Empat Belas

"Give me reasons we should be complete." — Joji, Slow Dancing In The Dark


AKU bermimpi tentang Farhan. Awalnya aku nggak yakin apakah ini mimpi atau nyata, karena rasanya sulit sekali dibedakan.

Dalam mimpiku, aku dan Farhan duduk sebelahan di kursi kayu di pinggir taman bunga warna-warni yang cantik. Farhan nggak mengatakan apa pun, begitu juga aku. Kemudian Farhan bangkit dari kursi, memetik sekuntum mawar putih yang cantik dan indah. Dia tersenyum, lalu menyerahkan bunga itu padaku. Aku menerimanya dan tersenyum. Kuhirup aroma mawar putih yang harumnya benar-benar membuatku bahagia. Farhan tersenyum sekali lagi, kemudian dia mencium keningku, mataku, hidungku, pipiku. Dia belum sempat mencium bibirku ketika alarmku berbunyi keras, dan mimpi itu pun buyar seketika.

Walaupun hanya mimpi, tapi itu adalah mimpi paling indah yang pernah kualami.

Mungkin Farhan memang ditakdirkan hanya untuk jadi mimpi buatku. Selama ini aku cuma bisa membayangkan pacaran dengannya tanpa benar-benar bisa merasakannya. Dan cintaku padanya hanyalah angan-anganku saja, harapan-harapanku yang terlalu berlebihan dan terlalu nggak mungkin untuk jadi kenyataan. Mencintai seorang Farhan yang nyaris sempurna dan berharap dia juga mencintai aku, aku tahu itu berlebihan. Mulai hari ini aku akan benar-benar melupakan Farhan demi Lendra—demi perasaan Lendra, aku mengingatkan.

Sepanjang hari Minggu kemarin aku selalu berpikir bahwa apa yang kulakukan ini adalah demi Lendra, bukan demi aku sendiri. Ini semua tentang Lendra, bukan tentang aku, ataupun tentang Farhan. Karena aku sudah berjanji nggak akan membiarkan Lendra sakit hati lagi dengan cara jadi bagian dari hidupnya. Dan jika aku ingin jadi bagian dari hidup Lendra, maka aku harus melupakan Farhan. Karena aku nggak bisa pacaran dengan Lendra sementara cintaku ke Farhan masih tetap ada dan tumbuh semakin besar. Itu terdengar sangat muka dua.

Yah, seperti yang pernah kukatakan, aku nggak mau egois. Sementara aku asyik-asyik dengan cintaku ke Farhan yang nggak akan mungkin dibalas, Lendra justru malah berjuang mati-matian untuk mendapatkan cintaku sampai-sampai dia nekat menyatakan cinta di hadapanku! Dan aku nggak mungkin menyia-nyiakan keberaniannya itu!

Aku mandi di bawah shower, sesudahnya berpakaian. Kupandangi cermin gantung sambil memasang dasi di kerah seragam OSIS-ku. Sejak memantapkan diri untuk memilih Lendra dan menyingkirkan Farhan, sesuatu di dalam diriku seperti ada yang hilang. Entah itu apa, tapi kekosongan dan kehampaan yang nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata itu ada. Mungkin karena aku terbiasa bangun pagi dengan semangat 45 berangkat ke sekolah karena akan bertemu Farhan di sana, tapi mulai hari ini aku dipaksa untuk melupakan Farhan, jadi aku merasa kehilangan semangat itu. Mungkin. Entahlah.

Selesai berpakaian aku keluar kamar dan turun ke dapur untuk sarapan.

Siapa yang memaksaku? Siapa yang menyuruhku melupakan Farhan? Nggak ada, kan? Tapi kenapa aku merasa seperti dipaksa?

Di dapur sudah ada Mama, Papa, dan Dea. Mama lagi sibuk dengan kompor dan udang yang digorengnya. Dea sibuk dengan handphone dan segelas susunya. Papa dengan iPad dan kopi hitamnya. Sementara aku sibuk dengan pikiranku sendiri.

