Enam
"Well you look like yourself, but you're somebody else." — Flora Cash, You're Somebody Else
FARHAN benar-benar membuktikan omongannya kemarin siang di perpustakaan. Dia datang menghampiriku yang lagi duduk di salah satu kursi di pojok ruang perpustakaan. Aku berharap pertemuan ini bukan cuma sekadar meminjamkan buku, tapi juga tahap bagiku untuk mulai mendekatinya.
"Hai," sapanya saat berada di depanku. "Nih tugasnya," dia menyerahkan bukunya. Aku langsung mengambilnya tanpa ragu.
"Thanks, ya," ucapku, sambil melihat-lihat isi buku tersebut. Tulisan Farhan bagus juga. Tugas Kimia ini memang harus ditulis pakai tangan, nggak boleh pakai bantuan komputer.
Farhan mengambil kursi dari meja sebelah, lalu duduk di hadapanku. "Lo mau ngerjain sekarang?"
Aku mengangguk, lalu menyiapkan buku dan pena.
"Tapi ini udah pulang sekolah, perpustakaan bentar lagi tutup."
"Nggak apa-apa, sebentar aja. Paling setengah jam lagi tutup. Miss Tia pasti bakal ngabarin kita kalau dia mau tutup perpus. Tuh, dia aja masih asik baca buku di mejanya," aku mengedikkan dagu ke meja Miss Tia di dekat pintu masuk. Miss Tia adalah pustakawati sekolah kami, dan kadang-kadang juga dia mengajar Bahasa Inggris kalau guru Bahasa Inggris lagi berhalangan masuk hari itu.
Farhan mengangguk mengerti.
Katika aku mulai nulis, kegugupan menghinggapiku. Gimana aku bisa konsentrasi kalau Farhan masih ada di hadapanku? Dan dia bahkan memperhatikanku. Urgh, pipiku panas.
"Eh iya, lo sama Retno udah nggak berantem lagi, kan?"
Aku menggeleng. "Nggak. Gue sih asal dia nggak gangguin gue, gue juga nggak bakal gangguin dia. Gitu aja sih simpelnya."
"Kemarin dia gangguin lo, ya?"
Aku mengiyakan pertanyaannya.
"Sorry ya kemarin gue jadi sok pahlawan belain dia dan malah bentak lo. Dia sepupu gue yang dari ibu. Bapaknya dia oom gue. Kemarin gue emang lagi kesel sih lihat Retno nangis begitu, tapi sebenarnya gue juga nggak enak bentak-bentak lo."
Aku nggak mengacuhkan ceritanya dan pura-pura sibuk nulis. Sebenarnya aku suka ngobrol banyak hal dengan Farhan, tapi untuk bahas masalah Retno dan silsilah keluarganya, ogah deh. Farhan akhirnya diam setelah mungkin menyadari ceritanya nggak mendapat respons apa pun dariku. Syukurlah.
Lalu gugup kembali menyerangku ketika tanpa sengaja mataku dan mata Farhan bertemu selama beberapa detik. Aku langsung menundukkan kepala dan kembali menulis, walau sebenarnya gugup ini masih belum bisa aku handle dengan baik. Kufokuskan mataku ke buku, walau sebenarnya ingin sekali melihat Farhan dan memandangi wajah gantengnya sepuasku. Tapi, aaaaargh, sudahlah! Aku harus fokus ke tugas ini. Farhan benar-benar cobaan terberatku saat ini.
Nyatanya, sekuat apa pun aku berusaha untuk kembali fokus ke buku, tetap nggak bisa. Gugup, degg-deggan, dan perasaan aneh seperti ingin menciumnya tetap saja menyerangku selama Farhan masih ada di depanku. Oke, mungkin aku harus menyuruhnya pergi supaya aku bisa mengerjakan tugas dengan tenang. Tapi aku nggak mungkin melakukan itu, kan? Jahat banget dan menyinggung perasaannya kalau aku beneran ngusir dia.
