Dua Belas
"You can keep me warm on a cold night." — HONNE, Warm on a Cold Night
KEMBALI ke sekolah aku merasa lebih semangat. Tadi pagi aku sampai di parkiran tepat ketika Farhan juga sampai. Motor kami parkir sebelahan, dan dia menyapaku selamat pagi setelah melepas helmnya. Sapaan itu yang membakar semangatku hari ini.
Di kelas, anak-anak mulai heboh ngobrol sana sini. Kebanyakan obrolan membahas kemah bersama. Ada yang ngobrol sama temannya sampai ngotot banget. Ada yang ngakak-ngakak. Ada juga yang menangis. Semua sibuk dengan ceritanya masing-masing. Sementara anak-anak yang nggak ikut kemah cuma bisa mendengarkan dan bersungut-sungut menyesal karena nggak ikut acara tersebut.
Retno di sana. Di kursi paling ujung di pojok kelas. Dia tertawa bersama teman-temannya dan—sepertinya—baru kali ini aku benar-benar memperhatikan dia. Aku menatapnya dari kursiku yang berada di ujung kelas yang lain. Dia masih tertawa. Lalu nyaris saat itu juga dia menolehkan kepalanya ke arahku. Mata kami bertemu, bertatapan. Kemudian dia menyunggingkan senyum, aku balas tersenyum dan mengangguk kecil padanya. Dia menoleh kembali ke teman-temannya, melanjutkan tawa bersama mereka.
Artinya Retno sudah paham dan mengerti. Artinya dia sudah dewasa, sudah mengerti bahwa aku memang bukan tercipta untuknya, dan aku senang akhirnya bisa berdamai dengannya. Sebenarnya aku sih welcome kalau dia mau jadi temanku, asal please jangan terus godain aku. Sama seperti kejadian di awal cerita ketika dia menggodaku, mencolek pipiku, itu kan buat aku risih! Dia itu perempuan, harusnya dia lebih punya harga diri! Tapi sudahlah, itu kan masa lalu. Sekarang aku nggak terlalu membencinya lagi.
"Nanti malam mau ikut, nggak?" tanya Bimo, yang entah dari mana datangnya tahu-tahu sudah duduk di kursi sebelahku.
"Ke mana?"
"Mekdi," jawabnya sambil membuka bungkus permen karet dalam genggamannya. Oh ya, for your information lagi guys, si Bimo ini kalau lagi bosan di kelas, dia pasti ngunyah permen karet—karena merokok di dalam kelas itu haram.
"Ngapain?"
"Ngemis," jawabnya asal-asalan, sambil kunyah-kunyah permen karet yang sudah masuk ke mulutnya.
"Gue serius, Bego!" Aku menggebuk belakang kepalanya.
Dia meringis kesakitan. "Egy sama Ellen anniversary 2 tahun hari ini. Mereka mau traktir kita makan sepuasnya di Mekdi."
"Wah, serius nih traktir sepuasnya?"
Bimo lagi asik kunyah-kunyah sambil mainin hapenya. "Suwer deh," katanya, mengangkat dua jari tangannya membentuk suwer, tapi matanya masih asik melototin layar hapenya. "Egy sendiri yang nyuruh gue ngasih tahu lo sama Lendra buat datang ke Mekdi Kedaton jam tujuh malam ini."
"Oke, deh. Gue dateng," kataku tanpa pikir panjang lagi.
~###~
"SENYUM, ya ... 1, 2, 3, cheeese!"
JPRET!
"Mana, coba gue lihat!" Kurebut iPhone-ku dari tangan Bimo. Kupandangi fotoku bersama Lendra yang baru saja diambil tadi. "Ini bagus," komentarku. Memang, foto ini bagus banget. Aku dan Lendra yang duduk sebelahan memasang muka dengan seganteng-gantengnya. Tangan kananku melingkar di leher Lendra, merangkulnya sambil nyengir memamerkan gigiku yang putih dan rapi, sementara Lendra cuma tersenyum simpul, tangan kanannya memegang minuman bersoda. Foto yang bagus. Cocok. Kulihat teman-temanku untuk menangkap ekspresi mereka.
