BAB IV - 3

"Ada pak. Tapi, pikir saya, mungkin ada yang terlewat karena kami tidak mendapatkan pengarahan formal dari panitia maupun dari wali."

"Dari bapak sih tidak ada...," balasnya. "Cukup ikuti saja buku orientasinya. Pastikan kamar, kamar mandi, dan lingkungan sekitar wisma kalian bersih. Itu saja sudah cukup.

"Wisma siswa sudah memilih ketua?"

"Belum pak."

Seiring kami berbincang, isteri beliau muncul dari dapur dan mengantarkan tiga gelas es teh manis di hadapan kami.

"Waduh..., kalau begitu mohon segera tentukan ya. Agar ada yang mewakili anggota wisma jika memerlukan sesuatu dari saya. Mohon kabarkan ya nak!"

"Baik pak akan saya kabarkan nanti. Sebelum itu pak, saya boleh bertanya?"

"Boleh-boleh..., apa yang ingin siswa tanyakan?"

"Bapak tahu 'Wisma 17' itu apa?" tanyaku padanya.

"Iya saya tahu. Itu nama wisma di sekolah ini sebelum nama-namanya diubah. Ada apa siswa?"

"Tidak apa-apa pak. Saya hanya penasaran karena sempat menemukan kertas di gudang wisma kita yang bertuliskan 'Hidup Wisma 17!'"

"Oh..., baik siswa. Iya, itu nama dari wisma di sini sebelum diubah oleh yayasan. Kata mereka, 'Perubahan nama itu lebih representatif bagi mimpi SMA Abdi Negeri.'"

"Sebelumnya yang menjadi wali dan pembinanya siapa pak?"

"Adduh siswa, untuk hal itu saya kurang tahu. Itu sudah lama sekali berlalu. Mungkin siswa dapat bertanya ke Kantor Admin Kesiswaan esok hari."

"Baik pak. Terima kasih sekali akan waktunya mau menyambut kami."

"Ohhh..., tidak apa-apa siswa. Saya yang berterima kasih karena dikunjungi. Sering-sering mampir siswa. Kalau mau belajar di sini juga tidak apa-apa.

"Sama, itu teh-nya diminum, sayang banget ibu sudah buat tapi tidak diminum."

"Oh iya pak," balasku. Aku menoleh kepada Raihan, "Minum Rai."

"Ya pak."

Kami berdua menenggak isi gelas itu sesegera mungkin. Aliran teh dan gula melesat dan menggetarkan esofagus kami.

Dan, secara bersamaan aku dan Raihan meletakkan gelas itu di atas permukaan meja.

"Kami permisi dulu pak."

"Baik siswa. Hati-hati di jalan."

***

Pak Jupriadi menatap kepada pintu rumahnya yang tertutup secara perlahan. Dia memandang kepada Otniel dan Raihan yang bergegas meninggalkan rumahnya.

Saat pintu rumahnya tertutup penuh, dia berjalan menuju meja kopi yang berada di pojok ruang tamu.

Dia mengambil ponselnya yang tergeletak di atas tumpukan-tumpukan koran bekas dan membuka daftar kontak. Jempolnya telah bersiap di sebelah nomor yang akan dia hubungi.

Ponsel itu berdering di sebelah pipinya selama beberapa detik hingga...,

TUUUT!

"Selamat malam pak Wakasek Siswa(3). Besok ada siswa yang akan mampir. Mohon ditangani."

"Akan saya tangani pak. Tentu saja."

***

Kegiatan makan pagi di hari Selasa sudah usai. Masing-masing meja telah tertata rapih. Setiap siswa kelas satu yang mengikuti orientasi terduduk siap, menunggu agar senior-senior meninggalkan meja.

Saat para panitia berjalan meninggalkan Ruang Persaudaraan, Gaharu berjalan mendekati kursiku dari belakang.

"Gua liat lu dari jauh. Lu orang yang megang prosedur kan? Prosedur yang kita ajarkan adalah sikut jangan menyentuh meja. Tapi, faktanya sikut lu nyentuh tadi.

"Ada komentar ga dari pala sotoy lu?"

"Siap, tidak bang!" balasku.

"Bagus, artinya lu tahu kan lu harus ngapain? Temuin gua di depan," ucap dia meninggalkan kursiku

"Siap, dilaksanakan bang!"

Seorang dari mejaku bersahut padaku. Dia orang yang pernah duduk bersamaku saat Gaharu meluapkan amarahnya terhadap perbuatan-perbuatan yang aku lakukan. "Ini gara-gara lo nantang dia sih. Goblok lu."

