BAB VI - 2

Mendengarkan penjelasannya yang begitu akurat, aku tidak bisa menahannya lagi. Rasa takut menerobos topeng yang telah aku pajang di hadapannya. "Bagaimana dia tahu?"

"Jangan terkejut nak," lanjutnya dengan wajah datar dan dingin. "Dinding sekolah ini berbicara.

"Sekiranya, mengapa anda berkeras untuk mencari tahu sejarah kelam kami? Apa keuntungannya bagi anda?"

Aku hanya merunduk diam.

"Sekarang..., apa yang harus saya lakukan?" lanjutnya. Air wajahnya yang begitu datar menunjukkan dengan jelas, dia sedang menghitung keuntungan dan kerugian yang akan dihasilkan dari keputusannya terhadapku.

"Keluarkan saja dia. Dia sudah melanggar salah satu kode kita kan? 'Pantang Berkelahi!'" sahut Gaharu berusaha memanaskan situasi bagiku.

Aku pun meladeni dia, "Kalau pun aku dikeluarkan, aku tidak akan mempermasalahkannya. Sekolah adalah siswanya, bukan fasilitasnya."

"Lu masi nyolot ya curut!" balas Gaharu.

Gaharu pun menghadap kepada Pak Jupri, "Lu engga ngedisiplinin dia karena nyolot gini! Gua kira –"

PPPRRAKK!

Seketika, Pak Jupri menghadap kepada Gaharu dan menghantamkan telapak tangannya. Namun, hal yang paling menakutkan dari pemandangan yang aku lihat adalah ...

Hampanya wajah Pak Jupri akan emosi. Tamparan itu tidak dimotivasi oleh amarah, tidak ditopang oleh kebencian, tidak didukung oleh emosi manuisa yang tidak stabil.

Dia menampar Gaharu dengan perhitungan bahwa itulah yang paling efektif untuk membungkam Gaharu.

Suara dingin Pak Jupri kemudian menggetarkan kami hingga ke tulang. Suaranya begitu rendah hingga menggetarkan jantungku saat dia mengucapkan, "Saya tidak ingin mendengarkan tuntutan darimu nak.

"Jika anda bisa menelan ego anda dan tidak bertingkah irasional, saya dan Bapak Wakasek tidak harus mengeluarkan tenaga banyak untuk menjaga nama sekolah ini.

"Karena anda cemburu dengan orang yang lebih pintar akademik darimu, anda yang menindasnya. Dan kita berdua tahu bagaimana cerita itu berakhir.

"Anda memang anak yang dangkal. Tidak punya aspirasi untuk mengembangkan diri sendiri."

Gaharu berusaha membuka mulutnya, namun dia dicegat oleh Pak Jupri yang terus membombardir dia dengan pernyataan-pernyataan yang pedas. Memaksa Gaharu untuk melihat realita.

"Engkau berada di sekolah ini karena pengaruh ayahmu. Namun, anda harus tahu nak, ayahmu pun tahu apa peran saya di sini. Maka, ancaman-ancamanmu, pengaruh-pengaruh yang engkau punya tidak berlaku bagi saya.

"Sekarang ini keputusan saya," ucap Pak Jupri meninggalkan hadapan Gaharu dan melangkah kepadaku. "Anda akan saya lepaskan dan dalam pengawasan. Saya harap anda tidak bertindak bodoh. Saya sungguh berharap anda bisa menjadi murid teladan di sekolah ini. Karena, saya mengakui pernyataan Bapak Wakasek benar, anda memiliki potensi.

"Akan sangat disayangkan jika potensi itu terbuang sia-sia bukan? Terutama murid seperti anda.

"Tetapi, jika dengan atau tanpa sengaja anda memilih untuk mencampakkan potensi itu, saya akan memastikan apapun yang keluar dari mulut anda akan terdengar bagai monolog orang gila."

Mendengarkan perkataannya, aku bisa merasakan tulang punggungku membeku. Semua serat pada tubuhku berteriak agar aku tidak melanjutkan investigasi ini. Keringat dingin merantai punggungku kepada kursi.

"Haruskah aku mengusaikannya?"

"Ingat janjimu Otniel. 'Jangan sampai terulang lagi!'"

"Kau benar."

Dengan sekuat tenaga aku memadatkan nyaliku. Aku berkeras untuk mengangkat seluruh tubuhku keluar dari udara tebal yang berhembus dari tubuh Pak Jupri.

"Saya paham pak," ucapku meninggalkan ruangan. "Izin meninggalkan tempat."

"Baik nak."

***

"RRREEEEAAAAAARRRGGGGHHHHH!!!"

PRRRANGG!!!

BRRAAAKKK!!! PRRAAKKK!!! BRRAAAKKK!!

"MENTANG-MENTANG..., RRRREEAAAARRRRGGGH!!!

"AKU YANG MEMEGANG KENDALI. AKU YANG –!" teriak Gaharu di dalam kamarnya.

Rekan-rekan wismanya hanya bisa memalingkan kepala. Tidak satupun ada yang berani menghadap kepada lorong Wisma Harimau IV. Mereka mengalihkan perhatian dengan meneruskan kegiatan masing-masing.

Dua 'teman' terdekat – orang-orang yang sama yang mengintimidasi warga Wisma Macan III – Gaharu bergegas dari koridor kamar mandi dan melesat di atas ubin wisma.