Atau, aku bisa menyingkir dari sini dan mengerjakan tugas di meja lain. Tapi aku nggak mau pergi dari sini. Aku suka berada di dekat Farhan, apalagi dengan jarak sedekat ini yang hanya dipisahkan oleh meja. Aku suka aroma parfumnya yang menyegarkan. Aku memang gugup, tapi bukan berarti nggak suka dengan kehadirannya.
"Tulisan lo bagus juga," komentarnya tiba-tiba. Ternyata dia memang memperhatikanku menulis.
"Tulisan kayak cacing kepanasan gini lo bilang bagus? Buta lo!" kataku sambil tertawa.
Farhan ikut tertawa sebelum akhirnya berhenti dan melihat jam tangannya. "Gue harus balik ke lapangan, nih."
Aku menatapnya. "Main futsal, ya?"
Farhan mengangguk, berdiri dari duduknya, bersiap pergi. Tapi seperti teringat sesuatu, langkahnya tertahan dan dia balik badan menatapku. "Din, nanti lo ikut kemah bersama?"
Aku menatap lurus ke matanya. Ada suatu debaran nikmat yang kurasakan karena mata itu tampak berkilauan dan membuat jantungku berdetak nggak keruan. "Ke-kemah apaan?" Sial! Kenapa aku jadi gelagapan gini?
"Kemah bersama. Masa nggak tahu?"
Aku menggeleng.
"Acara tahunan sekolah, dan tahun ini kemahnya di hutan kota. Semua siswa boleh ikut kemah ini, kok."
"Oh," kataku datar, nggak terlalu tertarik dengan kegiatan di luar jam sekolah itu. "Lo tahu dari siapa bakal ada kemah bersama?"
"Gue kan anggota OSIS," jawabnya. "OSIS jadi panitia buat acara itu."
"Oh gitu. OSIS pasti sibuk bangetlah ya," komentarku, masih nggak peduli.
"Iya. Lo mau ikut nggak, Din? Acaranya seru lho, selain murid, guru-guru juga bakal ikut acara ini. Ya intinya, kemah bersama ini acara seru-seruan, sekalian nambah keakraban junior dengan senior-seniornya." Farhan menerangkan.
"Nggak tahu deh, soalnya belum ada persiapan, sih," jawabku sejujurnya. "Lo ikut?"
Farhan mengangguk semangat. "Ya iya, lah. Gue kan panitia, jadi wajib ikut."
Aku diam sejenak memandangi wajahnya yang selalu bisa mengalihkan duniaku. Kemah bersama? Ikut nggak, ya? Farhan bilang acaranya seru dan menyenangkan, dan dia sudah pasti bakal ada di sana. Wah, apakah aku harus ikut? Tahun kemarin—waktu aku kelas X—acara kemah ini juga sepertinya diadakan, tapi aku nggak ikut karena aku memang nggak pernah ikut acara-acara di luar jam sekolah. Tapi tahun ini rasanya beda—tahun ini ada Farhan! Ini kesempatan bagus! Mungkin aku bisa jadi lebih dekat dengan Farhan kalau ikut kemah ini. Dan aku juga bisa mengajak Egy, Bimo, dan Lendra untuk ikut acara ini.
"Dino? Ya elah, malah ngelamun!" Lambaian tangan Farhan di depan wajahku membuatku kembali ke kenyataan. "Lo mau ikut, nggak? Kalau mau, biar gue daftarin."
"Eh iya, mau," jawabku. "Emang acaranya kapan, ya?"
"Sabtu besok."
Besok? Ya ampun, dadakan sekali. Walaupun sekarang masih Rabu, tapi Sabtu cuma tinggal beberapa hari lagi, kan? Dan apakah cukup untuk mempersiapkan semua yang harus dibawa untuk kemah nanti? Duh, tampaknya aku bakal benar-benar sibuk dua hari ke depan.
"Bagus deh kalau lo ikut, nanti gue daftarin ke panitianya," kata Farhan lagi. "Gue duluan balik ke lapangan, ya."