Aku hanya bisa mengangkat bahu.

Dan, dia membalasku dengan tatapan kesal.

Aku kemudian beranjak dari kursi dan menghadap kepada Gaharu yang menunggu di lapangan apel Ruang Persaudaraan.

Saat aku tiba di tempat, aku disambut perintah untuk melakukan push-up 50 kali. Aku langsung melaksanakan perintah itu untuk menghindari kepastian dia akan mengamuk di tempat. Aku tidak mau rencanaku rusak.

50 push-up aku lalui. Keringat merembes dari kemejaku, menetes ke atas paving Ruang Persaudaraan.

Sebelum aku beranjak berdiri, aku mengangkat setengah dari kepalaku, memastikan Gaharu telah pergi.

Aku tidak mau di sambut oleh kejutan dia lagi saat ini.

Dia sudah pergi. Saatnya aku berdiri dan bergegas menuju lapangan apel. Peleton wismaku telah pergi duluan.

Aku berlari meninggalkan Ruang Persaudaraan dengan kencang, membakar sisa tenagaku yang masih tersedia.

Badanku melesat dari aspal, ke atas tangga bukit kecil G.O.R. hingga tiba di lapangan apel ruang kelas.

Saat aku tiba, aku menatap kepada barisan yang masih dalam proses penataan. Para panitia berteriak menuntut agar siswa angkatanku merapihkan barisannya dengan segera.

Aku bergegas masuk ke dalam barisan untuk menghindari teguran dari mereka.

"Perhatian! Apel Pagi, mulai!"

***

Jarum jam di langit-langit ruang kelasku telah menunjukkan pukul 11:15 WIB.

Aku duduk menyamping dengan lengan bawahku terbaring di atas meja belajar kelas. Aku memandang anak-anak kelasku saling berkeliaran mencari kawan untuk berbincang. Beberapa laki-laki berusaha untuk mencari perhatian dari gadis cantik yang berada di kelas.

Namun, aku tidak punya waktu untuk itu saat ini. Kakiku bergetar penuh rasa tidak sabar. Aku berusaha untuk menyemangatkan diri sebelum berangkat ke kantor admin.

"RRRrrahh! Sekarang!"

Dengan itu, aku beranjak dari kursiku dan berangkat meninggalkan ruang kelas.

Aku berjalan melalui koridor yang dipenuhi oleh anak-anak yang saling berbincang. Beberapa dari mereka mengangkat gelas yang berisikan susu untuk diminum. Beberapa ada yang berbincang sambil mengunyah kudapan yang diberikan oleh SMA Abdi Negeri.

Di ujung koridor, terlihat sebuah jendela dengan celah selebar 1 meter. Dua orang dewasa sedang mondar-mandir mengangkut dokumen dari satu sisi ke sisi lainnya.

Aku tiba di depan jendela dan mengetuknya. Kedua orang dewasa di dalam ruangan itu berhenti di tempat, menatap kepadaku.

"Ada apa siswa?"

"Mohon maaf pak," ucapku seiring aku membungkuk ke arah celah ruangan kaca itu. "Saya diminta Wali Wisma saya ke sini untuk mencari tahu Pembina dan Wali wisma saya sebelumnya. Apakah Ibu dan Bapak punya catatannya?"

"Halo siswa! Apakabar?!" sambut seseorang dari belakangku.

Aku menghadap ke belakang untuk melihat siapa yang menyambutku. Dari balik bahuku aku mendapati seorang tua yang terlihat begitu semangat. Mulutnya tersenyum lebar mengangkat kumis walrus(4)-nya.

"Selamat siang pak!" balasku dengan menghadap beliau dengan gesit. Aku mengangkat hormat untuk menyampaikan salamku selayaknya siswa SMA Abdi Negeri.

"Saya dengar-dengar tadi siswa sedang mencari tahu tentang Pembina dan Wali wisma anda sebelumnya ya?"

"Siap, benar pak."

"Kalau begitu, mari kita bahas bersama di ruang saya siswa. Mari, mari," udang dia dengan senyuman yang sedikit membuatku risi. Senyuman yang tidak tulus, bagai senyuman buatan pabrik.

Tetapi, aku tidak punya pilihan lain untuk mempercayai dia. Aku sangat memerlukan informasi itu. Jika, aku bertanya di depan umum, aku merisikokan Gaharu atau kroninya untuk menghambatku atau melakukan hal lain yang lebih buruk.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top