereka untuk jadi pacarku. Mereka adalah orang-orang berharga yang membuat aku nyaman dan bahagia. Aku nggak mau menyakiti mereka, tapi aku harus milih salah satu di antara mereka. Aku belum bisa menentukan pilihan yang bagus karena aku sendiri masih bingung siapa yang benar-benar aku mau untuk jadi pacarku."
Dea mengangguk-anggukkan kepala. "Hm, jadi ini yang membuat kamu ngelamun selama dua hari ini?"
Aku mengangguk. "Ya, itu."
"Mereka itu siapa?" tanya Dea, menatap mataku. Aku menelan ludah. "Siapa tiga orang yang nembak kamu itu?"
"Aku nggak mau jawab," kataku, nyaris nggak bisa mikir apa-apa lagi.
"Kamu udah terlanjur cerita ke aku, jadi aku berhak tahu siapa orang-orang ini." Dea mendesak.
Kutelan ludah lagi, dan ludah yang kutelan rasanya berat sekali turun ke kerongkonganku. Lalu, aku sadar bahwa inilah waktu yang tepat untuk membongkar semua rahasiaku ke Dea. Dan dengan berpegangan pada janjinya yang nggak akan ngadu ke Mama dan Papa, aku berkata, "Ada satu hal lagi. Dan aku mau jujur ke kamu."
"Apa itu?" tanya Dea, penasaran.
"Tapi janji kamu nggak akan benci sama aku?"
Dea mengangguk, mantap. "Ya. Apa itu?"
"Tiga orang yang nembak aku," aku menelan ludah, "mereka semua adalah cowok. Aku ditembak cowok! Dan orang yang aku tulis di catatan digitalku di laptop itu—dia sebenarnya cowok! Aku suka sama cowok, De! Aku gay! Dan," tiba-tiba aku mau menangis, "dan aku bingung harus milih siapa di antara mereka karena—jujur!—aku juga suka sama mereka semua!" Air mataku nyaris tumpah, tapi kutahan karena aku harus melihat ekspresi Dea.
Raut wajah Dea menunjukkan ekspresi kaget dan kebingungan. Aku nggak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Aku nggak bisa menebak-nebak. Aku cuma berharap semoga dia bisa membuktikan perkataannya yang nggak akan mengadu ke Mama dan Papa.
"Aku homo, De!" Aku menundukkan kepala, malu karena harus jadi seperti ini di hadapannya. Malu, karena bukannya memberikan contoh yang baik, aku malah mengecewakannya dengan keadaanku ini.
"Aku—" Dea buka suara.
Tapi aku langsung memotong, "Aku tahu kamu pasti kecewa dan benci sama aku. Ini alasan kenapa aku nggak pernah mau curhat ke kamu—karena aku nggak mau kamu tahu aku gay! Aku bukan contoh yang baik buat kamu. Aku nggak pantas jadi kakak kamu!"
"Aku nggak kecewa!" Dea membentakku. Dia memaksaku menatapnya dan mendengarkan setiap kalimat yang akan diucapkannya. "Aku nggak marah! Aku cuma kaget! Aku nggak percaya kamu bisa jadi kayak gini. Tapi aku nggak kecewa dan aku nggak pernah benci kamu, Kak! Aku ini adikmu! Aku nggak mungkin membenci kamu! Aku sayang kamu—nggak peduli mau jadi apa pun kamu! Mau kamu gay, mau kamu normal, mau kamu jadi orang paling jahat sedunia pun aku nggak peduli! Kamu itu tetap kakakku, dan aku sayang kamu, Kak! Aku sayang kamu!"
Mataku bergetar mendengar setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. Dea nggak marah. Dea nggak benci sama aku. Dea ... sayang sama aku. Kemudian dia memelukku. Dan dia menangis. "Selama ini aku berusaha untuk cari tahu tentang Kakak, supaya aku bisa kenal sama kakakku sendiri. Aku iri sama teman-temanku yang bisa bercanda sama kakak mereka, yang bisa cerita sama kakak mereka, yang bisa jalan-jalan ke mal bareng kakak mereka. Aku juga pingin kayak gitu, Kak. Aku pingin curhat ke kamu, pingin jalan-jalan bareng kamu, pingin bercandaan bareng kamu. Tapi yang kamu lakuin selama ini malah menjauhi aku, dan menganggap seolah-olah aku ini nggak pernah ada. Aku ini adikmu! Sebagai kakak, harusnya kamu dengerin curhatku, seharusnya kamu jagain aku dari cowok-cowok berengsek yang nyakitin aku, seharusnya kamu ada buat aku! Tapi, nyatanya apa? Kamu malah sibuk dengan dunia dan ketakutanmu sendiri! Kamu selalu menyingkirkan aku dan seolah-olah nggak membutuhkanku! Aku ini adikmu satu-satunya, Kak! Aku yang seharusnya paling ngerti tentang perasaanmu!"
