Prolog I

Aku memejamkan mata dan terduduk di dalam gudang barak 17. Aku merasa nyaman di dalam ruang ini karena ubinnya yang dingin. Keempat dinding ruangan yang sempit memberikanku rasa aman.

Di dalam gudang itu aku merenungi rencana dan impianku. Aku berjalan di dalam benakku. Langkahku diarahkan oleh pagar yang dibentuk oleh ribuan rak buku yang menjulang tinggi. Setiap rak berisikan mimpi, pencapaian, dan rencana masa depan yang telah aku bukukan.

Dari ribuan buku ini, ada satu rak buku yang selalu aku tuju. Rak buku itu berada di timur laut dari tempat aku berdiri. Dia berada di akhir jalan benak ini yang memuncak.

Aku terus melangkah dan mengabaikan kenangan-kenanganku yang lain. Aku sudah tidak ingin lagi bernostalgia. Aku hanya ingin melihat kenangan terakhirku yang berada di puncak jalur benakku.

Aku tidak merasakan lelah selama memanjat lereng jalur benak hingga aku berdiri di hadapan rak buku ini.

Rak ini berukuran besar, namun tidak sekat untuk menopang buku yang lain. Di dalamnya, sebuah buku berbaring.

Aku mengambil buku itu sambil duduk bersila di dalam benak.

Aku menatap kepada sampulnya yang berwarna abu cokelat. Di atas sampul itu tertulis judul 'Cita-citaku sebagai Ahli Forensik'. Warna judul itu menyala merah seakan lahar.

Aku membuka halaman pertamanya. Tulisan di dalamnya mengucapkan, "Mulai sekarang, aku ingin melayani negara dengan IPA."

Halaman pertama itu mengingatkanku, buku ini telah aku tulis semenjak aku kelas 6 SD. Aku menuliskan buku ini di waktu aku masih naif dan lugu.

Aku meneruskan ke halaman-halaman selanjutnya. Perkembanganku dan pertumbuhanku tertulis jelas di dalam halaman ini.

Di pertengahan eksplorasi halamanku, aku bertemu halaman yang menarik. Halaman ini bertuliskan, "Aku tahu apa yang akan aku lakukan ke depan. Aku akan mengembangkan ilmu kimia saat SMA nanti. Ilmu itu bisa aku pakai saat aku bekerja sebagai ahli forensik."

Di bawah halaman itu tertulis, "Paulianto, SMP kelas 3, 2007."

Aku menatap pada tulisanku. Mimpiku, cita-citaku sebagai ahli forensik. Aku tahu mimpi itu sudah di depaepan mata. Aku bahkan mempersiapkannya dengan matang, dengan benar-benar menyusun rencana SMA selanjutnya, kemudian meneruskan ke akademi kepolisian. Dan jika, rencana itu gagal, akupun telah menyiapkan beragam alternatif.

Rencana itu aku tuliskan sebagai paragraf di bawahnya, "Nilaiku harus berada di atas 80 agar aku dapat masuk ke SMA terbaik di Indonesia. Tiga SMA yang pasti mendukung cita-citaku adalah SMA Katolik Pelita Kasih, SMA Negeri 13 Bandung, dan..."

SMA Abdi Negeri, Magelang.

Aku memilih SMA Abdi Negeri sebagai alternatif karena aku tidak terlalu yakin mereka akan menerimaku. Padahal aku mengetahui keuntungan dan kelebihan nama mereka dapat mempermudah aku mencapai cita-citaku.

Nyatanya, hanya SMA Abdi Negeri yang mau menerimaku dan aku berterima kasih kepada kuasa yang menempatkan aku di naungan mereka. Aku bekerja keras untuk menjadi murid teladan dan SMA Abdi Negara menyambutku dengan hangat.

Karena mereka aku semakin yakin mimpiku ada di genggaman tanganku. Guru-guru di dalamnya memfasilitasiku untuk memahami subjek-subjek yang aku perlukan.

Tetapi, semua itu sudah berakhir.

Aku tidak bisa meneruskan mimpi itu lagi.

Aku hanya bisa menatap kepada halaman buku terakhir yang telah terbakar. Halaman buku ini sudah tidak berlanjut lagi.

Setetes air mata mengalir dipipiku ketika aku membaca paragraf terakhir. Tulisannya terpotong bersama kertas yang sudah menjadi abu. Tulisan itu berkata, "Cita-citaku tidak bermakna lagi. Sela..."

Cita-citaku berakhir. Aku yang mengakhirinya karena aku tidak kuat lagi dianiaya oleh dia.

Dia yang mengakhiri mimpiku.

Dia yang merengut semua kerja kerasku!

Dia merengut semua itu hanya karena dia tidak suka orang lain lebih sukses darinya! Dia tidak suka orang lain tidak menjilat kakinya demi mencapai cita-cita mereka! Walaupun aku tahu kesuksesan yang dijanjikan bukan kuasa dia, melainkan kuasa ayahnya.

Anak yang payah. Dia sama payahnya denganku yang menyerah.

Aku menutup buku itu dan meletakkannya dalam rak.

Kemudian, aku membuka mataku meninggalkan jalan benak. Aku menatap kepada pintu yang terbuka.

"Aku tidak memiliki apa-apa lagi," ucapku dalam hati. "Aku tidak bisa meninggalkan sekolah ini. Semua upayaku hanya akan menembus kedua tangan ini..."

Sebelum aku dapat mengakhiri renunganku dengan benar, perhatianku terpanggil oleh dentuman keras dari koridor barak. Suara kerak kayu menyusul setelahnya.

Dia.

Aku melihat dia dari celah pintu gudang ini. Lengan seragam dia diikat oleh ban bertuliskan "Panitia Orientasi." Dia berdiri tegap membelakangiku. Posturnya yang terlihat seperti kuli melecehkan mataku.

Aku tidak percaya dia diberikan posisi sebagai panitia orientasi. Tetapi, aku tidak terkejut juga. Aku tahu dia selalu ingin "kuasanya" diakui oleh semua orang. Dengan itu, dia mau menggunakan cara curang untuk menjadi panitia orientasi.

Aku pun tidak terkejut melihat dia menganiaya siswa baru. Dia ingin "menyatakan kuasanya" menggunakan status panitia orientasinya.

Dia membentak siswa itu, "Kamu nyolot ke abang!"

Aku bisa melihat siswa yang dia hantamkan ke lemari dari bahunya. Siswa itu...

Siswa...

...

Siswa itu tersenyum lugu menghadap dia. Matanya tidak menunjukan rasa takut terhadap dia. Aku melihat ketulusan dari mata siswa itu saat menjawab gertakan dia.

"Siap, tidak bang! Saya tidak menggurui abang!" balasnya dengan tulus. Matanya mengetahui rasa takut dia jika kuasanya tidak diakui.

Aku ingin marah, tetapi aku tidak bisa melakukan apa-apa.

Semua yang aku lakukan akan menembus tanganku.

Tetapi...

Tetapi aku bisa membantu siswa itu. Aku tahu aku bisa membantu siswa itu. Aku bisa memberikan tuntunan cara menghadapi dia.

Itulah mimpi baruku, itulah cita-cita yang harus aku penuhi sebelum semuanya berakhir. Aku akan menuntun siswa yang menarik ini untuk menghentikan dia.

Aku mendapat kesempatan untuk menjatuhkanmu.

Terima kasih Tuhan akan kesempatan ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top