4. Hanya Rindu
Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakaatuh.
Woah! Hampir 3 minggu lapak ini kubiarkan kosong, maafkan.
Semoga bisa sering update 😌
Maaf kalau ada typo
Mata itu terus menatap pada sosok wanita di depannya. Lama sekali sampai Albert datang menepuk bahu lelaki tadi. "Tuan, maaf, saya terlalu lama. Tadi saya berbincang sedikit dengan Nona Syahirah." Albert yang tidak enak berbicara pada tuannya itu sesekali menunduk.
Menghilangkan rona kejut di diri—Thau—berdeham.
"Tidak apa. Ayo Albert, kita akan terlambat jika tidak segera," panggil Thau tanpa melihat ke arah Syahirah.
Sedangkan Syahirah jangan ditanya, bahkan ia sekarang masih bergeming. Tidak percaya, berjumpa dengan sosok yang pernah menjadi masa lalunya.
"Ehm ... Tuan," panggil Albert.
"Ya, ada apa?" tanya Thau berbalik arah saat dirasa Albert belum juga berjalan di belakangnya.
"Begini, Nona Syahirah ...."
"Tidak apa, Albert. Aku akan naik taksi saja. Terima kasih atas tawaranmu tadi." Syahirah tersenyum kecut, dia sadar diri untuk apa menumpang di mobil milik Thau sedangkan sang pemilik saja enggan bercakap dengannya. Setidaknya mengucapkan kata "hai" mungkin Syahirah tidak akan sekecewa ini. Apa kecewa? Tidak-tidak, batinnya.
"Tapi, Nona ... ini sudah malam. Tuan, boleh Nona Syahirah kita antar, kan?" tanya Albert pada Thau yang saat ini masih menampilkan wajah datarnya. Syahirah harap-harap cemas, karena takut Thau akan mengatakan "tidak" terlebih dia masih ingat dulu saat pertengkaran terakhir dengan laki-laki itu.
Thau sudah masuk lebih dulu ke mobil, sedangkan Syahirah termangu, tidak percaya. Albert hanya senyum saja, ia tahu sebenci atau sekesal apapun tuannya, laki-laki itu tidak akan tidak acuh pada wanita yang pernah ada di hidupnya. Kisah Thau-Syahirah, siapa yang tidak mengetahuinya. Bahkan Albert sudah hapal luar kepala.
Selama perjalanan hanya suara Thau yang sedang bercakap ria dengan ponsel. Mungkin urusan kerja. Syahirah hanya menatap jendela kaca mobil, sendu. Rasanya aneh, saat hatimu mencoba keluar dari yang namanya rindu, tapi tidak bisa hanya karena kamu berjumpa kembali dengan masa lalumu. Kenangan, bukan kah semenyebalkan itu?
Helaan napas berat keluar dari Thau, Syahirah melirik sekilas. Thau dan Syahirah duduk bersisian, tapi wanita itu agak menjauh hingga duduk di ujung dekat kaca bahkan hampir menempel.
"Bagaimana denganmu?"
Syahirah yang tidak siap dengan pertanyaan Thau, hanya menatap sepenuhnya penuh tanya. Thau yang mengerti kebingungan wanita itu lantas saja berkata, "Kabarmu, baik?" Syahirah mengangguk kikuk.
"Lalu, kamu sendiri?" Syahirah berusaha mencairkan suasana dengan mengajukan pertanyaan yang sama.
"Sangat baik sampai sebelum berjumpa denganmu ... lagi," jelas Thau ketus dan penekanan pada kata 'lagi'. Matanya sendu tidak sinkron dengan ucapannya. Syahirah menunduk.
"Maaf," ucap Syahirah lirih. Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya. Tiga bulan lebih tidak berjumpa lagi rasanya benar canggung.
"Kamu masih bekerja dengan Anoel?" Syahirah mengangguk ragu. Thau yang melihat hanya menyeringai sekilas.
"Dia benar-benar mengikatmu. Ck! Tidak cukup hanya membuatku jauh dari bisnis di sini." Thau mengalihkan pandangannya pada kaca mobil.
"Aku telah .... "
"Aku tahu, tidak usah kamu jelaskan," potong Thau cepat. "Selamat. Aku tidak bisa datang waktu itu. Ibuku sedang dimakamkan." Raut wajah lelaki berjas hitam itu berubah gelap, tangannya mengepal erat. Syahirah yang melihatnya pun merasa bingung. Harus apa.