Egy dan Ellen tersenyum melihat kami. Mereka berdua tampak bahagia, terutama Ellen yang baru saja mendapat boneka Ice Bear dari We Bare Bears ukuran besar, kue tart bertuliskan 'Happy 2nd Anniversary, My Sweet Babygirl', dan sebuket mawar merah yang wanginya benar-benar memabukkan dari Egy. Sahabatku itu merangkul kekasihnya dengan sangat romantis. Mereka memang pasangan yang cocok. Ellen cantik, Egy juga ganteng. Egy bisa pacaran sama Ellen awalnya dari iseng-iseng kenalan lewat Tinder. Saat itu Ellen baru pindah dari Jakarta, dan Egy yang emang doyan sama perempuan cantik dan montok kayak Ellen langsung nekat menyatakan cinta pada hari ketiga setelah mereka ketemuan. Dan hasilnya cukup bagus. Mereka bertahan pacaran sampai sejauh ini.
Sementara Egy dan Ellen berangkulan, Bimo lagi asik ngunyah permen karet yang memang sudah jadi kebiasaannya—selain merokok—kalau lagi jenuh atau nggak ada kerjaan. Beda dengan Egy, kalau soal asmara Bimo adalah tipe cowok yang suka gonta-ganti pasangan. Mereka berdua memang sama-sama gatel untuk urusan perempuan, tapi untuk kesetiaan kayaknya Bimo masih sangat jauh dari tipe cowok setia. Aku belum pernah dan sepertinya nggak akan pernah melihat Bimo pacaran lebih dari sebulan.
Sedangkan Lendra—ah, tentang kisah asmara Lendra, aku yakin kalian semua pasti sudah tahu. Terakhir dia pacaran sama Lova, dan dia benar-benar mencintai gadis itu. Sayangnya Lova mengkhianati cintanya, dan itu memberikan luka yang mendalam untuk Lendra. Dan sampai sekarang, entah karena masih trauma atau karena alasan lain, Lendra nggak pernah lagi dekat dengan perempuan mana pun.
"Gue upload ke Instagram keren kali, ya?" kata Lendra, setelah dia juga melihat foto itu. "Di foto ini kita kayak orang pacaran, deh," dia menatapku dalam-dalam, lalu tertawa setelahnya.
Aku ikut tertawa. "Hahaha, pacar lo ganteng betul!"
"Astaga, gue nggak nyangka ternyata selama ini kalian backstreet di belakang kita!" Bimo menambahkan, ikut dalam candaan kami.
Akhirnya kami semua tertawa lepas, bahagia, dan tampaknya tawa kami terlalu keras sehingga orang-orang yang ada di sekitar kami serempak langsung menoleh ke arah kami. Tapi kami nggak peduli. Kami tetap saling mengejek dan bercanda gurau seperti seolah-olah nggak ada apa pun di dunia ini yang bisa merenggut kebahagiaan dan persahabatan kami. Dan memang begitulah kenyataannya.
Lendra juga tertawa, lepas, bahagia. Tawa sama yang kudengar dari mulutnya ketika kami menyaksikan permainan Truth Or Dare di perkemahan kemarin. Apakah kami berhasil membuatnya bahagia? Apakah kami berhasil membantu menghapus pengalaman dan trauma buruk dalam hidupnya? Apakah dia sudah mengikhlaskan perceraian orangtuanya? Apakah dia sudah melupakan Lova? Pertanyaan-pertanyaanku nggak akan terjawab kalau aku nggak menuntut jawabannya langsung dari Lendra.
"Kayaknya gue harus balik, deh," kata Bimo tiba-tiba. Sedetik kemudian dia sudah memasukkan barang-barangnya—handphone, headset, powerbank, rokok—yang tergeletak di atas meja ke dalam tasnya. Dia mengunyah permen karetnya untuk yang terakhir kali sebelum meludahkannya ke kotak sampah di sebelah tempat duduknya. "Gue cabut duluan, ya," dia menyalami kami satu per satu, kemudian menuruni tangga dan menghilang.
"Kita pulang juga, yuk," ajak Ellen, sambil melihat jam tangan pink merek mahal yang melingkar di tangannya yang kurus dan cantik.
Egy mengangguk. Setelah menghabiskan isi terakhir minuman, mereka membereskan barang-barang. Setelah mengucapkan kata-kata pamitan singkat, mereka pun keluar.
