10. Pemimpin Baru
Dua hari dari kabar yang dikirimkan Thau lewat email Anoel. Adiknya, Aldo Enzo sampai di apartemen yang sudah dipesan sang kakak. Mulai besok Anoel akan memperkenalkannya dengan para petinggi dan staff.
Memijat pangkal hidungnya sambil merebahkan diri di sofa bed. Tubuhnya sudah bersih setelah berendam dengan air hangat. Seharian ini ia sibuk dengan berbagai projek di perusahaan. Terlebih tidak melihat Syahirah selama dua hari belakangan dikarenakan lembur. Namun, saat sekarang laki-laki itu pulang tidak dijumpai pujaan hatinya itu.
"Syahirah ... Sya ... kamu di mana?" panggilnya sambil memejamkan mata di sofa bed. Berharap sang pemilik hatinya segera menghampiri ketika dipanggil. Sudah sepuluh menit tapi tidak juga menampakkan diri. Bangun dari sofa lalu bergegas ke kamar. Terlihat wanita itu sedang begumul dengan selimut. Pantas saja ini sudah pukul 12.00 malam. Tanpa membuang waktu Anoel ikut bergabung bersama wanitanya di balik selimut. Mendekap erat menyalurkan benih-benih rindu yang tertahan.
***
Syahirah bangun dengan kondisi mata bengkak, wajah pucat pasi melalui cermin meja rias depan ranjang. Melihat ke samping, laki-laki yang menjadi suaminya masih terlelap, tanpa sadar air mata membasahi lagi wajah cantik wanita itu. Melihat sang suami yang tertidur pulas tidak tega rasanya jika ia membagi cerita sendu. Padahal niat hati ketika Anoel pulang Syahirah ingin meluapkan kesedihan dengan menangis meraung-raung.0
Berusaha menahan diri agar tidak menimbulkan suara tangisan. Sedangkan pergerakan di ranjang membuat Anoel membuka mata, menguceknya seperti anak kecil dengan wajah sehabis tidur.
"Kamu sudah bangun? Kok nggak bangunin aku. Jam berapa sekarang?" Laki-laki itu berusaha duduk bersandar pada sandaran ranjang. Sedang Syahirah mengusap kasar kedua pipinya tanpa menoleh. Lalu memperlihatkan ke empat jarinya ke belakang. Anoel terkekeh. "Segitu marahnya kamu sampai nggak mau lihat wajahku?"
Sedang Syahirah beranjak dari ranjang menuju kamar mandi tanpa membalas ucapan sang suami. Anoel pun bingung, apa hanya karena ia tak pulang dua hari istrinya itu lantas marah? Tidak seperti biasanya.
Terdengar bunyi air, selagi syahirah membersihkan diri. Anoel menuju kamar mandi bawah supaya bisa ambil salat subuh di masjid.
Di dalam kamar mandi sebenarnya Syahirah melanjutkan kembali air mata yang tadi jatuh diiringi gemirisik keran air, bukan tanpa alasan. Apalagi melihat bercak merah—tanda menstruasinya tiba. Sebelumnya ia mendapat kabar yang dipikir akan menjadi kebahagiannya, tapi ternyata memang belum menjadi rezeki yang kurang lebih setengah tahun ini mereka nantikan.
Sebab rasa penasarannya, ia mencoba sendiri membeli alat tes kehamilan. Apalagi sudah dua minggu lebih tidak datang haid sesuai jadwal ditambah keinginannya dengan hal-hal yang tak pernah Syahirah inginkan dan emosinya yang labil, semakin berdebar-debar jantungnya. Hasil yang ia dapatkan hanya garis satu tanda merah, yang menyatakan bahwa ia tak hamil.
***
Dilihat meja makan di dekat dapur kosong tidak ada apapun, biasanya Syahirah tidak pernah absen untuk membuatkan sarapan. Sekarang bahkan segelas air putih pun tidak ada. Mbak Arsih—pembantu rumah tangganya—pasti belum datang, biasanya hanya akan datang sekitar pukul 09.00 sampai 17.00 sore. Terpaksa ia ambil minum di kulkas.
"Nggak apa, mungkin dia masih marah. Salahku juga nggak pulang dua hari dan nggak kasih kabar pula. Anoel ... Anoel ... dikasih istri perhatian malah di sia-siakan," monolognya.