"Maaf ... aku tidak tahu. Aku turut berduka cita untuk kepergian ibumu," balas Syahirah pelan. Sungguh, tidak ada berita tentang Thau yang masuk ke ponsel atau emailnya. Yang ia tahu setelah pertengkaran mereka, Thau sulit dihubungi hampir tiga bulan lamanya. Syahirah menganggap bahwa Thau memang tidak serius padanya.
"Tidak apa. Lagipula kamu bukan siapa-siapa di keluarga kami." Thau datar saat mengucapkan itu, ia tidak tahu bahwa ada hati yang tersakiti dengan ucapannya. Syahirah, merasa sangat sedih saat tahu bahwa kebersamaannya selama ini tidak berarti apa-apa.
Belum Syahirah membalas ucapan Thau, Albert memotong, "Nona, apa benar rumah yang ini?" Syahirah pun tidak sadar bahwa ia telah sampai pada rumah kakak iparnya.
"Iya benar, Albert. Aku turun di sini saja. Terima kasih atas tumpangannya." Sekilas Syahirah tersenyum pada Albert dan Thau, tapi lelaki itu cuek saja bahkan tidak minat melihat Syahirah.
"Sama-sama, Nona. Kalau begitu kami kembali. Semoga bisa berjumpa kembali. Assalamualaikum." Syahirah menjawab salam Albert tak lama mobil itu pun hilang di pertigaan jalan.
***
Rumah Anggia telah penuh dengan bapak-ibu pengajian yang dipisah untuk acara akikah anaknya. Ada Anoel, Suami Anggia—Khidir, ibunya—Dewi Anisa, Lestari Anita dan ibu mertuanya serta papa—Rahman Subaktyo dan papa mertuanya telah bergabung, hanya tinggal Syahirah. Wanita itu semenjak sampai, langsung menaiki kamar tamu yang memang biasanya ia dan Anoel pakai jika sedang menginap di rumah Anggia, karena anggota keluarga besar mereka lebih sering mengadakan acara di kediaman sana.
"Noel, sana lihat istrimu. Sejak tadi Kakak lihat nggak turun. Takutnya kena demam, apalagi tadi dia pulang pucat gitu," pinta Anggia pada adiknya.
"Iya, aku tinggal dulu." Anggia hanya mengangguk.
Sampai di depan pintu kamar, Anoel mengetuk. Pintu terbuka. "Kak Anggia minta aku cek kamu. Kamu demam?" Anoel mengulurkan punggung tangannya pada dahi Syahirah.
"Ngggak. Aku cuma sedikit pusing aja, mungkin karena kena hujan tadi." Anoel menatap penuh tanya pada Syahirah. Yang ditatap seakan mengerti dan mengubah kalimatnya. "Eh, ehm ... bukan itu. Maksudnya aku memang lagi capek aja, mungkin itu sebabnya aku agak drop." Cengiran pada Syahirah membuat Anoel mengangguk.
Syahirah masih ingat dulu sering menyalahkan hujan jika sakit, akibat sering terjebak di tengah hujan dan menyebabkan ia tidak bisa masuk kerja. Saat itu Anoel menghubungi langsung Syahirah, karena hanya Syahirah yang mengerti jadwal Anoel lengkap. Saat Syahirah meminta izin bahwa ia tidak bisa masuk dan sakit karena hujan, Anoel langsung menasihatinya "Hujan itu rahmat Syahirah, bukan hujan yang menyebabkan kamu sakit saat kamu terjebak guyurannya. Tapi, kondisi tubuh kamulah yang saat itu mungkin, sedang drop dan tidak seimbang sehingga membuat pertahanan tubuh kamu lemah. Dan jangan pernah bilang kalau kamu sakit karena hujan-hujanan." Begitulah kalimat panjang Anoel saat menghubungi Syahirah.
"Ya sudah kamu istirahat aja. Nanti aku bilang ke Kak Anggia dan yang lain kalau kamu sedang tidak enak badan." Syahirah hanya mengangguk sambil berpegang pada kusen pintu.
"Pake selimut yang di lemari kanan, ada yang tebal. Kalau suhu ruangan terlalu dingin kamu matikan saja AC-nya."