"Beruntung ya si Egy," kata Lendra, sesaat setelah mereka menghilang di bawah tangga.
"Ya," kataku. "Ellen juga beruntung—mereka sama-sama beruntung. Siapa yang bisa menebak kalau kenalan iseng-iseng di Tinder bakal jadi awet sampai sekarang?"
Lendra mengangkat bahu, nggak peduli dengan pertanyaanku. Tapi dia tetap menjawab, "Jodoh memang nggak pernah ada yang tahu."
"Dan lo sendiri gimana? Siapa jodoh lo sekarang?" Ini waktu yang tepat untuk menanyakannya.
Lendra menggeleng sambil tertawa getir. "Gue jomblo, Dino, dan itu udah bukan rahasia lagi, kan? Kalian semua juga tahu gue lagi nggak dekat sama siapa pun akhir-akhir ini."
Memang. Tapi aku masih belum puas dengan jawabannya. Aku memilih kata-kataku sebentar. "Ya memang. Tapi sejak putus dari Lova, setahu gue lo nggak pernah gitu dekat sama yang lain? Atau, kenapa lo nggak coba pacaran gitu?"
Lendra menggeleng lagi. "Pacaran bukan buat coba-coba, Din."
"Ya memang. Tapi maksud gue—" Tiba-tiba aku kehilangan kata-kata. Aku buru-buru menggeleng. "Lebih baik kita saling jujur aja deh ya, gue ketahuan banget nggak pintar basa-basi, jadi langsung ke intinya aja. Lo beneran udah lupain Lova, atau lo masih nggak bisa move on dari dia?"
Dia menatapku kaget, heran, tapi nggak marah. "Emang kenapa?"
"Gue nyuruh lo jawab jujur, bukan nanya balik."
"Iya, tapi kenapa gue harus jawab jujur? Emang belum cukup jelas, ya?" Kali ini tatapannya terlihat seperti memohon—atau berharap?
"Cukup jelas apaan?" tanyaku, bingung.
Dia mendesah kecewa. "Cukup jelas untuk melihat sikap gue akhir-akhir ini? Gue ngertilah ke mana arah pembicaraan lo ini. Dan untuk pertanyaan lo, gue yakin seribu persen gue udah move on dari Lova—yah, walaupun kadang-kadang masih suka kepikiran juga sih, tapi nggak terlalu menyakitkan lagi sekarang. Emang sikap gue selama ini kurang jelas ya nunjukkin kalau gue udah benar-benar lupa sama dia?"
Aku menggeleng. "Sikap lo malah nunjukkin lo masih nggak bisa move on dari dia."
Dia menyandarkan punggungnya ke kursi. "Apa yang buat lo berpikir kayak gitu?"
"Nggak tahu," kataku, menggeleng. "Mungkin karena sikap lo akhir-akhir ini jadi agak"—aku menelan ludah sejenak—"berubah."
"Ya memang sih gue berubah, dan lo kan tahu alesannya kenapa?" Dia mengangkat bahu, tapi nggak mengatakan apa pun lagi.
Aku berharap dia mau menjelaskan lebih banyak lagi. Menjelaskan dengan jujur apa yang membuat dia nggak mau dekat dengan perempuan manapun. Apa karena dia masih belum bisa move on dari Lova? Tapi dia sendiri tadi yang bilang bahwa dia sudah melupakan gadis itu. Apa ini karena perceraian orangtuanya yang membuatnya tertekan sehingga nggak punya waktu untuk memikirkan perempuan lain? Atau karena ada alasan lain? Atau jangan-jangan, Lendra nggak suka perempuan?
Pertanyaan terakhir yang terlintas dalam benakku terasa sangat menggoda, tapi juga sangat nggak masuk akal. Lendra straight, dan aku yakin akan hal itu. Tapi memang mencurigakan. Tapi juga nggak ada alasan yang kuat untuk membenarkan kecurigaanku. Aku jadi bingung sendiri, kenapa aku kepo banget pingin tahu kisah asmara Lendra? Padahal aku sendiri bakalan marah kalau ada orang lain yang mau tahu urusan pribadiku—seperti Farhan yang mau tahu siapa orang yang aku sukai.