Dea benar. Selama ini yang aku lakukan adalah mendorongnya menjauh dari hidupku. Meninggalkannya dengan masalah-masalahnya sendiri, padahal seharusnya aku melindunginya, menyemangatinya. Aku merasa jadi kakak yang nggak berguna. Aku terlalu takut dengan kenyataan yang akan terjadi sehingga nggak peduli lagi dengan Dea.
Dea melepas pelukannya. Pipinya basah oleh air mata. "Jadi mulai sekarang jangan pernah nutupin semuanya dari aku. Aku udah tahu kamu, dan mulai sekarang kamu harus lebih terbuka sama aku—jangan malu dan jangan takut lagi. Kita ini bersaudara, Kak. Kita lahir dari rahim yang sama. Aku nggak mungkin benci kamu cuma karena kamu gay. Aku nggak sejahat itu. Aku tetap sayang kamu, meski kamu gay sekalipun."
Kali ini aku yang memeluknya. Kupeluk Dea sangat erat, dan kutumpahkan semua air mata yang membebaniku selama ini. Karena bersama Dea, beban yang kurasakan sedikit demi sedikit berangsur menghilang. Kulepaskan pelukan, dan Dea sudah berhenti menangis. Dia menghapus sisa air mata di pipi dan matanya. Dan kemudian, dengan lembut dia menghapus air mataku.
"Kamu nggak boleh nangis. Mulai sekarang semuanya akan baik-baik aja. Aku janji nggak akan bilang ke Mama dan Papa. Aku janji ini bakal jadi rahasia kecil kita. Dan mulai sekarang kita harus memperbaiki hubungan kita yang sempat rusak. Oke?" Dea tersenyum, dan dengan dua ibu jarinya, dia menarik sudut bibirku ke atas hingga membentuk senyuman. "Nah, kalau senyum gini kan jadi ganteng."
Aku tersenyum sungguhan. "Maafin aku ya, De. Selama ini aku jadi kakak yang nggak baik buat kamu. Selama ini aku selalu menjaga jarak bukan karena aku benci kamu, tapi karena aku takut kamu bakalan benci aku kalau kamu tahu aku gay."
"Aku punya teman perempuan yang punya banyak teman gay, jadi ini bukan berita baru buatku." Dea tersenyum dan menggeleng. "Pokoknya yang itu jangan dipikirin lagi. Kita mulai semuanya dari awal, kita bangun lagi hubungan kita yang dulu pernah rusak. Oke?" Aku mengangguk, dan Dea tersenyum makin lebar. "Oh, by the way, sampai di mana cerita kamu tadi?"
Aku menenangkan diri sejenak dan mulai menceritakan semuanya dari awal. Selama aku cerita, Dea diam mendengarkan dan mengangguk-anggukkan kepala tanda bahwa dia mengerti dengan yang kuceritakan. Ketika aku sampai di bagian Lendra menembakku, dia berucap, "Ya ampun, Kak Lendra ternyata gay juga!" Dan ketika aku sampai di bagian Riko menyatakan cintanya, dia berkomentar, "Kak Riko yang badannya berotot itu ternyata gay juga? Ya ampun, ya ampun, aku nggak pernah nyangka, loh!" Tapi Dea nggak komentar apa-apa saat aku cerita tentang Farhan. Dia cuma tahu Farhan sebatas tulisan di catatan digitalku yang pernah dia baca.
Aku selesai dengan ceritaku dan menunggu tanggapannya. "Menurutku, kamu harus pilih di antara mereka yang benar-benar kamu cintai setulus hati, bukan cuma karena nafsu dan kasihan."
Aku berpikir sejenak. Yang aku cintai setulus hati? "Farhan," jawabku. "Tapi kalau aku milih Farhan, gimana dengan Lendra dan Riko? Aku nggak mau menyakiti Lendra lagi karena itu akan membuatnya bertingkah konyol dan gila lagi."
Dea berkata, "Itu risiko yang harus dia ambil. Karena kalau dia berani menyatakan cinta ke kamu, berarti dia juga harus berani ditolak sama kamu. Kalau Kak Lendra bertingkah konyol dan kacau setelah kamu nolak dia, itu bukan salah kamu. Kamu berhak nolak dia, dan dia wajib menerima apa pun jawaban kamu. Mungkin Kak Lendra bakal terluka untuk beberapa lama, tapi cepat atau lambat dia pasti bakal sembuh, dia pasti bakal mengerti. Yang Kak Dino perlu lakukan adalah memberinya penjelasan, kasih alasan yang masuk akal kenapa Kak Dino nggak bisa menerima cintanya."
