BAB III - 2
Gaharu menjawab, "Nanti kamu akan tahu sendiri."
"Jadi inikah permainanmu? Baiklah, aku tidak ikut bermain." Dengan itu, aku melanjutkan untuk melemparkan tiga pertanyaan. Pertanyaan itu bersifat sederhana seperti, tempat bagi kami berolahraga, apa yang boleh kami bawa ketika di kelas, dan kegiatan belajar privat bersama guru.
Aku memastikan ketiga pertanyaan itu terdengar cukup keras oleh meja lain, sambil masih mempertahankan emosiku. Dia dapat membuat aturan main sendiri, tetapi aku mengikuti kebijakan meja makan utama.
Dia masih mengabaikanku.
Ketika makanan di atas piringku akan segera habis, aku mengambil gelasku dan menghabiskan air putih di dalamnya.
Dari pinggir mataku, aku melihat lengannya mencapai kepada teko air yang berada di seberang meja. Dia menggunakan lengan itu untuk mencoba menghantam sikutku yang memegang gelas. Aku melihat itu dan mengangkat gelasku agar airku tidak tumpah.
Aku kemudian meletakkan gelasku di atas meja dan memandang tenang ke depan, melanjutkan kegiatan makanku hingga usai. Gaharu terduduk di kepala meja dengan wajah merah padam.
Aku mengabaikan wajahnya yang memandang bagai belati kepadaku. Dia terlihat kesal karena aku menghindar walaupun dialah yang bertingkah. Aku tahu aku tidak bersalah.
Ketika kegiatan makan usai, kami membersihkan meja dengan menumpuk piring kami mengelilingi penduduk meja. Piring tersebut kemudian diletakkan di antara teko nasi dan air, menyusunnya seperti konstelasi planet di atas meja makan.
Usai peralatan makan selesai disusun, Gaharu mulai mengarahkan pandangannya kepadaku. Dia mengeluarkan wajah "tertegasnya" dan mulai menatapku dengan serius. Kedua lembar bibirnya terbuka dan dia mulai berkata kepadaku.
"Kamu!?" bentak dia kepadaku. "Mengapa kamu duduk sebelum abang berikan izin? Hm?!"
"Siap, karena bel makan sudah berbunyi bang," jawabku tegas dan polos, menatap kepada wajahnya.
Aku melihat alisnya berkedut ketika dia mendengar kata-kataku. Perlahan, warna merah padam menyelimuti wajahnya.
"Jadi kamu nyolot ke abang gitu? Kamu lebih mementingkan kemauanmu gitu dan tidak hormat pada abang?!" bentak dia keras. "Jawab woi!!"
"Siap, mohon maaf bang. Abang yang meminta saya untuk duduk bersama abang saat mencari meja makan," jawabku masih dengan wajah yang polos. "Lalu, saya memenuhi prosedur untuk hormat dan memohon izin sebelum duduk. Namun, abang tidak menanggapi hingga bel makan mulai bang.
"Dengan itu, saya mengambil inisiatif untuk duduk agar tidak menghambat kegiatan makan meja-meja lain bang. Terima kasih."
"Jadi kamu tidak respect sama abang ya?!" lanjut dia membentak aku.
"Siap, respect bang! Tetapi, saya harus menghormati aturan Ruang Persaudaraan terlebih dahulu bang."
Gaharu kemudian mendekatkan wajahnya kepadaku. Nadanya dia kecilkan, namun dia tetap menatapku serius. "Ini alasan gua ga suka ama lu. Gua dah kenal orang-orang kayak lu, yang berlaga baik, patuh aturan. Padahal, aslinya lu cuma nyolot doang.
"Lu ga tahu gua siapa?," lanjut dia sarkas. "Gua yang buat aturan di sini. Gua tinggal panggil bapak gua dan masa depan lu abis."
Lalu dia mundur, kembali ke posisi awalnya di meja. Wajahnya pun dia lagakan seperti orang yang stoic.
Dia lanjut bertanya kepadaku dengan suara yang terdengar sangat merendahkan, "Kamu sudah nyolot, berlaga baik, kamu mau jadi apa sih setelah dari SMA ini?"
Dengan polos aku menjawab, "Siap, belum tahu bang."
