BAB IV - 1

Koridor Wisma Macan III dihias oleh puluhan mata yang menatap tegang. Tatapan itu terpaku kuat kepada aku, Komang dan Raihan yang baru saja menghadapi Gaharu dan kedua kroninya. Tekanan di udara terasa begitu tebal, menahan warga wismaku di tempat mereka berdiri. Aku pun yakin tekanan itu bisa dipotong oleh parang.

Aku memantapkan kedua langkahku seiring melihat Gaharu dan kedua kroninya meninggalkan wismaku.

Aku kemudian bergegas membantu Raihan yang menopang Komang di hadapanku. Dia menopang Komang dengan seluruh tenaganya karena badan Komang yang jangkung. Dia terpayungi oleh seluruh berat badan atas Komang.

Aku menarik satu lengan Komang ke atas bahuku, membebaskan Raihan. Raihan merangkul Komang dari pinggannya. Kami berdua menggotong dia kembali ke kamarnya.

Perlahan kami menggotong dia ke kamarnya dan menopang dia untuk duduk secara perlahan di atas kasur.

Namun, seiring aku menopang Komang, aku tidak dapat berhenti bertanya di dalam kepala, "Beneran dah, ga masuk akal kali semua ini?! Komang tahu sesuatu, aku harus tanya dia!"

Aku tidak punya waktu untuk mempertimbangkan keadaan Komang. Akan lebih baik aku tahu sekarang agar semua ini bisa diselesaikan dengan cepat. "Komang, aku mohon maaf. Tapi, aku tahu kau tahu kau tahu sesuatu. Mending kau kasi tahu sekarang biar kita bisa selesaikan ini!"

Aku mengucapkan itu dengan melangkah kepada dia, menuntut informasi. Aku melakukannya demi kebaikan Komang.

Tetapi, langkahku dihentikan oleh telapak tangan Raihan. Dia menatapku dan menggelengkan kepalanya. Matanya menusuk tajam saat dia berkata, "Kasihan. Kasih waktu dulu."

"Aku tahu dia perlu waktu, tapi kita ga ada waktu Rai!

"Kalau kita tunggu lagi, Gaharu datang lagi, Komang..., apapun yang Komang alami terjadi lagi. Kalau bisa kita selesaikan ini dengan cepat, kenapa tidak toh?!"

Raihan tetap mempertahankan posisinya terhadapku dan menggelengkan kepalanya.

Di tengah pertengkaran kami, aku melihat tangan Komang meraih lengan Raihan yang menahanku.

"Tidak apa-apa Raihan," ucapnya. Kemudian dia menatapku dengan senyum letih, "Aku akan memberi tahu kamu Oni."

Mendengar perkataan Komang, Raihan menurunkan lengannya perlahan. Dia memberikanku jalan untuk melangkah kepada kasur Komang.

Aku menempatkan diri di sebelah Komang, Raihan mengambil kursi belajar dan mendudukan diri menghadap kami.

"Oni, kamu masih ingatkan beberapa minggu lalu? Minggu pertama kali aku bertemu dengan kamu. Kamu menanyakan mengapa aku terdiam beku di depan gudang? Dan, saat aku menjawab, aku mengatakan 'Bukan, hanya panic attack' ringan.'" bukanya dengan nada memelas kepada kami.

Aku dan Raihan menatap penuh perhatian kepada Komang sering dia mengucapkan pembukaannya.

"Aku bukan mengalami panic attack. Aku terdiam karena aku melihat seseorang di dalam gudang. Orang itu tergantung dari langit-langit, dengan dasinya yang menahan dia di udara."

"Dan...," potongku ingin mempercepat intinya. "Kaitannya dengan kejadian tadi apa?"

Saat aku memotong kata-kata Komang, aku bisa merasakan tatapan Raihan yang tidak setuju akan kekasaranku menuntut dari kawan yang sedang membutuhkan.

"Orang itu tidak berada di situ lagi," lanjut Komang menjelaskan. "Dia telah berpindah tempat dari gudang. Aku tidak melihatnya lagi. Tetapi, dua kali dia menggunakan aku untuk muncul ke dunia kita.

"Mereka, jiwa-jiwa yang tidak tenang, makhluk halus, perlu penghubung ke dunia ini. Dan biasanya, mereka menggunakan orang-orang yang bisa melihat mereka.

"Orang-orang seperti aku," tutup Komang merunduk sedih dan lemas kepada lantai keramik kamarnya.

"Baek, itu sudah jelas. Kasarnya mereka make kau macam tiang telfon. Sekarang yang aku tanya-tanyakan ini, 'Kenapa kejadiannya setiap Gaharu datang?'"