Jadi pertanyaan sesungguhnya adalah: kenapa aku kepo banget? Apakah ini karena alasan ingin tahu semata, atau karena aku terlalu peduli pada Lendra, atau karena ada perasaan lain? Tapi, perasaan apa? Apakah aku sudah sinting dan haus akan belaian lelaki sehingga menyimpan rasa yang lebih istimewa kepada Lendra dibandingkan kepada sahabat-sahabatku yang lain? Apakah karena aku orang pertama yang diajak curhat olehnya, sehingga entah bagaimana telah terbentuk sebuah ikatan di antara kami?
Kugelengkan kepala dengan keras, mengusir entah hal nggak masuk akal apa lagi yang ada di dalam pikiranku. Sebenarnya aku cuma ingin tahu apa yang menyebabkan Lendra nggak mau dekat dengan perempuan mana pun, tapi setelah kupikir-pikir lagi, itu memang bukan urusanku, kan? Nggak seharusnya aku mengobrak-abrik urusan pribadi Lendra. Seharusnya dengan kembalinya Lendra yang dulu kepada kami, itu saja sudah cukup. Aku nggak boleh menekannya dengan pertanyaan-pertanyaan macam itu yang mungkin malah akan membuatnya ingat kembali dengan Lova. Iya, kan?
"Eh lihat deh," suara Lendra menarikku kembali ke kenyataan. Aku menatap layar hape yang disodorkannya ke hadapanku. Di layar itu ada foto seorang perempuan kurus, putih, berambut panjang, memakai atasan warna kuning dan rok warna putih. Perempuan yang cantik. "Ini Bella, mantan gue. Aduh, dulu mah dia gendut, tapi sekarang kok langsing kayak miss universe gini, sih."
"Emang udah berapa tahun lo nggak ketemu dia?"
"Sekitar dua tahunan gitu, sih. Dia pindah sekolah waktu kami lagi sayang-sayangnya, jadi kami terpaksa putus. Nggak pernah berhubungan lagi setelah itu, bahkan ketemu juga nggak pernah. Baru akhir-akhir ini dia ngehubungin gue lagi karena teman gue satu sekolah sama dia."
Aku mengangguk paham. "Cantik. Kenapa nggak lo ajak balikan?"
"Sama Bella? Duh, nggak mungkin. Lagian, dia itu bukan tipe gue."
"Cewek cantik langsing kayak miss universe gini bukan tipe lo?"
Lendra tersenyum sambil memandangi foto mantannya. "Cantik dan langsing sih iya, tapi sifatnya itu loh yang nggak nahan. Galak, otoriter, egois, dan tukang pamer. Ya mungkin sekarang dia udah berubah, tapi tetap aja dia bukan tipe yang gue mau."
"Terus, lo maunya yang kayak mana?" Nah, mulai kan aku kepo.
Lendra menatapku dan tersenyum. "Gue cuma pingin punya pacar yang pikirannya dewasa, yang nggak cuma mau dingertiin, tapi juga bisa ngertiin. Tapi yang paling penting, pingin punya pacar yang bisa buat gue nyaman dan merasa spesial. Udah itu aja sih." Senyumnya menghilang ketika dia mengatakan, "Tapi jaman sekarang susah banget nyari perempuan kayak gitu. Perempuan sekarang kebanyakan maunya dingertiin doang, tapi nggak mau ngertiin perasaan kita."
"Mungkin suatu hari nanti bakal ada perempuan kayak yang lo mau," kataku. "Kita nggak pernah tahu kapan kita ketemu jodoh kita. Siapa yang tahu kalau misalnya hari ini lo ketemu orang yang bisa bikin lo nyaman, kan?"
"Nggak mungkin hari ini juga kalik," katanya, nyengir. "Jodoh itu nggak jatuh dari langit, Dino. Dan rasa nyaman nggak langsung dibangun dalam satu hari."
"Ya memang, tapi kan siapa tahu aja gitu." Aku menyedot isi terakhir minumanku sampai habis. "Udah habis. Balik, yuk."
"Oke, yuk," katanya.