Aku nggak tahu lagi mana yang dipaksakan dan mana yang aku inginkan. Bukankah malam Minggu kemarin aku sendiri yang memutuskan untuk menerima Lendra dan menyingkirkan Farhan? Tapi kenapa pagi ini aku menyalahkan itu semua dan mengatakan bahwa aku dipaksa? Aku nggak tahu!

Mama memindahkan udang goreng yang sudah matang ke piring putih bundar di tengah-tengah meja makan. Papa dan Dea langsung menyerbu, memindahkan udang ke piring mereka masing-masing. Aku masih sibuk dengan pikiranku.

Jujur saja, di lubuk hatiku yang paling terdalam aku masih ingin mencintai, mengagumi, dan mendambakan Farhan. Aku masih ingin mencintainya, biarpun Farhan nggak tahu tentang perasaanku dan biarpun dia nggak akan membalas perasaanku, aku tetap ingin menjaga perasaan ini padanya. Tapi aku sadar, semakin kuat aku mencintai Farhan, berarti makin kuat juga aku menyakiti Lendra. Inilah yang memaksa aku untuk melupakan Farhan!

Dea menusuk udang dengan garpu untuk yang kedua kalinya. Mama dan Papa lagi ngobrol mengenai sesuatu. Aku nggak tahu apa yang mereka bicarakan, karena aku lagi nggak fokus pada apapun. Aku cuma fokus pada pikiranku.

Yah, apa boleh buat. Aku sudah mengatakan jutaan kali pada diriku sendiri bahwa aku harus memilih Lendra supaya dia nggak sakit hati lagi. Sudah cukup sering dia mengalami sakit hati, kehilangan, dan pengkhianatan ... dan aku nggak mau menambah satu lagi pengalaman sakit hatinya. Nggak. Cukup. Lendra harus bahagia. Aku harus membuat Lendra bahagia.

"Kamu nggak makan, Dino?" Suara Mama mengacaukan pikiranku.

Kutatap piring di hadapanku yang masih kosong. Dea sudah tiga kali makan udang, sementara aku belum menyentuh sedikit pun makanan yang tersaji di atas meja. Bahkan susu yang dibuatkan Mama pun nggak kusentuh sama sekali.

"Kamu ngelamun?" tanya Papa.

"Pasti ngelamunin cewek," timpal Dea.

"Duh, yang lagi kasmaran," Mama menambahkan, "sampe makan aja lupa."

Aku menggeleng keras-keras mengusir semua pikiran galauku dan mulai menciduk nasi ke piring. Kuambil tiga udang dan mulai makan. Mama sama Papa masih ngobrol tentang acara pernikahan temannya Mama hari Sabtu besok. Dea sibuk makan sambil main handphone. Aku makan dengan cepat dan terburu-buru. Aku harus cepat berangkat sekolah, menemui Lendra dan memberikan jawabanku padanya. Aku ingin cepat-cepat menerima Lendra sebelum aku berubah pikiran.

Setelah semua orang selesai makan, kami langsung bergegas ke tugas kami masing-masing. Mama beres-beres rumah, Papa kerja, aku dan Dea sekolah. Aku berangkat cepat-cepat, dan cuma butuh waktu singkat aku sudah sampai di sekolah.

Aku langsung duduk di bangkuku. Bangkunya Bimo masih kosong, tapi sudah ada tasnya yang berarti dia lagi ada di kelas X dan ngegodain cewek-cewek di sana—ini sudah kegiatan rutin Bimo setiap pagi. Aku mengeluarkan handphone dan mengecek isinya. Ada 17 pesan WA dan 10 missed call dari Lendra. Dari kemarin aku memang sengaja nggak buka-buka handphone untuk menenangkan diri.

WA terakhir dari Lendra isinya:

Dino gw msh nunggu jwbn dari lo. Gw harap lo pikir baik2. Gw bnrn syg sama lo.

Aku mendesah. Dia beneran sayang sama aku. Aku sempat berharap bahwa apa yang terjadi di Kopi Kini malam Minggu kemarin adalah sebuah kesalahpahaman, tapi ternyata nggak. Lendra benar-benar serius tentang perasaannya dan dia nggak main-main dengan setiap perkataannya.