Sebelum berangkat kerja, Anoel masuk ke kamarnya karena selepas salat di masjid ia belum menyempatkan diri menemui wanita kesayangannya itu.
"Loh, kamu tidur lagi. Kenapa?" tanyanya saat membuka pintu melihat Syahirah di ranjang malah menutup tubuhnya hingga leher. "Lagi nggak salat?" Syahirah mengangguk, tapi detik berikutnya air mata itu menetes dengan tidak tahu diri. "Loh-loh kok nangis. Kenapa, Sayang?" Anoel yang kebingungan langsung menghampiri dan mendekap erat sang istri. Dibiarkan Syahirah menangis tergugu sambil mengusap rambut wanita itu.
Sepuluh menit berlalu tangisannya mulai reda, pelukannya pun mulai mengendur. Mendongakan wajah, melihat Anoel yang masih tetap menunggu wanita itu berbicara.
"Ka-kamu kenapa nggak kabarin aku? A-aku khawatir." Syahirah berbohong ia sebenarnya tahu bahwa Anoel lembur karena Martini menghubungi. Ia mengucapkan itu supaya sang suami tidak khawatir dengan dirinya yang tiba-tiba menangis.
"Kamu nangis gara-gara khawatir?" Syahirah menganggu kikuk. Lagi ia berbohong.
"Maaf ya, aku lupa kasih tahu. Maaf juga buat kamu jadi menangis gini." Diusapnya bekas air mata di kedua pipi Syahirah. Sungguh, hatinya tadi bahkan hancur melihat sang pujaan hati bersedih karenanya. Terkahir kali melihat Syahirah menangis seperti tadi saat wanita itu merasa tersakiti dengan seseorang yang enggan ia ucapkan.
"Muka kamu pucat banget. Kamu sakit?" Tangan Anoel meraba dahi Syahirah. Agak panas. "Kita ke rumah sakit saja, kamu sepertinya demam," khawatirnya.
"Nggak usah, karena abis nangis pasti agak hangat badanku." Anoel menatap penuh tanya. "Iya nggak apa kok. Maaf ya aku nggak buat sarapan." Ditatap penuh cinta wanitanya itu. Apa itu bisa dibilang cinta? Tentu saja, Syahirah wanita pertama yang masuk ke dalam hati laki-laki itu.
"Nanti aku bisa buat sendiri. Kamu istirahat saja. Jangan masuk kerja." Melihat tanda penolakan dari Syahirah, laki-laki itu menggeleng tanda tidak mau dibantah. "Aku ambil sarapan buat kamu dulu ya." Mengecup sekilas dahi istrinya itu. Syahirah merasa berdosa. Seringkali melakukan tes selama datang bulannya terlambat, tapi hasil yang didapat tak pernah membuatnya tersenyum. Dan selama itu pula Anoel tidak tahu. Sekarang kesedihannya tidak bisa dibendung yang mengharuskan Syahirah untuk berbohong tentang keadannya yang tidak baik-baik saja. Apalagi ditambah ucapan beberapa keluarga besar Anoel ketika mengadakan perjumpaan.
***
Usai drama tangis sang istri, Anoel bergegas ke kantor ia sudah sangat telat. Apalagi siang ini ada rapat dengan Aldo Enzo. Sebelumnya ia sudah memberi tahu kakaknya—Anggia—bahwa Syahirah tidak bisa masuk kerja. Apalagi ia juga baru tahu bahwa wanita itu sedang datang bulan. Hah! Memikirkannya membuat Anoel menunduk lesu. Bukan tanpa alasan, Anoel pun menanti kabar bahagia itu ditambah belakangan Syahirah sering meminta yang aneh-aneh seperti saat meminta dirinya memakan cumi. Namun, karunia berupa malaikat kecil di tengah kehidupan mereka belum juga hadir. Apalagi usianya sudah 31 tahun lebih, siapa yang tidak menginginkan anak.
"Pagi Pak," sapa Martini. Anoel hanya mengangguk dan tersenyum sekilas. Melihat itu Martini mengikuti bosnya ke dalam ruangan seperti biasa memberi tahu jadwal kegiatan.
"Tumben telat Pak?"
"Istri saya sakit. Harus saya temani dulu tadi." Martini terlihat kaget.
"Mbak eh maksud saya Ibu Syahirah sakit apa, Pak?" Martini hampir saja kelepasan bicara dengan memanggil 'mbak' pada Syahirah. Dipukul pelan bibirnya itu.
