BAB III - 1
Kegiatan belajar mengajar baru saja dimulai pada minggu ini.
Aku baru saja menyelesaikan kelas fisika 3. Aku membereskan perangkat belajarku yang masih mentah, hanya terdiri dari dua pena, satu type-x, dan lima buku baru yang aku beli Jumat lalu.
Selain perangkat belajar, buku catatan pertamaku telah menunggu di dalam. Aku terus membawanya untuk mengingatkanku bahwa masih ada hal penting yang harus aku perhatikan selain pembelajaran.
Aku kemudian menutup tasku dan berangkat ke luar ruang kelas.
Koridor Gedung Charlie penuh dengan laki-laki dan perempuan dari angkatanku berbondong-bondong berjalan ke lapangan apel.
Aku memasukan diri ke dalam aliran siswa itu dan mengikutinya hingga aku mencapai cahaya di ujung pintu koridor.
Setibaku di lapangan apel, para panitia orientasi telah bersiap menunggu kami. Dua orang panitia, perempuan dan laki-laki sudah menunggu di depan koridor, berteriak kepada kami untuk segera membentuk barisan.
Barisan apel disusun berdasarkan wisma masing-masing.
Aku memasuki peleton wismaku, Wisma Macan III. Dan ketika aku menghadap ke arah berdirinya pembina apel, aku memandang kepada punggung dari Komang.
"Kau udah balik bos?" bisikku bertanya kepadanya.
"Udah Oni," balas dia dengan logat Bali tenangnya. "Kata suster klinik, aku sudah bisa ikut kegiatan belajar mengajar, hanya banyak minum air, dan jangan memaksakan diri. Kalau terlalu lelah, aku bisa pingsan lagi."
Sebelum aku bisa melanjutkan kalimatku, bentakan panitia orientasi menghujani kami bertubi-tubi. "Perhatikan ke depan dek! Rapihkan barisannya! Kegiatan apel dimulai!"
Dengan itu, aku hanya memberikan sandi jempol kepada Komang untuk memberi tahu kalau itu kabar bagus.
Kegiatan apel diambil alih oleh panitia orientasi. Aku tidak mengingat penuh kalimat pengarahannya, namun aku memahami inti dari pengarahan ini.
Dia menekankan pada kami sebagai angkatan untuk memenuhi prosedur meja makan. Pemenuhan itu ditujukan sebagai cara kami untuk menunjukan rasa hormat kepada senior, bagai seorang adik yang memberikan rasa hormat kepada saudara tertuanya.
"Itu hanya berlaku kalau abang atau kakaknya telah melakukan sesuatu untuk adiknya terlebih dahulu bos. Dalam keluarga, saudara tertua melindungi dan mengurus adiknya toh. Jelas kau harus dihormati.
"Kalau dalam kondisi ini. Kau belum menunjukan sesuatu untuk membuat kau layak untuk dihormati. Yang kau bilang hanya prosedur," ucapku di dalam kepala, membalas isi pembinaan itu.
Usai pengarahan selesai, peleton kami dipisahkan satu persatu dari sisi terdekat ke jalan setapak di hadapan G.O.R.
Masing-masing peleton yang tiba di lapangan Ruang Persaudaraan membubarkan diri dan bergegas ke dalam. Angkatanku bergerak tidak beraturan karena rasa takut akan bentakan-bentakan panitia.
Aku berusaha untuk berjalan ke dalam Ruang Persaudaraan dengan mempertahankan ketenanganku di antara anak-anak yang mencari-cari panitia mana yang akan menanggapi mereka dengan tenang.
Namun, sebelum aku dapat memasuki pintu ruang persaudaraan, seorang panitia mendekatiku dari belakang.
"Lu duduk bareng gua," bisik dia dari belakang.
"Gaharu."
"Dan, mending lu dengerin perintah gua sebelum lu nyesel."
Mendengar itu, aku ingin mengabaikan permintaannya karena aku tahu tipe dia. Seorang yang merasa dia memiliki otoritas atas dunia. Tetapi, aku dengan ayahku sudah sering menghadapi hal itu dari seumur hidupku yang singkat.
