BAB V - 1

Aku, Komang, dan Raihan duduk di kamar Komang. Kepala kami terfokus pada buku catatan yang terbaring di atas pahaku, menatap bagai konferensi meja bundar. Tanganku bergerak menguraikan informasi-informasi yang telah aku kumpulkan di minggu-minggu ini.

Penaku menuliskan, "Pembina Wisma Mahadi," di atas permukaan kertas.

Di bawahnya, aku menguraikan, "Beliau mengenal Paulianto.

"Beliau memiliki hubungan dengan Wisma 17. Pembina sebelumnya?

"Tidak dapat ditanyakan lebih lanjut. Beliau bersikeras untuk mengusaikan perbincangan setiap kali nama Paulianto disebut.

"Penyesalan? Mungkin."

Di bawah uraian informasi tentang Pembina Wisma Mahadi, aku melanjutkan untuk menguraikan variabel kedua, "Bu Rohida.

"Memiliki hubungan –"

Uraianku tiba-tiba dihentikan oleh tangan Komang. Seketika, aku dan dia saling bertatapan.

Aku memandang kepada wajah yang berselimutkan rasa takut dan memelas.

Komang kemudian membuka mulutnya. Suara pelan dia memohon padaku untuk memperhatikan kepada halaman bukuku. "Dia menuliskan sesuatu."

"Komang, kau tahu aku dan Raihan tidak bisa melihatnya. Bisa kah kau bacakan?"

Komang mengangguk mengiyakan permintaanku. Raihan dan aku memperhatikan dia dengan seksama.

"Aku melihat dia menuliskan ini dengan tinta semerah warna darah, 'Ibu...'

"'Bukan. Bukan ibuku.'

"'Tapi, kau bagai ibu.'

"'Maaf aku menyerah.'"

"Itu saja kah?" lanjutku.

"Tidak," balas Komang. "Dia juga menanggapi tulisanmu tentang Pembina Wisma Mahadi Oni.

"Dia menuliskan..., 'Hormat.'

"'Guruku yang aku hormati.'

"'Tapi...'

"'Tanganmu terikat.'"

Mendengar itu, aku memutuskan untuk tidak perlu mendengarkan lebih lanjut. Aku menutup buku catatanku.

"Sekarang kita punya info tambahan. Aku berharap kali info ini bisa memberikan kita jalan keluar.

"Seperti kata Komang, Paulianto melihat Bu Rohida sebagai figur ibu. Artinya, Bu Rohida tahu benar cerita-cerita tentang dia. Mungkin, ada yang bisa kita pakai dari apa yang dia sampaikan.

"Atau, mungkin, aku berharap kali ini berhasil, kita bisa meminta beliau untuk negosiasi dengan... Hhhaaa..., aku tidak percaya aku mengatakan ini, negosiasi dengan arwah Paulianto."

Seusai aku berbicara, aku memperhatikan raut wajah Raihan yang awalnya memperhatikan dengan seksama berubah menjadi wajah yang mempertanyakanku. Alis kirinya naik satu seakan dia berkata, "Sehat? Waras?"

"Jangan kau natap gitu bah!" keluhku akan wajah Raihan. "Aku pun tak mau percaya, tapi kau pun ada di kejadian-kejadian itu.

"Ku tanya, kau ada penjelasan lain kah untuk kejadian di Aula Aksara? Mic meledak tanpa ada alasan, angin berhembus tanpa awan badai?

"Atau kejadian di wisma ini?"

Raihan hanya mengangkat bahu.

"Itu lah," balasku mengkonfirmasi argumenku kepada Raihan. "Setidaknya, jika Paulianto –"

BLARR!!!

Kalimatku dihentikan oleh jendela Komang yang menghantam kencang. Kami bertiga begitu terkejut, sampai kami menghadap kepada jendela itu secara bersamaan.

Komang menghadapku khawatir, "Jangan sebut nama dia dengan sembarangan."

"Lah, dia pula yang minta tolong sama kita," balasku. "Banyak kali maunya.

"Yaudah, aku terus manggil dia nama yang di kasih Raihan. Pudding.

"Setidaknya, jika pudding ini –"

Sekali lagi pintu lemari buku Komang terbuka.