Baiklah. Kumasukkan lagi handphone-ku ke dalam tas. Nggak ada satu pun WA dari Lendra yang kubalas. Aku belum siap untuk bertemu dengannya sekarang. Mungkin pulang sekolah nanti aku akan menghubunginya. Tapi gimana kalau Lendra yang datang ke kelasku? Apa yang akan kukatakan? Dan apakah suasana di antara kami akan terasa berbeda?

Semua pertanyaanku akhirnya terjawab. Nggak lama kemudian Bimo masuk ke dalam kelas diikuti Lendra di belakangnya.

"Hai," Lendra menyapaku.

Aku tersenyum tanpa balas menyapanya. Aku malu. Tiba-tiba aku malu. Tiba-tiba aku gugup. Tiba-tiba lidahku kelu.

"Gue ketemu Lendra di lorong. Dia bilang mau ke sini, mau nemuin lo katanya." Bimo merobek bungkus permen karet.

Aku mengangguk pelan. "Ada apa, Lend?" Suaraku kubuat sebiasa mungkin, tapi nggak bisa. Canggung, malu, dan gugup itu campur jadi satu.

"Gue cuma mau tanya kenapa dari kemarin lo nggak balas WA dan angkat telepon gue?" Suaranya terdengar beda dari biasanya. Dia juga pasti gugup.

"Oh sorry, kemarin gue sibuk jadi panitia di pernikahan saudara gue, dan tadi pagi buru-buru berangkat sampai nggak sempat lihat hape," jawabku berbohong. Padahal seharian kemarin aku di rumah aja.

"Si Dino ini emang jarang banget lihat hape. Lagian buat apa juga dia lihat hape, kan nggak ada yang WA. Ya kan, Din? Lo kan jomblo, emang ada yang mau WA lo? Menyedihkan." Yang namanya mencairkan suasana, Bimo jagonya. Mungkin memang sudah bakat alami Bimo untuk mencairkan suasana yang terlanjur canggung di antara aku dan Lendra.

"Sembarangan lo!" Aku mentoyor kepalanya. Dia cengengesan. "Gini-gini juga banyak cewek yang nge-P gue di WA." Bimo tertawa. Tapi Lendra nggak. Tatapannya terlihat seolah-olah nggak senang dengan kata-kataku barusan. Apakah dia cemburu?

"Sok laku lo!" Bimo membalas. "Lo ganteng tapi goblok, Din. Banyak cewek yang WA, tapi nggak ada satu pun yang lo ladenin. Kan bego!"

Aku mentoyor kepalanya lagi. "Sial lo! Emangnya gue cowok kegatelan kayak lo—semua cewek diembat!"

Bimo neyeletuk lagi, "Ya wajar dong gue kegatelan sama cewek—berarti gue masih normal. Daripada lo ... cewek nggak diladenin, malah dianggurin. Lo homo kali, Din!" Dia tertawa keras banget, tapi aku nggak membalasnya. Kutatap Lendra, dan dia balas menatapku. Ucapan Bimo barusan malah membuat suasana jadi makin nggak enak. Kami malu karena ucapannya seolah-olah ditujukan untuk kami—dan sepertinya memang ditujukan untuk kami.

Kemudian bel tanda masuk sekolah berbunyi nyaring. Anak-anak mulai masuk ke kelas, dan kelas pun jadi ramai.

"Gue balik ke kelas, ya," ucap Lendra, menganggukkan kepala.

Bimo mengacungkan jempolnya. "Oke."

Dan kemudian Lendra pergi keluar kelas.

Saat dia pergi, saat itu juga jantungku berdetak normal kembali.

Pelajaran berlangsung sangat lama. Aku sampai bosan dan ingin cepat-cepat pulang. Selama enam jam pelajaran, selama itu juga aku memikirkan kata-kata apa yang bagusnya akan kukatakan pada Lendra? Apakah seperti: Gue mau jadi pacar lo, Lend, karena gue juga punya perasaan yang sama ke lo, dan gue mau coba ngelupain Farhan.