"Demam. Oh ya, selama saya dua hari kemarin apa Syahirah mengeluhkan sesuatu pada kamu?" Martini menggeleng, sejauh ini Syahirah tidak pernah cerita hanya saja sehari kemarin perempuan itu tampak murung.
"Nggak ada sih Pak, tapi kemarin ibu murung terus." Anoel mengalihkan diri sepenuhnya pada Martini. Merasa ditatap, Martini melanjutkan. "Kemarin pas saya makan siang bareng ibu, ibu keliatan nggak selera. Saya tanya, ibu nggak fokus menjawab."
"Dia bilang sakit atau semacamnya?" Martini menggeleng. Tidak biasanya istrinya itu tidak menceritakan hal apapun pada Martini. Setahu Anoel mereka berdua sangat dekat, bahkan seringkali mereka jalan bersama saat libur kerja. "Nanti jam makan siang saya kosong?"
"Kosong Pak."
"Kalau begitu saya izin pulang siang nanti sebelum rapat." Martini menjawab oke dan kembali ke kubikelnya.
Sesampai di kubikel, beberapa staf bertanya. "Kenapa si bos? Lo ada masalah?"
"Enggak lah, sorry-sorry aja ya gue mah orangnya santuy nggak pernah terjun ke dalam masalah. Kecuali masalah hati gue."
"Ah elah malah curhat, noh Andra dianggurin aja." Setelah Anton pergi Martini melanjutkan duduk. Kenapa sih orang-orang kantor selalu menjodoh-jodohkannya dengan Andra. Supir bos. Memang Andra dilihat dengan jelas selalu membuat Martini ketar-ketir, tapi dia sadar diri juga mana mungkin merebut suami orang. Ia juga baru tahu saat Syahirah menceritakan berita besar itu minggu lalu.
***
"Mbak Arsih," panggil Syahirah.
"Iya Bu. Ada yang mau Ibu makan?" Mbak Arsih yang sedang membersihkan kamar Syahirah pun menoleh.
"Saya belum mau makan, tolong buatkan seduhan kunyit sama jeruk nipis campur madu aja deh Mbak. Saya mau turun buat, tapi sakit banget perutnya."
"Ibu istirahat saja, biar saya aja yang buat. Sekalian saya bawain makanan ke kamar ya. Nanti disangka Bapak saya nggak bisa jaga ibu." Mbak Arsih terus merayu Syahirah agar wanita itu mau makan. Alhasil Syahirah menyerah ia juga tidak mau membuat asisten rumah tangganya itu khawatir.
Bunyi gawai di nakas memaksa Syahirah untuk bangun. Membuka selimut yang menutup wajahnya. Tanpa melihat siapa yang menghubungi Syahirah langsung mengangkat panggilan itu.
"Assalammu'alaikum." Suaranya agak serak apalagi ia juga baru bangun tidur lima menit yang lalu setelah Mbak Arsih memberi seduhan kunyit tadi.
"Wa'alaikumussalam. Kamu sudah baikkan?"
Syahirah bangkit sepenuhnya duduk. Mendengar suara sang suami. Merasa malu mengangkat telepon malas-malasan.
"Iya ... sudah mendingan. Kenapa Mas?"
"Nggak apa, cuma cek keadaan kamu. Nanti siang aku pulang sebentar." Syahirah tidak mengucap apa-apa karena perutnya memang masih sakit. Biasa seperti itu ketika datang haid pertama rasanya ingin jungkar balik saja. "Ya sudah aku tutup ya. Kalau ada apa-apa hubungi aku." Setelah menjawab salam Syahirah melanjutkan kembali tidurnya lebih tepatnya tidur-tiduran sambil memijat pelan bagian perut yang sakit.
Entah sudah berapa lama Syahirah tertidur, tapi kali ini perutnya tidak terlalu terasa nyeri seperti tadi pagi. Dan juga seperti ada yang memijat di atas perutnya. Membuka mata perlahan dan memfokuskan penglihatan, dilihat lebih jelas ternyata sang suami duduk di pinggiran ranjang sambil memijat.
"Loh Mas, sejak kapan pulang?" Syahirah hendak bangun, tapi Anoel mencegah membiarkan istrinya itu tetap pada posisinya. Tangannya pun masih memijat perut istrinya itu.