"Oke," aku mengangguk. "Tugasnya gue pinjam dulu, ya?"
"Sip!" Dan kemudian dia berlalu.
Kupandangi sosoknya yang menghilang melalui pintu perpustakaan. Aku bersyukur karena Farhan bisa cepat akrab denganku, dan agak menyesal juga kenapa nggak dari kemarin-kemarin sih kami begini? Besok atau lusa, mungkin kami sudah benar-benar berteman, dan dia juga sudah minta maaf soal masalahku dengan Retno—dan menyesal karena mencampuri urusan orang lain.
Sepertinya aku harus cepat-cepat menemui teman-temanku dan mengajak mereka kemah bersama. Aku harus bisa membujuk mereka supaya mau ikut, karena aku ingin sekali datang ke acara itu. Instingku mengatakan bahwa aku nggak cuma bakal dapat pengalaman baru, tapi juga bakal bisa lebih dekat dengan Farhan. Entah dari mana datangnya insting itu sampai aku sangat percaya diri seperti ini. Insting itu terlalu kuat sampai aku bisa merasakan itu seperti hal yang nyata. Pokoknya terlalu sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Ah sudah, sekarang fokus dulu ke tugas. Saking asiknya mengkhayalkan sesuatu yang belum jelas asal-usulnya, aku sampai mengabaikan tugas yang lagi kukerjakan ini. Aku harus segera menyelesaikannya dan mulai mempersiapkan segala sesuatunya untuk Sabtu besok.
~###~
MEREKA sudah berada di sana ketika aku datang. Marley's tampak ramai malam ini. Ketika aku masuk ke dalam, kulihat meja-meja sudah ramai diisi oleh beberapa pengunjung—yang kebanyakan anak muda. Wajar sih, caffé ini memang selalu laris dibanjiri pengunjung walaupun weekday kayak gini. Selain South Bank, Marley's juga tempat favoritku buat hangout bareng teman-teman.
"Sorry guys, udah lama nunggu?" basa-basiku dan duduk di kursi kosong di sebelah Egy.
"Parah lo! Lo yang ngajak, tapi lo sendiri yang ngaret!" protes Lendra kemudian. Aku senang Lendra bisa ikut kumpul bareng kami lagi, setelah beberapa bulan terakhir ini dia lebih sering bolos kalau ada acara kumpul begini.
"Kan gue udah bilang tadi nganter Dea dulu," jawabku jujur, karena memang tadi adikku itu minta anterin ke CP.
"Jadi, apa yang mau lo omongin?" kata Bimo tanpa basa-basi sambil menyeruput kopinya.
"Gue mau ajak kalian ikut kemah bersama di sekolah," jawabku, langsung ke topik.
"Hah? Tumben banget lo ngajak ikut kemah? Biasanya lo paling males ikut kegiatan-kegiatan di luar jam sekolah gitu?" Egy membeberkan. Mereka semua memang sudah hafal dengan kebiasaanku yang paling ogah ikut kegiatan-kegiatan macam itu.
"Kepingin nyoba aja," jawabku, datar.
"Serius? Emang kapan acaranya?" tanya Lendra.
"Sabtu besok."
"Wah—dadakan banget, sih!" protes Bimo.
Aku mengangkat bahu, "Emang dadakan sih, tapi kan masih ada dua hari buat nyiapin semuanya."
"Yakin lo bakal bisa nyiapin peralatan kemah sampai Sabtu besok?" kata Egy, pesimis.
"Yakin deh, kita berempat kan bareng-bareng cari peralatannya," aku balas dengan optimis.
"Tendanya gimana? Emang panitia nggak nyiapin tenda? Kita mau cari tenda ke mana?" tanya Bimo.
Aku menggeleng, karena memang nggak tahu apakah panitia yang menyiapkan tenda, atau kami yang harus mencarinya?
"Nah, lo aja nggak tahu, kan? Aneh banget, lo ngajak kita ikut kemah tapi lo sendiri nggak punya persiapan untuk itu—dan nggak tahu apa-apa juga!" Egy menghujat.