Atau aku harus mengatakan: Gue mau jadi pacar lo, tapi gue masih suka sama Farhan. Dan demi lo, gue mau deh ngelupain Farhan. Segera kusingkirkan kalimat menakutkan itu. Aku nggak mungkin melempar Farhan ke hadapan Lendra. Nggak, jangan sampai Lendra tahu bahwa aku mencintai Farhan. Cukup aku dan Tuhan saja yang tahu tentang rasa ini.

Jadi apa yang harus kukatakan? Lend, gue juga punya rasa yang sama kayak lo. Gue nyaman tiap kali dekat dengan lo, dan gue pingin terus ada di dekat lo. Rasa gue ke lo lebih dari sekadar sahabat. Dan gue mau jadi pacar lo, gue mau jadi bagian dari hidup lo dan menjalani hari-hari gue bareng lo. Hm, oke juga. Akan kukatakan ini ke Lendra setelah pulang sekolah.

Jam sekolah berakhir pukul satu lewat empat puluh lima menit. Bel berbunyi tiga kali tanda jam belajar-mengajar telah berakhir. Guru terakhir yang mengajar hari ini segera pamit keluar kelas diikuti oleh beberapa murid. Satu per satu orang-orang di kelas mulai keluar sampai akhirnya cuma tinggal aku dan Bimo yang tersisa.

"Langsung balik, Bim?" tanyaku ke Bimo yang lagi sibuk sama handphone-nya.

Dia mengangguk. "Si Tria—anak kelas X yang putih banget itu—ngajak pulang bareng, jadi gue nggak mau melewatkan kesempatan emas." Dia nyengir lebar banget.

"Bagus, deh. Buruan lo tembak, jangan kelamaan ngejar-ngejar, nanti keburu diserobot orang." Niatnya cuma mau ngasih saran, tapi kok malah kayak curhat tentang kisah cintaku ke Farhan yang nggak kesampaian, ya?

"Selow aja, nanti juga ada saatnya." Dia berdiri, menyelempangkan tasnya ke bahu. "Gue balik duluan, ya. Bye." Bimo pergi dan tinggallah aku sendiri di kelas.

Aku memang sengaja pulang belakangan karena mau ketemu Lendra dan mengatakan semuanya. Kubuka laci meja belajarku dan mengambil buku cetak yang sudah lama kusimpan di dalamnya. Ketika hendak kumasukkan buku itu ke dalam tas, sebuah benda jatuh dari dalamnya. Benda itu adalah mplop warna merah dengan gambar love di sana-sini. Aku memungutnya. Tanpa harus melihat isinya pun aku sudah tahu bahwa ini adalah surat cinta. Ah, satu lagi surat dari cewek-cewek yang ngefans sama aku.

Tadinya aku berniat membuka surat itu di rumah, tapi kemudian berubah pikiran. Mengingat situasi yang terjadi antara aku dan Lendra, bisa jadi surat ini juga berasal dari dia, kan? Jadi karena penasaran, kubuka surat itu dan membacanya:

Hai, Dino.

Selama ini lo pasti bertanya-tanya tentang siapa orang yang ngirim kertas origami bertuliskan kata "maaf" itu.

Dan, guelah orang yang ngirim kertas-kertas itu. Gue yakin, sekarang lo pasti lagi bertanya-tanya siapa gue sebenarnya.

Jadi kalau lo pingin tahu siapa gue, datang ke halaman belakang sekolah setelah jam pulang sekolah hari ini. Gue bakal nunggu di sana sampai lo datang, karena gue yakin lo pasti bakalan datang.

So, sampai jumpa di halaman belakang sekolah.

P.S.: gue harap lo dateng sendirian.

Kupandangi tulisan tersebut. Surat yang ditulis dengan tangan itu terlihat familier dan nggak asing. Aku kayak pernah lihat tulisan tangan ini, tapi entah di mana? Ah, bukan itu yang terpenting.