Pandangan mereka berdua disambut oleh pemandangan yang begitu heboh. Serpihan dan batangan kayu yang patah bertebaran di atas lantai. Kaca dari pintu laci menghias meja belajar. Beberapa kayu yang menopang kasur tingkat retak, berjejakkan kepalan tangan.

Di tengah-tengah panorama tragis ini, Gaharu berdiri sebagai pusat perhatian. Nafasnya berhembus keras, darah mengucur dari kedua lengannya, keringat melumuri seluruh tubuhnya. Dia terlihat bagai seekor hewan yang baru saja kalah dan berdiri kembali.

"APA MAU KALIAN?!! KALIAN JUGA AKAN MENUSUK GUA DAN MENJADIKAN GUA MAKANAN BABI??!!"

"Hei...," ucap teman pertamanya seiring dia mengangkat tangan dan mendekat. Dia mendekat dan menampilkan bahasa tubuh tidak menantang. Alisnya mengangkat, berharap dia tidak menjadi korban amarah Gaharu. "Kita kawan elo Gaharu. Kita ada untuk mendukung elo bukan?

"Iya kaga?" lanjutnya mencari dukungan dari teman kedua.

Teman kedua hanya mengangguk.

"Sori, sori!" balas Gaharu. Suaranya terdengar lebih kecil, namun amarah masih terdengar. "Gua cuma benci banget ama –, rrrrrRRRAAAHHH!!" lanjutnya sambil menghantam bingkai meja belajarnya.

"Tenang bosku, tenang... Gua tahu itu bukan salah elo. Mereka yang tidak sebijak elo," ucap teman pertamanya dengan pintar menavigasi ego Gaharu. "Sekarang, elo harus tenang. Apa mau gua ambilin rokok atau ciu dari Si Kadal?"

Gaharu merunduk dan melambaikan tangan kanannya yang berlumur darah, mengiyakan. "Rokok aja."

Teman pertama Gaharu menghadap kepada teman kedua dan mengayunkan kepalanya.

Teman kedua mengangguk mengiyakan. Dia kemudian bergegas meninggalkan koridor ruangan.

"Ayo kita duduk dulu Har," pandu teman pertama. "Mending elo cerita ke gua, gua yakin itu bakal bantu elo."

"Buat apa. Apapun yang gua buat pasti diruntuhin sama si JUPRI ANJJIIIIEEENNGG!!!"

"Santai bosku..., tenang..., tenang... Coba aja Har. Coba cerita ke gua. Gua ada buat lo."

"Lu tahu kan curut parit sialan yang kita datangin beberapa hari lalu. Gua hampir saja..., hampir saja..., sedekat ini, untuk membungkam dia selamanya.

"Tapi tu anak kaga nyerah-nyerah... BANGSAT!!! Napa dia harus banget nyari tahu tentang kejadian itu sih.

"Dia yang salah. Dia yang milih untuk ngelangkahin gua. Dia juga yang milih untuk mengakhiri hidup sendiri. Gua ga maksa dia, bukan gua yang ngikat lehernya ke gudang.

"Apapun yang terjadi ke dia, itu karena dia berhak mendapatkannya.

"Iya kaga?" ucap Gaharu menghadap ke teman pertamanya. Wajahnya keras mengintimidasi temannya dengan amarah. Namun kenyataannya, dia menuntut teman pertamanya untuk memvalidasi pernyataanya.

"Gua percaya kebijakan elo Har. Kalo si sampah itu berhak mengalaminya, dia berhak."

"Benar. Gua nanam barang-barang itu biar jadi pelajaran buat dia."

Saat perbincangan ini berlangsung. Teman kedua Gaharu hadir di ruangan. Dua batang rokok digenggam di antara jari-jari tangan kanannya. Dia menyodorkannya kepada Gaharu dan teman pertama.

Gaharu menghentikan dialognya dan menggapai rokok itu. Teman pertama juga menyusul.

Rokok itu dinyalakan oleh teman kedua.

"Lu engga? Tanya Gaharu?"

Teman kedua Gaharu hanya menggeleng.

Dia membuka bibir bawahnya dan menunjukkan kondisi mulutnya. Ada sebuah sariawan yang terbentuk di antara bibir dan gusi dia.

Gaharu terkekeh, mengejek teman keduanya, "Lemah lu anjing. Ga asik."

Teman keduanya hanya bisa terkekeh tidak nyaman sambil menggaruk kepala belakangnya.

"Sssshhht...., wwhhuuuu..., bukan salah gua. Dia yang kaga kuat. Salah dia kaga minta bantuan gua, padahal gua tahu dia lemah."

"Dan gua cukup pintar untuk minta tolong elo," sahut teman pertamanya. "Gua tahu gua lemah dan elo yang punya kuasa. Jelaslah gua ke elo.

"Dia juga gitu," lanjutnya menunjuk kepada teman kedua. "Iya kaga?"

Teman kedua mengangguk dengan penuh semangat.

"Sekarang..., ssshhhsstt..., sshhsstt..., whheeeuuuww, kayaknya gua harus ngasih pelajaran yang sama ke curut parit itu dah."

Gaharu kemudian menghadap kepada kedua temannya. "Tanyain Si Kadal. Ada berapa slop rokok yang dia punya sekarang?

"Gua perlu dua."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top