Badan Komang bergetar sekejap ketika mendengar pertanyaanku. Dia perlahan mengangkat badannya dan menatapku.

Dia tidak berkata apa-apa, dia hanya menatap berharap aku mengatakan sesuatu.

Aku hanya bisa membalas, "Jangan cuma natap. Aku pun tak tahu jawabannya. Makanya aku nanya kau pula."

"Benar juga," balasnya kembali merenung.

"Kawan, aku benar-benar ingin membantumu. Kau kawan pertamaku di sini. Setidaknya, sebagai kawan kau juga, aku bisa melakukan sesuatu buat kau.

"Biar impas(1) kita."

"Aku tidak tahu apa yang aku bisa beritahu padamu Oni. Aku pun tidak bisa menjelaskannya."

"Mungkin puddingnya ada hubungan dengan buku catatan," ucap Raihan sambil menunjuk kepadaku, memotong perbincangan kami.

"Oh ya, benar juga ka...,"

"Kau bilang apa tadi?" potongku akan kalimatku sendiri.

"'Ada hubungan dengan buku catatan?'"

"Bukan, bukan, awal kalimat kau tadi? Subjeknya, subjeknya."

"Pudding?"

"Pudding?"


"Pudding. Makhluk halus, pudding."

Karena aku sangat ingin untuk menyelesaikan permasalahan Komang, aku memilih untuk menerima saja pernyataan Raihan.

Aku merunduk, mempertimbangkan pernyataan Raihan, "Mungkin puddingnya ada hubungan dengan buku catatanku?

"Pas orientasi," ucap dia sambil menunjuk ke Komang. "Minjam buku, baru kejadian."

"Mungkin?" balasku mengiyakan. Aku mengusap daguku lalu beranjak dari kasur Komang. "Aku ambil ke sini."

Aku melesat menyeberangi koridor wisma, mengabaikan warga wismaku yang masih menatap penuh kekhawatiran kepadaku.

Saat aku tiba di depan kamarku, aku menatap kepada meja belajarku yang dipenuhi oleh berbagai peralatan sekolah. Buku, kertas, dan pena bertumpuk bersama menopang tas kanvasku di atasnya.

Aku kemudian merogoh-rogoh di antara buku-buku itu, mencari buku catatanku.

Tidak ada.

"Ke mana bukuku? Aku tidak pernah asal taro'. Harusnya –"

Kata-kata dipikiranku terpotong dengan tiba-tiba saat aku mengangkat kepalaku. Aku menatap kepada laci tempat aku meletakkan buku pelajaran.

"Bagaimana?"

Aku menatap kepada buku catatan yang terbaring datar pada kaca pintu laci meja belajarku.

"Kau harusnya ada di dalam tas –

"Persetan, aku perlu kau sekarang." sampaiku kepada catatanku di dalam kepala. Seiring, aku bergegas menjarahnya dari dalam laci.

Aku kemudian melompat keluar dari kamarku dan melesat kepada kamar Komang.

Aku tiba di depan celah kamarnya, namun aku langsung melemparkan buku catatanku kepada Komang sebelum badanku menginjak lantai kamar dia.

Sebelum buku itu bisa mendarat pada paha Komang, Raihan mengambilnya dari udara dengan gesit.

Dia kemudian membuka buku itu dan membaca isinya. Halaman demi halaman berkepak cepat. Matanya berkedip bagai kilatan kamera, memindai isi bukuku.

Ketika dia sampai pada akhir halaman, dia hanya mengangkat kepalanya dan satu alisnya, kebingungan akan kenyataan yang dia hadapi. Kenyataan buku itu hanya buku biasa.

Dari raut mukanya pun dia kecewa. Dia berharap ada sesuatu di dalam buku itu.

Aku pun merasakan hal yang dirasakan oleh Raihan. Aku sangat berharap buku itu memiliki jawaban.

Raihan meletakkan buku itu di atas pahanya, dengan halamannya dibiarkan terbuka.

Aku kemudian menghadap Komang, "Maaf kawan aku –

"Kau kenapa?! OI!! KOMANG!?"

Aku menatap kepada Komang yang membatu pucat menghadap kepada halaman buku yang terbuka itu. Giginya saling menggerus keras sering matanya membelalak panik.

"Ka.., ka.., kamu tidak melihat itu?" ucap dia dengan suara yang mulai goyah. Lengannya yang menunjuk kepada halaman itu bergetar amat sangat.

"Itu halaman kosong Komang. Kau lihat sesuatu Rai?"

Raihan hanya mengangkat bahu bingung.

"Halaman itu menuliskan sesuatu dengan darah. Kalian tidak melihatnya?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top