BAB VII - 4

Raihan mengangguk, "Baik."

Namun..., di sebelahnya, Komang membeku. Wajahnya mengeras seakan menahan rasa mual. Lehernya membeku. Dia terpaku akan sumber rasa tidak nyaman itu.

"Rr..., rrraa.., i. A..., aku ta...,hu kamu ti..., dak bisa merasakannya. Tetapi..., aku..., tahu pasti yang kita cari ada di kamar itu." Saat Komang mengucapkannya, tangannya tertahan setengah mengudara, seakan dia tidak kuat untuk menunjuk penuh.

"Di mana?" balas Raihan dari bantal sofa, tempat ia duduk di sebelah Komang.

"A..., ku tidak bi..., sa menunjuk dengan pasti."

"... Mengecoh si ibu," ucap Raihan. "..., cari."

"Aku usahakan."

"Untuk Otniel."

"Untuk Otniel."

Komang pun akhirnya menarik nafas sedalam mungkin, meredam rasa takut dan panik yang perlahan mencengkeram tulang punggungnya.

Mereka berdua berjalan kepada objektif masing-masing.

Komang menunggu Raihan membuka perbincangan dengan sang ibu.

Dari tempat Komang berdiri terdengar, "Ada yang bisa dibantu?"

Komang pun bergegas memasuki kamar itu setenang, sediam, sesunyi mungkin. Walaupun itulah tujuannya, kerak pintu itu tidak membantu jantung Komang. Geraham dia saling bergerus, berharap kerak pintu itu tidak terdengar oleh sang ibu. Perlahan..., perlahan.

Klak...

"HHhaaah, hhhaah, hhhaahh."

Komang pun mendudukkan dirinya dan menutup mata. Rasa kepribadiannya ia lepas dan membiarkan energi bumi yang berbicara kepada dia. Dia bermeditasi.

Dia melakukan ini karena itulah metode yang ia tahu. Yang ia pelajari dari paman-pamannya.

Perlahan energi itu mengalir kepada kakinya. Memeluk, mendekap, dan berbincang dengan saraf nadinya.

Perlahan, sebuah aliran baru mengalir dari tanah. Aliran yang jelas terasa seperti warna hitam di antara sungai energi yang berwarna biru.

Aliran itu merangkak ke dalam nadi Komang, menodai aliran-aliran energi bumi yang lain. Hingga...

Schhhraakkk!

"Hrrmph! Whuu, whhuuu, whuu!" rintih Komang. Dia membuka matanya dan menatap kepada kegelapan yang berada di bawah kasur Pak Jupri dan Sang Ibu.

Di sisi lain...

"Selamat malam ibu. Bapak seharusnya berpatroli malam ini, tetapi bapak sedikit lapar. Apakah masakan ibu sudah siap?"

Mata Komang terbelalak. Darah mengisi nadi-nadi di dalam bola matanya. Dia berhenti, menahan posisinya di tempat. Seluruh tubuhnya dia keraskan agar panik tidak mengendalikan dia.

"Dan..., sepertinya kita ada tamu ya bu?"

Waktu tinggal sedikit. Komang bergegas mencari tempat barang yang mereka perlukan. Gerak-geriknya tidak terkoordinasi, panik telah menyusup merusak ketenangan Komang.

Dia bergegas memindai ubin-ubin yang berada di bawah kasur itu. Menyapu setiap serpihan kotoran dan debu yang mengumpul di dalam. Beberapa barang-barang yang tidak digunakan pun di simpan di bawah kasur tersebut, mengganggu pergerakan Komang.

"Oh, siswa Raihan. Senang anda bisa bertamu pada malam ini. Bagaimana kabar anda dan kawan anda?"

"Eh..."

"Tidak apa-apa nak. Nanti, berkabar saja."

"Oh tidak..., Raihan," pikir Komang di bawah selimut kegelapan.

Dia terus meraba hingga akhirnya...

Whhhuuuu....

Komang menemukan sebuah hembusan angin di balik salah satu ubin. Dia bergegas untuk mengangkatnya.

Namun, Komang kesulitan karena dia tidak memiliki kuku.

Dia kemudian mengambil langkah kreatif. Dia mengambil ikat pinggangnya dan menggunakan gesper kuningan dia untuk membuka celah itu.

Dengan gesit dia membuka ubin itu dan mengambil benda yang memberikan Komang rasa tidak nyaman itu.

"Sepertinya engkau datang dengan teman ya Siswa Raihan. Dia berada di mana?"

Mendengar itu, jantung Komang semakin berdebar keras. Keringat dingin mulai memompa dari pori-pori Komang secara kasar. Jantung dia berdebar kencang. Untuk sementara pucat Komang hilang.

Dia pun merangkak keluar dari kolong kasur sang bapak.

Saat ia berdiri...

"Nah..., itu dia temanmu. Bukankah kalian tahu bahwa tidak sopan untuk masuk ke kamar tuan rumah?"

Sang guru telah berdiri di hadapan pintu kamar, menggenggam Raihan di atas bahunya

Komang hanya bisa menatap dengan horror. Dia tidak berpikir lagi. Hanya insting yang sekarang mengendalikan seluruh tubuh Komang.

"Sekarang, apakah saya dapat meminta kembali apa yang telah anda ambil?" ucap Pak Jupri sambil menjulurkan tangannya kepada Komang.

Dug, dug.

Dug, dug.

Dug, dug.

BBUUUGGHH!!!

Seketika, Komang menghantam Pak Jupri pada giginya menggunakan sikut. Dia bergegas berlari menarik Raihan keluar dari genggaman sang guru.

"Apaan barusan?" sahut Raihan bergegas keluar rumah.

"Aku tidak tahu juga! Yang penting kita keluar!" balas Komang berlari meninggalkan rumah Pak Jupri.

"Sepatu?!"

"Biarin, pas ini selesai kita bisa ambil lagi kan?!"

Vote, Komen, n Share!!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top