Selesai beres-beres, kami segera turun ke tempat parkir dan langsung menuju ke tempat motor kami diparkir. Aku baru mau menghidupkan mesin ketika Lendra memanggilku dari tempat motornya diparkir. Aku segera menghampirinya. Lendra sedang jongkok di samping motornya. "Ban gue bocor," katanya, sambil menekan-nekan bannya yang sudah loyo.
"Waduh, tambal ban di mana, ya?" tanyaku, lebih pada diri sendiri. "Udah mau jam sebelas loh ini, bengkel mana ada yang buka malem-malem begini."
Lendra bangkit berdiri, ekspresinya kebingungan. "Gue tanya tukang parkirnya, deh." Dia memanggil salah satu penjaga parkir. "Bengkel di dekat sini di mana ya, Bang?" tanya Lendra setelah si penjaga parkir menghampirinya.
"Waduh, kalau malem udah nggak ada bengkel di sini, Bang," kata si penjaga parkir. "Bengkel-bengkel di sini biasanya udah tutup dari jam sembilan."
"Duh terus gimana ini, Din?" tanya Lendra, mengalihkan mukanya ke aku.
"Lo pulang bareng gue aja, gue anterin," kataku, nggak pikir panjang lagi.
"Terus motor gue gimana?"
"Iya juga ya," gumamku, mulai ikut kebingungan. Lalu aku menatap si abang penjaga parkir. "Bang, kalau motornya kita titipin di sini, bisa? Besok pagi kita ambil, deh."
"Iya bisa kok Bang, tinggalin aja nggak apa-apa. Aman, kok," kata si abangnya dengan mantap. Kemudian dia menulis sesuatu di sebuah buku catatan kecil. Dia merobek selembar kertas dari buku itu dan menyerahkannya ke Lendra. "Ini dipegang ya Bang, buat bukti, takutnya besok pagi yang jaga bukan saya. Soalnya shift saya nggak sampai pagi."
"Oh iya Bang, makasih ya." Lendra mengambil kertas itu. Sebelum si abangnya pergi, Lendra mengambil uang dua puluh ribuan dari dompetnya, dan memberikannya ke penjaga parkir. "Ini upah buat jagain motor saya, Bang. Ya kita sama-sama ngebantu, lah." Si abangnya langsung paham urusan beginian, mengangguk, dan kemudian pergi.
Untungnya McDonald's Kedaton ini buka 24 jam, jadi mau sampai lewat tengah malam juga selalu ramai pengunjung. Setelah si abang parkir pergi, Lendra langsung mengunci stang motornya, kemudian menambah gembok tambahan untuk keamanan ekstra. Setelah Lendra selesai, kami langsung ke tempat motorku diparkir.
"Motor pakek acara bocor segala, bikin kesel aja," Lendra bersungut-sungut.
"Namanya juga musibah," komentarku singkat, dan langsung naik ke atas motor. Lendra naik ke boncenganku.
Kami baru saja keluar dari tempat parkir dan masuk ke jalan raya ketika gerimis tiba-tiba turun. Awalnya kami nggak mau berhenti, karena cuma gerimis doang nggak akan membuat kami basah kuyup—paling mungkin cuma kedinginan aja. Tapi baru setelah kami melewati lampu merah Urip Sumoharjo, hujan turun dengan sangat deras seperti tanpa ampun. Hanya dalam hitungan detik baju dan celana kami sudah nyaris basah kuyup. Kami menepi di halte depan rumah sakit Advent.
"Pakek ujan segala!" rutuk Lendra, sambil menggosok telapak tangannya yang memucat. "Kayaknya hari ini benar-benar hari sial gue."
Aku diam nggak tahu harus komentar apa, jadi aku cuma menggosokkan telapak tanganku, sama seperti yang kulakukan di pos ronda ketika berteduh bareng Farhan. Ah ya baru ingat, sudah dua kali aku kehujanan dan kedinginan sampai menggigil kayak gini. Cuma bedanya ketika kehujanan bareng Farhan aku menggigil hebat dan nggak ada apa pun yang bisa menghangatkanku kecuali minyak kayu putih. Tapi kali ini aku pakai jaket parasut yang cukup tebal sehingga bisa menangkal udara dingin paling menusuk sekalipun.