Mungkin Dea benar. Lendra memang pasti bakal terluka, tapi dia pasti akan sembuh dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Aku pernah membaca sebuah novel yang di dalamnya terdapat kalimat seperti ini: Obat terbaik untuk patah hati adalah waktu. Kekhawatiranku kemarin adalah Lendra akan terpuruk selamanya dalam rasa sakit dan kehilangannya akan diriku, tapi setelah Dea memberikan sarannya, sekarang aku merasa bahwa kekhawatiranku itu terlalu berlebihan. Aku cuma nggak jadi pacarnya, tapi bukan berarti aku akan pergi menjauh darinya. Dan misalkan suatu saat nanti Lendra bertingkah konyol dan melakukan hal-hal gila seperti kemarin, aku akan tetap ada di sana untuknya sebagai sahabat.
"Dan gimana dengan Riko?" tanyaku.
"Aku yakin Kak Riko pasti bisa ngerti. Dia kan lebih dewasa dari kamu, dia pasti bisa menerima jawaban kamu dengan lapang dada. Aku berani jamin."
Aku menganggukkan kepala. "Jadi aku harus milih Farhan, ya?"
Dea menatapku. "Kamu sayang sama dia tulus, kan?" Aku mengangguk. "Dan kamu benar-benar cinta sama dia, kan?" Aku mengangguk lagi. "Dan dia juga mencintai kamu. Kalian saling mencintai. Menurutku, apa yang diomongin Kak Farhan itu ada benarnya juga. Ini bukan tentang Kak Lendra ataupun Kak Riko, tapi ini tentang kamu dan Kak Farhan. Ini tentang kalian."
Aku seperti mendapat sebuah pencerahan. Kenapa aku nggak menyadarinya dari awal? Aku terjebak dalam dilemaku sendiri sampai lupa dengan kata-kata Farhan: Kamu harus ikutin apa kata hati kamu, jangan kepengaruh sama orang lain. Karena ini bukan tentang mereka, ini semua tentang kamu dan aku. Dari awal Farhan sudah mengingatkanku untuk mengikuti kata hatiku dan jangan sampai kepengaruh oleh orang lain. Dan hatiku mengatakan bahwa aku harus memilih Farhan. Lendra dan Riko sebenarnya hanya pengalih perhatian. Jadi kenapa aku kesulitan menentukan pilihanku adalah karena aku masih kepengaruh oleh kekhawatiranku terhadap Lendra dan Riko. Tapi, Dea benar. Ini bukan lagi tentang mereka, ini tentang aku dan Farhan.
Aku menatap adikku penuh arti dan tersenyum.
"Kamu udah tahu harus milih siapa?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Aku pilih Farhan karena ini kisah cinta kami."
Dea juga mengangguk dan tersenyum. "Bagus, deh. Karena menurutku, cinta karena ketulusan pasti akan lebih indah dan bahagia."
Aku tersenyum dan memeluknya lagi. Dea balas memelukku. Satu beban lepas dari pundakku. "Makasih, De. Aku merasa jauh lebih baik sekarang."
"Sama-sama, Kak. Mulai sekarang jangan sering ngelamun lagi, ya? Kamu harus cepat kasih jawaban untuk mereka, dan pikirkan kata-kata penolakan yang bagus untuk Kak Lendra dan Kak Riko. Jangan ngomong kata-kata kasar, karena penolakan biasanya diiringi dengan sakit hati yang susah dihilangkan."
Aku mengangguk. Dea benar-benar bijak dan dewasa. Walaupun usianya masih 15 tahun, tapi pikirannya jauh lebih tua daripada itu. "Seharusnya kuceritakan semuanya lebih awal ke kamu."
Kami lepas berpelukan. "Yah, yang udah, ya udahlah. Mulai sekarang, masalah apa pun yang nggak bisa kamu selesaikan, cerita aja ke aku. Jangan takut lagi, karena sekarang aku udah tahu siapa kamu."
"Ya," kataku, tersenyum.
"Oke, sampai sini dulu malam ini." Dea bangkit berdiri. "Aku harus balik ke kamar. Dan kamu harus makan. Kamu pasti lapar, kan?" Dia menunjuk ke nampan yang ada di meja kecil.
Aku mengangguk dan tersenyum. Dea balas tersenyum dan kemudian berjalan ke pintu. Ketika dia sampai di ambang pintu, aku memanggilnya. Dea menatapku. Kuucapkan padanya: "Aku sayang kamu."
"Aku juga sayang kamu, Kak." Dea tersenyum dengan manis dan kemudian pintu ditutup.
Besok, aku akan langsung menemui Farhan dan mengatakan bahwa aku juga mencintainya.
Bandar Lampung, 29 Mei 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top