Aku membalas, "Soal tenda gampang deh bisa ditanya ke panitianya. Yang penting sekarang kalian pada mau ikut apa nggak? Katanya sih acaranya seru."
"Gue ikut deh, kebetulan ini tahun pertama gue ikut kegiatan itu," kata Lendra, tersenyum padaku. Egy dan Bimo masih ragu-ragu.
"Ayolah, jarang-jarang kan kita ikut kemah begini?" bujukku. "Itung-itung ini acara kita untuk seneng-seneng, buat nambah keakraban dan kemandirian kita," kutatap mereka bergantian. Tampaknya mereka masih belum yakin. Tapi aku hafal banget sifat mereka, dan cuma ada satu hal yang bisa membuat mereka mau ikut. "Dan udah pasti bakal banyak cewek-cewek yang ikut, lhoo ..." rayuku sambil memainkan alisku ke Egy dan Bimo.
Dua sahabatku itu saling pandang. Lalu, nggak berapa lama kemudian mereka menyetujui ajakanku. Aku tahu mereka nggak mungkin nolak kalau diiming-imingi banyak cewek yang bakal datang. Egy dan Bimo memang begitu, mereka memang bangor—atau istilah halusnya adalah kegatelan. Mereka bahkan secara terang-terangan suka banget godain cewek-cewek di sekolah. Di antara kami, mereka berdualah yang paling gatel dan suka jelalatan kalau lihat cewek. Aku dan Lendra sih nggak kayak mereka. Selain karena aku gay, dan menurutku ngegodain cewek-cewek di sekolah adalah pekerjaan paling konyol dan paling nggak masuk akal. Kalau Lendra sih memang tipe cowok yang nggak peduli dengan cewek—entahlah, nggak peduli atau nggak doyan cewek, cuma dia dan Tuhan yang tahu.
Sisa malam itu kami habiskan dengan ngobrol ngalor-ngidul sambil ngopi dan merokok—cuma mereka bertiga yang merokok, aku nggak ikut-ikutan. Sampai jam menunjukkan pukul sebelas, kopi dan rokok sudah habis, dan kami pun pulang.
Pagi besoknya aku terlambat bangun sehingga langsung buru-buru loncat dari kasur, menyambar handuk yang tergantung di gantungan, dan masuk ke kamar mandi. Aku mandi tergesa-gesa, bahkan nggak sempat menggosok kakiku dengan sabun. Selesai mandi aku langsung mengenakan seragam sekolah. Setelah siap, aku turun ke bawah.
Aku melangkah ke dapur. Mama dan Dea sudah ada di sana, menyiapkan sarapan. Kursi Papa masih kosong. Aku langsung duduk di kursiku. Di atas meja di hadapanku sudah ada segelas susu putih hangat yang aku tahu pasti ini buatan Mama. Kuambil dua lembar roti, mengoles mentega di salah satunya, dan menutupnya dengan roti yang lain sebelum akhirnya kumakan.
Inilah ritual pagi keluarga kami, bahwa sebelum berangkat menjalankan tugas masing-masing, kami harus ikut sarapan dulu. Kata Mama, selain untuk sarapan, obrolan di pagi hari selalu bisa membuat keluarga jadi lebih harmonis dan bahagia. Dan pagi ini aku ingin mengatakan sesuatu.
"Ma, Pa, Sabtu besok aku boleh ikut kemah bersama, nggak?" Aku langsung membuka obrolan setelah Papa bergabung di meja makan.
"Di mana? Sama siapa?" tanya Mama.
"Di hutan kota, Ma. Acara sekolah, sama guru juga."
"Tumben banget kamu mau ikut acara kayak gitu? Biasanya kamu paling males ikut kegiatan di luar jam sekolah," kata Papa, tapi matanya tetap fokus ke berita pagi yang sedang dibacanya lewat iPad. Sepertinya Papa juga hafal dengan sikapku yang ogah-ogahan.