Surat ini ditulis dari kapan? Kemarin? Dua hari yang lalu? Atau, hari ini? Dilihat dari ketajaman warnanya, sepertinya baru ditulis hari ini, karena tintanya tampak masih berumur beberapa jam. Jadi siapa pun yang mengirim surat ini menginginkanku untuk datang ke halaman belakang sekolah. Sekarang.

Aku langsung beres-beres. Tadi aku sudah WA Lendra. Aku menyuruhnya untuk tunggu di perpustakaan sampai aku datang. Tapi nanti saja, Lendra bisa diurus nanti setelah selesai dari ketemu orang misterius ini. Rasa penasaranku harus dipuaskan dulu.

Seperti namanya, halaman belakang sekolah terletak di belakang sekolah. Aku harus melewati beberapa koridor yang sudah mulai sepi, melewati lapangan basket yang juga sudah sepi, dan kemudian aku sampai di halaman belakang sekolah yang juga sangat-sangat sepi. Saat aku sampai, nggak ada siapa pun di sini. Satu-satunya bangku panjang yang ada di situ pun kosong, nggak ada orang sama sekali.

Apa aku dibohongi? Atau aku dikerjai? Nggak mungkin. Siapa juga yang mau mengerjaiku dengan mengirimkan surat yang dibungkus amplop sebagus itu? Nggak mungkin. Pasti orang itu telat atau ada alasan lain yang membuatnya nggak datang. Jadi, aku melintasi tanah berumput, dan duduk di kursi panjang itu. Nah, akhirnya malah aku yang menunggu.

Ada mungkin sepuluh menit kemudian dan aku sudah menyerah ingin pergi dari situ, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki di belakangku. Aku berniat ingin membalikkan badan untuk melihat siapa pemilik langkah kaki itu, tapi aku kalah sigap. Orang itu sudah lebih dulu menutup kedua mataku dari belakang dengan telapak tangannya. Aku belum bisa menebak siapa orang ini. Tapi dipegang dari tangannya yang agak keras dan berbulu, orang ini pasti cowok.

"Siapa, sih?" kataku, berusaha melepas tangan orang itu dari mataku, tapi nggak bisa. "Jangan main-main, deh! Lo siapa, sih?" Aku berusaha melepas tangannya lagi, tapi mendadak aku diam nggak bergerak karena tiba-tiba hidungku mencium wangi parfum yang sangat enak dan menenangkan. Wangi parfum seseorang yang sangat maskulin dan membuatku melayang-layang. Wangi parfum Farhan.

YA AMPUN! Dengan sekali entakan keras, kulepas tangan orang itu dan segera balik badan.

Aku dibanjiri kelegaan, kebahagian, dan kecanggungan yang aneh karena orang yang kucintai setengah mati, sekarang ada di hadapanku. Aku ingin sekali memeluknya, tapi aku nggak boleh melakukannya. Nggak, setelah apa yang kumantapkan dalam hati untuk mulai melupakannya.

"Jadi ... jadi selama ini lo yang ngirim kertas-kertas itu?" Otakku langsung lari ke ingatan pertama kali aku membicarakan kertas-kertas itu dengan Retno di perkemahan setelah mandi di sungai. Dan otakku langsung meluncur ke ingatan saat Farhan meminjamkan buku tugas Kimia-nya di perpustakaan. Ya, tulisan di surat tadi itu memang sama persis dengan tulisan tangan di buku Farhan. Ya karena memang surat itu ditulis oleh Farhan!

Dia mengangguk. "Semenjak ngancem lo waktu itu, gue merasa bersalah. Karena malu bilang maaf langsung, gue lebih milih bilang maaf lewat kertas-kertas kecil itu." Farhan duduk di sebelahku. "Memang kedengaran pengecut sih, tapi gue nggak punya pilihan lain."

Aku tersenyum, senang sekali mendengar suaranya, apalagi kata-kata yang diucapkannya sangat manis. "Kayak gitu aja pakek malu-malu segala."

