7. Canggung

Apa yang akan kamu lakukan saat bertemu dengan seseorang yang pernah mengisi hari-harimu dulu saat sekarang kamu bersama dengan seseorang yang menjadi masa depanmu? Canggung. Satu kata itu yang mengisi di benak Syahirah saat ini. Ia tak mengira bahwa akan berjumpa dengan Thau kembali. Padahal ia berharap pertemuannya saat hujan waktu itu adalah yang terakhir.

"Maaf Pak, beliau meminta masuk. Tadi sudah saya bilang untuk menunggu di ruang rapat saja," ucap Martini takut-takut.

"Tidak apa biarkan dia masuk." Anoel bangun dari duduknya menghampiri Thau yang masih terlihat diam. Hawa dingin yang mencekam menguar di dalam ruangan itu. Martini yang melihat pun undur diri, sadar akan suasana yang terjadi.

Sedang Syahirah membereskan makanan yang tersaji tadi, tidak etis rasanya bila ada tamu tapi tetap melanjutkan makan.

"Silakan duduk," pinta Anoel tentunya dengan berbahasa Inggris.

Syahirah hanya melirik sekilas usai membereskan makanan. "Mas, aku keluar dulu." Anoel hanya tersenyum mengangguk, mengerti akan maksud sang istri. Ia juga tak ingin Syahirah dekat lagi dengan orang di hadapannya ini. Sebelum Syahirah pergi Thau sempat menatap sekilas pada wanita itu, kerinduannya menguar. Tidak, ini salah. Kata hatinya.

Suara pintu tertutup, seperti biasa Thau akan menampilkan senyum khasnya yang menurut Anoel senyum meremehkan. Dengan seringaian yang begitu kentara. Permainan raut yang bagus dari Thau.

"Ada hal apa lagi? Bukankah di dalam kontrak sudah jelas."

"Layaknya seorang tamu, tidak bisakah dijamu seperti itu?" Seringaian itu makin melebar.

Kedua telapak tangan Anoel mengepal sambil bersedekap. Makhluk di depannya masih sama seperti dulu. "Kamu mau minum apa? Tidak usah terlalu basa-basi."

"Sabar Dude, aku ke sini hanya untuk membicarakan soal kontrak." Martini masuk saat Anoel tadi memintanya mengantar minuman. "Aku berencana akan pulang kembali ke Jerman. Maka dari itu kepemilikan perusahaan di sini akan berpindah tangan pada adik angkatku." Mereka melanjutkan pembicaraan saat martini sudah keluar ruangan.

"Lalu, apa hubungannya denganku?"

"Aku hanya ingin kamu membantunya saat aku tidak ada di sini. Bukan berarti lepas tangan hanya saja perusahaan di Munchen lebih membutuhkan aku, sedang kamu tahu aku sendiri bukan lah amoeba." Thau tertawa singkat.

"Tentu saja. Sebuah kontrak kerjasama bukan hanya perjanjian tentang kerja saja, tapi orang-orang di dalam perusahaan juga akan menjadi tanggung jawab kedua belah pihak. Bukan kah kita sudah membicarakannya dahulu?"

"Bagus kalau kamu mengerti maksudku. Mungkin aku akan tinggal sebulan lagi di sini, setelah itu adikku akan menggantikan posisi sebagai CEO. Bagaimanapun dia harus belajar sebelum masuk ke dalam lingkaran bisnis yang tak mengenal kata kawan." Ada penekanan pada kata terakhir yang diucapkan Thau.

Anoel hanya diam, menerawang jauh dalam ucapan rekan bisnisnya itu. Thau merasa puas melihat ekspresi Anoel, menyereput sedikit minuman di cangkir.

"Aku rasa hanya hal itu yang ingin kusampaikan."

"Kamu masih ada hubungan dengannya?"
Thau yang hendak berdiri—tidak jadi—mendengar pertanyaan bos manufaktur itu.

"Maksudmu? Tentu saja tidak, untuk apa aku merebut milik orang lain. Yang sudah menjadi milikku akan tetap menjadi milikku. Aku percaya kalimat itu." Dengan bangganya Thau berdiri lalu meninggalkan Anoel dengan raut wajah yang sulit dideskripsikan.

"Mbak, mereka tuh ngomongin apa ya tadi siang? Aku yang cuma sekretaris aja deg-deg-an loh Mbak," ucap Martini.

"Kamu kan masih hidup Mar, ya wajar kalau jantungmu berdetak."

"Ish Mbak LiLis ini suka bercanda. Aku tuh serius Mbak."

"Yowes terserah dewek. Aku mau lanjut input barang."

"Mbak nggak ngerti sih, aku ke ruangan bos dulu. Mau kasih tau jadwal," kesal Martini.

***

"Tarik napas satu, dua, tahan, hembuskan."

"Kamu nonton apa sih?" Syahirah mendongakan wajahnya sekilas dari laptop.

"Senam lantai," ucapnya tanpa mengalihkan tatapan.

"Buat apa?" Anoel duduk di sebelahnya dengan tangan kirinya menjulur di badan sofa seperti merangkul. Mereka sudah sampai rumah sejak dua jam yang lalu.

"Pengin saja, aku jarang olahraga kalaupun pernah itu dipaksa kamu. Kalau olahraga di luar rasanya aku malu." Syahirah menunduk mengingat dulu ia sering sekali olahraga ataupun lari sekitar rumahnya dengan baju training ketat. "Makanya aku belajar biar bisa olahraga sendiri di rumah. Lagipula rumah kita kan ada ruang kosong, kalau aku jadikan tempat olahraga, boleh?" tanyanya sambil menatap sang suami. Anoel melihat tatapan mata Syahirah yang selalu mampu membuat ia berdebar setiap menelisik lebih jauh ke dalam bola matanya.