"Mau coba aja, Pa. Kayaknya kemah bersama seru juga," jawabku sekenanya.
"Halaaaah, pasti Kak Dino ikut acara begituan buat deketin cewek, kan?" Dea mulai mengompori. Dari beberapa hari lalu, adikku satu-satunya ini memang sering banget ngompor-ngomporin aku lagi dekat sama cewek.
"Kalau kamu pingin ikut sih nggak apa-apa, siapa tahu kamu bisa dapet cewek dari situ," ditambah Mama yang selalu sekongkol dengan Dea untuk memojokkanku. "Kamu itu kalau memang punya cewek jangan disumputin dong. Bawa ke rumah, kenalin ke Mama sama Papa." Mama terdengar serius.
"Loh, kok tiba-tiba ngomong gitu? Jangan kepancing omongan Dea deh, dia itu emang suka banget ngompor-ngomporin aku! Aku ini belum punya cewek!" Aku melotot ke adikku itu.
"Tapi Kakak lagi dekat sama cewek, kan?"
"Nggaaaak—" kataku panjang. "Kamu jangan asal ngomong deh, sok tahu banget!" Aku jadi sewot sendiri.
"Aku nggak asal ngomong, aku tahu, kok. Aku nggak sengaja lihat catatan di laptop kamu—" Tiba-tiba Dea berhenti bicara, seolah-olah apa yang baru saja dia katakan itu salah. Dan kalau dia memang melihat catatan di laptopku, itu berarti apa yang dilakukannya adalah kesalahan besar!
Aku menatapnya marah. Dea nyengir kuda. Mama kemudian menimpali, "Mama juga baca kok catatan itu. Jadi kamu punya pacar, kan? Atau lagi tahap pendekatan? Tulisan kamu di catatan itu benar-benar tulus dan kayaknya kamu cinta banget sama orang itu, ya?" Mama menuang teh panas dari poci ke gelas Papa. "Kalau Mama boleh tahu, orang yang kamu suka ini siapa sih namanya? Ajak dong ke rumah."
Aku memandang Mama dan Dea. "Mamaaa—" Aku merengek, meminta Mama berhenti membahas masalah yang sebenarnya nggak penting ini. Mereka berdua benar-benar berhasil mengerjaiku! Dan parahnya, mereka sudah baca semua catatanku di laptop! Memang sengaja aku buat catatan itu, yang isinya tentang semua hal yang kurasakan ke Farhan. Tapi tentu saja nggak kucantumkan nama Farhan dalam catatan itu.
"Mama nggak marah kok kalau kamu beneran lagi dekat sama cewek," kata Mama kemudian tanpa memedulikan rengekanku. "Kamu kan udah mulai dewasa, wajar kalau mulai pacar-pacaran. Mama sama Papa juga dulu pacarannya waktu SMA, kok. Iya kan, Pa?" Mama melirik ke Papa. Tapi Papa cuma mengangguk, nggak terlalu peduli dengan obrolan ini.
"Tuh, Kak, jangan malu-malu! Kalau emang Kakak punya cewek, kenalin dong ke aku, biar aku juga bisa ngerasain punya kakak ipar cewek," ucap Dea dengan polosnya. Aku menatapnya datar. Dia tampak bersungguh-sungguh ketika mengatakannya.
Mungkin Dea memang benar-benar ingin merasakan punya seorang kakak cewek yang bisa diajak berbagi cerita, berbagi pengalaman masalah wanita, dan lain-lain. Karena sejauh ini, aku dan Dea nggak pernah benar-benar ngobrol dari hati ke hati. Kami walaupun kakak beradik cuma bicara kalau memang benar-benar penting. Tapi untuk curhat dan berbagi cerita, kami belum dan bahkan nggak pernah melakukan itu. Entahlah, mungkin karena perbedaan jenis kelamin yang membuat kami jadi kurang akrab seperti kakak adik pada umumnya yang seharusnya berbagi cerita dan tempat. Dan lagi pula, kalau aku memang harus curhat ke Dea, apakah dia akan benar-benar mendengarkan curhatku? Aku nggak mungkin kan bilang ke dia bahwa aku gay dan aku mencintai salah seorang cowok di sekolahku. Aku bisa membayangkan Dea pasti bakal sedih dan kecewa. Makanya lebih baik bagiku untuk nggak terlalu terbuka padanya. Bukan karena nggak mau, tapi aku takut dia akan sulit menerima kenyataan bahwa sebenarnya kakak laki-lakinya adalah gay. Mungkin suatu hari nanti dia akan tahu, tapi entah itu kapan.