Dia tersenyum juga. Lalu, ekspresinya berubah serius. "Sebenarnya gue melakukan itu juga bukan tanpa alasan."

"Apa? Kenapa? Maksudnya?"

"Ingat nggak gue pernah cerita kalau gue lagi suka sama seseorang—suka banget, sampai gue pingin banget milikin dia secara utuh?" Aku mengangguk, karena aku ingat itu semua. "Jadi selama ini yang gue sukain itu—sebenarnya orang itu adalah lo, Din."

"Hah? Apa?" Tiba-tiba aku nge-blank. Ini pasti bercanda, kan?

Bukannya menjawab, Farhan malah bangkit dari duduk, lalu berlutut di hadapanku. Dia membuka tasnya, mengeluarkan setangkai mawar putih yang indah dari dalam sana. Farhan—sambil berlutut pada satu kakinya—menyodorkan mawar putih itu ke hadapanku seraya berkata dengan lembut, "Gue cinta sama lo, Dino."

Seekor kupu-kupu memasuki perutku. Geli, menyenangkan. Aku yang dari tadi memang sudah gugup, malah dibuat makin speechless karena tingkah Farhan yang romantis dan nggak terduga. Aaaah, nggak mungkin! Ini pasti mimpi! Kucubit pahaku keras-keras sampai sakit rasanya. Karena nggak bangun juga, berarti ini memang bukan mimpi. Ini kenyataan!

Rasanya aku mau nangis. Bahagia dan terharu, lebih tepatnya. Karena orang yang selama ini aku puja-puja, yang selama ini aku cinta, yang selama ini aku dambakan dalam hati, dia menyatakan cinta padaku! Dan, ditambah pakai bunga sambil berlutut segala ... itu lebih dari segalanya. Dibutuhkan lebih banyak keberanian untuk melakukan hal seperti itu. Bahkan Lendra pun—

Astaga!

Lendra! Ya ampun ...

Apa yang kulakukan? Aku hanyut dalam kebahagiaan karena ditembak Farhan sampai lupa dengan Lendra. Sahabatku itu sekarang pasti sedang menunggu kehadiranku di perpustakaan. Bagaimana ini, apa yang harus kulakukan?

"Dino?" Farhan memanggilku. Aku menarik pikiranku kembali ke kenyataan.

"Ya?" Kutatap matanya yang teduh seperti tetesan air hujan.

"Gue sayang sama lo, Dino. Gue cinta sama lo. Dari awal, gue udah suka banget sama lo." Farhan mengucap dengan mantap, penuh keberanian dan kepastian. "Sejak pertama kali kita ketemu, gue udah suka sama lo. Dari pertama kali kita tabrakan—dari situ gue mulai naksir sama lo. Dan kemudian gue sadar, setiap kali gue lewat depan kelas lo, lo pasti selalu ada di depan pintu kelas. Jadi setiap hari gue pasti lewat sana biar bisa melihat wajah lo terus. Gue pingin banget ngobrol sama lo, tapi bingung harus mulai dari mana. Sampai akhirnya gue ketemu Retno yang lagi nangis karena lo bentak-bentak dia. Dari situ gue mulai cari kesempatan buat ngobrol sama lo—walaupun kesan pertama itu bukanlah kesan yang baik, tapi gue bersyukur karena saat itu bisa melihat wajah lo dari jarak dekat.

"Gue tahu gue kasar banget sampai bentak-bentak lo, tapi kemudian gue menyesal dan coba minta maaf. Sayangnya gue terlalu malu dan nggak berani minta maaf secara langsung, makanya gue ngirim kertas-kertas kecil itu. Dan waktu gue lihat lo jatuh di lorong sekolah, gue emang sengaja keluar kelas buat nolongin lo. Semua itu gue lakuin cuma biar gue bisa dekat sama lo, Din.

"Kemudian di perpustakaan, gue emang sengaja ngikutin lo sampai ke sana dan membantu lo ngambil buku itu karena gue yakin gue harus bisa ngobrol sama lo hari itu juga. Dan tugas Kimia yang gue pinjamin ke lo, itu sengaja gue pinjamin supaya gue bisa ngobrol banyak sama lo, dan ngebujuk lo buat ikut kemah bersama."