"Iya," balasnya. Anoel hanya mengusap kepala Syahirah sekilas setelahnya ia kembali ke bawah menyusul yang lain.
***
"Gimana, Noel? Beneran sakit?" tanya Anggia.
"Kurang enak badan dikit. Memang di divisi Kakak lagi banyak tugas? Syahirah sampai capek gitu, terus kenapa dia selalu pulang telat?" tanya Anoel beruntun.
"Satu-satu bisa, kan, Noel tanyanya?" Anoel hanya mengangkat bahu asal.
"Ya, enggak juga sih. Tapi, memang dia sekretaris paling bisa diandalkan. Kerjanya gesit juga. Tadi aku sengaja pulang agak lama, eh, enggak juga deh kemarin juga aku pulang telat." Saat Anoel ingin membalas ucapan sang kakak, Anggia langsung memotong, "Sabar dong, udah mau cuap-cuap aja. Iya tahu itu istri kamu, tapi profesional bisa, kan, Noel? Lagian tadi juga di bagian gudang ada kesalahan pencatatan barang, jadi harus ditelaah hari itu juga. Supaya enggak rumit besok."
"Ya, tapi, Kak, Syahirah kan baru di divisi gudang, seengaknya kasih kelonggaran lah."
"Nggak bisa begitu Noel, aku menyamakan rata semua karyawan. Termasuk saudara. Udah ya debatnya acara mau mulai. Kalau kamu enggak mau istri kamu dengan cara kerja aku, balik aja lagi jadi sekretaris kamu dan ketemu deh sama siapa itu, ups, Kakak lupa." Anggia menutup mulutnya cepat dengan telapak tangan kanannya. Seakan tidak menyadari raut suram adiknya sekarang, Anggia hanya tertawa kecil. Menepuk sekilas bahu Anoel, perempuan itu melangkah lebar ke arah suaminya yang telah berada di ruang tengah yang sudah didekor dengan rapih.
Acara berjalan lancar sehabis isya. Para bapak-ibu pengajian pun sudah pulang. Yang tersisa hanya sebagian keluarga besar dari pihak suami Anggia.
"Mah, Pah, aku ke atas duluan ya. " Anoel menyahut keluarganya. Memang benar mereka semua menginap di kediaman Anggia, karena waktu yang semakin malam tidak cukup jika harus kembali ke rumah masing-masing.
"Iya, Sayang. Jangan lupa bawa makanan yang di meja makan, Noel. Tadi Mamah ke atas Syahirah belum makan juga," sahut Lestari—mamahnya Anoel.
Anoel lantas berjalan ke lantai dua menuju kamar tamu. Diketuk sekilas pintu—membukanya. Dilihat Syahirah tertidur di atas sajadah. Mungkin sehabis isya tadi. Berjalan mendekati Syahirah sembari menaruh peci hitam di atas nakas setelah ia pakai dalam acara akikah.
"Tertidur rupanya." Posisi Syahirah yang duduk dengan mata terpejam membuat Anoel terkekeh pelan. Bisa-bisanya ia tidur dengan posisi duduk yang siap.
Anoel berjongkok menghadap pada wanita di depannya meletakkan lengan kanan pada tengkuk Syahirah dan tangan kiri pada lekukan kedua kaki Syahirah, mengangkat dan meletakkan di ranjang king size itu. Syahirah bergerak perlahan, Anoel pikir akan bangun ternyata Syahirah malah mengubah posisinya menjadi meringkuk. Anoel segera mengangsurkan selimut tebal tanpa membuka mukena yang membungkus tubuh istrinya. Merapikan sekilas.
"Rindu ... sangat .... " Syahirah bergumam tidak jelas. Anoel yang melihatnya hanya menatap seperti memikirkan hal lain. Mungkin istrinya tadi di jalan bertemu dengan seseorang yang berarti. Fokus Anoel tertuju pada lelaki itu, tapi buru-buru ia membuang jauh.
****
Re-publish (16/9/20)
publish (22/8/19)
Kukasih bonus foto anakku nih untuk kalian yang masih setia pada ceritaku. 😆
Syahirah tidur kaya gini aja cantik, Ya Allah. Apalah aku yang nggak karuan kalau tidur? 😂
Terima kasih sudah baca :)
- Anggrek_ungu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top