"Nambah nggak Pa nasi gorengnya?" tawar Mama begitu melihat piring Papa yang sudah kosong.
Papa menggeleng, lalu mematikan iPad-nya, kemudian berdiri. "Ayo, kalian juga buruan dihabisin sarapannya!"
Kami segera menghabiskan sarapan kami, meminum susu, dan siap-siap berangkat. Setelah Papa selesai menghabiskan teh paginya, kami langsung bergegas ke garasi, sedangkan Mama berlari-lari kecil ke gerbang.
"Berangkat ya Ma," kata kami nyaris bersamaan. "Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," balas Mama, melambaikan tangannya pada kami yang sudah keluar gerbang.
Aku berangkat sekolah sendiri, bawa motor sendiri. Dea berangkat bareng Papa naik mobil, karena tempat kerja Papa sejalan dengan sekolahnya. Sedangkan Mama sendirian di rumah. Yah, paling nggak aku bersyukur punya keluarga yang harmonis dan bahagia seperti ini.
Bisa dibilang, aku nyaris nggak pernah haus kasih sayang. Aku punya orangtua yang baik hati dan memberikan semua yang kubutuhkan, juga seorang adik yang rewel dan menyebalkan, tapi justru dialah satu-satunya yang paling ingin kulindungi di dunia ini.
Dikarenakan kehidupan keluargaku yang harmonis, bahagia dan nggak kekurangan suatu apapun, mungkin dalam kepala kalian muncul pertanyaan apa yang menyebabkan aku jadi lebih tertarik kepada laki-laki dibandingkan perempuan. Jawabannya adalah: nggak tahu. Bahkan aku sendiri nggak pernah tahu dan nggak pernah menyangka juga aku bisa jadi gila setiap kali melihat Farhan.
Di sekolah aku lebih banyak menghabiskan jam istirahatku di kelas, ngobrol sama Bimo, Egy, dan Lendra. Mereka sengaja datang ke kelas kami untuk membahas masalah kemah itu. Rencananya pulang sekolah hari ini kami akan mencari makanan, minuman, obat-obatan, dan semua keperluan yang harus dibawa untuk kemah Sabtu besok. Aku nggak pernah nyangka mereka benar-benar serius ikut acara ini.
Lalu ketika kami lagi jalan di lorong menuju kantin, Farhan datang menghampiri kami. "Hai, Din." Tentu saja dia menyapaku. Aku balas menyapanya.
"Ada apa, ya?" tanyaku kemudian. Teman-temanku menyimak.
"Soal kemah itu, lo beneran jadi ikut, kan?"
Aku mengangguk. "Iya, gue sama mereka ini bakal ikut, kok." Aku menunjuk sahabat-sahabatku.
"Oh iya bagus deh," Farhan tersenyum ke aku dan teman-temanku. Teman-temanku juga tersenyum padanya.
"Lo panitia, ya?" tanya Egy.
Farhan mengangguk.
"Masalah tenda gimana? Disiapin dari sekolah apa kita bawa sendiri?" Aku nggak tahu kenapa Bimo masih nanya ini, karena sebenarnya kami sudah dapat pinjaman tenda dari tantenya Egy yang kebetulan nggak pernah dipakai lagi oleh keluarganya.
"Diusahain cari sendiri dulu, ya. Kalau misalnya masih belum dapat tenda, nanti biar pihak sekolah yang nyariin tendanya," jelas Farhan. "Kalian belum dapat tenda?"
