Epilog I

Udara yang aku rasakan pada kulitku begitu berat. Bahkan, lebih berat daripada udara pagi Magelang yang begitu tebal bagai air.

Aku menatap ke kiriku, akupun mendapati Raihan mengalami hal yang sama. Dia begitu tegang, begitu tidak nyaman. Walaupun wajahnya terlihat lugu, urat nadi yang bergetar kencang memompa keringat dingin berkata lain kepadaku.

Di ujung kiri sofa tempat kami duduk, Bapak Jupri terduduk di atas sebuah kursi merah.

Di seberang dia, Bapak Wakasek Kesiswaan terduduk di atas sofa yang berbantal tunggal. Sofa itu memiliki model sama dengan sofa tempat aku dan Raihan duduk. Dia terduduk dengan senyum penuh rasa risih dan takut.

Di hadapan kami, Gaharu duduk bersebelahan dengan ayahnya, seorang tentara.

Seumur hidupku, aku sering berhadapan dengan mereka. Tetapi, mereka yang aku hadapi adalah tentara lapangan, mereka yang dibayar untuk menakut-nakuti orang tuaku untuk menjual tanahnya.

Ini pertama kalinya aku menatap kepada seorang perwira.

Aku mendekat kepada Raihan walau masih menghadap kepada Gaharu dan ayahnya, mencuri perbincangan. "Rai..., itu yang di bahu si bapak, pangkat apa?"

Sebelum Raihan bisa menjawab –

"Mayor Jeneral..., nak."

Sang bapak menjawab seketika.

Aku dan Raihan terkejut mendengar dia membuka suara. Aku menarik badanku secara perlahan dan canggung, kembali tegak menatap mereka.

Kemudian, suara tawa canggung pecah dari sisi kepala meja.

Sang Wakil Kepala Sekolah Kesiswaan tertawa gugup. "Sepertinya..., tensi di ruangan ini cukup tinggi. Mungkin, apakah ada yang ingin mendengarkan sebuah lelucon? Untuk meringankan situasi untuk semuanya?"

Ruangan tetap terdiam.

Kepadatan udara membuat suara tangan detik jarum jam terdengar, begitu terdengar hingga menggetarkan jantung.

30 detik.

60 detik.

Tiba-tiba..., "Apakah Bapak Kepala Sekolah Kesiswaan pernah memancing di laut?"

"Ya pak?" balas dia terkejut.

"Memancing. Di laut. Apakah pernah?" lanjut sang Mayor Jenderal sambil menatap kosong kepada dinding di belakangku.

"Anda harus mencobanya jika waktu cuti anda tiba. Memancing mengajarkan saya banyak hal. Kedisiplinan. Kesabaran. Dan...,

"Rasa terima kasih..."

Ruangan kembali hening. Aku, Raihan dan Pak Jupriadi hanya bisa memperhatikan dengan seksama.

Namun, Bapak Wakil Kepala Sekolah Kesiswaan hanya bisa menatap canggung. Wajahnya pun terlihat bodoh, dengan mulutnya setengah terbuka.

"Ya..., rasa terima kasih," lanjut sang Mayor Jenderal dengan nada kecewa. "Saya masih ingat saat saya mengajak anak saya ke laut utara Jawa. Dia masih berumur enam atau delapan. Hanya saya dan anak saya, memancing di laut luas.

"Awalnya dia mengeluh, seperti anak-anak umumnya. Namun, perlahan dia mulai menikmati. Saat dia mendapatkan tangkapan pertamanya, dia bersemangat hingga berteriak 'Papa, papa! Aku dapat tangkapan pertama!'

"Saya berbahagia untuknya, 'Bagus nak! Mungkin kamu akan mendapatkan yang lebih besar lagi! Bisa kita masak untuk ibu di rumah!'

"Kemudian, dia berlari kembali ke tempat pancingannya. Dia menatap penuh semangat. Dia berdiri bersabar. Dia berdiri... Saat tangkapan kami sudah banyak dia berkata, 'Ini cukup untuk di rumah kan pa?'

"Dia berterima kasih."

Seketika, sang Mayor Jenderal menghadap kepada Gaharu. "Di manakah aku bersalah Gaharu? Aku sudah berusaha keras untuk menjadi orang tua yang baik bagimu. Apakah aku masih kurang?"

Gaharu hanya terdiam.

Wajahnya mengeras menatap aku.

"Jangan kamu menatap dia!" tegur Mayor Jenderal. "Dia hanya melakukan apa yang harus dia lakukan. Kamu be –"

"Tapi karena dia semua ini terjadi! Kenapa dia tidak bisa duduk diam?" ucapnya kesal. Dia pun menghadap aku, "Kenapa lu kaga bisa urus urusan lu sendiri?!"

