BAB VII - 1
Aku berjalan keluar pintu, meninggalkan Pak Jupri, Pak Wakasek Kesiswaan, dan Gaharu. Langkahku berat dan lenganku lemas menutup pintu ruangan itu.
Aku mengangkat kepala. Mataku menatap kepada interior seng G.O.R. Sunyi. Ruangan diterangi oleh cahaya remang yang bocor dari pintu akses keluar.
Aku meneruskan langkah-langkahku yang lemas hingga aku berdiri di jalan setapak lapangan apel. Terang bulan seperempat menyinari kompleks SMA Abdi Negeri. Angin berhembus dingin hingga menggigit kepada tulang.
Sunyi.
Jangkrik bernyanyi.
Klinik Siswa berlalu.
Lapangan basket berlalu.
Lapangan bola berlalu.
Aku tertatih mengangkat kakiku untuk memijak tangga kecil yang memisahkan jalan kompleks dengan jalan setapak pintu wisma.
Pintu Wisma Macan III aku buka. Kerik engselnya memadatkan suasana wisma yang ada di hadapanku.
Wajah-wajah warga wisma tegang mempersiapkan hari esok. Satu, dua anak wisma memoles sepatunya dengan gesit nan panik. Satu, dua anak wisma berlalu-lalang mencari tempat atau meminjam alat untuk menyeterika baju mereka masing-masing.
Aku ingin bertanya akan apa yang membuat mereka bertindak seperti ini. Namun, rasa perih dan ngilu pada wajahku membungkam aku.
Seketika...
Kreeeekkk...., Brak!
Semua ruangan terkejut. Mata-mata mereka tertuju padaku, mengiris kepada luka-luka di badanku.
Aku mengabaikan mereka.
Kepala mereka berputar seiring aku melangkah mengarungi koridor Wisma Macan III.
Aku mengabaikan perih yang mencengkeram wajahku, mengabaikan darah yang mengalir dari hidung ke parit bibirku.
Aku kemudian menghentikan langkah di tengah ruangan.
Aku menarik kerahku ke jangkauan pandangan.
"Ahh...., harus nyuci lagi pula.
"Komang atau Raihan ada pemutih kah ya? Aku pun ragu pemutih bisa membersihkan darah."
Aku kemudian melanjutkan langkahku yang tertatih ke arah kamar Komang.
Sssst..., drap.
Ssst..., drap.
Ssst..., drap.
Ssst..., drap.
Ssst..., drap.
Ketika aku mulai mendekati kamar Komang...,
"ONI!! Kamu kenapa?" sahut Komang seiring dia menatap aku yang berdiri terbungkuk lemas. Kemeja dan celana yang telah disetrika rapih dia lepaskan seketika.
Dia bergegas untuk menopang aku. Padahal, tubuhnya masih terlihat pucat – walaupun tidak seburuk saat pasca insiden.
"Terima kasih bos," balasku saat Komang menggiringku ke dalam kamarnya.
Dia kemudian mendudukkanku di atas kasurnya.
Tetapi, aku menolak. "Tolong dudukan di kursi aja Komang. Mending aku nyandar."
"Okelah Oni," balasnya dengan suara tenang khas Bali Komang.
"Eeerrraagghh...
"Ngomong-ngomong, Raihan ke mana?" ucapku dengan suara yang berbumbu rintihan perih.
Saat aku menanyakan itu, aku mendapati Komang terdiam. Wajahnya menatapku, tetapi matanya menghindari pandanganku.
"Kenapa Komang...?"
Ketika aku menyampaikan pertanyaanku, Komang terkejut. "Hah! Oh, tidak apa-apa Otniel."
"Kau bilang begitu, tapi keringat dingin di pelipis kau berkata lain.
:"Cerita saja kawan."
Saat dia mendengar kata-kataku, badan Komang semakin menggeliat tidak nyaman. Aku bisa melihat alisnya membentuk jembatan yang membelah dahinya. Dia merasa begitu bersalah karena menyembunyikan sesuatu dariku.
"A.., aku –."
Sebelum Komang dapat melanjutkan kalimatnya, Raihan muncul di belakang kami. Dia melemparkan sebuah buku ke lantai di tengah-tengah kami.
Aku merunduk bersama Komang.
Di atas lantai itu, buku catatanku terbuka. Aku dan Komang memandang kepada halaman yang berisikan uraian dari Raihan.
Aku kemudian menghadap kepada Komang. Satu alis aku angkat, mempertanyakan "apakah ini yang Komang sembunyikan?"
Komang hanya membalas dengan senyum malu.
Aku tidak meneruskannya. Aku kemudian menghadap kepada Raihan. "Kau dapat sesuatu kah?"
"Ya," jawab Raihan dengan halus nan tegas.
"Jadi..., apakah kau akan menjelaskan?"
"Ada di catatan... Udah sederhana.
"... Kenapa?" lanjut Raihan menunjuk ke arah wajahku yang babak belur dan berlumur darah.
Aku ingin memajang wajah kesal karena nyatanya aku tahu dia tahu, terutama dengan melihat wajah Komang. Aku hanya bisa menjawab dengan sarkas, "Jadi pengalih perhatian buat kau bodat."
"Hehehe...," tawa Raihan tidak nyaman.
"Ketawa pula kau...," balasku sambil meraih kepada buku catatan Raihan.
Aku membaca isi halamannya.
'Solusi untuk mengistirahatkan atau bernegosiasi dengan puding, tidak ditemukan.
'Solusi alternatif ditemukan. Hubungan puding dengan dunia nyata dapat diputuskan dengan paksa.
'Peralatan yang diperlukan, garam dan api.
'Cara, cari barang yang menjadi pegangan terdekat milik puding. Kubur di dalam garam dan bakar. Benda yang mengikat puding di dunia ini akan terputus, dan puding akan menghilang dari dunia fisik.'
"...? Kau yakin ini akan berhasil?" ucapku menatap Raihan dengan satu alis terangkat meragukan.
Raihan mengangkat bahu. "Eksperimen ga salah."
"Hhhhaahh...."
Aku kemudian menghadap Komang. "Menurut kau?"
"Aku kurang tahu juga Oni. Aku hanya tahu orang-orang yang punya kuasa mistis kuat yang bisa melakukannya.
"Tetapi..., metode ini..., aku tidak tahu metode ini. Aku tidak begitu yakin Oni, mohon maaf sekali."
"Tidak apa-apa," balasku sambil merunduk kepada kursi. "Aku pun tidak yakin kita bisa melakukannya juga."
"Mengapa tidak bisa Oni?"
Aku terdiam. Aku tidak bisa berkata apa-apa tentang interogasi yang aku alami.
Komang hanya bisa menatap khawatir. Dia ingin membuka mulutnya, namun ia takut akan apa yang aku akan katakan.
Raihan menatap wajahku secara seksama, menganalisa kebungkamanku.
Kesunyian di dalam kamar Komang begitu intens. Semua merasa seperti mereka menjadi tuli.
Kemudian Raihan bergegas mengambil buku catatanku dari genggamanku.
Dengan penuh semangat dia menguraikan isi pikirannya pada permukaan halaman buku itu.
Aku masih terdiam merunduk. Suara coretan dari pena Raihan menggetarkan udara di sebelah telingaku.
Kemudian dia menyodorkan halaman yang dia uraikan ke hadapanku.
Aku memandang kepada halaman yang dibuat semacam lembar survei. Di dalamnya berisikan pilihan ganda yang menentukan sumber masalahku. Dia pun melengkapinya dengan skala satu hingga enam untuk mengukur seberapa berat bahaya yang aku hadapi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top