"Boleh, pakai aja." Tangan kanannya terulur merapihkan anak rambut yang menutupi dahi Syahirah. "Mau aku belikan sekalian alat olahraganya?"

"Memang boleh? Nanti nggak muat, ruangannya kan hanya sepetak." Fokus Syahirah pada laptopnya terabaikan, bahkan saat ini ia menghadap suaminya duduk dengan kaki bersila di atas sofa. Dengan piyama bermotif bunga berlengan pendek yang menempel pada tubuhnya.

"Jangan ruangan yang itu, tapi ruangan yang di dekat kolam renang aja. Lumayan besar, kosong juga kan."

"Kenapa dengan ruangan yang tadi? Lagipula yang pakai olahraga paling nanti hanya aku dan kamu, nggak usah terlalu besar."

"For our babies." Ucapan Anoel membuat Syahirah menyembunyikan wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Kamu kenapa?" Syahirah hanya geleng-geleng, tanpa berniat memperlihatkan wajahnya yang mungkin sekarang sudah semerah buah berry.

Anoel tersenyum menanggapi tingkah laku sang istri, yang entah kenapa selalu berubah ekspresi. Seperti sekarang, laki-laki itu merasa bahwa hubungannya dengan Syahirah semakin dekat. Ia harap kedekatannya bukanlah hal sementara atau efek euphoria.

"Sudah azan isya, aku siap-siap dulu ya." Anoel beranjak sesudah mengacak lembut surai istrinya. Sepeninggalan laki-laki itu Syahirah tidak mampu menahan lagi senyum yang terus berkembang, pendengarannya cukup jelas saat Anoel mengucap kata bayi. Bahkan Syahirah belum memikirkan sampai sana.

"Bayi? Sounds good."

***

Sehabis hujan subuh tadi, udara pagi ini begitu sejuk dengan rintisan air yang membekas di dedaunan. Bau tanah yang bercampur air menguar di sekeliling. Ditambah kicauan makhluk-makhluk kecil yang berlarian di udara dengan kedua sayapnya yang membentang. Menjadi melodi di alam bebas.

Beranjak menuju dapur mengolah beberapa bahan untuk dijadikan menu sarapan. Semangkuk sup labu parang dengan roti gandum sudah tertera di meja. Syahirah membenahi rambutnya yang tidak terikat sempurna.

"Bu, malam nanti mau di masakkin apa?" tanya Bi Arsih, asisten rumah tangganya.

"Nggak usah deh Bi, beres-beres saja. Soalnya nanti malam aku makan di luar sama bapak." Bi Arsih mengangguk, mengerti, lantas meninggalkan Syahirah menuju lantai atas membersihkan rumah. Terkadang Syahirah tidak sempat karena harus segera berangkat ke kantor. Namun, tidak selalu Bi Arsih yang mengerjakan urusan rumah, hanya sesekali saja.

"Pagi." Anoel sudah rapih dan duduk di ruang makan.

"Pagi. Kamu berangkat duluan saja nanti. Aku belum rapih. Lihat belum mandi juga." Syahirah duduk di sebelah kursi sang suami menyiapkan sup labu beserta jus buah di pagi hari.

"Duduk dulu, mau ke mana?" tanya Anoel saat melihat Syahirah hendak beranjak dari kursinya.

"Mandi, aku belum mandi loh." Wanita itu duduk kembali.

"Nggak apa. Temani aku sarapan dulu. Kamu sudah sarapan?" Syahirah hanya menggeleng. "Sarapan dulu." Setelahnya mereka sarapan sampai selesai, Anoel berangkat sedang Syahirah masih harus bersiap-siap.

Syahirah sempat memikirkan akhir-akhir ini hubungannya dengan sang suami lumayan banyak perkembangan. Tidak seperti awal-awal menikah. Canggung di mana-mana.

***

Pashmina lebar sudah tersemat di kepalanya dengan blazer putih dan gamis line A warna pastel. Sedikit tambahan make up tipis di wajahnya. Ya, untuk yang satu itu sampai sekarang Syahirah belum bisa melepaskan. Sang suami pernah bilang Syahirah tidak usah pakai make up tebal jika memang belum bisa melepaskan. Perlahan-lahan tapi pasti kan.

"Iya Pak, nomor empat belas ya gerbangnya warna putih. Ya, saya tunggu." Tidak lama bel berbunyi di depan rumahnya. Saat sebelum menuju ojek-online, Syahirah melihat mobil hitam tepat parkir di depan rumahnya. Syahirah mengenal mobil ini. Mobil yang mengantarnya saat menuju acara akikah anak Anggia. Tapi, untuk apa mobil itu berada sekarang di sini?

****

Syahirah manis ya

Pak Bos😂

Assalamualaikum aku kembali, masih ada yang baca?
Kalau ada, terima kasih kepada pembaca setia. Semoga keberkahan selalu terlimpah padamu.

Maafkan baru update kembali, rasa malasku mengalahkan segalanya ditambah mood-ku yang nggak karuan.

Jangan lupa vote dan komennya supaya bisa up lagi, muehehe🌟💬

Kalau ada salah kata atau typo tolong komen aja, maaciw ya >_<


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top