BAB VIII - 3

Kemudian, mataku terpukau akan sebuah benda di rak kaki meja belajar warga wisma kami. Ada sebuah kaleng bedak yang umumnya digunakan untuk mensterilkan sepatu dari jamur.

Aku meraih kepada kaleng bedak itu dan langsung menghadap daftar kontennya.

"Blah, blah, blah..., kimia tak ku kenal, bahasa dokter...," gumamku.

"NaCl," ketemu.

Aku pun bergegas menarik Raihan dari kolong kasur dan menghadapkannya pada kaleng itu. "Pakai ini!"

"Bisa?!"

"Emang kau ada solusi?!"

Raihan terdiam dan mengambil kaleng itu dari genggamanku. Wajahnya mempertahankan raut kesalnya karena dia tahu aku benar, kita tidak punya pilihan lain.

"Mancis?!"

"Ga ada juga!"

Aku menepuk kepalaku. "Kita cari –"

Seketika aku memandang kepada seorang senior yang sedang merangkak dengan perut menghadap langit-langit wisma. Wajahnya penuh kesedihan, ketakutan, dan...., penyesalan. Dia bergumam, "Maafkan aku..., maafkan aku..., maaf..."

Dia kroni kedua Gaharu, kroninya yang hampir tidak pernah bicara.

Aku meraih kepada kerahnya dan menariknya kepada wajahku, satu jari dari hidung. "Oi bang, kau mau teman kau selamat kan. Kalau kau ada mancis, berikan sekarang!"

"Hah?!" teriak dia kaget dan takut. "Di-dia, temanku. M-mancis?! Apa?! HHhhh, hhaahh, HHHhhaa!!!"

PAK!!!

"SADAR BANG. KAU ADA MANCIS ATAU TIDAK??!!!"

"Mancis, mancis, mancis... Korek?!"

"Ya, itulah ada kah?!"

Kroni kedua Gaharu mengeluarkan mancis itu dari kantongnya dengan gemetar. Dia terus memberikannya padaku.

"Mana dasinya!" sahutku pada Raihan.

Aku pun memantik mancis itu di bawah dasi. "Ayolah..., ayolah!!!"

.

"Cepat juga kon ya?"

WHHHUUSSSHH!!!

Aku terhempas kepada kamar yang berada di seberangku. Tubuhku menghantam dua buah kursi dan seorang rekan wismaku.

"Maaf kali kawan," ucapku seiring merintih dari lantai.

Saat aku mengangkat kepalaku, menghadap tempat Paulianto/Komang berdiri, aku mendapati dia akan mengangkat tangannya untuk menghempaskan Raihan.

Aku pun dengan segera mengambil buku matematika rekan wismaku yang berada di atas meja belajar dan melemparkannya kepada Paulianto/Komang.

Dia pun menahannya di udara.

Aku menggunakan kesempatan itu untuk bergegas menerjang Paulianto/Komang. Dengan sekuat tenaga aku mengikat tubuhnya dengan kedua lenganku.

"Bakar sekarang Rai!!!"

Api menyala.

Ujung dasi tersundut.

FFWWHOOOOSSHHH!

Tiba-tiba, cahaya yang memancar dari mata dan mulut Komang berkedip.

Dia pun menegadah dan berteriak "AAAAHHHH!!!!" seiring cahaya itu keluar dari tubuhnya. Kemudian..., ia merunduk.

"Komang?" panggilku halus seiring menghadapkan dirinya padaku.

"Komang? Kau baik-baik saja?

"Koma –"

BBFFFWHAAAKKK!!! BRRAAKK!!

"AAAARRGGHH!!!"

Aku kembali terhempas. Dan kali ini, tempat aku mendarat sungguh tidak menyenangkan. Punggungku menghancurkan pintu lemari rekan wismaku, tepat di kolom rak baju. Setiap papan yang menopang baju-baju itu bertemu dengan tulang punggungku dan belakang kepalaku.

"Maafkan aku Otniel, tetapi aku tidak bisa membiarkan kon ngehalangi aku," ucapnya sambil mengangkat lengannya.

