BAB IV - 4
"Tapi pak," ucapku berusaha memberikan basa-basi ringan. "Kegiatan kelas saya akan mulai dalam waktu dekat. Nanti saya bisa ketinggalan pelajaran. Apakah tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa..., nanti saya yang buatkan surat. Mari siswa," lanjut beliau mengundang aku untuk masuk ke dalam ruangannya. Lengan kanannya menahan pintu kantornya terbuka.
Aku melangkah masuk ke dalam kantor itu. Di hadapanku, terlihat sebuah ruangan yang relatif mewah dibandingkan dengan ruang kelas maupun fasilitas pembelajaran yang telah aku lihat. Dindingnya bercat putih bersih berhiaskan Garuda Pancasila, foto presiden dan wakilnya, serta beberapa hiasan pribadi.
Tepat di sisi kiriku, ada sebuah sofa kulit yang diletakkan menempel pada dinding. Ujung dari sofa itu menunjuk kepada lokasi meja kantor dari guru yang mengundang aku ke dalam ruangannya. Meja kantor yang berhias dokumen, sebuah patung yang aku tidak bisa deskripsikan, dan dua buah kursi tamu yang berornamen indah.
Tepat terpampang di atas permukaan meja, ada sebuah papan yang bertuliskan 'Wakasek Kesiswaan.'
"Duduk, duduk siswa," pintanya dengan suara yang halus.
Seiring aku membawa badanku untuk duduk pada kursi tamunya secara perlahan, beliau melanjutkan, "Saya tahu ada orang yang ambisius siswa. Sangat ambisius sampai anda ingin mengenal SMA Abdi Negeri sedalam mungkin. Saya sungguh hormat akan hal itu.
"Terima kasih pak," balasku.
"Kira-kira," lanjut beliau sambil mendudukkan dirinya di atas permukaan meja. "Apakah siswa sudah mempunyai cita-cita ke depan setelah SMA Abdi Negeri?"
"Siap, saya masih belum tahu pak. Saya hanya ingin menjalani dulu kegiatan pendidikan di sini. Mungkin saya akan menemukannya saat saya mencapai kelas tiga."
"Baiklah tidak apa-apa. Semua siswa perlu proses," balasnya dengan senyuman palsu itu lagi.
"Namun," lanjutnya. "Akan sangat disayangkan jika peluang anda untuk mencari tahu terpotong tiba-tiba bukan?"
Saat aku mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut dia, aku bisa merasakan semua saraf yang berada di tungkai kepalaku bergetar.
"Kau dan Gaharu terlibat," simpulku di dalam batin. "Tetapi, kau tahu dari...
"Kau tahu dari Wali Wismaku."
"Saya tahu anda ingin mengetahui siapa pembina dan wali dari Wisma 17, wisma tempat anda tinggal sekarang. Tetapi, akan lebih baik jika anda mengabaikan semua ini dan fokus dengan pelajaran anda siswa. Ya?
"Juga, apa untungnya bagi anda siswa? Status? Uang?"
Saat aku mendengar pertanyaan itu, aku berkeras memompa darah kepada otak untuk memikirkan apa jawaban yang tepat. Apakah aku mengatakan alasan sebenarnya? Atau aku membuat cerita palsu?
Keringat dingin mulai mengalir di pelipisku. Nadi di wajahku mulai membentuk lembah pada kulit karena aku yang menahan agar rasa tegangku tidak ketahuan.
"Apapun alasannya, akan lebih baik anda fokus belajar saja ya?" tutup dia.
Aku hanya bisa membeku pada kursiku. Aku terlalu terkejut akan simpulanku sendiri. Wakasek Kesiswaan pun terlibat. Aku hanya bisa menatap kosong dan berkata, "Baik pak."
"Bagus nak. Dan, sesuai janji, akan saya tuliskan surat permohonan maaf akan keterlambatan masuk kelas," ucap dia seiring membalikkan badannya untuk mengambil pena dan secarik kertas.
Aku menatap kepada dia, mendengarkan coretan pena di atas kertas.
Kemudian, dia melangkah kepadaku dan memberikan kertas HVS yang telah dilipatnya rapih. Dari punggung kertas itu, aku bisa melihat tinta hitam tembus, bertuliskan perintah untuk mengizinkanku masuk kelas terlambat kepada guru nanti.