"Udah, terima saja panggilan kau 'pudding' sekarang," sahutku ke udara di kamar Komang. "Jika pudding ini dekat dengan Bu Rohida, mungkin Bu Rohida bisa menenangkan atau negosiasi dengan dia."

"Jadi, rencana?" tanya Raihan.

"Malam ini, kita berdua ketemuan di hutan dekat lapangan basket."

"Lapangan mana?"

"Di depan pintu kita ada lapangan rumput luas bukan? Yang digunakan untuk parkiran untuk keluarga saat kita pertama kali masuk SMA Abdi Negeri? Di seberang lapangan itu ada lapangan basket.

"Kita bertemu di hutan di belakangnya. Bisa kan?"

Raihan mengangguk.

"Kau Komang? Ada saran atau alternatif lain kah?"

Komang hanya menggelengkan kepala.

"Baiklah. Kita ketemu malam ini. Aku hanya perlu mencari cara untuk menghindari Gaharu di meja makan."

***

Aku dengan sengaja melambatkan langkahku dan berbaur dengan para kerumunan penakut dari angkatanku. Aku tidak bermaksud untuk memanggil mereka seperti itu, tetapi aku tidak memiliki kata-kata lain untuk mendeskripsikan mereka.

Aku mengikuti langkah mereka yang melambat, menunggu setiap meja terisi. Mereka menunggu agar tidak duduk bersama dengan panitia. Sedangkan aku, aku menggunakan langkah itu untuk memastikan Gaharu duduk jauh dari tempatku.

Saat aku mendapati dia duduk di meja terujung, dekat dengan dinding timur Ruang Persaudaraan, aku mengambil kursi yang terjauh darinya. Aku tidak memperdulikan jika kepala mejaku adalah Panitia Orientasi yang tergalak dari panitia yang lain.

Aku akan memilih kursi terjauh dari Gaharu.

Aku mendapatkan satu meja. Di meja itu terisi oleh empat orang panitia. Hanya ada satu orang siswa laki-laki dari angkatanku di meja itu. Keempat wajah panitia itu pun tidak aku kenali.

Mereka bukan kroni Gaharu yang datang ke wismaku sebelumnya. Aku tahu aku harus siaga akan kroni dia yang lain, tetapi aku tidak punya alternatif. Aku harus hanya yakin keempat panitia ini bukan kroni Gaharu.

Aku memenuhi prosedur meja makan. Hormat. Rotasi lauk. Lima pertanyaan bagi masing-masing panitia. Rotasi piring. Posisi duduk siap hingga bel makan usai dibunyikan.

Sesekali, aku gagal memenuhi prosedur dengan sempurna sehingga mendapatkan teguran keras dari salah satu panitia. Tetapi, tidak apa-apa. Teguran mereka hanya terjadi di meja.

Saat makan usai, aku berbaur dengan kerumunan kelas I yang keluar terakhir.

Setiba di depan pintu Ruang Persaudaraan, aku berusaha berjalan setenang mungkin. Aku berupaya menghindari perhatian para panitia.

Aku mengambil tasku. Namun, seiring aku mengambil tas, aku mendapati Gaharu sedang menginterogasi para panitia laki-laki bersama kroni-kroninya.

Aku sangat yakin dia mencari aku.

Aku berusaha keras mengubah cara aku melangkah agar tidak mengundang perhatiannya. Perlahan, aku berjalan dan menyelinap ke koridor yang menghubungkan Ruang Persaudaraan dengan Wisma Laki-laki.

Aku menyempatkan untuk menoleh ke belakang. Tidak ada pergerakan dari panitia.

Aku langsung berlari di sepanjang koridor dan berbelok ke jalan raya SMA Abdi Negeri, melaju hingga aku mencapai lapangan basket.

Setibaku di lapangan basket, aku mencari celah di antara semak-semak yang membatasi lapangan basket dengan hutan SMA Abdi Negeri. Aku menjongkokan diri pada celah itu, menunggu kedatangan Raihan.

Satu menit.

15 menit.

45 menit.

Ada langkah kaki yang mendekat padaku.

"Raihan."

Aku berdiri untuk –

"Lu nungguin siapa tikus tanah?!"

Saat aku berdiri, aku mendapati Gaharu melangkah mendekati tempat aku berdiri.

"Jadi, lu engga sendiri ya?" ucapnya dengan suara mengintimidasi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top