Aku nyaris kehabisan napas. Kata-katanya menjelaskan segalanya.

"Di kemah bersama, waktu permainan Truth Or Dare, gue emang sengaja milih lo karena gue pingin tahu siapa yang lagi lo sukain sekarang ini. Kemudian di pos ronda ... waktu gue bilang lagi suka sama seseorang, sebenarnya orang itu adalah lo. Dan alasan kenapa selama ini gue kepo banget pingin tahu siapa orang yang lagi lo sukain adalah karena gue mau cari sedikit petunjuk: apakah lo juga suka sama gue? Karena selama ini gue selalu merasa lo juga ngelihatin gue. Dan," dia menarik napas sejenak, "dan gue yakin tebakan gue ini nggak salah, kan? Lo juga sering memperhatikan gue, kan?"

Aku ingin sekali mengangguk. Ingin sekali mengatakan padanya bahwa aku juga mencintainya, sangat mencintai sampai rasanya sakit sekali. Kata-katanya menjelaskan semuanya dari awal. Kata-katanya mewakili perasaanku. Bukankah aku juga menyukainya sejak pertama kali kami bertemu? Bukankah aku juga nggak punya keberanian untuk memulai obrolan dengannya? Dan apa yang Farhan rasakan itu juga yang kurasakan.

Aku ingin menangis. Kenapa Farhan baru membeberkan semuanya sekarang? Kenapa Farhan baru menyatakan cintanya sekarang? Kenapa ketika aku mulai mencoba melupakannya, dia kembali datang dengan harapan seperti ini? Sama seperti ketika di perkemahan. Sorenya, ketika mandi di sungai aku sudah bertekad untuk melupakan Farhan dan semua tentangnya, tapi malam harinya Farhan malah datang menghampiriku dan membuatku kembali memikirkan tentangnya.

Oke, ini memang bukan salahnya. Dia nggak salah dalam hal ini. Dia justru benar dengan menyatakan cinta dan memperjuangkan perasaannya sendiri. Tapi, tetap saja. Sekarang ada Lendra, kan? Ketika aku sudah memantapkan diri untuk menerima Lendra, Farhan malah datang dan menyatakan cintanya. Waktunya nggak pernah tepat. Selalu saja terlambat.

Atau sebenarnya belum terlambat? Aku belum memberikan jawaban apa pun pada Lendra, jadi aku masih bisa menerima Farhan. Tapi semuanya nggak segampang itu. Ada beberapa hal yang harus kupikirkan dulu sebelum menerima cinta Farhan. Walaupun ingin sekali menerima cintanya sekarang, tapi aku harus menahan kuat-kuat keinginan itu.

"Di perkemahan gue pernah bilang kan kalau gue bakal nembak orang itu secepatnya? Sekarang gue udah melakukannya. Gue nggak bisa nahan perasaan ini lebih lama lagi, Dino. Gue cemburu tiap kali dengar cewek-cewek banyak yang naksir sama lo. Gue kepingin lo jadi milik gue secara utuh. Gue kepingin banget jadi pacar lo, Din."

Dan gue juga kepingin jadi pacar lo, Farhan! Aku menjerit dalam hati. Aku ingin meneriakkan kata-kata itu. Sejujurnya, aku tergoda ingin memeluk Farhan sebagai bukti bahwa aku juga mencintainya. Tapi setiap kali keinginan itu muncul, bayangan Lendra yang menunggu di perpustakaan menghentikanku. Ketika aku lagi senang-senang di sini, ada orang lain yang mencintaiku, yang lagi harap-harap cemas menanti kehadiranku di sana.

"Ini," Farhan menyodorkan mawar putih cantik itu ke hadapanku. "Bawa bunga ini. Aku bakal nunggu sampai kamu siap jawab. Bunga ini tanda keberanian, juga tanda cintaku untuk kamu. Aku sengaja milih bunga warna putih, supaya kamu tahu bahwa cintaku ini tulus, beneran, dan nggak main-main. Itu aja." Farhan sudah mengganti gue-lo dengan aku-kamu.