"Udah, sih," jawab Bimo, nyengir. Idiot.
"Kalau udah dapat, kenapa masih nanyaaa?" kata Farhan datar. Bimo nyengir. Kemudian Farhan kembali manatapku. "Gue cuma mau nanya itu aja, Din. Gue kira lo berubah pikiran dan nggak jadi ikut. Nama lo udah gue daftarin soalnya."
"Gue jadi ikut, kok," kataku. "Oh ya sekalian kalau bisa nama teman-teman gue juga daftarin, dong."
"Oke, bisa diatur, kok." Farhan tersenyum lagi. "Kalau gitu gue duluan, ya."
"Oke. Sekali lagi thanks, ya." Aku mengangguk dan dengan sekali lambaian tangannya, dia pergi meninggalkan kami.
"Itu Farhan yang sepupunya Retno itu, kan?" tanya Bimo ketika kami lanjut jalan ke kantin.
Aku mengangguk sambil senyum-senyum sendiri.
"Lo kenapa jadi akrab sama dia? Bukannya kemarin lo ribut sama dia, ya?"
"Nggak kok, sekarang udah baikan," jawabku sekenanya, sambil tetap senyum-senyum saking bahagianya didatengin Farhan.
Di kantin, sambil makan bakso kami mulai mengurutkan daftar barang-barang yang akan kami bawa ke kemah besok. Kami sangat antusias mengikuti kemah ini, terutama aku yang bersyukur banget akhirnya punya kesempatan untuk bisa dekat dengan Farhan.
"Bakso lo nggak dihabisin, Lend?" tanya Bimo, memecah kesunyian di antara kami yang dari tadi asyik dengan makanan kami masing-masing.
Lendra menggeleng. "Lagi nggak nafsu makan."
"Tadi katanya laper banget?" kata Egy.
Lendra mengangkat bahu nggak peduli. "Sekarang nggak nafsu."
Egy dan Bimo tukar pandang, lalu mereka menatapku. Aku angkat bahu. Sesuai dengan yang diminta Lendra, aku belum cerita apa-apa ke Egy dan Bimo tentang obrolan kami di balkon rumahku malam itu. Bimo sempat menanyakannya, tapi aku cuma jawab kami lagi bahas film-film MCU, dan Bimo tampak nggak percaya, tapi percuma juga dia memaksa karena aku bakal tetap diam sampai Lendra sendiri nanti yang menceritakan semuanya ke mereka. Yah, itu pun kalau Lendra-nya siap.
Tiba-tiba HP-ku bergetar. Ada WhatsApp masuk.
Sender: 0857-6818-xxxx
Hai din, ini gw farhan.
Nama tmn2 lo siapa aja?
Mw gw daftarin nih nama mereka.
Aku mematung sejenak memandangi pesan itu. Ya Tuhan, ini Farhan nge-WA aku? Eh, nggak salah? Dia tahu nomorku dari siapa, ya? Ah nggak penting dia tahu dari mana, yang jelas dia tahu nomorku dan dia WA aku, yang ini berarti sesuatu untukku. Dengan girang, kubalas pesannya sambil senyum-senyum sendiri kayak orang gila. Dapat pesan dari Farhan membuat perutku terasa geli, kayak kemasukan ulat bulu. Geli tapi menyenangkan, membuatku nggak bisa berhenti tersenyum.
"Kenapa lo senyum-senyum sendiri? Chat dari siapa, sih? Seneng banget kayaknya?" tanya Lendra yang sepertinya memperhatikanku.
"Dari siapa, Din? Nggak mungkin kan dari cewek lo—lo kan nggak punya cewek." Egy menambahkan. Bimo ketawa.
Aku menggeleng. "Oh ng-nggak, ini teman gue ada ngirim WA lucu." Duh, aku susah banget menutupi kegugupan ini. Lah kok aku gugup, ya?