Dibandingkan aku, kondisi Lendra tampak lebih parah. Dia menggigil sangat hebat dan wajahnya pucat sekali, seolah-olah nggak ada darah yang mengalir di sana. Dia nggak pakai jaket, yang kemungkinan besar penyebabnya lebih menggigil daripada aku. Kuperhatikan telapak tangannya yang mulai mengerut karena dingin. Baru kena hujan segini aja udah begini efeknya, gimana kalau kena guyur terus-terusan, pikirku. Apalagi aku harus antar Lendra pulang ke rumahnya di daerah Pahoman. Apakah di sepanjang jalan nanti dia bakal kuat menahan guyuran air hujan yang dingin ini?
Aku berniat ingin menerobos hujan, karena aku tahu hujan kayak gini pasti lama berhentinya. Tapi gimana dengan Lendra? Aku nggak yakin dia bakal tahan dinginnya air hujan, karena bibirnya sekarang mulai membiru pucat. Akhirnya aku memutuskan untuk nggak bersikap egois dengan melepas jaket parasutku dan memakaikannya ke tubuh Lendra. Dia sempat protes dan nggak mau menerima jaketku, tapi aku memaksanya. "Lo harus pakek jaket. Bibir lo udah biru gitu. Biar nanti gue pakek jas hujan," kataku.
Akhirnya dia mengangguk, menerima jaketku, lalu membungkus tubuhnya yang gemetaran.
"Yuk, kita harus buru-buru!" Aku menuntunnya ke motor.
Kutaruh handphone dan semua barang-barang kami yang mudah rusak kena air ke dalam bagasi jok motor. Biasanya di dalam bagasi itu ada jas hujan, tapi sialnya hari ini jas hujan itu nggak ada di sana. Mungkin Papa sudah mengambilnya. Jadi hanya dengan kaus yang kupakai, aku mulai mengendarai motor dan menerobos hujan.
Air hujan mulai menampar wajahku, membasahi kaus dan celanaku. Dalam waktu sekejap aku sudah basah kuyup dan angin malam yang berembus kencang membuatku kedinginan.
"Lo beneran nggak apa-apa?" Lendra berteriak.
Aku mengangguk. "Gue masih bisa tahan kalau cuma dingin doang."
"Thanks ya, Din! Gue alergi dingin. Sistem kekebalan tubuh gue lemah dan gampang sakit kena air hujan."
"Santai aja, gue tahu lo lebih butuh jaket itu daripada gue."
Maka jadilah aku berboncengan dengan Lendra di malam hari yang dingin dan diguyur hujan. Kami masih lumayan jauh dari rumah Lendra ketika tiba-tiba dia melingkarkan lengannya di pinggangku dan merapatkan dadanya ke punggungku. Aku baru akan bertanya alasannya ketika dia berkata, "Biar anget," dan kemudian tertawa. Aku mengerti. Pelukan begini memang bukan hal yang aneh di kalangan cowok-cowok straight. Mereka menganggap pelukan ini cuma sekadar pelukan biasa, nggak tersirat makna apa pun. Tapi bagiku, pelukan Lendra ini berarti sesuatu, karena jantungku yang tadinya tenang seketika berubah jadi berdebar-debar nggak keruan.
"Nanti lo mau mampir dulu di rumah gue, atau mau langsung balik?" tanyanya.
"Kayaknya langsung balik aja deh," jawabku, sambil memutar gas, menambah kecepatan laju motor.
"Din, waktu di perkemahan kan ujan tuh. Semua orang kan berteduh di posko jaga—termasuk gue, Bimo, sama Egy. Tapi lo nggak ada di pos jaga." Dia berhenti sebentar sebelum melanjutkan, "Nah, itu lo ke mana?"
"Kan waktu itu gue udah bilang, gue neduh di hutan. Ada pos ronda di sana." Lendra menganggukkan kepalanya yang bersandar di bahu kiriku.
"Lo sendirian? Atau jangan-jangan lo berteduh bareng cewek dan indehoy di sana?" Dia ngakak ketika mengatakan ini.
"Gila lo!" Aku memukul helmnya. "Gue sama Farhan."
"Farhan?" Nada heran dalam suaranya nggak bisa disembunyikan. Entah apa yang ada di pikiran Lendra sekarang, tapi yang jelas dia pasti mikir yang macam-macam karena kemudian dia mengatakan, "Ngapain lo berdua di pos ronda?"