Aku mengambilnya seiring beranjak untuk meninggalkan ruangan dia. "Terima kasih pak," ucapku dengan tatapan kosong kepadanya.
***
Aku masih menatap kosong ke udara SMA Abdi Negeri, berdiri di tengah-tengah lapangan apel Gedung Charlie. Anak-anak angkatanku berlalu-lalang bagai cat yang dikuaskan di atas kanvas. Walaupun aku mendengar para Panitia Orientasi berteriak, namun letupan-letupan suara itu terdengar bagai deruan aliran air.
"Para guru pun tahu. Tapi mereka diam. Kenapa?"
"WOI DEK!!!" teriak seorang panitia sambil menggenggam lengan kiriku erat dan menggoyangkan badanku hingga sadar.
"Hah?" sambutku kembali sadar ke dunia nyata. "Siap, maaf bang!"
"Perhatikan dek! Apel siang sudah mau mulai!" tegur panitia itu kesal. "Apakah kamu mau menghambat teman-temanmu! Begitu! Biar mereka engga makan siang!"
"Siap tidak bang!" balasku.
"ADA APA INI! ADA APA INI!? ADA ADEK YANG NYOLOT!?" sahut siluet yang perlahan mendekat dari belakang panitia yang sedang menegurku.
Gaharu.
"Adek satu ini!" sambut panitia itu kepada Gaharu seiring memberikanku tatapan jijik. "Dia berencana menghambat kegiatan makan siang teman-temannya dengan melamun di barisan."
Saat Gaharu mendengar itu, dia pun menatapku. Mata sinisnya berbinar karena menyadari ada alasan untuk menindasku lagi.
"JADI ITU MAU LU!" bentak Gaharu kepadaku sambil menghantam bahuku menantang. "LU GA MAU ANGKATAN LU JADI DEWASA GITU?! NGALANG-NGALANG MEREKA UNTUK MAKAN SIANG! TAMBAH LAGI LU NGEHALANGIN DENGAN NGELAMUN LAGI, LU KIRA LU SIAPA?!
"JAWAB WOI!" lanjutnya kembali menghantam bahuku menantang.
"SIAP, SAYA TIDAK BERMAKSUD UNTUK MENGHALANGI KEGIATAN APEL BANG!"
"WADUUUHH!!!" balas dia mempermainkan jawabanku. Gaharu menghadap kepada rekannya dan melanjutkan, "Nekat bohong dia!"
Rekan panitia yang menegurku sebelumnya hanya bisa menunduk dan mengiyakan kata-kata Gaharu. Kemudian, dia membuang muka dan meninggalkan barisan.
"Lu temuin gua setelah apel!" lanjut Gaharu sebelum meninggalkan aku di dalam barisan.
"Siap Bang!" balasku seiring memandang punggung Gaharu yang memudar dari barisan angkatanku secara perlahan.
Apel siang kembali mulai. Pemimpin apel mengambil tempat. Kami kembali memandang ke depan memperhatikan.
"Apel selesai!"
"Izin meninggalkan barisan!" teriakku kepada pemimpin peletonku.
Aku melangkah ke belakang barisan, menghadap kepada perkumpulan panitia yang membicarakan kekurangan kami selama apel berlangsung.
Dari balik kerumunan panitia, Gaharu menghadapkan mata sinisnya kepadaku, menyayat udara bagai belati.
"Selamat siang bang!" sambutku sambil mengangkat tangan hormat.
"Udah ga perlu basa-basi! Langsung turun push-up! 50!"
"Siap bang!" mengiyakan.
Aku kemudian mengambil posisi untuk melakukan push-up.
Aku tidak bisa membalas perkataannya. Aku pun tidak memiliki komentar pintar yang dapat aku ucapkan di dalam batin. Isi kepalaku kosong dan gelap. Otakku tidak bisa berpikir. Aku hanya bisa merasakan kengerian yang mendalam. Begitu ngeri sampai aku mengabaikan permukaan tanganku yang melepuh karena terbaring di atas batu paving yang panas.
Aku tahu aku baru bertanya sekali kepada satu orang, namun aku melihat upayaku akan berakhir suram. Semua di sekolah ini, bahkan pihak-pihak berkuasa yang harusnya menjunjung perkembangan akademik kami terlibat untuk menutupi sesuatu. Dan, sesuatu itu melibatkan sejarah dari dua orang siswa dari SMA Abdi Negeri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top