"Izin bang, aku hanya melakukan yang perlu aku la –"

"Diam nak!" tegur Mayor Jenderal kepadaku. Dia menarik wajah Gaharu kepadanya, "Sekali lagi, kejadian ini karena kamu duluan! Karena kamu tidak mau bertanggung jawab! Dan dengan mudahnya kamu melemparkannya pada bapakmu sendiri!

"Saya sudah berusaha membesarkanmu menjadi orang yang bertanggung jawab. Orang yang dihormati orang lain, layaknya seorang pemimpin. Tetapi, dengan jelas kamu melemparkannya dengan orang lain.

"Tambah lagi, sekarang yang menjadi korbanmu adalah orang yang bapak utang budikan! Apakah kamu tahu itu? HM?!"

Gaharu hanya menatap terbelalak.

"Ya, anak Bali yang kamu buat babak belur adalah anak dari Letnan Jenderal yang menjamin kelayakan bapakmu di posisi ini, kelayakan bapak yang kamu gunakan sebagai wortel bagi anak-anak tersesat yang kamu perlakukan bagai keledai!"

"Mohon maaf Mayor Jenderal," sahut oleh Pak Jupri dari belakang beliau. "Maaf saya memotong perbincangan bapak. Sepertinya bapak memerlukan minum."

Beliau pun berdiri dan berjalan kepada dispenser di belakang meja Wakil Kepala Sekolah Kesiswaan. "Kopi? Teh?"

Sang Mayor Jenderal kembali menenangkan diri. Hela nafas dia lepaskan sebelum mengatakan... "Air putih saja cukup."

Pak Jupriadi kembali dengan air putih di tangannya. Dengan nada lembut ia berkata, "Saya tahu tanggung jawab bapak sebagai seorang tentara begitu banyak. Begitu juga tanggung jawab anda sebagai seorang ayah.

"Sekiranya," lanjut Pak Jupri seiring mendudukan diri dan menyerahkan gelas itu kepada beliau. "Saya percaya akan kebijakan bapak untuk menentukan yang terbaik. Bagaimana?"

"Saya tidak perlu mempertimbangkan lagi pak. Saya akan menarik Gaharu keluar dari sekolah ini."

Gaharu pun terkejut. Namun, kejutannya bukan kejutan sederhana. Kelima langkah akan kesedihan terpenuhi oleh dia. "Papa tidak bisa melakukan ini!"

"Kamu tidak punya pilihan di sini! Kenyataannya kamu telah membawa kesengsaraan kepada warga sekolah ini, bahkan sampai ada yang mati karenamu! Ditambah, engkau memperlakukan aku, ayahmu, seakan keping emas buat mereka-mereka yang tersesat!"

"Baiklah," tutup Pak Jupri. "Keputusan sudah final. Empat hari kedepan, pemindahan Gaharu dari sekolah ini akan disahkan."

***

"Otniel, Raihan, terima kasih anda mau hadir pada hari ini," ucap Pak Jupriadi dari kursi ruang tamunya yang hanya diterangi oleh cahaya matahari siang dari jendelanya. "Sebelumnya, saya ingin menyampaikan keluh kesah saya.

"Karena kalian, kestabilan nama sekolah ini menjadi goyah. Kasus lama terbongkar. Satu nama benefaktor sekolah melepaskan diri."

"Maaf pak," balasku lesu.

Raihan pun mengikuti.

"Kalian tidak perlu minta maaf. Karena kalian akan menebusnya.

"Karena kalian mengambil keputusan untuk 'menegakkan keadilan' tanpa persetujuan kami. Maka, saya mengambil keputusan untuk kalian secara sepihak juga.

"Kalian berdua akan menjadi 'auditor' untuk angkatan kalian."

"Tapi pak –" sahutku, namun beliau tidak membiarkan aku berbicara.

"Tidak ada tapi. Kalian berdua akan menjamin bahwa angkatan kalian akan bertingkah sesuai undang-undang sekolah. Kalian akan menjamin bahwa masing-masing siswa di angkatan kalian akan menegakkan nama baik sekolah ini.

"Dan..., untuk menjamin penilaian kalian imparsial, kalian tidak akan mendapatkan dukungan langsung dari yayasan atau dari saya."

"Izin pak. Jika seperti itu, apakah jaminan akan keamanan kami?"

"Seperti yang saya bilang, anda tidak akan mendapatkan dukungan 'langsung'. Tetapi, saran dapat turun dari mana saja bukan?"

Aku dan Raihan hanya bisa menatap canggung satu sama lain.



Terima kasih telah membaca hingga akhir ini. Aku berjanji akan kembali untuk mengembangkan cerita ini bagi yang suka!!!

Vote, Komen, and Share!!!


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top