"Coba sini gue lihat," Bimo sudah akan merebut hape dari genggamanku, tapi dengan cepat aku menjauhkannya sebelum dia berhasil meraihnya. Bisa gawat kalau dia lihat isi pesan ini. "Mustahil WA lucu sampai cengar-cengir gitu! Lo lagi dekat sama siapa sih, Din? Itu pasti WA dari gebetan lo, ya? Dari jalan ke kantin tadi gue lihatin lo senyum-senyum sendiri terus. Pasti ada sesuatu nih, ada yang nggak lo ceritain ke kita. Pasti lo lagi naksir sama orang, kan?" Bimo menuduh, walau tuduhannya memang nggak salah, sih.
"Naksir siapa? Asal tuduh lo, ah!" protesku.
"Lo udah berapa tahun nggak pacaran, Din?" Tiba-tiba Egy nanya begini.
Aku menatapnya bingung. Bingung karena jarang-jarang dia tanya begitu. "Gue kan emang belum pernah pacaran." Dan ini memang benar.
Bimo dan Egy saling pandang. "Emang sampai sekarang lo nggak pernah dekat gitu sama cewek?" Bimo mulai menginterogasi. Aku cuma geleng-geleng, jujur. Bimo kayak yang nggak pernah ketemu denganku setiap hari, padahal dia orang yang paling tahu kalau aku memang lagi nggak dekat sama siapa pun akhir-akhir ini.
Aku mulai nggak nyaman dengan obrolan ini. Akhir-akhir ini orang-orang terdekatku selalu menanyakan kisah asmaraku. Mulai dari keluargaku yang secara terang-terangan nuduh aku lagi naksir seseorang, dan sekarang sahabat-sahabatku juga begitu. Tuduhan mereka memang nggak salah, karena nyatanya saat ini aku lagi naksir Farhan, kan? Cuma, mereka pikir yang aku taksir adalah cewek. Andai saja mereka tahu bahwa aku nggak suka cewek, pasti mereka akan langsung meninju mukaku sekarang.
"Cepet-cepet lagi cari cewek, Din, jangan kelamaan ngejomblo," saran Egy.
"Entaran aja deh, gue masih enjoy sama kejombloan gue. Lagi pula, untuk sekarang gue masih belum tertarik mikirin cewek."
"Lo nggak suka cewek kali, Din," celetuk Bimo tiba-tiba. Walaupun omongannya sangatlah benar, tapi aku nggak mungkin jujur bahwa aku gay. Entah sampai kapan aku harus menyembunyikan ini dari mereka. Yang jelas aku belum siap kalau mereka harus mengetahuinya sekarang.
"Sembarangan!" bentakku.
"Habisnyaaa, lo udah lama banget nggak dekat sama cewek, kan? Siapa tahu aja sekarang lo lebih suka sama cowok." Bimo nyengir.
"Hati-hati Din, bisa jadi homo lo kalau lama-lama ngejomblo," kata Egy, terdengar lebih menasihati. "Makanya buruan gih cari cewek."
"Lo berdua gila, ya!" Aku mulai kesal. Obrolan ini benar-benar menjerumuskanku. "Gue lagi nggak mau pacaran. Sekarang gue cuma lagi kepingin fokus ke sekolah sama basket, selebihnya gue nggak mau ngurusin hal lain." Aku menatap mereka bergantian. "Hidup ini udah susah, jangan ditambah susah dengan datang perginya seorang cewek." Aku meniru kata-kata Lendra. Dia tersenyum ketika aku mengucapkannya.
"Ah! Lo sama Lendra susah banget dibilangin!" kata Egy, dongkol. "Lo berdua tuh sama aja, ya—sama-sama bego! Disuruh cari cewek aja pada nggak mau! Jadi homo beneran mampus lo berdua!" Egy mendengus kesal. "Mending lo berdua pacaran aja gih sono biar pada nggak usah punya cewek!"
Aku dan Lendra tukar pandang. Kami berdua pacaran?!
Wew! Konyol!
Bandar Lampung, 24 Mei 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top