"Sepuluh menit yang lalu. Sudah lebih baik?" Syahirah mengangguk. "Sudah makan siang?" Wanita itu hanya menggeleng. Raut wajah Anoel berubah apalagi tatapan matanya lebih tajam—khawatir. "Kenapa belum makan? Harusnya kamu makan dulu. Supaya nggak tambah sakit."
"Perutnya tadi masih sakit. Buat makan pun malah nggak enak." Wajahnya murung.
"Makan bareng ya. Aku juga belum makan siang juga."
"Loh, kenapa Mas bukan makan dulu. Dari pagi belum masuk nasi kan. Ya sudah ayo kita makan." Karena khawatirnya mengalahkan rasa sakit, Syahirah beranjak bangun lalu mengambil makanan yang berada di nakas. "Aku ambil makanan kamu dibawah ya."
"Nggak usah, ini saja. Berdua. Kalau kurang nanti aku ambil ke bawah." Syahirah tersenyum mengangguk. Mereka makan dengan lahap sesekali mengobrol ngalur ngidul entah membahas perusahaan atau membahas berapa kali dalam sehari sendawa. Kurang kerjaan sekali. Walau begitu rasanya menyenangkan untuk mereka. Ya perlahan tapi pasti Anoel yakin hati Syahirah mulai terbuka untuknya. Setiap usaha pasti akan berbuah hasil.
***
Kembali ke kantor setelah keadaan Syahirah membaik, Anoel tidak lupa mengecek jadwal kegiatannya kembali. Rapat dengan Aldo Enzo. Di ruangan lumayan besar dan pencahayaan yang terang dengan bangku yang saling berhadap serta meja panjang ditengahnya yang terdapat beberapa kertas, laptop dan ATK lainnya. Rapat kali ini dipimpin oleh laki-laki itu sendiri.
"Saya mengumpulkan kalian ke ruangan ini, karena ingin memperkenalkan dengan salah satu pimpinan terbaru perusahaan Enzo Corp yang bercabang di Jakarta yaitu Pak Aldo Enzo," ucapnya dengan aksen Inggris.
Sosok pria tinggi sekitar 182 centimeter masuk dengan setelan jas berwarna dongker senada dengan celana bahan dan kerah kemeja yang terlepas tanpa memakai dasi. Rambutnya yang berwarna hitam pekat yang tersusun rapih menjadi daya tarik orang-orang di ruangan. Senyumnya menguar, membuat beberapa staff wanita ingin jatuh saja dihadapannya. Ya, jatuh karena pesonanya. Seperti kebanyakan orang di Benua Eropa hidungnya bangir, pupil matanya hitam jernih. Kulitnya hampir seputih salju.
"Maaf, saya terlambat. Perkenalkan saya Aldo Enzo pimpinan baru Enzo Corp cabang Jakarta. Saya akan menggantikan tugas kakak saya—Thau Enzo—untuk beberapa tahun ke depan. Ah tidak, maksud saya sampai habis masa kontrak," ucapnya dengan bahasa Inggris dan Aldo menyeringai, entah apa yang ada dipikirannya. Sedang Anoel hanya diam lalu mempersilahkan yang lain untuk memberi ucapan selamat datang pada Aldo.
Sehabis rapat Anoel kembali ke ruangan, langkahnya dicegah seseorang.
"Hai Bung. Bisa kita berbicara sebentar?"
Anoel mengangguk dan mempersilahkan Aldo memgikutinya.
Sesampai di ruangan, mereka berbincang yang awalnya hanya basa-basi menjadi serius. Kentara sekali tangan Anoel sering mengepal setiap Aldo mengucap, lebih tepatnya pernyataan.
***
Assalammu'alaikum. Alhamdulillah bisa up. Padahal aku janji Minggu kemarin, tapi karena beberapa hal jadi kutunda. Selanjutnya aku nggak matok up kapan tapi diusahakan sebelum Ramadhan aku sering update KATK.
Oh iya, karena keadaan Indonesia lagi nggak baik. Tetap jaga kesehatan ya kalian semua. Isolasi diri sendiri yang tetap kerja juga jangan lupa masker dan sering cuci tangan. Semoga keadaan ini segera berakhir dan kembali seperti semula serta kita semua selalu dalam lindungan-Nya. Aamiin.
Terima kasih yang sudah baca. Ini aku ngetik 1900 san. Kebanyakan sebenarnya.😅
Kalau ada tipo kasih tau ya. Makasih❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top