"Berteduh," jawabku enteng.
"Yakin cuma berteduh?" Duh, ini anak kenapa jadi ikut-ikutan kepo, sih?
"Iya yakin lah, emangnya mau ngapain lagi?"
"Nggak tahu, mungkin aja lo berdua pelukan untuk menghangatkan tubuh gitu, ya kan?" Aku tahu dia pasti bercanda, tapi aku menangkap nada lain dalam suaranya, tapi nggak yakin itu apa.
"Sinting lo ah! Pikiran lo sama aja mesumnya kayak Bimo dan Egy!" Aku memukul helmnya lagi, sementara dia cengengesan.
Akhirnya kami sampai di depan gerbang rumah Lendra yang berwarna cokelat tua. Hujan yang tadinya deras sekarang berubah jadi gerimis ringan. Lendra turun dan membuka gerbang. Sebelum masuk ke dalam, dia melepas jaket dan mengembalikannya padaku. Kupakai jaket itu, tapi sepertinya sudah terlambat. Bagian dalam jaket yang tadinya kering, sekarang jadi ikutan basah kena kausku.
"Yakin nggak mau mampir dulu, Din?" Lendra agak berteriak ketika mengatakan ini, karena suara guntur menggelegar keras di langit. "Kayaknya hujan bakal tambah deras loh."
"Nggak apa-apa, gue langsung aja. Mama pasti khawatir."
"Ya udah, kalau gitu hati-hati, ya." Lendra masuk ke pekarangan rumahnya, dan mengunci gerbang dari dalam. "Sekali lagi makasih banyak ya, Din."
Aku menjawab ucapan terima kasihnya dengan anggukan singkat, lalu pergi meninggalkan Lendra dan rumahnya.
Lendra benar, tiba-tiba saja gerimis berubah jadi hujan yang makin deras. Sepanjang jalan pulang, aku nggak bisa berhenti memikirkan tentang Lendra dan pelukannya tadi. Aku merasa nyaman ketika lengannya yang kokoh itu melingkar di perutku. Tapi, kenapa? Apakah ini karena cuacanya yang memang kebetulan lagi dingin, atau karena aku mulai merasa ada yang berbeda dengan perasaanku terhadap Lendra? Aku nggak tahu, aku nggak tahu, aku nggak tahu!
Kugelengkan kepala keras-keras, karena buat apa sih aku memikiran hal yang sebenarnya nggak penting ini? Lendra itu sahabatku, dan untuk alasan apa pun aku nggak boleh suka sama dia. Walaupun dipeluk tadi rasanya nyaman dan menghangatkan, tapi rasa suka dan rasa-rasa yang lain itu harus kutahan.
Kuputar gas sedikit lebih cepat, dan motorku melaju di atas jalanan licin, menerobos embusan angin dingin yang membuat tubuhku menggigil bukan main. Dingin inilah yang mengingatkan bagian diriku yang masih waras bahwa Lendra adalah sahabatku, dia sudah kuanggap sebagai adikku sendiri, dan nggak sepantasnya aku mempunyai rasa sayang yang berlebih terhadapnya. Menyukai Farhan saja sudah rumit, kenapa aku harus menambah kerumitanku dengan menyukai sahabat yang sudah kuanggap seperti adikku sendiri?
Aku nggak bisa menemukan kesimpulan yang bagus ketika sampai di rumah. Aku cuma bisa mengatakan bahwa pelukan Lendra membuatku nyaman karena aku nggak pernah dipeluk laki-laki lain sebelumnya. Dan ditambah cuaca dingin yang membuat pelukan itu terasa lebih hangat dan juga menyenangkan.
Tapi aku sendiri masih bingung, kalau pelukan itu terasa nyaman hanya karena faktor cuaca dan kebutuhanku akan sentuhan laki-laki, lantas kenapa tiba-tiba jantungku berdetak lima kali lebih cepat dari biasanya? Apakah ini karena pelukan Lendra, atau karena faktor cuaca yang dingin? Entahlah, aku sendiri masih bingung dengan perasaanku terhadap Lendra.
Bandar Lampung, 26 Mei 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top