BAB IV - 5

"Aku tidak melihat celah!"

"SISWA! MENGAPA KALIAN TIDAK BERANGKAT KE RUANG PERSAUDARAAN!" teriak seorang dengan suara penuh otoritas.

Aku mengangkat kepalaku dan mendapati seorang Pembina Wisma berdiri menatap kami dengan amarah. Namun, dari matanya terlihat amarah itu datang dari dalam hati yang menyayangi, bagai seorang ayah yang menegur anak-anaknya.

Di sisi lain, aku mendapati wajah Gaharu berubah 180 derajat. Wajah bangga dan sinisnya berubah menjadi wajah penuh benci dan..., putus asa?

Gaharu merasa tak berdaya di hadapan Pembina Wisma ini.

"Berdiri siswa!"

"Siap pak!"

"ENGGA LU TE –!"

"BERDIRI!"

Gaharu terdiam. Dia menembakkan tatapan benci kepada Pembina Wisma yang baru saja menginjak harga dirinya.

"Segera berangkat ke Ruang Persaudaraan. Kegiatan makan siang akan segera di mulai!"

Gaharu yang merasakan kesal amat sangat meninggalkan lapangan apel. Sedangkan aku, aku berdiri menghadap beliau.

"Terima kasih pak."

"Kamu juga segera berangkat siswa."

"Siap pak!" balasku. Namun, kenyataannya aku tidak ingin langsung berangkat. Aku baru saja mendapatkan cahaya dari jurang gelap yang baru saja aku selami. Ada figur yang ditakuti oleh Gaharu. Artinya, ada peluang bagiku untuk tetap meneruskan investigasi ini.

"Tanyakan sekarang Oni!" batinku untuk menyemangatkan diri.

"Izin pak!" sahutku keras. "Bapak tahu 'Wisma 17' belas itu apa?"

Dia menatapku datar. Namun, keringat dinginnya yang merembes dari kulit pelipis dia berkata lain. Dia mengetahui sesuatu.

"Ada apa memangnya siswa?"

Aku kemudian bergegas melemparkan tas kanvasku ke hadapan perutku untuk mengambil buku catatanku. Kemudian, catatan itu ku hadapkan padanya. "Izin pak. Mungkin saya yang terlalu percaya dengan takhayul, namun saya rasa 'Wisma 17' dengan kejadian di Aula Aksara ada hubungannya pak."

Saat beliau menatap kepada buku yang aku sodorkan, badai rasa sedih berhembus kencang dari wajahnya. Mulutnya masih bertahan bagai batu, namun mata dia tidak berbohong. Dia mengenal buku yang aku pegang. Dia begitu kenal buku itu bagai dia bertemu anaknya yang kembali hidup.

"Bolehkah saya meminjam catatan itu?" ucapnya berusaha mempertahankan ketegasan dari suaranya yang mulai bergetar.

Aku menatap kepada beliau yang mengibarkan halamannya satu persatu. Perlahan, rasa sedih semu yang memancar dari wajahnya terlihat semakin jelas. Kerutan alisnya mulai memudar, matanya mulai berkaca-kaca, dan bibir beliau mulai bergetar.

Aku hanya bisa menatap canggung kepada beliau.

Kemudian, dengan suara kecil beliau menggumamkan, "Jadi, kau sudah memilih pejuangmu Paulianto?"

Seketika dia menutup buku catatan itu dan kembali menyerahkannya padaku. "Mengapa kau ingin mencari tahu tentang itu nak?" tanya dia.

"Saya ingin membantu teman saya pak. Dua kali hal ini telah terjadi, dan dua kali temanku yang menjadi korban. Aku..., maaf, saya pun tidak mengerti penjelasannya apa. Tapi, yang saya tahu, saya mau ini berakhir."

Beliau hanya memperhatikan perkataanku tanpa membalas apa-apa.

"Kira-kira, Paulianto itu siapa pak?" lanjutku.

"Kamu mendengar itu siswa?" balasnya. Namun, kata-kata yang keluar daripadanya memiliki nuansa yang berbeda. Ketegasan telah meninggalkan suara beliau. Suaranya terdengar bagai seorang paman yang kehilangan keponakan kesayangannya.

Aku tidak memberikan balasan dalam bentuk apapun. Wajahku menatap tajam mengharapkan sebuah jawaban.

Seketika, beliau membalikkan badannya. "Saya mohon maaf nak, namun Bapak tidak bisa memberikan apa-apa."

Saat dia melangkah menjauh, aku dapat mendengar getaran suara beliau yang semakin jelas. Rasa sedih bergejolak kencang bagai badai lautan di dalam beliau. Dan aku..., aku hanya bisa menatap bingung.

"Mengapa kau begitu sedih pak? Mengapa kau bersedih mengingat nama itu? Menga –

"Tunggu..., apakah..."