Dia bersiap untuk menghempaskan aku lagi.

Tetapi...

Tidak ada yang terjadi.

Aku hanya memandang kepada Paulianto/Komang yang mengangkat tangannya sia-sia.

Dia mengambil lengannya dan memandanginya dengan seksama. "Sepertinya kon dan temen kon berhasil mengurangi kekuatanku.

"Tidak apa –."

BUGH!!

BAGH!!

BRRUGGH! BRUGGH!

"Mau apa lu anjing. ANJING!" ucap Gaharu yang mengambil pukulan pengecut dan menendangi Paulianto/Komang yang tersungkur di lantai.

"Bisa apa lu tanpa kekuatan lu. HAH?!!"

Aku pun bergegas menarik tubuhku dari retakan-retakan kayu dan melaju, menghantam Gaharu dengan seluruh tubuhku. "Jangan kau rusak badan kawanku!"

Terjanganku dibalas dengan pukulan kepada tulang atlas dan tulang rusuk. "Memang lu siapa nyuruh-nyuruh gua! Temenlu siapa! Lu, dia, cuma orang kecil, orang lemah!

"Teman lu aja kaga bisa jaga iman biar kaga kerasukan! Sekarang dia kerasukan ama sampah masyarakat juga!"

Mendengar perkataan dia membakar amarah kesalku semakin panas. "Dari hari-hari orientasiku di SMA ini. Sampah masyarakat yang aku temui HANYA KAU BIANG(1)!!!" bentakku padanya sambil merobek pintu laci meja belajar rekan wismaku dan menghantamkannya kepada wajah Gaharu.

Darah mengalir dari keningnya. Serpihan kaca tersebar di permukaan lantai. Jari-jemariku terluka sebagian.

Aku berdiri dan meninggalkan Gaharu yang perlahan menangis kesal dan penuh amarah. Jati dirinya mulai terlihat, seorang anak kecil yang menginginkan perhatian.

Sambil meraba-raba tanganku yang perih dan gatal karena luka, aku berjalan keluar mencari Raihan.

Namun, rahangku dihantam oleh Paulianto/Komang. "Aku tidak bisa membiarkan kon membakar kepingan-kepinganku yang lain."

"Aku tidak mau melawan kau Pauli."

"Aku pun tidak. Tetapi, aku tidak mau pergi sampai Gaharu merasakan hal yang sama denganku."

"Dia sudah merasakannya bodoh! Kau tak lihat kah dia menangis bagai bocah di atas kasur kawanku? Mau apa lagi kau? Kau mau lihat dia mati gitu kah? Ku kira kau –"

"Ya. Aku mau lihat dia mati.

"Tetapi...

"Dengan tangan dia sendiri.

"Jadi, aku akan terus ada di sini. Menyiksa dia, terus, dan terus, dan terus, dan terus...

"Hingga dia memilih untuk mengakhirinya sendiri."

"Sayangnya, kau tidak akan melakukan itu menggunakan tubuh kawanku," ucapku seiring bergegas untuk menerjang dia.

Secara refleks dia mengangkat tangannya. Tetapi, dia lupa bahwa satu kepingannya telah dibakar, kuasa dia untuk menghempaskanku hanya dengan tenaga mistis tidak ada.

Aku berhasil menjatuhkan Paulianto/Komang ke tanah. Satu lengannya mengangkat ke udara. Lenganku berada di pipa tenggorokannya dan kedua kakiku mengikat tubuhnya. Dia menggeliat bagai beruang tirus yang terperangkap.

Pada kondisi ini, aku berteriak, "Rai!!! Rai!!! Cepat cari kepingan-kepingan dia yang lain.

"Aku tidak mau gara-gara kita lama, Komang yang jadi korban!!!"

"Sini lu bejat!" bentak Gaharu seiring dia menerjangku yang terbaring di atas keramik.

CATATAN

Biang, Bahasa Batak (Toba) dari "anjing."

VOTE, KOMEN, AND SHARE YA!!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top