Aku mencampakkan ide itu dan memilih untuk mengiyakan permintaan dia. Aku membalas dia dengan mengucapkan, "Siap bang!" dengan tegas.
Aku mengikuti dia.
Setiba aku tiba di meja makan, aku membuka dengan memenuhi prosedur etika meja makan SMA Abdi Negeri. "Selamat siang bang! Izin untuk duduk?"
Dia duduk kursi kepala meja, kursi yang diposisikan di barat meja makan. Dan, dia mengabaikanku.
Perlahan-lahan, beberapa siswa angkatanku datang ke meja yang sama dan membuka dengan memenuhi etika meja makan. Hormat kepada kepala meja dan memohon izin untuk duduk di meja makan.
Dia menanggapi dengan melambaikan tangan kanannya.
Kejadian itu terus berlangsung hingga keempat kursi kosong telah diduduki oleh mereka dan Gaharu. Aku ditinggalkan berdiri di belakang kursi.
"Jadi itu kah permainanmu? Baiklah, aku tidak perlu main."
Aku mengulangi untuk memohon izin untuk duduk.
Dia kembali mengabaikanku.
"Persetan," ucapku di dalam kepala sambil memberikan dia lima detik untuk menanggapi.
Tidak ada tanggapan. Dia duduk menatap kosong dengan wajah serius palsunya kepada dinding di Ruang Persaudaraan.
Aku langsung menarik kursi dan duduk di meja makan.
Dia menatap aku dengan dingin.
Aku mengenal tatapan itu. Tatapan yang sering aku dapati dari petinggi korporasi sawit atau tentara liar yang ingin mengambil tanah ayahku dengan paksa. Tatapan yang berkata, "Gua lebih berkuasa dari lu anjing dan lu nantang gua!?"
Aku hanya mempertahankan diri dan membalas tatapannya.
"Izin bang, jika abang ingin mengatakan sesuatu, mohon katakan. Karena saya tidak mengerti apa keinginan abang. Terima kasih," ucapku di dalam benak, menyimpan kata-kataku. Aku menunggu apa yang ingin dia sampaikan padaku.
Gaharu tidak melakukan apa-apa dan kembali ke posisinya.
DING! DING!! DIIINGG!!!
Bel makan siang dibunyikan.
Kegiatan makan dimulai. Etika meja makannya adalah senior yang berada di posisi kepala meja selalu didahulukan. Mereka harus ditawarkan teko nasi terlebih dahulu lalu diputar hingga setiap penduduk meja mendapatkan nasi. Lauk, sayur, dan air menyusul bagai kereta.
Jika terdapat senior tertinggi, abang-kakak kelas tiga, maka mereka yang dilayani terlebih dahulu. Mereka tetap didahulukan walau tidak menduduki kursi kepala meja.
Dalam keadaan mejaku, aku dan satu siswa lain yang duduk terdekat dari Gaharu menawarkan teko nasi kepada dia.
Dia mengambil beberapa centong dan kegiatan makan dimulai.
Dari pengarahan singkat siang tadi, kami diberitahu bahwa setiap siswa junior diwajibkan untuk bertanya kepada panitia orientasi. Dan minimal pertanyaan yang diberikan adalah lima.
Mereka menjelaskan kewajiban itu adalah untuk melatih kami sebelum bertemu dengan senior-senior kami usai kegiatan orientasi.
Aku berusaha untuk memenuhi syarat itu dan memberikan pertanyaan pertamaku. "Izin bertanya bang. Sekiranya apakah ada tradisi-tradisi khusus di SMA ini? Seperti lokasi yang tidak boleh didatangi oleh siswa atau sejenisnya?"
Dia mengabaikanku.
Aku memberikan pertanyaan kedua.
Dia mengabaikanku.
Aku diam dan melanjutkan kegiatan makan.
Satu orang penduduk mejaku menghadap dia dan melemparkan satu pertanyaan kepada Gaharu di kursi kepala meja. Dan pertanyaan itu sama persis dengan pertanyaanku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top