"Tunggu pak –"

"SEGERA BERANGKAT KE RUANG PERSAUDARAAN SISWA! KEGIATAN MAKAN SIANG AKAN MULAI!" bentak beliau kepadaku.

Beliau sangat jelas tidak ingin melanjutkan perbincangan ini. Karena satu atau hal lain beliau terlihat jelas merasakan kepedihan yang amat sangat ketika mengingat nama itu.

Aku memutuskan untuk tidak melanjutkan pertanyaanku dan menghormati perkataan beliau.

"Baik pak!" balasku tegas seiring memantapkan kakiku untuk berlari ke Ruang Persaudaraan.

Namun, ketika aku mengambil langkah pertama...

"Usai makan siang, cari nama Bu Rohida. Beliau yang lebih layak menjawab pertanyaan anda nak."

Aku menyempatkan untuk menoleh kepada Pembina Wisma itu dan mengucapkan, "Siap! Terima kasih Pak!

"Mohon izin pak," lanjutku. "Izin mengetahui nama Bapak?!"

"Mahadi.

"Segera berangkat siswa!"

"Siap pak!"

Dan aku pun melesat ke ruang persaudaraan.

***

Makan siang telah usai. Para murid telah berbubaran. Para laki-laki mulai menyebar untuk melakukan kegiatan mereka masing-masing. Para perempuan berbondong-bondong kembali ke barak mereka dalam bentuk peleton.

Dan aku..., aku kembali bersentuhan dengan bebatuan panas, menghadapi sanksi dalam bentuk burpee(5). Tentunya, Gaharu berdiri bagai menara mengawasi aku memenuhi sanksi itu.

Wajahnya ditempelkan padaku dengan ketat. Raut wajahnya merah padam berhias keriput penuh amarah dan kesal. Sangat jelas ia sedang melampiaskan kekesalannya akan Pembina Wisma Mahadi kepadaku.

Sesekali dia menyempatkan untuk menyandung kakiku agar aku terjatuh mencium aspal Ruang Persaudaraan.

"Sampah lu anjing!" maki dia dengan suara pelan kepada telingaku.

Lalu ia pergi.

Aku tentunya menahan posisi push-up, memastikan agar Gaharu benar-benar pergi dari pandanganku.

Saat aku tidak dapat melihat dia lagi, aku bergegas ke Wisma Macan III.

"Raihan dan Komang harus tahu!"

Setiba aku di kamar Komang, aku segera mendudukan diri.

Raihan menyusul dan menyandarkan dirinya pada dinding kamar Komang.

"Aku sudah dapat gambaran apa yang terjadi. Walau aku tidak mau percaya apa yang keluar dari mulutku, tapi ini satu-satunya penjelasan yang logis.

"Kejadian dua hari ini adalah dendam pemilik buku ini kepada Gaharu. Dan, ngikutin kata-kata Komang, dia melakukannya menggunakan kau," jelasku seiring menunjuk kepada Komang.

"Jadi?" lanjut Raihan bertanya.

"Jadi...,

"Aku semakin tidak mengerti bagaimana cara menyelesaikan ini.

"Kalo yang kita hadapi adalah orang, kita mungkin bisa nego atau cari jalan keluar. Tapi..., ini? Aku tidak tahu bos.

"Bagaimana cara kita negosiasi dengan arwah? Kau ada cara?"

Raihan hanya mengangkat bahu.

"Kau pun tak tahu pula kan? Kau Komang? Ada ide?"

"Maaf banget Oni. Dari pengalaman, kalau arwah-arwah hanya mau satu keinginannya dipenuhi. Mereka tidak bisa dinegosiasi."

"Hhhaahh...," hembusku lengah. Aku menyangka membantu teman pertamaku

"Tapi...," lanjutku. "Setidaknya aku menemukan celah. Aku cuma bisa berdoa celah ini bisa membantu."

"Apa?" balas Raihan.

"Apanya yang 'apa'?"

"Itu," ucap seiring menunjuk kepadaku. "Celahnya."

"Oh. Aku baru saja mendapatkan nama yang mungkin bisa membantu kita.

"Bu Rohida."

CATATAN

Impas, istilah yang umum digunakan di Sangatta, Kalimantan Timur sebagai pengganti kata "adil."

James Hetfield adalah vokalis dari Band Metallica. Dia pernah memiliki janggut berupa Goatee untuk beberapa saat.

Wakil Kepala Sekolah yang bertanggungjawab di bidang administrasi kesiswaan seperti, kegiatan dinas, perizinan keluar kampus, dan sejenis.

Kumis yang memanjang hingga ke bawah dagu, namun tidak disatukan oleh janggut. Terlihat seperti taring walrus.

Kombinasi dari push-up, senam kombinasi, dan lompat di tempat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top