Sendi-sendi dalam tubuhku rasanya mau copot. Farhan mengatakan semuanya dengan jelas, singkat, tapi kena di hati. Kuambil mawar itu, dan kuhirup aromanya. Harum dan segar. Wangi bunga ini persis seperti harum bunga yang Farhan berikan padaku di dalam mimpi. Dan ternyata mimpiku yang semalam benar-benar jadi kenyataan—kecuali bagian yang dicium olehnya.

Farhan bicara lagi. "Kapan pun kamu siap untuk jawab, hubungi aku. Kamu harus pikirin baik-baik semuanya. Tentang perasaan aku ke kamu, dan tentang bagaimana perasaan kamu ke aku." Farhan menggenggam tanganku. Aku diam memperhatikan ketika bibirnya yang seksi itu bergerak mengatakan kalimat selanjutnya. "Aku tahu kamu juga pasti merasakan apa yang aku rasakan ke kamu. Kamu harus ikutin apa kata hati kamu, jangan kepengaruh sama orang lain. Karena ini bukan tentang mereka, ini semua tentang kamu"—dia menyentuh dadaku, lalu kemudian menyentuh dadanya sendiri—"dan aku."

Aku mengangguk dan tersenyum. Untuk pertama kalinya dalam hidup kurasakan kebahagian sebesar ini. Mencintai Farhan dan dicintai balik olehnya adalah hal yang benar-benar aku inginkan, dan Tuhan mengabulkan keinginanku itu. Aku speechless, gugup, terharu. Dan yang terpenting, aku merasa harapanku kembali.

"Sekarang kita pulang, yuk." Masih dengan menggenggam tanganku, Farhan membantuku berdiri.

Kami kembali ke sekolah. Saat sudah di sekolah, aku menyuruh Farhan untuk pulang duluan sementara aku harus ke perpustakaan dengan alasan ada buku yang harus kucari. Awalnya Farhan bersikeras mau menemaniku, tapi aku menolak dan memaksanya untuk pulang. Dengan patuh dia pun menurut dan aku segera bergegas ke perpustakaan. Sebelum sampai ke perpustakaan, kumasukkan bunga itu ke dalam tas.

Lendra ada di meja tengah, lagi baca buku. Dia tampak fokus pada buku sampai aku datang menghampirinya, dia mengalihkan mukanya dari buku dan menatapku. "Hai," sapanya, tersenyum. Senyum manisnya itu membuatku gugup. "Habis dari mana?"

"Ada tugas kelompok, tadi ngerjain di kelas sebentar," kataku, berbohong. "Sorry."

"Nggak apa-apa," katanya, masih tersenyum. Biarpun dia tersenyum, raut tegang di wajahnya kelihatan sangat jelas. "Jadi?"

Ini dia. Lendra pasti sudah tahu alasanku datang kemari adalah untuk menjawabnya. Niat awalku menyuruhnya nunggu di perpustakaan memang untuk menjawabnya, tapi kemudian niatku berubah karena pernyataan cinta Farhan barusan. Aku nggak bisa menerima Lendra sekarang karena aku juga masih mempertimbangkan untuk menerima Farhan. Jadi ... aku belum bisa menjawabnya sekarang.

"Sorry, gue belum bisa jawab sekarang."

Raut tegang di wajahnya lepas, diganti dengan ekspresinya yang imut, manis, dan lucu. "Oke, nggak apa-apa. Pasti sulit menentukan pilihan yang akan mempengaruhi sesuatu dalam hidup kita."

Dia benar. Memang sulit menentukan apakah Farhan atau Lendra yang akan kuterima sebagai pacarku yang nantinya akan mempengaruhi hidupku selamanya.

"Oke sekarang kita pulang, yuk." Dia menggandeng tanganku. Untungnya perpustakaan sudah sepi.

Bandar Lampung, 28 Mei 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top