Ketika dia mendengar itu, alisnya kembali bergetar. Darah mulai membengkakkan pembuluh darah yang ada di dalam bola matanya.
"Kamu sudah ga sopan, dengan beraninya kamu berkata 'Belum tahu'!? Jadi, buat apa kamu ke sekolah begini? Kamu mau menghina Abdi Negeri gitu?"
"Siap, tidak bang. Saya masuk ke sekolah ini untuk merantau bang. Saya belum tahu apa yang akan saya lakukan ke depan, tetapi saya tahu upaya tangan saya akan menunjukkannya."
"Berani banget kamu ya?!" sahut dia sarkas. "Kamu dapat nyali kayak gitu dari mana sih? Kamu lahir dan besar di mana? Makanya ga sopan seperti ini?"
"Siap, Sangatta, Kalimantan Timur."
Dia lalu menghantam meja, meluapkan kekesalannya. Aku bisa melihat rekan angkatan semejaku terkejut akan hal tersebut. Aku pun juga.
Namun, aku tetap mempertahankan ketenangan diri.
"Kamu sudah ga sopan, sekarang berbohong lagi —"
"Siap, saya tidak berbohong bang," jawabku polos. "Jika abang mau, akan saya bawakan atlas agar saya dapat tunjukkan?"
Seketika, dia menarik dasiku, mendekatkan wajahku padanya untuk diintimidasi. Seiring itu terjadi, aku menyapu gelasku dari atas meja.
PRANG!!!
"ADA APA DI SANA SISWA!!!" teriak salah satu pembina lapangan yang mengawasi kegiatan makan Ruang Persaudaraan. Aku mendengar derapan kaki dia yang melangkah cepat dari belakangku.
"Lepaskan siswa itu panitia! Perintah kalian hanya sebatas mendidik! Mengapa kamu melakukan perploncoan!"
Gaharu mengangkat kepalanya. Aku tidak bisa melihat jelas siapa yang dia tatap, namun genggaman Gaharu melemas saat itu. Aku hanya bisa mengasumsikan dia memandang kepada seorang pembina yang dia kenal.
Lalu, dia melemparkan dasiku dan mendorongku terduduk. Kemudian, Gaharu meninggalkan meja.
Semua anggota mejaku menunjukan wajah yang terkejut akan apa yang telah terjadi.
Salah satu dari mereka menyahutkan, "Lu nekat banget sih goblok. Gue ngerti lu cuma ngikut aturan, tapi ga gitu juga. Napa si lu?"
Aku hanya bisa membalas dia dengan mengangkat bahu, tidak mengerti.
***
Aku melangkah menelusuri koridor Wisma Macan III yang singkat. Sewaktu-waktu aku mencuri pandang akan kegiatan penghuni wismaku. Hingga akhirnya, langkahku melambat dan berhenti di depan kamar Komang.
Aku menundukkan kepalaku ke dalam kamar Komang dan mengetuk lemarinya. "Gimana kondisi bos? Dah aman dan baek?"
Komang yang terbaring di atas kasur merintih lemah saat beranjak dari kasurnya. Matanya mengkerut karena nadinya berkeras memompa darah ke kepalanya.
Dia mengusap wajahnya dan dengan suara lemas dia membalas, "Halo Oni..., aku..., masih agak lemas hehe. Tapi, aku sudah lebih baik dari kemarin." Seiring itu, dia mendudukan diri pada kasurnya. Namun, jelas dia masih bermasalah untuk menopang badannya. Komang terbungkuk dan menopangkan beban badannya di atas pahanya menggunakan lengannya.
Aku tidak bisa melakukan banyak untuknya, tetapi aku tidak bisa tinggal diam. "Baguslah. Banyak minum air kau ya. Apa mau ku belikan kah?" ucapku sambil menarik kursi belajar dari meja teman kamar Komang.
"Tidak usah," sahut dia dengan melambaikan tangannya menolak. "Aku sudah cukup minum kok."
"Beneran?" lanjutku merunduk mendekat ke wajah Komang. Aku benar-benar khawatir terhadapnya, sampai-sampai aku bisa merasakan kulit dahiku melipat penuh kekhawatiran.
"Beneran."
"Okelah kalau itu kata kau. Kalo ada apa-apa, bilang ya."
"Pastilah aku bilang."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top